
“Minimal, sekali seumur hidup lo harus ngerasain di posesifin cowok ganteng, royal, fast respon, manjain, tapi ternyata lo selingkuhannya.”
Bab 31
Bian duduk di kursi belakang sambil cemberut, sedangkan di sebelah kursi pengemudi ada Ryan yang tak berhenti menggerutu dan mengumpati Hito karena telah mengganggu Sabtunya-- yang biasanya dipergunakan untuk bersantai dan bangun saat matahari akan tenggelam, kini hanya bisa perpasrah mengikuti kemanapun Hito membawanya siang ini.
Wajah kusut dan mata panda keduanya kontras sekali dengan Hito yang nampak cerah dan segar.
"Emang pada mau kemana pagi-pagi gini?" tanya Dilla begitu masuk ke dalam mobil Hito.
Penampilannya siang ini selaras sekali dengan Ryan dan Bian, sebab selepas pulang kantor ketiganya menghabiskan waktu dalam hingar-bingar gemerlap dunia malam hingga dini hari untuk melepas penat.
"Ngantuk banget, Asyu!" terangnya sambil menguap. Ia terpaksa bangun akibat ulah Bian yang terus-menerus menerornya lewat telepon, memaksanya untuk segera turun karena sudah menunggunya di lobi.
"Udah siang ini, anak perawan nggak baik telat bangun," tutur Bian yang dibalas Dilla dengan dengusan masa bodoh.
"Daripada nggak bangun lagi." Dilla mengedikkan bahunya santai. “Untung gue bukan perawan, nggak perlulah ngikutin apa kata orang jaman dulu.”
"Goblok!" Bian menoyor gemas dahi Dilla lalu keduanya terbahak bersamaan.
Hito yang duduk di belakang kemudi ikut terkekeh kecil sembari memutar kepalanya. “Ines mana?”
“Kerjalah. Emang lo nggak hubungi dia?”
Hito menggeleng singkat. Ia memang sudah mengantongi nomor ponsel Ines, tapi menahan untuk tidak menghubungi perempuan itu lebih dulu. Ia ingin membuat Ines senyaman mungkin berada di sekitarnya, seakan kedekatan mereka mengalir begitu saja, tanpa dirinya terlihat terburu-buru dan agresif.
Yah, meski harus mengorbankan para teman-temannya ini.
Tak mengapa, sebab cintanya pada Ines sudah membabi buta.
"Pulang jam brapa dia kalo Sabtu?" tanya Hito.
“Gue tanya dulu ke anaknya.”
Selagi menunggu Dilla menghubungi Ines, Hito menjalankan mobilnya menuju tempat praktek Ines. Jalanan padat Surabaya membuat jarak yang dekat tetap membutuhkan waktu lama untuk tiba di sana.
Setelah mengirim pesan pada Ines, Dilla menoleh pada Bian yang duduk di sebelahnya. “Kamu belum mandi? Lusuh gitu.”
Bian yang sebelumnya menyandar pada jendela mobil, menegakkan duduknya lalu memandang Dilla sinis. “Bacot lo, Bebs! Wangi plus ganteng maximal gini lo kata belum mandi.”
"Salah muka kamu berarti, kenapa masih keliatan kusut kayak gitu," sahut Dilla santai, tangannya kini sibuk memoles wajahnya dengan make up tipis yang tak sempat disematkannya.
"Bagi dong!" Tangan Bian menengadah meminta Lip Balm yang sepertinya pernah membuat bibir Dilla berasa seperti buah saat ia menyecapnya.
"Mau dari sini." Dilla mengangkat Lip Balm bergambar Melon. "Atau mau langsung." Mengetuk bibirnya sendiri menggunakan Lip Balm yang ada di tangannya.
"Dillaaaaaaa ...." rengek Bian gemas dengan nada panjang.
Meski dulu mereka mempunyai masalalu, keduanya sepakat kembali menjadi teman, pure pertemanan. Kisah mereka selesai tiga tahun yang lalu. Tidak ada canggung diantara keduanya.
"Apa sih Biiaaaaaaaaaaan ...." Dilla menirukan nada panjang yang Bian gunakan lalu terkekeh kecil. "Nih, nih, pakek dah yang bener. Jangan sampe cemot!" Dilla menyerahkan benda berbentuk persegi panjang dan juga kaca.
"Lo nyetirnya yang bener, To!" cecar Bian, memperingatkan sahabatnya untuk lebih berhati-hati agar Lip Balmnya tidak berantakan.
Hito hanya bisa menggeleng mendengar percakapan Dilla dan Bian seputar skin care, sunblok dan teman-temannya. Tak heran, dari dulu Bian memang sangat menjaga kualitas kulitnya. Sedangkan Ryan sudah terlelap sejak keluar dari gedung apartemen Dilla.
"Ines udah mau turun katanya," ucap Dilla setelah membaca chat balasan dari Ines. “Nunggu di parkiran atau di depan lobi?”
