Fight For Happiness [ Bab 40, 41, 42, 43 ending ]

4
2
Deskripsi

“Minimal, sekali seumur hidup lo harus ngerasain di posesifin cowok ganteng, royal, fast respon, manjain, tapi ternyata lo selingkuhannya.”

Bab 40

Ines mendesah, menyadari dirinya tidak mempunyai perlawanan apapun untuk menyingkirkan atau sekedar menghindari Hito di hari-hari berikutnya. Lelaki itu sangat percaya diri dan tidak memedulikan penolakan Ines. Ditambah lagi, Hito selalu bersembunyi di balik nama sang Mama yang membuat Ines semakin tidak dapat berkutik.

"Capek banget, ya?" tanya Hito. 

Entah saking lelahnya atau memang mulai terbiasa dengan sentuhan-sentuhan kecil yang Hito berikan, mata Ines terpejam menikmati tangan Hito yang mengelus pelan kepalanya.

Hito meringis. "Kamu harus mulai terbiasa." Mau bagaimana lagi, Belinda hanya memiliki 3 anak laki-laki, jadi begitu anaknya mendapat pasangan, mamanya itu selalu antusias dan sering kali menyingkirkan anaknya sendiri demi bersenang-senang dengan menantunya.

"Nggak mau, nggak mau nikah sama kamu pokoknya!" Rengek Ines.

"Iya, nggak sekarang. Nanti....," jawab Hito dengan nada geli, ia terkekeh saat mendapati Ines memberenggut padanya. “Emang tadi di ajak mama kemana aja?”

"Keliling Mall, cari keperluan buat lahirannya Auxy." Ines memijat bahunya yang terasa kaku, beberapa hari kebelakang, ia tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Belinda selalu mengajaknya kesana dan kemari selepas ia pulang bekerja. Lalu pada malam hari, Hito yang masih menumpang padanya selalu merecokinya.

Hito tersenyum. “Nanti aku bilang Mama kalau besok waktunya kamu sama aku, jadi kamu bisa istirahat sepuasnya.”

"Kamu juga nggak bakal ganggu, kan?" 

Hito mengacak surai hitam Ines, lalu menarik tangannya, beranjak berdiri untuk mengambil ponselnya yang ada di atas meja dapur. “Nggak kok.”

Ia tersenyum simpul."Kan aku juga mau istirahat bareng kamu."

Ines yang sedang berbaring di atas tempat tidur spontan mencak-mencak, kakinya menendang hingga selimut yang membungkus tubuhnya menjadi berantakan. Kehidupan beratnya sepertinya masih panjang.

Hito tergelak. Ia kembali merangkak naik ke atas tempat tidur dan membawa Ines ke dalam pelukannya. "Udah, nikmatin aja. Terima aja, emang jalannya udah kayak gitu," ujarnya berusaha menghibur yang mengarah pada ejekan pada Ines.

Well, termaksud kemajuan yang sangat besar ia bisa berada dalam situasi seperti sekarang.

Pada malam pertama ia menumpang di sini, Ines membolehkannya asal ia tidur di sofa. Hito mengiyakanya saja, lalu pada tengah malam ia merengek badannya sakit semua, Ines yang terpaksa meskipun sebenarnya tega-tega saja akhirnya mengijinkannya tidur di satu kasur yang sama.

Namanya juga manusia, dikasih hati mintanya jantung. Tentu saja, Hito melakukan modus-modus lainnya. Dan ia juga berbangga diri, merasa berhasil dapat membuat Ines mengabaikan segala pesan dan telepon dari Andra.

"Mau join nggak?" tanya Hito, ia melerai pelukkanya dan duduk bersandar pada hardboard. Menunjukkan foto yang baru saja dikirimkan Bian kepadanya. Ada Dilla dan juga Ryan yang sudah bersiap untuk menghabiskan malam di sebuah club malam. “Besok kan libur.”

Ines menilik jam dinding yang menunjukan pukul sepuluh malam, ia berpikir sesaat. Sepertinya tidak ada salahnya untuk mencari suasana baru malam ini. “Boleh, deh.”

Kebetulan keduanya sudah membersihkan diri, jadi tinggal berganti baju dan bersiap saja. Hito sedang mengancingkan siku kemejanya saat Ines menayakan letak lipstiknya.

"Aku nggak tahu, Sayang," jawab Hito sabar, untuk kesekian kalinya.

Tubuhnya berjongkok mencari di kolong meja rias juga tempat tidur, barangkali lipstik itu jatuh di sana.

"Nggak mau tahu, pokoknya kamu harus ikut cari. Harus ketemu!" seru Ines. 

“Besok kita beli, ya?”

“Cari dulu.....”

Hito sama sekali tidak risih dengan rengekan Ines, sebaliknya ia malah merasa senang. Ia membiarkan perempuan itu menunjukkan emosinya yang selama ini sering Ines tahan saat sedang bersamanya.

“Nggak ada, Sayang. Besok aku anter deh ke Rumah Sakit, barangkali ketinggalan di loker kamu.”

Ines mendesah, duduk lemas di sofa dengan wajah tertekuk masam. “Mau lipstik aku.”

"Iya boleh." Hito mengelus kepala Ines dan diam-diam mencuri satu kecupan di sana. “Besok ya, janji. Kalau emang nggak ketemu juga, kita beli aja.”

Ines mengangguk pasrah, ia mengikuti langkah Hito yang menuntutnya ke arah pintu. Ia merapatkan jaket bomber yang melingkupi tubuhnya.

Sebenarnya itu jaket milik Hito. tadi sebelum pergi, lelaki itu sudah mewanti-wantinya untuk mengganti pakaiannya yang dirasa terlalu terbuka.