“Depan lobi aja langsung.”
Tanpa menjawab lagi, Dilla segera mengetik balasan pada Ines.
Memasuki gedung tempat Ines praktek, Hito menekan lebih dalam lagi pedal gas di kakinya, kemudian sengaja menghentikannya hingga menimbulkan suara berderit di depan lobi tepat saat Ines baru saja keluar.
Tak mau keduluan Andra yang juga sedang berjalan mendekati Ines dari arah parkiran. Hito segera turun dari mobil.
"Loh, Hito ...." Mata Ines membelalak, tak menyangka lelaki itu datang. Iamengikuti setiap gerakan Hito sampai berdiri di belakang tubuhnya.
“Ayo masuk! Yang lain udah pada nungguin kamu.”
Suara rendah dan berat Hito tepat di telinganya membuat bulu kuduk Ines meremang. Ia menatap mobil BMW X3 hitam yang pintu belakangnya sudah terbuka menampakkan Dilla dan Bian.
"Gendong aja udah, To," ucap Bian tak sabaran.
“Do you want, baby?”
Hito mengedipkan satu matanya selagi mengulum senyum geli melihat bibir Ines yang mencebik akan mengeluarkan kata-kata nyinyiran untuknya. Namun tertahan, begitu dari ekor matanya menangkap sosok Andra yang semakin mendekat.
Ia berpura-pura tak melihat dan langsung masuk ke dalam mobil. Lebih baik ia keluar bersama teman-temannya daripada ikut makan siang yang sudah pasti canggung bersama keluarga mantannya.
Senyum penuh kemenangan samar-samar tercetak pada bibir Hito. Ada luapan senang atas tindakan Ines barusan.
"Masih sama mas Andra, dek Ines?" tanya Bian saat Ines baru saja duduk dan disusul suara pintu mobil yang tertutup. Ia menoleh sekilas kebelakang, mendapati Andra yang terpekur kaku dengan dahi menyerngit, belum juga melanjutkan langkah kakinya.
Ines berdecak, tangannya sudah terulur akan menjambak Bian, namun pria itu selalu berhasil berkelit dari setiap pembalasan rasa jengahnya.
"Biasalah, susah matiin pesona gue emang. " ujar Ines sombong sambil menyibak rambutnya. "Mau kemana, nih, kita?" Ini sudah sekian kalinya mereka keluar bersama.
"Bromo?" kata Hito.
"Hahh?" Mereka serempak berteriak kaget dan menatap Hito dengan raut wajah menuntut penjelasan.
Hito menggaruk telinganya yang sedikit berdengung, matanya tetap fokus melihat jalanan padat Surabaya. “Gue serius, udah reservasi buat kita. Pada belum pernah, kan?”
"Belum sih, tapi ngapain juga main ke Gunung, Mall di Surabaya juga masih seru apalagi hiruk pikuk dunia malemnya. Atau PP BALI-SBY?" Dilla memberi saran.
“Nggak sekarang juga kita berangkatnya, entar tengah malem. Sekarang kita belanja dulu perlengkapannya.”
"Capek di jalan nggak sih kalo Bali." Ines menimbang.
"Ya, juga sih." Dilla terdiam, mulai melihat-lihat tentang Gunung Bromo di halaman instagramnya. “Atau kuta ngajuin cuti aja?”
"Perlengkapan apaan?" Ryan mendadak kehilangan kantuknya. Fokusnya sepenuhnya pada Hito yang nampak santai menyetir. “Tas carrier, matras, tenda, tali pramuka, yang kayak gitu?”
"Nggak sekalian tongkar pramukanya juga?" ejek Bian.
"Lo pada browsing dulu tentang Gunung Bromo. Kita nggak perlu daki ke sananya. Yang penting pakai baju dulu," terang Hito kalem.
-------
Mereka sudah berada di dalam toko perlenhkapan yang menjual berbagai kebutuhan para penjelajah gunung. Yang awalnya tercengang dan ogah-ogahan, kini terlihat bersemangat menyiapkan outfit-nya masing-masing.
"Bagus yang warna navy jaketnya," komen Ines tanpa diminta, saat mendatangi Hito yang sedang melihat-lihat di bagian tengah tokoh. Perempuan itu datang membawa syal, sarung tangan, dan topi beanie, semua berwarna serba hitam. Diserahkannya pada Hito untuk dicoba.
"Buat aku?" tanya Hito retoris sambil mengambil sarung tangan dan memakainya.
“Iya, sekalian aku ambilin buat kamu. Mau ganti warna lain?”
Hito menggeleng cepat. “Ini aja.”
Ines manggut-manggut. "Bagus," ucapnya. Tersenyum puas melihat sarung tangan pilihannya pas sekali pada tangan kokoh Hito.
"Harus pakek syal?" Hito nampak tidak nyaman dengan lilitan kain di lehernya.
“Katanya kalo musim kemarau Bromo lebih dingin lagi. Palingan di sana juga cuma di pakek bentar waktu subuh, tapi tetep aja harus buat jaga-jaga.”
“Iya ... terus ini jaketnya aku ambil yang navy? M atau L?”
"Coba aja dulu, deh." Ines mengambil jaket berukuran M dari stand hanger yang Hito maksud. “Kayaknya ukuranmu masih sama kayak yang dulu.”
Hito menurut saja. Menahan mati-matian kedutan senang pada bibirnya.
"Coba yang L. Entar,kan ada kaos kamu juga. Kesempitan, nggak? Atau berasa engap?" Ines menyentuh bagian bahu, turun menunggu punggung dan berhenti di pinggang, memeriksanya secara keseluruhan.
Bian, Dilla dan Ryan seakan lenyap begitu saja dari peredaran keduanya yang layaknya pasangan.
-----
Ines tahu Dilla doyan belanja, tapi jangan pernah di satukan dengan Ryan yang suka belanja pakaian dan Bian yang nampak girang melihat-lihat berbagai macam sunscreen dan masker.
Sepertinya mereka sudah keluar masuk semua toko yanga ada di dalam Mall ini. Tapi ketiganya seakan belum puas berjelajah dan menghabiskan uang penghasilkannya.
"Capek." Ines berjongkok di atas eskalator yang berjalan turun. Tas berlogo Aiger ia letakkan begitu saja di sebelahnya.
"Malu-maluin lo." Dilla menendang-nendang kecil bahu Ines yang tidak di pedulikan gadis itu.
"Nes!" Bian mundur mengambil jarak dari Ines yang diikuti Ryan dan Dilla."Biarin sendiri, biar kayak anak ilang. Udah tua juga, nggak inget umur deh," ocehnya dengan gaya gemulainya.
"Lo juga, udah tua kok masih kluyuran sama temen bukannya sama pasangan," sahut Ines.
"Ngaca, Cong!" balas Bian sambil memutar bola matanya tersinggung.
"Nggak nikah, nggak bikin sengsara aja diribetin." Ryan menimpali. “Udah kayak tante gue aja kalau lagi kumpul keluarga yang ditanya gituan mulu. Muak banget gue.”
"Chill ajalah kita!" imbuh Dilla yang langsung diangguki semuanya kecuali Hito.
Semudah itu memang mereka kembali akur.
Begitu eskalator sampai di lantai 5, Ines segera bangkit, tetapi langkahnya sedikit limbung. Beruntung ada Hito yang sedari tadi berjaga disampingnya bergerak cepat menahan tubuhnya hingga posisi mereka seperti berpelukan.
"Hati-hati," ucapnya penuh kekhawatiran. “Nggak apa-apa?”
"Nggak kok, kan udah di tangkap sama ayang, tenaganya langsung ke isi nggak lemes lagi meskipun makan," sahut Bian menggunakan nada perempuan yang disahutin tawa Dilla dan Ryan.
------
Selagi menunggu yang lainnya melihat koleksi sepatu, Ines duduk di kursi hitam panjang yang disediakan di tengah-tengah toko sambil memainkan ponselnya.
“Ines.”
Perempuan yang dipanggil namanya itu menoleh ke samping, menatap wajah yang namak familiar dalam ingatannya. Terdiam selama beberapa detik, baru Ines berseru senang kala mengingatnya. “Radit!”
"Masih inget ternyata," ujarnya terkekeh.
Keduanya berbincang akrab, sesekali baik Ines atau Radit tertawa karena ucapan satu sama lain dan menampakan raut antusias menyimak cerita lawan bicaranya.
Tak jauh dari mereka, Hito yang geram berniat memisahkan dua insan yang asyik bercengkraman. Namun, Ryan lebih dulu menahannya.
“Lo harus lebih belajar.”
“Apaan?”
"Belajar nerima kalo Ines bukan milik lo lagi." Ia tergelak mendapati raut Hito yang semakin masam. “Inget tujuan awal lo, jangan gegabah.”
Hito menarik napas dalam, ingin membuang pandangan, namun terlalu sulit. Matanya tetap terkunci pada Ines.
Sudah memilih dan membayarnya, mereka kembali berjalan menuju Supermarket di lantai tiga.
"Kenalan lo banyak, Nes, yang di Sport Station udah cowok keberapa tadi yang nyapa, lo? Ada yang jadi cem-ceman lo nggak?" tanya Bian. Ia melirik geli pada Hito yang nampak serius menunggu jawaban Ines.
Pertanyaan yang juga ingin Hito tanyakan, tapi tak memiliki keberanian.
"Gue dengar ada yang lo panggil, beb, sayang, mas, yayang. Pacar lo yang asli mana?" Ryan ikut menimpali. "Lo mau koleksi apa jadi bandar?
"Kenapa harus pacaran kalo bisa manggil sayang tanpa ikatan?" Ines terkekeh geli melihat raut wajah cengoh ketiga pria di hadapannya ini. “Polos banget sih, lo, pada.”