Padahal menurut Ines masih dalam batas sopan untuk dikenakan di kelab malam. Gaun bertali spaghetti yang panjangnya di atas lutut membungkus tubuh rampingnya.

“Mau berapa? Dua, tiga, empat? Kamu mau ngambil yang lainnya juga boleh, Sayang.”

Hito menarik tuas pintu apartemen Ines yang ternyata langsung membuatnya berhadapan dengan masa lalu yang ingin dilenyapkannya segera.

Andra berdiri mematung bersama perempuan yang Hito kenal bernama Desy, teman Ines.

"Ines!" Desy tersekiap, ia menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Menatap Ines dan Hito secara bergantian. “Kok Hito ada di tempat kamu, Nes?”

Ines menaikkan sebelah alisnya, berusaha tetap tenang untuk menutupi keterkejutannya. “Emang kenapa?”

"Mau keluar, Dek?" Andra yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara. Matanya meredup setelah memindahi penampilan Ines malam ini, belum lagi ada tangan yang melingkari pinggang perempuan itu secara posesif.

"Udah, jujur aja kali, Nes," Desy menyahuti, mengibaskan tangannya ke udara. “Nggak capek apa pura-pura terus? Mau sampai kapan kamu mau pakek topeng terus? Kasihan Mas Andra juga kali, Nes.”

Dahi Ines mengerut, begitu pula dengan Hito. "Maksudnya gimana?" tanya Ines kalem.

Bersedekap dada, kepala Desy mendongak angkuh pada Ines. “Mau nyusulin Dilla dugem kan, kamu?”

Ia sudah muak dengan kelakuan Ines yang selalu berlagak sok suci, membuat image polos dan perempuan baik-baik saat berhadapan dengan Andra. Yang jelas sangat jauh dari kebenarannya.

"Ines yang sebenarnya, ya, yang ini, Mas." Desy menunjuk Ines menggunakan jari telunjuknya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Suka berpenampilan terbuka, dan suka dunia malam." Beberapa kali ia memergoki Ines dan Dilla baru kembali dari klub malam hampir menjelang pagi.

"Dan yang lebih parah lagi... dulu jaman kuliah, Ines pernah kerja jadi SPG sekaligus selingkuhan." Desy menggeleng tak habis pikir.

“Kejadian dulu masih belum bisa buat kamu berubah ke arah yang lebih baik ya, Nes? Sekarang mau kamu ulang lagi... dengan orang yang sama? Kalau dulu perkara uang, kali ini mau pakek alasan apalagi kamu?”

Desy menatap Ines merendahkan. "Dasarnya aja kamunya yang gatel, murahan." 

"Ngomong dong, Nes, ngaku! Jangan berlagak jadi korbannya." Desy berdecak. “Tunjukin kayak gimana kamu sebanarnya! Sekelasnya Mas Andra tuh pantes dapetin yang lebih baik dari kamu.”

Kebetulan tadi ia melihat Andra di lobi tower apartemen, lelaki itu mengaku sudah menunggu Ines lebih dari tiga jam di sana, pesannya tidak dibaca, telepon pun tidak diangkat.

Desy yang tak tega akhirnya menawarkan diri untuk mengantarkan Andra menuju unit Ines tinggal. Dan ternyata ada lelaki lain di sana.

Jelas itu tidak adil untuk Andra. Harusnya Ines melepasnya, bukan malah memberi harapan semu pada Andra.

"Kamu tahu, Mas?' Desy menarik sebelah sudut bibirnya, lalu tatapannya berubah menjadi raut iba. "Kalau Ines udah nggak virgin?" 

"Des!" Andra memperingatkan, apa yang Desy ucapkan itu terlalu keterlaluan.

"Apa yang aku omongin emang kebenarannya kok." Desy membuang muka. “Mas Andra harus tahu itu, pikirin lagi, apa bener Ines pantes buat diperjuangin? Liat sendiri aja kelakuan dia sekarang kayak gimana. Apa pantes cowok cewek keluar dari kamar apartemen cuma berdua dijam segini? Yakali nggak ngapa-ngapain.”

Hito makin mengeratkan tubuh Ines dalam dekapannya. Jika saja Ines tidak menahannya, sudah ia pastikan mulut perempuan di depannya ini tidak akan pernah bisa tertutup kembali.

Ines mengerjapkan matanya dua kali. "Nggak kok, kita cuma tidur bareng aja," jawabnya santai.

"Nes!" Desy terkesiap, ia menatap Ines dengan mata membelalak lebar. "Sadar! Dulu kamu cuma dijadiin simpenan dia, kamu cuma dipakek doang sama dia." Tunjuknya pada Hito, tanpa memedulikan tatapan marah lelaki itu padanya.

Biar bagaimana pun ia pernah berteman lama dengan Ines, sekesal-kelasnya ia, tetap saja ada perasaan tak terima jika Ines kembali masuk ke dalam permainan Hito.

Sekali lagi Ines mengerjab dua kali sebelum menjawab. "Nggak kok, aku dibayar," ucapnya dengan ekspresi lugu.

Bibir Hito berkedut, berusaha mengulum senyum puasnya. Jawaban Ines terdengar seadanya, sangat Ines sekali memang. Tapi mampu membuat yang mendengarnya jadi bingung. Ines mengatakan kejujuran atau hanya sekedar menanggapi dengan balasan yang mendukung ucapan mereka alih-alih membantah.

Kali ini Ines tersenyum kecil ke Andra, ia mengedikkan kedua bahunya ringan. "Percaya nggak percaya, aku memang kayak gitu, Mas," akunya.

Dirasa cukup, Ines segara mengajak Hito pergi. Ia berpamitan singkat pada Andra yang masih termangu dan Desy yang memandangnya dengan ekspresi tak terbaca.

'Kamu nggak apa-apa?" tanya Hito begitu pintu lift tertutup.

"Fine," Ines menyahut cepat.

Yah, sudah tak ada yang perlu ia khawatirkan. Tidak ada yang salah dengan apa yang Desy katakan, karena itu memang kebenarannya.

Hanya saja, ada sedikit kecewa yang menyerang hatinya, hingga menimbulkan sengatan nyeri. Harus ya, Desy membongkar seluruh aib dan mempermalukannya seperti itu? Haruskah Desy menjelek-jelekannya agar Andra dapat lebih melihat kepadanya?

Ines menunjukan layar ponselnya pada Hito. Salah satu dari sekian alasan ia menghindari Andra. 

Tidak hanya Hito yang menyita waktunya, tapi memang Ines yang sudah bertekad jauh-jauh hari menjauhi Andra. Toh, meski mereka tergolong sangat dekat, tapi Andra tak pernah memberinya kejelasan. 

Ines mengapit lengan Hito, menyandarkan kepalanya pada bahu dan menumpuhkan beban tubuhnya pada Hito, yang pasti disambut dengan terbuka lebar oleh Hito.

"Masih mau nyusulin yang lain?" tanya Hito hati-hati.

“Kalau nggak jadi, nggak apa-apa?”

"Kita jalan-jalan aja ya, keliling Surabaya?" Hito tersenyum hangat.

Meski bibir kecil perempuan itu berucap baik-baik saja, Hito dapat melihat getar pilu dari bayangan air mata yang nampak jelas dari tatapannya. "Take your time, Sayang," bisiknya menenangkan.

*******

Bab 41

Double kill, rasanya dalam durasi waktu 1 jam saja Hito sudah mendapat serangan jantung dua kali.

Yang pertama, pada jam makan siang tadi niatnya ingin memastikan kondisi Ines sekaligus membawakan makan siang. Ines sedang ijin tidak bekerja karena mengeluhkan nyeri diperutnya.

Ines selalu menolak keras saat Hito mengajaknya periksa ke Rumah Sakit dan meyakinkannya bahwa itu wajar, karena sudah mendekati waktu datang bulan. Hito mengalah, akhirnya ia pun pergi bekerja seperti biasa. 

Namun, saat membuka pintu apartemen, ia malah mendapati Ines meringkuk di atas tempat tidur. Tangannya meremas dan menekan makin dalam bagian perut kanan bawah. Suaranya mencicit merintih sarat akan kesakitan. Bulir-bulir keringat dingin bercucuran dari dahi menuruni pelipis Ines.

Dan yang kedua, saat dokter mengatakan Ines terkena radang usus buntu yang membutuhkan operasi sesegera mungkin. Oksigen yang semula dihirup Hito mendadak lenyap seketika.

Meskipun dokter mengatakan usus buntu tidak memiliki fungsi khusus dalam sistem tubuh sehingga tidak berdampak apa pun terhadap kehidupan pasien bila diangkat. Tapi rasanya Hito tetap saja Hito was-was.

"Iya, Ma. Ini kalau nggak kepaksa karena harus ngurus administrasinya, aku juga nggak bakal ninggalin Ines sendirian," ucap Hito pada sambungan telepon bersama Belinda. Tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini dari Belinda.

Ia baru saja menandatangani surat persetujuan operasi sebagai wali pasien dan juga melunasi biayanya.

"Nanti operasinya nunggu hasil pemeriksaannya keluar, Ma," tandasnya. Menjelaskan dengan sabar pada mamanya yang suaranya sudah terdengar bergetar panik bercampur khawatir.

"Iya, Ma. Aku tunggu. Mama hati-hati." Sambungan telepon terputus, Hito memasukkan ponselnya ke dalam saku celana kainnya. Kakinya melangkah cepat setengah berlari kecil melewati lorong Rumah Sakit menuju ruangan gawat darurat.

Seperti yang dikatakan pada sang mama. Ia tidak ingin meninggalkan Ines terlalu lama.

Hito menarik napas panjang dan membuangnya perlahan meredam gusar. Bibirnya tertarik membuat senyum tipis sembari menyingkap tirai yang mengelilingi ranjang Ines.

"Hai...," sapanya serak pada Ines yang terbaring lemah. Punggung tangan kirinya terdapat infus, Ines juga diberi alat bantu pernapasan dan pereda nyeri. Jadi perempuan itu jauh lebih tenang dari sebelumnya.

"Gugup, ya?" Hito menarik kursi tunggu lalu mendudukinya. Tangannya terulur merapikan anak rambut yang menutupi sedikit wajah Ines.

"Iya," ungkap Ines jujur. Suaranya mencicit.

Yang saat ini dihadapan Hito bukan lagi Ines yang keras, yang akan mendengkus jika ia berusaha modus, yang akan membalas perkataannya dengan ketus jika ia mulai menunjukkan sifat otoriter, yang akan memutar bola matanya jika ia goda.

Tapi yang dihadapannya sekarang adalah Ines yang rapuh. Rela menghempas gengsi, menerima segala yang Hito berikan tanpa memprotes demi dapat bertahan.

Dan itu semua membuat Hito tak tega. Ia ingin Ines bergantung padanya, tapi tidak dengan cara seperti ini.

"Ada aku.... " Hito tersenyum hangat, 

Ia menggenggam tangan Ines yang bebas. “Selama kamu nurut sama aku, semua pasti baik-baik aja.”

Terdengar sangat menyebalkan pasti, tapi hanya ini yang bisa Hito lakukan, mencoba berkelar untuk mengurai ketakutan Ines, yang sebenarnya ketakutannya juga.