"Kenapa harus pacaran kalo bisa manggil sayang tanpa ikatan?" Ines terkekeh geli melihat raut wajah cengoh ketiga pria di hadapannya ini. “Polos banget sih, lo, pada!”
"Cuma manggil sayang, bukan bilang sayang. Bisa dibedain, kan?" lanjut Ines.
Masih dengan senyum manisnya, Ines mengerlingkan satu matanya penuh maksud begitu tatapannya bertemu dengan mata hitam kelam milik Hito.
Wajah Hito tampak datar tanpa ekspressi, hanya menatap Ines lurus, dan mulutnya terkatup rapat, sama sekali tidak berkomentar apapun.
"Sungkem dulu sama dua suhu," ucap Bian dengan nada mencibir, melihat Ines dan Dilla secara bergantian.
"LOL POLL!" Dilla tertawa sambil menggeleng dramatis. "Lo itu suhu dari segala suhu, Bian. Tahta tertinggi masih lo pegang, cyakk!" lanjutnya saat tawanya mulai mereda.
Dilla menggerakkan jarinya, menelusi setiap gambar yang terbentuk pada lengan Bian. Tiga tahun tidak bertemu, tato Bian yang awalnya hanya ada di lengan atas cowok itu, kini sudah hampir memenuhi sepanjang kedua lengannya.
Ditambah adanya anting bulat kecil yang terpasang di telinga kanan cowok itu, membuatnya terkesan sangar, padahal bila mengenalnya lebih dalam lagi, cowok itu memiliki sisi keibuan.
Bian itu kang kompor, namun asyik juga saat diajak bergosip, pengertian dan penuh kasih, memperlakukan wanitanya selayaknya ratu hingga pandai membuat banyak wanita jatuh hati kepadanya.
"Mau itung-itungan banyak siapa jejak masalalunya?" tantang Bian sambil menyengir konyol.
Ia hanya bisa pasrah mendapat pukulan pada bahunya yang merupakan kebiasaan Dilla ketika tertawa.
"Kalian pada tahu nggak gimana suara Buaya kalo lagi cari mangsa?" tanya Ines.
Ia tersenyum tipis kala Hito menarik tangannya agar tak tertabrak pejalan lainnya, akibat fokusnya yang terbelah.
Ryan, Dilla dan Bian yang berjalan di barisan depan, menoleh dari balik pundak mereka.
"Gimana?" Bian menarik salah satu alisnya, ia bahkan sampai berjalan miring demi mendengar jawaban dari Ines.
"Yan!" Hito bahkan sampai harus memperingati Bian berungkali agar lebih fokus saat berjalan.
Tapi, sama sekali tidak digubris Bian.
Ines berdeham singkat, agar suaranya menjadi lebih halus saat ia berbicara. tangannya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telingamya sendiri. "Sebelumnya, aku nggak pernah sesayang ini sama orang, baru kamu yang pertama ...." katanya dengan nada bergetara, sangat mendalami perannya.
"Kamu ngasih aku sesuatu yang belum pernah aku dapet dari mantan-mantan aku." Dilla menimpali.
"Kalau kamu ninggalin aku, terus aku gimana? Aku pasti nggak bisa buka hati lagi buat yang lainnya. Aku udah sayang banget sama kamu. Jadi tolong, bertahan sama aku, ya, ganteng? Meskipun sifat-sifat aku sering buat kamu capek." Ines memegang lengan Hito dan menatap mata cowok itu dalam, benar-benar seperti tatapan rasa putus asa, takut kehilangan, dicampur dengan keresahan dan penuh permohonan.
Hito mengehentikan langkahnya, ia merasakan cengkraman tangan Ines pada lengannya semakin mengerat.
Perlahan ia menoleh dan sedikit menunduk agar dapat bersitatap dengan Ines.
Perasaannya saat ini seperti dejavu dan penuh penyesalan, harusnya kalimat itu ia ucapkan tiga tahun lalu pada Ines. Harusnya ia bisa bertahan lebih lama lagi, dan meminta pada Tuhan agar sabar yang ia miliki dilebihkan lagi.
Melapangkan dadanya untuk memperbaiki hubungan mereka.
Bian menggerakkan tangannya seperti HT. “Serigala masuk kandang Kadal betina. Target sudah terkunci, ganti!”
"Udah, To, serong kanan langkah tegap maju, jalan!" ucap Ryan yang entah sejak kapan berada di belakang Hito.
Ryan mendorong punggung Hito memasukki gerai toko pakaian yang kebetulan dekat juga dengan tempat mereka berbicara.
"Mending kita belanja, buang-buang duit daripada pusing mikirin cinta-cintaan," ucap Ryan.
Ines menatap kosong pegangan tangannya yang terlepas begitu saja dari lengan Hito.
*****
Bab 32
Ia masih berdiri terpaku, ada perasaan seperti ada sesuatu yang terasa kurang, kehampaan dan bercampur kecewa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Padahal tadi, ia hanya sedang bercanda, dan kebetulan Hito lah yang sedang berjalan di sebelahnya.
Ines seperti kehilangan kemampuan berpikirnya. Ia sama sekali tidak menadapatkan jawaban, meski sudah bersikeras mencoba mencerna kondisi hatinya. Yang ada hanya perperangan batin yang tidak ada ujungnya.
Lelah sendiri, akhirnya setelah beberapa detik termenung, Ines menggelengkan kepalanya samar dan mengedikkan bahu masa bodoh. Kemudian melangkah ringan mengikuti langkah yang lainnya.
Hito memilih menjauh dari teman-temannya, menyembunyikan wajahnya yang kemungkinan memerah. Ia tahu apa yang tadi Ines ucapkan hanya sebagian isi konten dari pembicaraan mereka.
Tapi, tetap saja, itu tidak bisa membuat ia tidak bisa berhenti tersenyum hanya karena mengingat bagaimana ekspresi dan suara Ines saat mengucapkannya.
Hito mengacak rambutnya, mati-matian berusaha mengulum senyumnya yang masih setia merekah.
Ia mencengkram erat gantungan baju lalu menggesernya perlahan seakan sedang melihat-lihat pakaian yang terdisplay. Jika tidak seperti ini, Hito takut tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tidak membawa Ines masuk ke dalam rengkuhannya.
Mata tajamnya terus awas mengikuti setiap pergerakkan Ines. Sudut bibirnya tertarik ke atas setiap kali ia melihat bagaimana Ines tersenyum, tawa lebar gadis itu ketika beradu ejekan dengan Bian. Ia menyukai ekspresi yang Ines perlihatkan saat terlibat berdebat kecil dengan Dilla, saling mengomentari pakaian yang mereka pilih.
Hito buru-buru menunduk dan berpura-pura sibuk memilih pakaian yang ada di hadapannya begitu mata Ines mengedar dan sepersekian detik bersibobrok dengannya.
“Selera kamu sekarang berubah atau emang udah berkembang?”
Hito tidak segera mengangkat pandangannya, karena ia sudah mengenal jelas pemilik suara itu. Ia masih menatap sneakers putih yang berjarak setengah meter dari tempatnya berdiri.
“Kamu suka hem berlengan pendek sekarang?”
Setelah pertanyaan kedua terlontar, Hito baru mendongak secara perlahan, mengamati penampilan Ines siang ini. Celana jins biru gelap dan blouse tipis berlengan panjang warna hitam yang sedang dikenakan gadis itu, membuatnya semakin terlihat menawan dan dewasa.
Kedua alis Hito saling bertautan. “Hahh, apa?”
Ines menunjuk baju yang disampirkan begitu saja pada lengan kiri Hito. Ada tiga baju yang bermotif kotak-kotak, namun berbeda warna, dan semua itu nampak mencolok.
Tiga tahun lalu, Hito hanya memakai kaos, jaket dan hoodie agar memberi kesan kasual. ketika menghadiri beberapa acara yang mengharuskan berpenampilan sopan, Hito hanya akan mengenakan hem berlengan panjang, cowok itu beralasan risih dan merasa kurang cocok jika memakai kemeja berlengan pendek.
"Itu nggak terlalu ngejreng?" Ines berkomentar. “Apaan sih bahasa Indonya ngejreng?”
"Mentereng? Mencolok?" Pernah tinggal cukup lama di Jogja membuat Hito terbiasa akan bahasa yang digunakan orang Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari.
Ines mengangguk semangat dengan mata berbinar. “Yakin mau beli yang itu?”
Hito mengangkat satu persatu baju dari lengannya, lalu menaruhnya di atas gantungan baju yang terbuat dari besi.
Menyadari kebodohannya, Hito meringis sambil menggaruk bagian belakang lehernya.
"Padahal tadi maunya bukan yang ini, malah ini yang keambil," kata Hito membela dirinya. Tak terima melihat senyum ejeken yang Ines berikan padanya.
“Daripada kamu cuma komen, bantuin aku buat milih.”
Ines menatap dengan mata memincing, tak lama bibirnya mengukir senyum lebar dan matanya berkilat jahil.
"Mandiri aja udah, biasanya apa-apa juga sendiri, kan? Apa emang udah biasa ada yang ngurusin?" Ines melirik sekilas pada jemari Hito yang tersematkan cincin, nampak berkilau di bawah sorotan lampu toko.
Tanpa menunggu jawaban Hito, Ines berlalu begitu saja menghampiri Dilla yang sedang mengantre di depan kamar pass.
Hito tersenyum masam. "Ngilang lagi pedulinya," gumamnya tertohok.
Hito menyusun kembali hem berlengan pendek pada tempatnya, kemudian mengambil asal dua kaos polos bernuansa gelap selagi ia melangkahkan kakinya menuju meja kasir.