Berhasil, Ines memperlihatkan mode lelahnya, mendengkus kemudian terkekeh lemah tanpa suara dan membalas tautan tangan mereka.

"Makasih udah mau aku repotin," kata Ines lirih.

Hatinya bergetar karena rasa bersalah. Mengingat selama ini ia selalu mendorong Hito pergi, namun lelaki itu masih saja peduli padanya, sangat.

Hito menggeleng. "Kamu sama sekali nggak ngerepotin." Ia mengeratkan genggaman tangan mereka, mengelus punggung tangan Ines menggunakan ibu jarinya dengan gerakan konstan.

"Kamu tahu Ines?" Hito menjeda, ia tersenyum penuh perasaan selagi matanya menatap Ines lamat-lamat. “Tugas kamu cukup menangin hati aku. Selanjutnya, biar aku... aku yang bakal jadi perisai kamu, dan aku akan selalu ada buat kamu.”

“Terimakasih, teman....”

Bibir Ines berkedut menahan geli, bukannya Hito sendiri yang mengajaknya berteman di awal pertemuan mereka kembali?! Lantas kenapa lelaki itu nampak sewot sekarang?

"Teman hidup!" decak Hito, lalu melepas tautan tangan mereka, kemudian berpindah ke atas perut Ines yang datar. “Di sini, kan, ada anak aku. Jadi kamu harus tanggung jawab dengan nikah sama aku.”

Tepisan tangan Ines terlalu lemah membuat tangan Hito tetap bertahan di sana.

"Nggak usah ngada-ngada, deh," Ines berujar pelan setangah berbisik. “Bibit dari kamu nggak ada yang menang lomba.”

"Tinggal disebar lagi aja, sampai jadi!" tegas Hito sampai Ines merinding dibuatnya.

"Aku masih inget semuanya kok." Jari telunjuk Hito meraba, membentuk bentuk abstrak mengelilingi perut Ines lalu turun ke bagian pinggang, memberi remasan lembut di sana. 

"Bentuknya... caranya...." Hito menyeringai, pandangan mata memindai keseluruh tubuh Ines dari atas sampai bawah dengan perlahan, sangat perlahan. 

Ines ingin sekali menampol Hito, tapi sayangnya gerak tubuhnya sedang terbatas. Jadi ia hanya bisa menggeram tertahan setengah merengek. “Aku ini pasien lho, To.”

“Ya, terus?”

“Ya, kamu jangan curi kesempatan gitu dong!”

"Makanya nikah sama aku, janji deh nggak gitu lagi." Kedua tangan Hito bertumpuh pada ranjang pasien, matanya tidak lepas dari wajah sayu Ines.

“Ngotot banget sih ngajak nikah. Emang punya duit berapa? Kalau cuma segitu-segitu aja, mending mundur deh.”

Seringai Hito makin melebar. Sedikit tenang karena Ines sudah tidak setegang tadi dan larut dalam obrolan candaan, yang sebenarnya serius bagi Hito. “Ngeremehin aku kamu?”

"Serem banget omongan orang berduit." Ines menaikan kedua bahunya santai. Tidak memikirkan lebih lanjut. "Kamu beneran belum move on dari hubungan kita yang lalu? Cuma karena itu?" Ines bertanya heran.

Hito bergeming dan Ines melanjutkan. "Palingan juga kamu cuma sekedar penasaran aja sama aku. Hubungan nggak jelas kita dulu juga nggak sampai setahun deh perasaan." Ines berdehem, kerongkongannya terasa kering. "Coba kamu lihat lagi isi hati kamu, mungkin ada yang salah." 

Hito menggeleng tegas. "Hubungan kita dulu emang nggak sampai setahun, tapi sekarang kita bisa jadiin itu selamanya," tuturnya tenang, namun sarat akan keseriusan.

“Gimana menderitanya aku waktu kita pisah, itu udah bukti nyata yang nunjukin sedalem apa rasa aku ke kamu dan aku nggak pernah ragu atas perasaan aku ke kamu.”

Mulut Ines terbuka, lalu tertutup kembali, terbuka lagi, dan lagi-lagi tertutup. Ia kehilangan kata-katanya.

"Kamu nggak harus jawab sekarang." Hito mengelus pipi Ines. Ia berdiri kemudian membungkuk untuk mencium pelipis Ines.

"Tapi kamu juga nggak bakal punya banyak waktu buat nolak. Sia-sia." posisi Hito tidak berubah, satu tangannya bertumpuh pada ranjang pasien, dan satunya lagi mengangkat ponselnya tinggi agar ia dan Ines masuk ke dalam layar.

"Nggak cuma aku yang nggak bisa melepas kamu, tapi mama juga," ucapnya sebelum menjawab vidio call dari Belinda, yang pasti masih heboh menanyakan seputar kondisi Ines. 

"Kamu tetep egois, Hito. Kamu selalu semaumu, tanpa peduli gimana perasaan aku," lirih Ines senduh yang mampu membuat Hito membisu. 

**********

Bab 42

 

Sebelum masuk ke ruang operasi Ines berpesan pada Hito untuk menghubungi keluarganya. Tanpa pikir panjang Hito langsung mengiyakan.

Hito mendapatkan kesempatannya lagi. Bisa mengenalkan diri dan mengenal orangtua Ines, pikirnya.

Ia berdehem sesaat, sebelum menaruh ponsel Ines di telinganya. Telepon pertama, kedua, ketiga dan kesekian kalinya masih belum ada jawaban dari ujung sana.

Hito tidak menyerah, ia tetap menelepon nomor ayah Ines untuk kelima belas kalinya. Hito akan meneror nomor itu sampai tersambung.

Bagaimanapun juga, orangtua Ines patut tahu kabar putrinya. Dan Ines sebagai seorang anak pasti ingin lebih diperhatikan oleh keluarganya. Hito mengerti perasaan itu, karena ia juga selalu mencari, sampai mengigaukan Belinda disaat sedang sakit.

Ayah.
Kenapa? Ayah lagi kerja.

Hito membacanya pesan itu, kemudian ia berusaha menelepon nomor Jatmiko lagi, dan lagi.

Ayah.
Nanti saja nunggu ayah pulang kerja.

Dahi Hito menyerngit. Kesan pertama yang ia tangkap dari pesan singkat itu adalah terlalu formal untuk ukuran ayah dan anak. Atau memang Jatmiko orang yang kaku lantas Ines menjadi segan?!

Tapi jika seorang anak menelepon terus-menerus, bukankah seharusnya sebagai orangtua sadar ada yang tidak beres?

Ines.
Selamat siang, om. Bisa kita ngobrol sebentar tentang Ines?
Ayah.
Kamu temannya?
Penting sekali? Harus sekarang?
Saya sedang bekerja

Ini sebenarnya Jatmiko yang menolak ingin tahu atau ia sendiri yang terlalu berputar-putar tidak langsung to the point. Tapi memberi kabar lewat pesan, rasanya kurang baik.

Hito menekan icon telepon pada layar pojok kanan isi percakapan mereka. Hingga dering keenam Jatmiko baru mengangkatnya.

"Siang, Om, saya Hito." Ia kembali memperkenalkan diri berusaha penuh percaya diri.

"Ya?" Suara khas bapak-bapak menyahuti dari seberang panggilan.

“Saya mau ngasih kabar, kalau Ines sekarang sedang menjalani operasi karena peradangan usus buntu.”

“Lalu bagaimana?”

“Semoga semua baik-baik saja. Dokter di sini juga pasti berusaha sangat keras.”

“Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?”

Seringan itukah? Namun Hito tetap mengangguk meski tahu Jatmiko tidak dapat melihatnya. “Jadi... Kira-kira kapan Om bisa datang ke sini?”

“Untuk apa?”

"Ya?" tanya Hito linglung.

"Untuk apa saya ke sana?" Jatmiko mengulang pertanyaannya kembali.

Hito tercengang lama, otaknya seakan mendadak tumpul. Tidak seharusnya itu keluar dari mulut seorang ayah yanga anaknya sedang berjuang di atas meja operasi.

"Memastikan kondisi, Ines?" Hito balik bertanya yakin setelah berhasil menguasai diri.

"Sepertinya tidak perlu." Jatmiko menghela napas panjang. “Setahu saya operasi usus buntu tergolong ringan, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk kembali pulih.”

Benar, memang adanya seperti itu. Tapi pernyataan itu terdengar menyakitkan bagi Hito yang sekedar orang luar. Ia tidak dapat membayangkan akan sehancur apa Ines bila mengetahuinya.

"Ines anak yang kuat," Jatmiko kembali berucap atas keterdiaman Hito. “Dia pasti bisa mengatasinya sendiri. Terima kasih sudah mengubungi saya, jika tidak keberatan sampaikan salam saya pada Ines, semoga lekas membaik.”

Jatmiko langsung menutup sambungan telepon, dan satu makian meluncur begitu saja dari mulut Hito. "BERENGSEK!" Ia masih tidak habis pikir.

Hito tidak membiarkan ponsel Ines meredup, ia menggulir layar, membaca dengan seksama setiap pesan Ines dan Jatmiko. Tidak banyak, tapi yang bikin Hito terpanah, Ines sama sekali tidak menghapus chatnya dari 2017.

17 April 2018

Ines.
Ayah, AKU LULUS! Yeah!
Lega banget rasanya...... 

18 April 2018

Ayah.
Selamat
Ines.
Ayah dateng ya ke wisuda aku.
Ayah nggak perlu khawatirin masalah biaya, nanti aku yang siapin. 

 

20 April 2018

Ayah.
Kapan? 
Ines.
Masih 2-3 bulan lagi :)

Pada hari-hari berikutnya hanya melihatkan beberapa telepon tak terjawab dari Jatmiko. Lalu chat Ines yang memberikan bukti transfer 4 kali dalam satu bulan. Hito sudah tidak dapat melihat berapa jumlah nominalnya, karena sepertinya Ines sudah menghapus tangkapan layarnya.

2 Juni 2018

Ines.
Ayah
Aku lagi nggak enak badan.
Demam

 

9 Juni 2018

Ayah.
Beli obat di apotik
Ines.
Sudah baikan kok :)
Makasih, Ayah 🖤

Hito berdecak, mending-mending senyum dan lambang hati itu dikirimkan kepadanya, daripada ke Jatmiko yang nampak tidak peduli sama sekali. Membuat Ines terlihat menyedihkan seperti mengemis perhatian ayahnya sendiri. 

16 Juli 2018

Ines.
[Send undangan wisuda untuk wali]
Ayah.
👍

17 Juli 2018

Ines. 
Ayah jangan lupa ya, tgl 20 aku wisuda
Sudah aku transfer
Penginapan juga udah siap

 

18 Juli 2018

Ines.
Ayah, gimana kalau berangkat tgl. 19 aja, biar nenek juga nggak kecapean.
Ines.
[Send bukti transfer] 
Tambahan uang buat tiket kereta + rental mobil selama di Solo.
Ines.
Ayah?
Jatmiko.
Ayah tanya nenek dulu
Ines.
Iyaa gpp
Senyamannya kalian aja :)

19 Juli 2018

Ines.
Ayah
Gimana?