Lewat ekor matanya Hito dapat melihat beberapa gadis remaja yang menurut penilaiannya sepertinya masih duduk di bangku kuliah saling berbisik sambil melihat ke arahnya. Tak lama mereka terlibat aksi dorong mendorong dan saling menunjuk satu sama lainnya.
Hito memilih mengecek email masuk melalui ponselnya selagi menunggu traksaksi beberapa orang di depannya selesai. Tidak memedulikan apa yang bocah ABG itu lakukan.
"Udah?" tanya Bian yang datang bersamaan dengan Ryan.
"Hemm," sahut Hito pendek, ia menutup ponselnya lalu menggeleng begitu begitu melihat keranjang belanjaan keduanya nampak penuh, menyerupai bentuk gundukkan yang siap meledak kapan saja.
Bian mengacak-acak rambutnya, membuat rambut ikalnya sedikit berantakkan, ingin memberikan kesan 'laki' pada para remaja yang menatap dengan pandangan menilai lalu menyeringai penuh binar.
Baru saja akan melangkahkan kakinya untuk menghampiri para gadis itu, ia harus merasakan tampolan tas pada kepalanya.
"Duh!" Bian mengerang sakit sambil menggosok kepala bagian belakangnya. Ia mendengus begitu menoleh mendapati Dilla menatap berang ke arahnya.
"Sadar umur, mau jadi pedofil, lo, hehh?" omel Dilla.
Pandangan Dilla berahli pada tiga remaja yang nampak tercengang akan aksinya, ia mengedikkan dagunya mengusir mereka agar segera menyingkir pergi, yang diangguki takut-takut oleh mereka.
"Pedofil apaan sih, cint?" Bian nampak tak terima dengan argumen yang Dilla keluarkan. “Palingan gue sama mereka cuma selisih empat , lima tahunlah, masih bisa tergolong wajar kali. Lo pernah denger nggak, sih? Bahkan ada penelitian yang mengungkapkan, jarak usia tiga sampai lima tahun, itu yang terbaik saat wanita dan laik-laki bersama. Note, yang laki yang lebih tua, karena kebanyakan cewek tuh cepet mateng Pikirannya daripada kaum para jantan.”
"Itu buat yang serius, bukan buat yang cuma mau manfaatin polosnya doang!" Ines ikut buka suara.
"Entar dateng-dateng ngadu hamil lo nya yang keleabakan." Hito ikut menimpali.
"Kayak pernah terjadi," sahut Ryan tenang.
Ines menoleh cepat dengan sebelah alis terangkat, menatap Ryan dengan pandangan menilai. Apa Ryan sedang menyinggung kehamilan Auxy yang sempat ia ketahui?!
"Kalo cemburu, bilang sayang...." Bian menoel genit dagu belah dua milik Dilla.
Dilla tertawa hingga kedua sudut matanya berair. "Iya cint, gue emang cemburu. Biar lo puas." Kini ekspresinya berubah menjadi serius sebelum melanjutkan kalimatnya, "Makanya lo main aja sama yang udah rusak, jangan ngerusak sesuatu yang masih utuh."
"Kalo sama-sama utuh gimana?" Ryan menyeringai. Ia lebih dulu menaruh keranjang belanjaannya di meja kasir, mendahului Hito yang hanya berdecak malas menanggapi.
"Hoki," sahut Ines santai lalu mengerling pada Hito. “Did you even remember?”
"Mau lagi apa gimana?" tanya Hito dengan mata yang menatap lekat Ines.
"Woooww!" Ryan, Dilla dan Bian sontak kompak menyoraki Ines yang malah tergelak.
Menyadari sedang berada di tempat umum. Hito mencoba terlihat abai dengan memutar badannya menghadap kasir, menaruh beberapa helai pakaian di atas meja, begitu Ryan menyelesaikan transaksinya. Beruntung tidak ada antrean lagi di belakang mereka, hanya mbak-mbak kasir yang menunduk untuk menyembunyikan tawanya.
Selesai membayar belanjaannya, Hito bergeser ke samping, menunggu yang lainnya menyelesaikan transaksinya.
"Hito, mana?" Ines mengulurkan tangannya pada Hito yang juga melihatnya dengan sebelah alis terangkat, mengartikan apa maksudnya.
Belum sempat Ines menjelaskan, ternyata Hito sudah lebih dulu menaruh dompetnya di atas telapak tangan Ines. Pergerakan ini rasanya sudah terpatri, menetap dalam ingatannya begitu dalam dan sangat membekas, membuatnya spontan melakukan tindakan itu.
"Apaan sih, To! Orang aku mau nitip ini doang." Ines mengambil kantong belanjaan Hito dan mengembalikan dompet cowok itu. Ia memasukkan barang belanjaannya dalam kantong yang sama. "Go green ini," ucapnya menjelaskan. Kemudian mengeluarkan cardnya sendiri untuk membayar belanjaannya.
"Tau gitu tadi, aku minta dibayarin sama kamu aja, kayaknya banyak juga tuh isinya," Hito melemparkan candaan, tak peduli terdengar garing, cangungg dan sebangsanya.