20 Juli 2018

Ines.
Ayah hari ini aku wisuda
Kalian nggak bisa dateng ya?
Ines.
Lagi sibuk ayah?
Telepon boleh? 
Ines.
Aku masuk aula dulu ayah :)
Ines.
[Send foto menggunakan toga kebaya seorang diri, memeluk beberapa buket bunga] 

Hito memperbesar foto Ines, mengelusnya pelan. Perempuan itu nampak menawan dalam balutan kebaya sederhana, namun tak meninggalkan kesan elegannya.

Ines.
Acaranya udah selesai.
Aku seneng banget, tapi tetap aja rasanya ada yang kurang.
Tapi gpp.asal kalian tetap sehat disana.

Satu pesan yang membuat Hito speechless. Dengan membacanya saja, ia dapat ikut merasakan betapa terpukulnya Ines. Ia membayangkan perempuan itu mengetik sambil bercucuran air mata, namun ia paksa bibirnya mengukir tawa.

Kepiluan menyanyat dada Hito, sesak rasanya membayangkan hal itu.

Ines.
Anak ayah cantikkan difoto tadi?
Hehe.
Aku harap dengan ini, bisa buat ayah sedikit bangga sama aku.
Ayah.
Ya

Punggung kokoh itu merunduk, kedua sikunya bertumpuh pada paha kakinya, kedua tangannya meremas keras ponsel Ines. Sebenarnya hidup macam apa yang Ines jalani selama ini?

Beberapa kali lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Sudah lebih dari setengah jam ia di sini, duduk pada kursi tunggu yang panjang nan dingin.

Tidak banyak yang dapat ia lakukan sekarang. Ia hanya bisa berdoa demi kelancaran operasi Ines. Persetan dengan semua anggota keluarga Ines yang bangsat semua.

"Dek!" seru Belinda. Ia berjalan terburu-buru menghampiri sang putra yang nampak tenang diluar, tapi pasti sangat terpukul dalamnya. “Gimana kondisi, Ines?”

Hito menggeleng samar. “Ines masih di dalem.”

"Ya ampun." Belinda mendesah. “Tapi Ines bakal baik-baik aja, kan, Dek?”

"Ines pasti baik-baik aja, Ma." Tangan Hito terulur melewati sepanjang bahu dan mengelus lembut lengan Belinda guna menyalurkan ketenangan beserta kekuatan yang sebenarnya untuk menguatkan hatinya sendiri. 

"Dia harus baik-baik aja!" tekan Hito.

Auxy berjalan sedikit tertatih karena faktor kehamilannya yang semakin membesar. Ia menepuk bahu Hito dua kali, lalu tersenyum sebelum mengambil duduk di sebelah Belinda.

Hito menyisir rambutnya menggunakan jari, bersandar pada dinginnya tembok rumah sakit. Melirik sekilas pada Belinda dan Auxy yang saat ini sedang berpelukan.

Dua puluh menit kemudian lampu indikator operasi mati, pintu terbuka menampilkan beberapa petugas medis keluar dari ruangan.

Dokter yang bertanggung jawab atas operasi Ines berdiri di depannya. Tersenyum sambil mengangguk membuat Hito membuang napas lega. 

"Saudari Ines masih berada di ruangan recovery ya, mungkin sekitar 2 jam. Kita pantau dulu pasca operasi," terang sang Dokter.

Kendati semua sudah direncanakan dengan sangat baik sesuai dengan standar, tetapi yang perlu ditegaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa sekecil apapun dalam sebuah tindakan medis tidak ada yang tak mengandung risiko. Karena itu sebelum operasi dilakukan seorang dokter harus memberikan inform consent atau penjelasan yang cukup kepada pasien atau keluarganya tentang hal-hal tersebut.

“Baik, terimakasih, Dok.”

“Sama-sama. Tetap berdoa yang terbaik, ya, Pak. Saya permisi dulu.”

Selepas Dokter berlalu, Hito mendongak mengucap banyak syukur. Ikut tersenyum kecil saat Belinda dan Auxy tersenyum lega ke arahnya.

Merasa terus ada yang memperhatikan dari sudut lain, Hito menoleh ke belakang, mengarah pada lorong penghubung antar ruangan. Tapi ia tidak mendapati siapapun di sana.

*****

43. Ending

Pukul 7 lewat sepuluh menit, Hito baru tiba di koridor Rumah Sakit. Satu tangannya menggeret koper berukuran sedang berisi keperluannya dan Ines, sebelahnya lagi menenteng tas kerjanya beserta kantong berlogo Genki Sushi.

Setelah memastikan tidak ada resiko komplikasi pasca operasi, Hito kembali ke kantornya. Ia tidak bisa mangkir dari pekerjaannya begitu saja, ada laporan khusus yang harus ia selesaikan bersama timnya.

Ia juga tidak tidak perlu khawatir sebab ada mamanya yang sigap membantunya menjaga Ines untuk sementara.

Riuh suara canda tawa yang didominasi oleh suara Mamanya, Auxy dan Dilla menyambut kedatangannya. Ia meletakkan semua barang bawaannya di dekat meja. Kemudian mendekati Ines.

"Hai, Sayang. Gimana?" Hito mencuri satu kecupan di dahinya Ines, baru setelahnya memberi jarak dua langkah mundur ke belakang, sebab ia sadar banyak debu dan kotoran menempel di tubuhnya setelah seharian bekerja.

Diam-diam Hito menyeringai dengan ulahnya barusan. Saat normal pasti Ines tak akan segan mengamuk padanya, sayangnya sekarang perempuan itu hanya bisa berpasrah diri. Jadi Hito bisa leluasa bergerak semaunya.

"Ines aman kok sama Mama," Belinda menyahuti.

"Sekarang kan udah ada Hito." Auxy bangkit berdiri. “Kita pulang yuk, Ma. Kasihan Ines kalau mama kelamaan di sini. Bisa-bisa luka jahitannya kebuka gara-gara mama ajakin becanda terus.”

"Mama kan cuma pengen bikin Ines seneng." Belinda membela diri, lalu menatap ke arah Ines dengan binar hangat. “Kamu nyaman, kan, Ines sama Mama?”

Ines mengangguk. Belinda seorang ibu-ibu kekinian yang asyik, meski sedikit cerewet. Bukan dalam hal negatif, tapi mengarah pada kepedulian, tidak membeda-bedakan.

Belinda selayaknya leader bagi penggila fashion seperti Auxy dan Dilla. Ines tidak berperan banyak dalam percakapan, akibat efek obat bius membuatnya kerap mengantuk. Tapi entah kenapa, suara bising mereka mampu membuatnya tenang.

"Bagus." Belinda tersenyum. “Sebentar lagi kamu kan jadi menantu Mama, jadi anak Mama. Udah seharusnya kamu menganggap Mama ini seperti ibu kandung kamu sendiri, jadi nggak boleh sungkan.”

Ines mengangguk sekali lagi, ia yakin matanya sudah memerah sekarang. Saat terlalu nyaman dan hanyut dalam peran, Ines sering lupa dimana posisi dirinya sebenarnya.

"Yaudah, besok kalau mau makan apapun bilang Mama, ya, Sayang." Belinda mengelus rambut Ines lalu berpamitan bersama Auxy.

"Aku juga balik dulu, ya, Nes. Koko udah jemput." Dilla berdecak sambil membenahi penampilannya. “Takut kehilangan, ngekor terus.”

Ines tak lupa mengucapkan terimakasih sebelum ketiganya keluar ruangan.

Hito mengurungkan niatnya menutup pintu, ia menoleh pada Ines yang juga sedang menatapnya.

"Tunggu sebentar, ya?" Tanpa menunggu jawaban Ines, Hito lebih dulu menutup pintunya, ia ingin memastikan sesuatu.

Seperti perkiraannya, begitu ia menghilang di belokan lorong, orang yang mengenakan pakaian biasa dan penutup kepala hoodie itu berjalan ke arah ruang rawat Ines dan berusaha membidikan kamera ponselnya.

Kejadian ini persis seperti empat tahun silam saat ia dan Ines berada di IGD Rumah Sakit Jogjakarta. Orang itu akan selalu mengikuti Ines, bukan mengintai dirinya.

Hito mengendap, membiarkan orang itu menyelesaikan keperluannya. Baru setelah orang misterius itu berbalik badan, Hito menarik kerah bajunya kemudian menyeretnya ke belakang pintu tangga darurat.

Rahang Hito mengetat. Ia menekan leher orang itu hingga punggungnya menabrak dinding. "Siapa?" tekannya.

Keterdiaman orang itu semakin memancing emosi Hito. “Jawab gue, Keparat! Siapa yang udah bayar lo?”

Orang yang lebih pendek dari Hito mengangkat kedua tangannya, tidak ada raut ketakutan di matanya, meski napasnya terdengar tercekat.

“Dia nyuruh lo apa?”

“Gue punya bukti-bukti kuat buat jeblosin lo ke penjara. Kalau emang lo maunya itu!”

"Sa—" 

Hito yang sudah tak sabar merampas ponsel lelaki misterius itu. Baru akan membuka sandi, ponsel itu bergetar, telepon masuk bernama "Klient".

"Angkat saja, tidak apa-apa," Suara medok khas Jawa timur membuat Hidung Hito menyerngit, alisnya menyatu sempurna.

"Anda akan mengerti setelahnya, saya tidak bermaksud buruk," lanjutnya.

***

"Dari mana?" tanya Ines begitu Hito masuk dan menutup pintu ruangannya.

“Kenapa, kangen, ya?”

Ines memutar bola matanya jengah. Matanya mengikuti pergerakan Hito yang mengeluarkan beberapa botol air minum dan meletakkannya di dalam kulkas.

"Kamu istirahat dulu aja ya," kata Hito tanpa menoleh, nampak sibuk sendiri.

Setengah jam kemudian Hito muncul dari pintu kamar mandi, lelaki itu mengenakan training panjang hitam dan kaos putih tipis. Rambutnya yang basah ia gosok menggunakan handuk kecil.

Ia mangatur kursi dan meja agar lebih dekat dengan ranjang Ines. Memakan makan malamnya dengan tenang, selagi menunggu laptopnya menyala. Di sebelahnya sudah ada beberapa lembar berkas.

post-image-67aab01149e4f.jpg

 

Ruangan berukuran 4x5 itu hening, televisi juga sudah Ines matikan sedari tadi. Tapi Ia masih belum bisa tidur, ada yang ingin ia tanyakan pada Hito, jadi ia menunggu hingga lelaki itu luang.

"Hito," panggil Ines pelan.

“Lho, belum tidur?”

“Belum.”

"Sebentar,ya ...." Hito menggantung handuknya di kamar mandi, baru setelahnya berdiri di samping Ines. Memastikan aliran infusnya lancar, juga membenahi selimut Ines.

“Nggak bisa tidur? Ada yang sakit?”

Ines menggeleng. Ia meringis saat mengubah posisinya yang sebelumnya berbaring menjadi menyamping, agar lebih leluasa menatap Hito.

"Pelan," kata Hito mengingatkan.

“Kamu... udah hubungi ayah aku?”

“Udah.”

Ines ragu, tapi ia juga penasaran. “Ayah aku... bilang mau dateng?”