Ia hanya tak mau Ines merasa kecil atau direndahkan atas tindakkannya barusan.
"Berarti anda belum beruntung!" sahut Ines ringan.
*****
Bab 33
Setiap orang belum tentu baik. Namun, pasti ada kebaikan dalam diri setiap orang.
Maka dari itu, sekesal-kesalnya Ines pada orang lain, ia lebih suka memendam amarahnya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu bisa saja terjadi, dan tidak setiap hari. Karena pasti ada saatnya dimana dirinya juga menjadi faktor penyebabnya rasa kesal orang lain.
Orang lain tidak dapat selalu memuaskan kita, dan kita juga tidak harus selalu memuaskan orang lain.
Apalagi ini Desy, orang yang sudah berteman dekat dengannya selama bertahun-tahun.
Ines menghela napas lemah sebelum mengangkat panggilan telepon dari Desy. Baru juga membuka mulutnya, suara ceria dan menggebuh-gebuh akibat tak kuasa menahan rasa senang sudah lebih dulu menyapa pendengaran Ines.
"Mas Andra baik banget ya, Nes? Selesai makan siang bareng, aku dianterin ngambil motor ke tempat praktek. Aku kira bakal udah gitu aja, ternyata mas Andra malah ngikutin motor aku dari belakang sampai nyampai depan apartemen," ujar Desy.
Ines memutar matanya sebagai respon pertama. “Oh, ya?”
“Dih, nggak mungkinlah aku bohong, Nes! Sumpah ya, sumpah! Seneng banget aku, Pek. Mana mas Andra tuh perhatian banget, mana lembut banget lagi orangnya. Nanyain aku mau pesen makan apa, minum apa—”
"Itu mah cuma pertanyaan basa-basi kali, Des," sambar Ines.
Ia membuka kasar tutup botol cleanser dan menuangkan asal pada kapas yang ada di tangan kirinya. Ponselnya ia jepit di antara bahu dan kepalanya.
Hito yang baru keluar dari kamar mandi, berjalan mendekati Ines. Ia mengambil helai demi helai rambut Ines.
Ines memperhatikan pergerakan dari Hito melalui pantulan cermin meja rias di depannya. Cowok itu terlihat jauh lebih segar. Handuk kecil masih tersampir pada bahunya, menghalau tetes demi tetes air yang masih saja turun dari rambutnya agar tidak langsung mengenai kaos polonya.
Tangan Ines tetap bergerak membersihkan sisa-sisa make up yang menempel di wajahnya, bibirnya tetap memberi respon untuk apa yang sedang Desy ceritakan.
Setelah semua terkumpul, Hito sedikit membungkuk dan memajukan badannya untuk mengambil jedai yang tergeletak asal di depan meja rias yang sedang di duduki cewek itu.
Dari jarak setipis ini, Ines dapat mencium aroma sabun dan shampoo miliknya.
Hito bukannya segera bangkit, cowok itu malah terdiam sesaat begitu ekor matanya melihat leher jenjang putih mulus milik Ines yang terekspos sempurna. Perlahan, dengan amat perlahan Hito menoleh, memposisikan bibirnya berada tepat di depan telinga Ines.
"Sorry tadi aku ambil sikat gigi baru kamu yang ada di mirror box kamar mandi kamu," bisik Hito.
Setelahnya, ia kembali menegakkan tubuhnya dan menggulung rambut Ines, lalu mengikatnya dengan jedai.
Hito menarik satu sudut bibirnya begitu melihat bulu-bulu halus di sekitar perpotongan leher hingga lengan Ines terlihat meremang. Sesampainya di apartemen, Ines memang sudah mengganti blousenya dengan kaos rumahan.
Jika kebanyakan para wanita suka mencukur habis bulu-bulu miliknya agar terkesan lebih mulus. Ines lebih suka membiarkan bulu itu tetap ada di sekitaran lengannya. Dengan sengaja Hito, jari telunjuk tangan kanan Hito menelusuri lengan atas Ines sampai ke jari jemari gadis itu.
"Habis lihat hantu sampe merinding gini," ujar Hito sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang Ines.
Sebelah tangannya ia letakkan di atas wajahnya untuk menutupi bibirnya yang sedang mengulum senyuman. Menahan gemas melihat raut wajah Ines yang nampak kesal, alisnya yang saling bertautan dan bibirnya yang mengerucut. Entah karena ulahnya, atau karena obrolan yang sedang cewek itu bahas di telepon.
“Kamu juga harus lihat, Nes, gimana cara mas Andra natap aku.”
“Emang gimana, Des? Sedalam lautan samudra gitu? Kamu jangan gampang kepedean deh, Des. Dia emang gitu cara natapnya, keseringan nonton yang indah-indah nih, jadi tingkat kehaluannya makin ninggi.”
Samar-samar Hito masih dapat mendengar apa yang sedang kedua cewek itu bicarakan, sepertinya tentang masalah mantan Ines, Andra.
Hito memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Ines yang kini sedang melepas benda-benda yang ada di tangannya satu persatu, mulai dari jam tangan, gelang, lalu cincin yang menghiasi jeri-jemari lentiknya, semua masih tergeletak di atas meja rias yang letaknya bersebelahan dengan tempat tidurnya.
"Ngaku aja kalo cemburu!" Hito bergumam.
"Ikut aja!" sembur Ines, lalu mencubit gemas lengan atas Hito hingga cowok itu merintih meminta ampun.
“Woi, Nes! Lagi dimana? Kenapa aku denger ada suara cowok?”
"Apaan? Orang suara tv," jawab Ines beralibi. “Aku di apartemen.”
Kebetulan hanya tersisa dirinya dan Hito di apartemen sempit miliknya ini, setelah menaruh barang-barang belanjaan, Ryan dan Bian memutuskan untuk sekaligus mampir ke unit Dilla untuk melihat-lihat.
“Oh, kirain. Eh tau nggak sih, Nes, tadi aku tuh masih ragu buat ngirim pesan duluan atau nunggu mas Andra yang chat aku duluan. Tapi berhubung tadi mas Andra yang nganterin aku, akhirnya aku putusin buat chat duluan, dan dibales.”
“Oh, terus?”
“Kok nada suara kamu kayak nggak suka gitu sih, Nes? Kamu masih ada rasa sama mas Andra? Dari tadi juga kamu nanggepin nggak enak tiap omonganku. Ngatos terus!”
“Perasaan kamu aja ah, sundel, orang aku nanggepinya biasa.”
Ines memutar-mutar cincin dan mengetuknya pelan di atas meja rias. Ia mendesah akan perasaan yang saat ini tengah ia rasakan, rasanya ada perasaan tidak terima bercampur dengan cemburu dan ketidaksukaan akan semua yang Desy ceritakan kepadanya.
Lagian punya hak apa dirinya untuk marah saat mendengarnya?! Jika memang dirinya masih menyukai Andra, siapa dirinya hingga orang lain tidak boleh menyukai lelaki itu, meskipun itu sahabatnya sendiri?!
"Aku yang menyukainya lebih dulu." kata itu tidak dapat dipergunakan dalam masalah percintaan, karena tidak peduli siapa yang pertama bertemu, pertama menyukai dan pertama menaruh rasa, semua dengan mudah terpatahkan jika tidak mendapat respon yang sama dari pihak lainnya.
“Keluarganya juga baik banget, apalagi ibunya itu, meskipun agak kepo juga sih orangnya. Tanya-tanya masalah orangtua dan keluarga aku.”
Itu adalah part yang paling tidak Ines sukai, pembahasan masalah keluarga. Ia bahkan tak yakin dirinya masih tergolong menjadi anggota keluarga atau hanya seksi keuangan. Dimana disaat membutuhkan dana, mereka baru mengingat kalau dirinya ada dan berguna.
"Sampai sekarang aku masih balas-balasan pesen sama mas Andra. Rasanya kurang puas kalo cuma ngomong lewat telepon, aku ke tempat kamu, ya?" lanjut Desy.
“Besok aja, aku mau mandi.”
“Emang kamu habis dari mana? Tadi waktu aku turun, kamu udah nggak ada di lobi?”
“Ke Galaxi.”
“Ya udah, kita ketemu besok ya, katanya mas Andra besok juga bakal ke Surabaya. Nggak sabar banget aku mau ketemu dia lagi.”
“Hehm.”
“Bye, beb!”
Begitu telepon tertutup, Ines menaruh ponselnya di atas meja rias, lehernya ia gerakkan ke kanan dan kiri untuk merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku.
"Ternyata kebiasaan nutup diri dan nggak mau ungkapin yang dirasain nggak cuman ke gue doang," gumam Hito.
Merasa mendengar suara Hito meski lirih, Ines menoleh ke samping, namun yang ia lihat hanya mata Hito yang terpejam dan mulut yang tertutup rapat.
Ines mengedikan bahunya acuh, mungkin hanya perasaannya saja.
Menghela napas lelah, Ines mulai membereskan barang-barangnya yang berserakan di atas meja rias, meletakkannya di tempat masing-masing. Ia membuka laci tempat penyimpanan perhiasan miliknya. Pandangan terkunci pada kotak rustic kecil berkayu waran hitam.
Benda yang ditinggalkan Hito tepat dihari ulang tahunnya, sebelum cowok itu melangkahkan kakinya keluar.
Kemudian Ines mengeluarkannya dan meletakkan kotak itu ke atas meja rias, perlahan ia membukanya dan mengelus lembut isinya.
"Masih di simpen ternyata." Hito tersenyum tulus begitu pandangan keduanya bertemu.
"Udah tahu, kan sekarang?" tanya Hito, senyumnya sudah berganti dengan seringai.
****
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