"Ayah kamu percayain kamu ke aku. Hito mengusap pipinya lembut. “Berarti aku udah dapet lampu hijau, kan?”

Namun sayangnya Ines sedang tidak mood bercanda. Perempuan itu tersenyum getir. “Nggak bisa, ya?”

"Heiii, Sayang... beberapa orang nggak bisa ninggalin kerjaannya, bukan karena nggak peduli, tapi memang nggak bisa aja," Hito mencoba memberi pengertian yang mungkin sebenarnya sia-sia karena Ines yang lebih tahu peringai ayahnya. “Kayak aku tadi nggak bisa jagain kamu terus dan terpaksa minta tolong Mama.”

Hito mulai mencari topik pembahasan lain, meski awalnya Ines merespon seadanya, namun akhirnya perempuan itu tertawa arus yang Hito ciptakan. Mereka bertukar obrolan selagi ia menghabiskan makan malamnya.

Suara nada dering menginterupsi, Hito mengambil ponsel Ines yang sedari tadi tersimpan di dalam nakas yang disambut Ines dengan binar riang.

“Hallo, Ayah.”

Entah kenapa Hito merasa was-was. Ia segera menyelesaikan suapan terakhirnya, lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia tidak ingin kecolongon isi percakapan mereka.

Dan benar saja, apa yang ia takutkan terjadi. Wajah Ines yang beberapa saat lalu bersahabat, berubah menjadi keruh.

“Iya, nanti aku transfer uangnya. Selamat ya buat Kafka.”

Suara Ines terdengar sangat ringan, tapi matanya menampakan sebaliknya, mata bening itu meredup, selanjutnya beberapa tetes air mata mengalir di pipinya.

“Mau cerita?”

"Aku nggak apa-apa, tidur dulu, ya." Ines bergerak membelakangi Hito.

Hati Hito teriris saat melihat wajah sendu dipadu dengan bekas air mata yang sempat dihapus oleh Ines. Punggung kurus itu bergerak naik turun, ada suara isak yang berusaha Ines redam. Seberat itukah hidup Ines? Dulu meski ingin bertanya, Hito memutuskan untuk memperhatikan saja, tapi tidak untuk kali ini.

“Want me to hug you?”

"Kamu pikir ngasih pelukan bakal membuatku merasa lebih baik begitu saja?" Ines berteriak marah.

Namun Hito menanggapinya dengan santai, “Kalau pelukan nggak cukup, aku bisa ngasih kamu lebih dari itu. Kepuasan?”

Tak ingin Ines keluar dari jangkauannya lagi, Hito menaiki ranjang pasien, masuk ke dalam selimut yang sama dan memeluk Ines dari belakang. Semakin mengeratkan pelukannya saat Ines memberontak, meraung minta di lepaskan.

Hito diam, membiarkan Ines menata hatinya sendiri. Tapi pelukan hangat Hito berhasil membuat tangis Ines makin pecah.

Ia sudah membatukan hatinya akan tetap baik-baik saja meski keluarganya tak pernah menganggapnya ada. Tapi sebagaimana pun ia mencoba bertahan, tetap saja ada sekelumit rindu yang terbesit di sana. Namun lagi-lagi hanya kecewa yang Ines dapat. Hatinya merapuh merana dalam nelangsa yang panjang.

"Aku pengen benci mereka, nggak peduli sama mereka, tapi aku nggak bisa," ucapan Ines tersenggal tangisnya. Bahkan rasa sakit bekas operasinya tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit di dadanya. “Biar bagaimanapun, mereka keluarga aku.”

"Tapi... Dia jahat, Hito!" tunjuk Ines yang mengarah pada Jatmiko. “Dia bahkan nggak nanyain gimana keadaan aku. Dia nggak peduli gimana kondisi aku. Disaat aku lagi kayak gini, dia telepon cuma minta uang 35 juta buat biaya Kafka masuk angkatan.”

Ines menumpahkan semua penderitaannya yang dipikulnya kepada Hito. Mengocehkan rasa sakitnya yang selama ini ia pendam seorang diri.

“Kamu berhak marah, mereka pantas dapat makian dari kamu!”

Perlahan Hito membalik tubuh Ines hingga masuk ke dalam pelukannya.

"Aku udah bilang, aku akan selalu ada buat kamu, aku akan melindungi kamu? Jangan pernah lupakan itu, Ines," gumam Hito rendah.

"Marry me, Ines." pinta Hito penuh kesungguhan. “Selain aku ingin melindungi kamu, biar aku juga ada alasan buat ngehabisin mereka.”

Ines makin meringsek maju, kepalanya mengangguk. “Bawa aku pergi Hito, aku udah capek....”

Hito tahu ini egosi namanya, memanfaatkan kelemahan Ines demi mendapatkannya.

Ia bahagia akan kesediaan Ines bersamanya, tanpa mau memikirkan versi Ines yang hancur, karena bukan dirinya yang diinginkan.

Tapi Hito sudah tidak dapat menahannya. Ia tidak akan sanggup melihat Ines Iebih terpuruk lebih dari ini.

"I'll always stay here with you," Hito menunduk untuk mencium puncak kepala Ines, satu tangannya sebagai bantal kepala, dan satu lagi melingkari pinggang ramping Ines. “I love you, you're still the one I run to.”

Hito memanggut bibir pucat Ines, hingga mata perempuan itu terpejam, lelah dalam tangisnya sendiri.

•End•

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Fight For Happiness [ Extra Part 1 ]
3
0
“Minimal, sekali seumur hidup lo harus ngerasain di posesifin cowok ganteng, royal, fast respon, manjain, tapi ternyata lo selingkuhannya.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan