
Kalo kata pembaca, bab ini otw seru serunya. semoga kalian juga merasakan itu ya 🤍
“Minimal, sekali seumur hidup lo harus ngerasain di posesifin cowok ganteng, royal, fast respon, manjain, tapi ternyata lo selingkuhannya.”
Bab 28
“Hampir empat tahun, To. Itu lama ... gue sangsi perasaan lo ke Ines masih seutuh dulu.”
"Dari dulu sampe sekarang rasanya tetep sama, selama itu Ines." Tubuh Hito bersandar di dinding dengan salah satu kakinya ditekuk. Tangannya yang memegang batang nikotin ia arahkan ke mulutnya, menghisap perlahan lalu menghembuskan asap ke udara.
Sudah seperti rutinitas, selesai makan siang di kantin kantor keduanya menuju rooftop untuk merokok bersama.
"Ck, bucin buat orang jadi goblok. Percuma lo punya wajah ganteng, karir ok, duit ada, tapi masih aja kejebak masalalu. Move on, Sat!" Ryan berdecak muak.
“Gue udah coba, lo sama Bian saksinya.”
“Lo itu terlalu nyaman sama rasa terpuruk lo, bangkit bentar napa, betah banget rebahan tuh hati.”
Hito terkekeh kecil, matanya terpejam sesaat merasakan sensasi ketenangan dari efek nikotin.
“Gue baik, makin baik malah semenjak ketemu Ines lagi. Kali ini gue nggak bakal ngelepasin dia segampang dulu.”
Seringkali Hito menertawakan kehidupannya sendiri. Dengan semua yang ia miliki, tanpa berusaha keras pun banyak perempuan yang rela menyerahkan dirinya kepadanya.
Mau sesempurna apapun sosok orang baru itu, seakan tak ada artinya bila hati sudah menetapkan tempatnya.
Sekeras apapun Hito berusaha menghempas bayang-bayang Ines, semakin ia terperosok lebih dalam pada poros kehidupannya, dulu hingga sekarang.
Ryan menatap lurus gedung-gedung tinggi di sekitaran kantornya. Asap rokok perlahan keluar dari mulut dan hidungnya. “Lo yakin perasaan itu cinta?”
Hito terkekeh geli mendengar Ryan berdecak keras setelah kata cinta keluar dari mulutnya sendiri. Sahabatnya itu paling tidak memercayai apa itu cinta. Berbeda dengan Bian yang lebih mudah membuka hati. Dan dirinya, yang saat ini hanya bisa mencintai satu perempuan.
Jadi diantara mereka mana yang lebih memperihatinkan?
"Jangan sampe lo cuma ngasih makan ego lo pakek kedok belum bisa ngelupain, masih ada rasalah ... bisa aja yang lo anggap rasa cinta itu nyatanya udah basi. Yang ada cuma rasa penasaran campur dendam karena dia pernah buang lo gitu aja ... dulu lo pasti sering mikir apa yang salah, apa yang kurang dari lo sampe dia nggak mau sama lo. Dan, bisa jadi sekarang ... lo cuma mau ngasih pembuktian diri, kalo lo nggak sekurang itu. Kalo lo bisa naklukin Ines," lanjut Ryan.
Penjelasannya Yang panjang super lebar, membuat Hito menggeleng kepala takjub. Ternyata benar, discuss bersama orang yang tak mengenal cinta, lebih terasa dalam.
Berjuta kali ia memikirkan alasan Ines mendorongnya menjauh. Hingga percakapan terakhir mereka di apartemen perempuan itu membuka pikirannya.
Hito terlalu bodoh karena selalu membiarkan semuanya mengambang dan menganggap semua baik-baik saja. Ia juga tak pernah menanyakan apa mau Ines, menganggap semua yang dipikirkan dan dilakukannya sudah yang terbaik untuk perempuan itu. Lalu semua diperkeruh dengan sifat santai dan cuek Ines. Alih-alih bertanya, Ines lebih suka menduganya sendiri hingga mengambil keputusannya sendiri.
"Ines dulu anggap gue terlalu posesif sama dia," ujarnya sebagai bentuk pengakuan dosa.
“Lo dulu emang parah sih. Ibarat pembaca Wattpad, kalau tokonya posesif mereka bilang karakter kayak gitu tanda cinta dan bikin tergila-gila. Padahal kenyataannya, kalau dapat pasangan model gitu, udah otomatis risih dan terkekang.”
Ryan bergidik ngeri. Ia masukkan satu tangannya ke dalam saku celana. "Empet banget gue dulu sama sifat lo. Ines, Inas, Ines!" cibirnya mau muntah. Enek.
Ingatan Ryan melayang pada masalalu, bagaimana sifat cemburu dan posesif Hito pada Ines. Nyaris menyamai orang yang terobsesi.
Hito yang tak rela saat Ines berdekatan dengan lawan jenis, bahkan ia dan Bian juga harus memberi jarak yang cukup. Hito itu pencemburu berat, hanya karena satu pesan dari teman pria Ines yang menanyakan tentang tugas kampus.
Hito yang tak mempedulikan dirinya dengan mengantar pulang pergi Solo-Jogja. Membiarkan Ines membawa mobilnya dan ia memakai motor. Hito juga tak segan-segan berhemat buat memberikan penghasilannya untuk Ines.
Dan hal yang lebih gila lagi sahabatnya lakukan adalah, hampir masuk penjara demi Ines.
Saat itu sedang ada event besar di Jogja. Hito yang berniat datang menjemput Ines ke belakang panggung, malah melihat hal yang membuatnya berang. Seorang pria bertubuh tambun—merupakan promotor acara menahan pergelangan tangan Ines dan menutup akses keluar beberapa SPG yang menolak melayani atasannya yang berasal dari pusat.
Jelas saja Hito langsung merengsek maju melayangkan tinjunya tanpa pikir panjang dan semenjak itu, Hito melarang keras Ines bekerja dibawah brand tersebut.
"Bukan posesif, kata yang bener itu protektif, gue cuma mau ngelindungi dia." Sampai kapanpun Hito akan selalu menampik itu. “Ines itu terlalu mandiri, dia bisa ngelakuin apapun sendiri dan dia selalu berdiri di atas kakinya sendiri. Yang gue pikir satu-satunya cara biar dia liat gue, ya ... sedikit maksa Ines, perperan lebih dominan.”
“Terus mau lo apa sekarang?”
“Deketin Ines dengan cara yang bener. Bangun kedekatan secara emosional sama dia.”
"Dengan?" Ryan menaikkan sebelah alisnya.
“Jadi orang yang ada di sekitar dia, masukin kehidupannya secara perlahan sampe dia liat gue ada, bangun kemistri kedekatan kita secara natural, bukan paksaan kayak dulu. Gue kangen liat gimana dia bener-bener lepas di samping gue.”
“Dimulai?”
Hito berdecak. “Lo belum nyadar juga?”
Mendengkus kuat-kuat, Ryan menatap wajah temannya setengah jengkel. Mana dirinya tahu?!
“Koneksi, Bian, Dilla.”
Hito menyeringai senang, meski masih rencana, setidaknya bukan sekedar wacana penuh angan-angan.
Jelas ada yang harus ia singkirkan terlebih dahulu, Andra.
Tapi tak masalah, sebab lawan terkuatnya adalah diri Ines sendiri.
Ryan memperlihatkan wajah geli setengah mati setelah mencerna dan mengerti alur pembicaraan mereka. “Anjing, ya, lo!”
Mereka berada di gedung yang sama dengan Dilla, beberapa kali secara tidak sengaja berpapasan di lobby atau kantin gedung. Bian juga sering bergabung, menjadikan kisah Bian-Dilla kembali dekat seperti dulu.
"Bukannya orang jatuh cinta emang kayak gitu, bikin manusia semakin egois, ingin mendapat balasan dan menjadi pemelik seutuhnya dan satu-satunya?" sahut Hito sembari meringis miris untuk percintaannya.
Ia bersyukur kala di pertemuan pertama, Ines sama sekali tidak canggung kepadanya, menunjukkan gestur normal selayaknya teman lama yang sudah lama tak berjumpa.
Seakan hubungan mereka yang kandas penuh pertengkaran sama sekali tidak mempengaruhi, dan rupanya Ines juga tidak lagi mempermasalahkannya membuat Hito yang awalnya tidak tahu harus bersikap bagaimana menjadi jauh lebih rileks.
Tapi entah apa salahnya, tiba-tiba Ines seolah kembali menarik diri darinya.
"Terus masalah Auxy?" tanya Ryan tiba-tiba. Setelah membuat rentetan masalah dengan sepupu Hito, sepertinya belum membuat perempuan itu jerah. “Kabar kandungan dia gimana?”
Semalam, ketiga lelaki itu dibuat panik saat mendapati Auxy meringis kesakitan di samping mobil Hito, dengan gerakan serampangan mereka membawanya ke Rumah Sakit terdekat yang berada tak jauh dari kantor.
Senyum yang terpatri di bibir Hito seketika luntur, ia menekan ujung rokoknya pada asbak berbentuk tabung yang ada di deketnya hingga bara apinya mati. “Gue udah nggak ngerti lagi apa mau dia.”
"Lo yang bikin rumit hidup lo sendiri." Ryan mengintai setiap gerak-gerak sahabatnya itu, ia berdecak ketika Hito memutar cincin yang ada di jari manisnya. “Masih aja lo pakek tuh cincin.”
Hito mengikuti arah pandang Ryan, menaikan kedua bahunya santai. “Terlanjur, terusin aja.”
“Doyan nyari penyakit emang!”
---
Keluar dari ruang rawat inap Auxy, Hito segera melesat menuju parkiran, tadi ia sempat bertanya pada Dilla kapan Ines selesai praktik, dan perempuan itu menjawab sekitar pukul 5 sore, berarti setengah jam lagi.
Ia jauh lebih dari siap, memarkirkan mobilnya pada bagian VIP. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil, matanya menatap lekat pintu lobi Rumah Sakit.
Mendapati perempuan yang ditunggunya menampakkan diri, Hito buru-buru menjalankan mobilnya mendekat, berhenti tepat di depannya, lalu membuka kaca jendela.
"Ines!" panggil Hito. Tangannya melambai menyuruh Ines ikut dengannya. “Masuk, biar aku anter.”
Ines yang sedang mengobrol bersama beberapa teman kerjanya menoleh, melihat dengan kening berkerut. “Nggak usah, makasih. Kamu duluan aja.”
"Kamu ngehindarin aku? Aku ada salah? Kita omongin, jangan diemin aku kayak gini, Nes," ucapnya setengah memohon.
Mata Ines melebar saking terkejutnya, mulutnya terbuka tapi tak mengeluarkan suara apapun.
"Kamu apaan sih, To?" Ines menipiskan bibirnya.
"Cuma pengen nganter kamu." Hito menarik seatbelt tanpa melepasnya, ia condongkan tubuhnya ke samping, membuka pintu penumpang.
Ines menggeram jengkel, melirik sekilas pada teman kerjanya yang tengah memandang mereka penuh tanya dan mendorong pelan bahunya.
Suara klakson mobil saling bersahutan menandakan ada antrian di belakang mobil Hito, namun lelaki itu bukan segera menyingkir, malah menaikkan sebelah alisnya seoalah mengatakan, Ini karena kamu yang nggak cepat naik. Bukan salah aku!"
Ines berpikir sebentar. Bagaimana pun ia mencari alasan untuk menolak, Hito tak akan menyerah, sebaliknya semakin gencar mencecarnya. Mengakibatkan suasana Rumah Sakit tak kondusif oleh ulah kekanakannya.
Ines berdecak, akhirnya menuruti ajakan Hito.
Hito menyeringai bangga mendengar decakan kagum saat Ines mengamati interior mobilnya. Empat tahun lalu ia masih menggunakan mobil hatcbacknya untuk menjemput atau mengantar Ines. Sekarang sudah berganti dengan mobil SUV— jauh lebih mahal.
"Jadi ... aku nganter kamu kemana?" tanya Hito, memutar setir mobil meninggalkan area Rumah Sakit.
“Emang aku setuju dianter kamu pulang?”
“Oh, okey.”
Hito tidak lagi bersuara, begitu pula dengan Ines yang memilih mengamati suasana jalan yang berada di sisinya. Beruntung Hito masih ada inisiatif untuk memutar radio agar suasana di dalam mobil tidak sunyi.
Keduanya tertegun sejenak ketika lagu Fine Today-Ardhito Pramono mulai terdengar, ditambah dengan rintik gerimis yang mulai turun diwaktu yang bersamaan—Damn! This is like trowback.
Ines merutuki orang yang bernama Adit yang telah me-request lagu penuh kenangan ini.
Mereka saling mencuri pandang hingga mata keduanya bertemu, kemudian dengan gerakkan canggung, saling membuang muka dengan pipi yang sama-sama memanas salah tingkah.
Ines memang menyukai semua lelaki tampan kecuali, suami orang. Ia memejamkan mata sepersekian detik untuk mengontrol debaran hatinya, tak ingin terperosok kembali dalam pesona lelaki itu. Harom.
"Belum mau ngasih tahu alamat kamu tinggal?" tanya Hito lagi.
“Nggak akan.”
“Kita liat seberapa lama kamu bakal bertahan.”
Ines melirik Hito sembari berdecak. Namun matanya seakan terpatri pada satu titik.
Dulu ia sangat menyukai paras tampan Hito ketika sedang menyetir, memperhatikan bagaimana lengan kokohnya memindah persneleng, mata hitamnya yang tajam fokus pada jalanan, sementara jari jemarinya terkadang memainkan rambutnya.
Ines memegang rambutnya, dan mengelusnya perlahan.
"Dih, gila!" gumam Ines begitu menyadari tindakannya sendiri. Ia mengerjabkan matanya berkali-kali guna menyadarkan diru.
Hito tersenyum tipis, sedari tadi ia pura-pura tak menyadari tingkah Ines, tapi tangannya terlanjur gemas untuk tidak mengangkat tangan kirinya dari persneleng dan berpindah ke rambut Ines yang tergerai sekedar mengacaknya.
"Masih sehalus dulu," kata Hito. "Kalau baunya tetep sama juga nggak?" Ia mendesah mendramalisir. “Secara sekarang cuma berani pegang.”
Ines terkekeh kaku sambil menurunkan pelan tangan Hito dari rambutnya, menaruhnya kembali pada stir.
"Udah ngobatin rasa kangen kamu, kan, tapinya?" sambung Hito.
"Gitu doang, mana kerasa. Biasa aja, tuh!" jawab Ines tak mau terpojokkan seorang diri yang langsung mengundang tawa Hito.
"Kamu kerja jadi Terapi Wicara, kan, sesuai jurusan kuliah kamu?" tanya Hito sekedar basa-basi, mencoba membobol tembok yang Ines bangun.
“Iya.”
Mau kerja apalagi? Biarpun kata orang jurusannya terdengar aneh karena tidak seumum dan sepopuler yang lain, tapi jangan salah dengan prospek kerjanya yang mudah. Di Indonesia hanya mempunyai tiga kampus yang mencetak lulusan Terapi Wicara, berbanding terbalik dengan tenaga yang dibutuhkan dan dicari di negara kita ini.
Sudah sekitar satu jam mereka memutari kota Surabaya, Ines mulai mengantuk dan bosan. Sepertinya memang benar, waktu tidak akan merubah seseorang dengan cepat. Hito tetaplah Hito, pemaksa dengan caranya, licik.
“Kamu mau bawa aku kemana lagi? Kebanyakan uang nih pasti sampe buang-buang bensin?”
"Yaudah, kita pulang," jawab Hito singkat.
“Pulang?”
“Hehm.”
"Hehm?" Ulang Ines jengkel. "Pulang kemana yang kamu maksud?" Tidak mungkinkan Hito sebenarnya sudah tahu dimana ia tinggal dan sekarang hanya sedang berakting?
"Ini juga bukan daerah apartemen aku," lanjut Ines sambil melihat sekitar.
"Oh, bukan ya?" Bibir Hito berkedut geli. Ia lirik Ines sekilas, kemudian pandangannya kembali pada jajaran mobil yang tersendat di depannya karena menunggu giliran untuk putar balik.
"Hito!" Ines menggeram jengkel hingga mengacak rambutnya kesal.
"Iya." Tangan kirinya terulur merapikan rambut Ines yang sedikit kusut. "Mau apa?" tanyanya lembut dengan suara serak dan dalam.
Gini amat suami orang. "Mau turun, tolong turunin aku di depan." Ines menunjuk halte yang akan mereka lewati.
“Nggak buat yang itu, yang lain, Ines?”
"Emas batangan deh kalo gitu," jawab Ines ngasal karena terlanjur kesal.
"Okay," respon Hito santai. “Ini udah malem dan kamu keliatan udah capek banget. Jadi sampai kapan kamu mau kucing-kucingan nggak mau ngasih alamat kamu tinggal?”
"Beneran kamu nggak tau?" Mata Ines memincing curiga.
"Nggak tau, Ines. Kerjaan aku lawyer yang sebagian besar waktu aku habis buat ngerjain paperwork, bukan jadi atau punya mata-mata kayak yang ada di otak kamu sekarang," jawab Hito sabar beserta dusta. Dia sudah mengintrograsi Dilla hingga ke akarnya.
Ia tak akan melepas Ines dengan mudah!
"Ines Varesha, jadi kamu tinggal dimana?" tanya Hito lebih menuntut.
Ines menyerah yang berarti ia kembali kalah. “Apartemen Puncak Permai Darmo.”
"Mau beli makan dulu?" tawar Hito.
“Nggak usah, udah kenyang.”
"Yaudah kalo gitu." Hito mulai mengetik alamat Ines lalu mengikuti arahan dari GPS yang terpasang di mobilnya. Ia baru tinggal di Surabaya dua minggu yang lalu, belum familiar dengan jalanan yang ada.
Mobil Marcedes-Benz yang membawa Hito dan Ines kini sudah memiliki tujuan ke arah jalan Raya Darmo, menyusuri jalanan padat Surabaya.
"Tower yang mana?" tanya Hito sambil mengambil karcis parkir.
"Tower A," jawab Ines.
Ines mengerutkan dahi ketika seharusnya Hito belok ke kanan malah lurus menuju basement apartemen dan memarkirkan mobilnya di tempat yang kosong. Ines familiar dengan kejadian ini, seperti yang lalu ketika Hito mendesaknya memberitahu dimana ia tinggal selama di Solo.
“Kamu—”
“We need talk, Ines.”
********
Bab 29
“We need talk, Ines.”
"Nggak ada yang perlu kita omongin," sahut Ines jutek.
"Ada..." hito melepas seatbelt, merubah posisi duduknya menyamping menghadap Ines, tangan kanannya masih bertengger manis di atas stir, sebelahnya lagi sikunya bertumpuh pada sandaran jok.
“Dulu kamu sendiri yang bilang hubungan kita udah selesai. Selesai bukan berarti kita nggak bisa kembali berteman, kan? Awal ketemu kayaknya semua okay, nggak ada masalah, tapi kenapa tiba-tiba menghindar?”
Ines menangkap jelas raut ketersinggungan dan tak habis pikir dari wajah Hito atas apa yang ia lakukan pada lelaki itu. Mengabaikan dan menjaga jarak secara terang-terangan.
Siapapun yang diperlakukan seperti itu, pasti akan tidak terima dan meminta penjelasan.
Ines mengerjab, dengan gerakan sangat hati-hati ia lepas seatbelt yang membelenggu bagian atas tubuhnya, menggeser duduknya menyudut pada pintu mobil.
“Segitu risihnya deket aku?”
"Eh?" Ines menggeleng. Dari tempatnya duduk, meskipun remang minim cahaya, ia masih bisa melihat wajah serius lelaki itu.
Hidungnya yang tinggi, alisnya yang lebat hampir menyatu memberi kesan tegas, serta jakunnya yang bergerak samar membuat mata Ines susah teralihkan.
Belum lagi, suaranya yang dalam dan serak, perpaduan yang sangat sexy hingga memberi efek menggelitik pada perut Ines.
Sial, setiap dekat Hito rasanya percikan gairah selalu datang menerjang kepolosan Ines yang susah payah dibangunnya empat tahun ini.
"Bukan gitu!" bantah Ines cepat.
Hito nampak lebih relaks dari sebelumnya, tak sedikitpun terpancar rasa kesal atau tidak sabaran menghadapi sifat Ines.
"Atau ... kamu belum bisa move on dari hubungan kita dimasalalu sampai kamu nunjukin sifat antisipasi kamu ke aku?" Hito menyeringai mengejek.
Masih tampan sih, tapi sangat menyebalkan dalam situasi seperti ini.
Cium aja kali, ya? Biar tuh mulut anteng.
Ck, keenakan dianya dong!
Ines segera mengenyahkan ribut-ribut dalam pikirannya. Memutar bola matanya dan mendengkus kuat-kuat. “Buat apa move on kalo dari awal sama sekali nggak ada rasa.”
"Mungkin di awal emang nggak, tapi bisa jadi 'kan di pertengahan atau akhir?" sahut Hito sambil mengedikan bahunya tak acuh.
"So ... what the point are you trying to prove, To?" Ines membasahi bibirnya yang terasa kering. “Mau ada apa nggak, itu semua udah berlalu. Hidup maju terus napa masih aja, sih, bahas masalalu.”
Hito menatap Ines lekat-lekat yang membuat Ines menelan ludahnya gugup.
"Apaan, sih?" tanya Ines risih. Ia meraup wajah Hito menggunakan tangan mungilnya yang langsung saja ditangkap dan dimasukan Hito dalam genggamannya dengan begitu muda.
"Mau aku yang geserin atau kamu geser sendiri?" Hito mengedikkan dagunya pada kursi tempat Ines duduk. “Sakit nanti punggung kamu kalau sampai kebentur pintu.”
"Santai aja. Ini punggung tua, bukan punggung bayi," jawab Ines asal setengah jengah.
Hito terkekeh, menutupi seringainya kala Ines tak menarik tangannya menjauh. Mungkin belum menyadari, saking emosinya.
Satu kaki Hito terangkat ke atas jok, memainkan jari mungil dan lentik Ines di atas pahanya, dan kepalanya menyandar pada punggung kursi.
“Pulang sana! Kasihan istri kamu entar nyariin.”
"Istri, ya?" Hito melirik cincin di jari manis tangan kanannya sambil tersenyum samar.
"Baru nyadar kalo udah beristri?" sarkas Ines blak-blakan.
"Hampir lupa." Hito tertawa tanpa beban. "Jadi ini yang buat kamu masang sifat defend ke aku? Tapi masih ramah ke Bian sama Ryan. Nggak adil banget," gerutu Hito.
Ines berdecak. "Kamu ini, ya..." Ia menghela napas lelah. Sudah tidak bisa sekedar berkata-kata mendefinisikan seorang Hito atas kelakuannya.
Hito menahan kedutan geli di bibirnya. Gemas sendiri melihat bibir tipis Ines yang sedang mencebik minta dicium.
Ah, minta bayipun pasti bakal ia kasih. Dengan sangat senang hati.
"Aku kan cuma nawarin pertemanan, bukan ngajakin kamu selingkuh," kilah Hito menggoda Ines.
Sahutan ringan Hito membuat mata Ines membelalak galak. Tapi bila ia pikirkan dan ditela'ah lagi, memang ada benarnya juga.
Sial, apa ia terlalu percaya diri di sini?
Rasa malu menghinggapi dirinya.
Tidak, ia benar, ini hanya sebagai bentuk pertahanan dirinya.
Suara ribut dalam kepalanya kembali mengambil peran. Layaknya dua kubuh yang saling bertentangan.
Ines berdecak, mengenyahkan segala pemikiran rumitnya, ia menarik tangannya dari genggaman Hito setelah sadar dan berniat membuka handle pintu.
"Kabur gitu aja? Huhh?" tanya Hito mengejek.
Ines menggeram tertahan, matanya terpejam sesaat. “Temenan, ya, tinggal temenan, To. Repot amat.”
“Nggak bakal menghindar lagi?”
“Iya.”
“Mau nyapa?”
“Iya.”
“Nggak bakal pura-pura nggak kenal lagi?”
Ines menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Giginya sedikit bergelatuk karena emosi. "Iyaaaaa," jawabnya panjang.
“Mau diajak main bareng?”
"TO!" bentak Ines dan Hito malah tergelak, mengacak rambut Ines gemas.
"Satu lagi," pinta Hito sambil tersenyum jumawah yang sangat memuakkan di mata Ines.
“Berarti boleh tidur di tempat kamu? Kan, teman?”
"Orang gila!" Ines tak segan lagi memukul Hito bertubi-tubi menggunakan tasnya, tangannya menjambak rambut Hito sampai berantakan. Bila tak takut dikasuskan, sudah pasti akan Ines tambah banyak gamparan sekaligus cakaran. "Asyuh banget sih, Hito!"
"Baru juga sepakat temenan, udah nglunjak!" Ines mengomel tanpa henti. “Apa kata orang nanti, hah? Aku nggak mau, ya, dianggep sebagai orang ketiga, perusak rumah tangga orang, perebut, pelakor atau apalah. Aku masih mau hidup damai, mending kita nggak temenan, daripada terusik lagi cuma gara-gara kamu!”
"Kita cuma temenan, Ines. Nggak usah mikir aneh-aneh," sahut Hito santai. Ia pasrah, tidak melawan, rasanya senang saja Ines meluapkan emosi di depannya seperti ini.
"Tapi yang orang tangkap bakal beda, mana ada temen cowok yang nginep di tempat temen ceweknya tanpa ngelakuin apa-apa." Ines menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi, napasnya terengah lelah.
“Sejak kapan kamu dengerin omongan orang, dan —”
Seakan tahu arti tatapan penuh selidik Hito dan kelanjutan kalimatnya, Ines berdecak, lalu menjelaskannya lebih dulu, “Nggak ada sama sekali cowok yang nginep di apartemen aku kalau kamu mau tau! Never!”
Detik berikutnya Ines merutuki mulutnya sendiri, untuk apa dirinya menjelaskan pada Hito. Shiit, bego, stress, udah berapa umpatan yang Ines keluarkan hanya karena seorang Hito.
Hito mengangkat bahunya. “Ya, kan, aku mana tahu kalau nggak ngecek sendiri. Makanya, bo— ”
"Terusin! Terusin! Terusin!"tantang Ines.
Tenaga yang dikerahkan Ines tak ada apa-apanya sama sekali tak berdampak apapun pada Hito. Tapi ia tahu diri untuk tidak terlalu memaksa dan menahan batasan. Cukup Ines mau kembali berteman, sudah menjadi langkah awal yang apik baginya.
Ia juga tidak tega melihat perempuan itu kelelahan. Tapi malam ini sungguh menyenangkan.
“Beneran temenan? Temenan yang tulus?”
Ines memijit pelipisnya karena serangan pening seketika. Ck, kenapa Hito yang dulu datar dan dingin jadi kekanakan seperti ini, sih?!
Sejujurnya ia juga lelah bersifat unfriend pada Hito. Ia tidak membenci laki-laki di depannya ini, tapi ia hanya ingin menjauh dari sumber masalah. Bayangan masalalu selepas Auxy melabraknya dijadikan Ines bentuk pelajaran agar tak mengulangi keselahannya lagi.
"Iya, temenan." Ines menyambut uluran jari kelingking Hito dengan jari kelingkinnya, keduanya membentuk pink promise. "Lagian nggak temenan sama aku, kamu juga nggak bakal kekurangan temen," cibir Ines.
Ada kilatan keterkejutan di mata Hito atas kepasarahan Ines menerima tawaran semudah ini. Ia mengenyahkan pikiran buruknya jika ini hanya salah satu cara Ines agar segera terbebas darinya.
"Sama kayak kamu yang pengen hidup damai, aku juga," sahut Hito berusaha tenang.
Ines mengangguk mengerti. Tempat mereka bekerja hanya berjarak beberapa gedung, mau tak mau intensitas pertemuan mereka mungkin akan sering terjadi dan terasa kurang nyaman bila mereka terus bersifat seperti ini. Ines juga tak mau merusak harinya dan terlalu mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi. “Awas, modus!”
"Ines, mau banget kayaknya di modusin," goda Hito.
Ines berdecak, namun pipinya bersemu malu
“Sampai ada desas desus, kamu nggak bisa nenangin dan ngasih penjelasan istri kamu, terus istri kamu tetap salah paham dan ngelabrak aku ... liat aja, aku bukannya mundur minta maaf, tapi aku bakal ngelakuin sesuai yang mereka tuduhin ke aku. Sebelum itu semua terjadi, kamu tahu kan harus apa, 'kan?”
Ines memperingati. Ia selalu berhasil kembali berteman baik dengan mantan pacarnya, mantan gebetannya, mantan hubungan tanpa statusnya. Tapi, Hito adalah sebuah pengecualian karena masalalu mereka, terlalu suram.
Bila dulu Auxy statusnya hanya sebagai pacar, sekarang sepertinya dan sudah seharusnya menjadi istri Hito, bukan?
Mata jernih Hito menatap Ines tajam tapi hangat secara bersamaan, ada senyum geli yang berusaha ia tahan. “Iya, Ines, iya.”
"Aku tunggu kamu ngelakuin apa yang barusan kamu bilang," lanjutnya dalam hati.
"Yaudah, turun sana!" suruh Hito dengan sengaja ia mencubit gemas bibir Ines yang mengerucut. “Bisa gemes gini, ya?”
Ines menampik tangan itu. Kemudian tangannya bersedekap dada. "Kamu ngusir aku?" Entah kenapa rasanya Ines tak terima mendapat nada perintah seperti itu.
Hito terdiam berpikir. Detik kemudian ia tertawa keras. "Oh, mau ikut aku pulang ternyata." Ia membenarkan posisi duduknya dan memakai seatbeltnya.
“HITO!”
“Salah lagi? Emang Ines maunya gimana, sih?”
***********
Bab 30
"Kamu yang nyetir, Nes." Desy menyodorkan kunci motornya.
Ines mengerjapkan matanya bingung lalu menatap lamat kunci motor yang ada di tangan Desy. “Tapi, Des—”
Desy mengambil tangan Ines dan meletakkan kunci motornya di atas telapak tangan sahabatnya itu. “Bisa-bisa, Nes. Lagian kamu kan udah tahu teknik dasarannya, tinggal ngelancarin doang.”
"Kagok rasanya, Des. Entar malah kenapa-napa di jalan, bukan cuma kita yang rugi, orang lain juga bisa ikutan rugi." Ines tetap kekeh menolak usulan Desy.
Hampir tujuh tahun dirinya tidak menyetir kendaraan beroda dua berbahan bakar bensin itu. Selain merasa kaku, Ines juga mempertanyakan kemampuannya sendiri. Banyak spekulasi kejadian buruk bermunculan di otaknya jika ia tetap memaksakan diri untuk menyetir.
Jarak dari apartemen ke tempat praktek sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi padatnya jalanan Surabaya di pagi hari membuat Ines takut diserang rasa panik dan gemetar.
"Nggak-nggak, Nes, pelan-pelan aja. Aku awasain." Desy meyakinkan.
"Nggak sekarang, Des. Jalannya rame." Ines memilih jalan aman daripada mengambil resiko. Tidak ada jaminan atas apa yang Desy katakan.
"Emang kapan jalanan Surabaya sepi," sahut Desy jutek. "Yaudah sini." Desy menarik sedikit kasar kunci motornya dari tangan Ines.
Ines tersenyum kecut. Ia mengikuti langkah Desy naik ke atas motor matic temannya itu dan memakai helmnya.
“Aku yang punya motor, aku juga yang nyetir kemana-mana. Ck, definisi beban pertemanan kamu, Nes.”
Sepanjang jalan Desy tak berhenti menggerutu dan memberitahu Ines tentang berbagai manfaat bila Ines dapat menyetir motor sendiri.
Gadis berambut sebahu itu mencebik sebal setiap kali Ines mematahakan argumennya. Apa susahnya sih belajar motor?
Seharusnya sahabatnya itu lebih mau berusaha lagi. Bukannya malah terus-terusan bersembunyi dibalik kata nggak siap dan takut. Terus saja seperti itu. Sampai kapanpun tidak akan pernah ada perubahan.
Ia kan juga ingin berada diposisi Ines. Duduk nyaman di jok motor disaat-saat lelahnya sepulang bekerja. Lebih lagi bila kemana-mana mereka bisa menyetir bergantian.
"Aku nggak sebeban itu, ya! Aku ikut patungan buat ngisi bensin, malah seringnya tiap hari aku yang ngisi full tank, padahal kamu yang makek buat jalan sama temen-temenmu yang lain." Ines yang biasanya selalu nampak santai, kini memberenggut tak suka dan menggunakan nada ketusnya secara terang-terangan.
"Motor, motor aku, bebas dong mau aku pakek kemana aja," sahut Desy tak kalah ketus. “Jadi ceritanya kamu mulai perhitungan sekarang.”
Ines mendengus jengkel. Ternyata, meski sudah mengetahui atau mengenal baik karakter seseorang, tetap saja tidak bisa menutup kemungkinan akan terbebas dari rasa sakit hati dengan ucapannya dibeberapa kondisi.
"Gini aja deh, Des. Kalo kamu ngerasa keberatan, mulai entar aku balik sendiri. Aku nggak masalah kok nggak bareng kamu lagi, atau kamu bareng sama yang lain," ucap Ines.
Ines tak peduli dan tidak mau mencoba mengerti berada di posisi Desy. Toh dari awal Desy sendiri yang memaksa mereka berangkat bersama, kenapa sekarang gadis itu mempermasalahkan begini?!
Setelah Ines bisa mengendarai motor lagi, terus apa? Ines kan nggak ada motor, dia juga nggak ada minat buat punya. Selama ini ia baik-baik saja menggunakan kendaraan umum.
Ines mengeluarkan materi, Desy mengeluarkan tenaga. Bukankah seharusnya sudah seimbang?
Desy terkekeh. "Dih, baperan," ejeknya. “Aku maunya kamu belajar doang, Nes, biar kita bisa gantian berangkat pulang kerjanya, adil.”
"Aku nggak bisa, Des. Mending kamu cari barengan lainnya yang sesuai kriteria kamu." Ines melepas helmnya dan berjalan cepat menuju pintu masuk gedung.
"Tunggu napa, Nes." Desy sedikit berlari menyamakan langkahnya setelah memarkirkan motor dan melepas helmnya.
Ines melirik malas pada tangan Desy yang bertengger santai di bahunya. Sepanjang jalan menuju lantai tiga, Ines lebih banyak diam tidak menanggapi berbagai celotehan Desy. Kata beban sepertinya cukup mengusik egonya.
Keduanya memang terbiasa berdebat. Namun, hari ini berbeda. Entah Ines yang sedang terlalu sensitif merasa dimanfaatkan dan tidak dihargai atau Desy yang terlalu menyepelekan sifat santai Ines.
******
awalnya Ines memilih menjadi seorang Terapis Wicara jujur saja karena peluang kerjanya yang luas dan gajinya yang menjanjikan. Namun, semakin Ines mengenal jurusan ini, semakin ia menyukai dan menikmatinya.
Menjadi seoarang Terapis Wicara bukan mempelajari bahasa isyarat yang biasa kalian lihat di Televisi. Tetapi menangani pasien gangguan menghisap, menelan, bicara, bahasa, irama kelancaran dan suara pada bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua maupun usia lanjut akibat penyakit Stroke.
"Hai," sapa Ines ramah pada Alvaro— keponakan Andra yang dua minggu ini resmi menjadi pasiennya.
Alvaro, bocah yang akan menginjak usia tiga tahun itu didiagnosa speech delay atau keterlambatan bicara yang tidak sesuai dengan perkembangan usianya.
Alvaro sama sekali tidak menggubris Ines, sibuk dengan mainan robot-robotan yang ada di tangannya.
Bagaimana rasanya dicuekin? Ines sudah terbiasa dengan itu. Tak jarang ia juga mendapat pukulan dari anak kecil yang memberontak tak ingin mengikuti sesi terapi atau bahkan harus kejar-kejaran selama sesi berlangsung.
Yang harus Ines lakukan adalah mencari cara bagaimana mencuri perhatian pasien dan bagaimana caranya ia mengerti apa yang diinginkan pasiennya.
"Aku bawa masuk ya," pamit Ines sambil menggendong Alvaro. Ia tersenyum sopan pada beberapa orang yang mengantar bocah itu hari ini.
Cara kerja seorang terapis wicara dimulai dengan skrining terlebih dahulu, kemudian ada diagnosis dan prognosis, lalu merencanakan tindakan terapi atau membuat schedule jangka pendek dan panjang, selanjutnya pelaksanaan terapi, melihat hasil terapinya lalu evaluasi, dan yang terakhir yaitu pelaporan hasil atau dokumentasi. Semua itu dilakukan tetap dalam pengawasan Dokter tumbuh kembang anak.
Terapi wicara berlangsung sekitar dua sampai tiga kali dalam seminggu, dan pada hari Sabtu seperti ini, Andra pasti ikut mengantarkan.
Hampir satu setangah jam, akhirnya sesi terapi Alvaro yang ke tujuh selesai. Bocah itu keluar ruangan dengan mata yang sembab, tapi bibirnya menyunggingkan senyum lebar karena diberi balon Elmo sebagai give.
"Berarti kurang lima sesi lagi ya, Dek?" tanya Mita—ipar Andra. Ia mengambil alih anaknya dari gendongan Ines.
"Iya, Mbak. Biasanya masuk sesi kesepuluh perkembangan yang signifikan baru keliatan," jawab Ines.
Ines mendengus dalam hati melihat bagaimana cara Sari— Ibu Andra menatapnya dari atas hingga bawah—meski wajahnya nampak biasa, tapi tidak dengan sorot mata tuanya yang entahlah, Ines selalu tidak mengerti arti tatapan Sari untuknya.
"Ibu baru tahu kalo Ines yang jadi terapis Alvaro," kata Sari, bibirnya mengulas senyum ramah. “Udah dari kapan kerja di sini?”
“Sekitar dua tahun setengah, Tante.”
Desy muncul dari ruang praktek sebelah. Lantai tiga gedung ini memang dikhususkan untuk terapi wicara dan terapi opukasi. "Hai, ganteng." Ia menoel gemas pipi gembul Alvaro yang nampak tidak terusik sama sekali. “Rame bangat yang nganter Alvaro hari ini.”
"Iya nih, eyang putri sama akungnya ikut, pengen tau katanya," ucap Mita.
"Ini orangtuanya mas Andra?" Mendapat balasan anggukan dari Mita membuat Desy segera menyalami keduanya secara sopan. "
“Assallammu'allaikhum, Tante, Om.”
"Yang ini siapa namanya? Dari Mojokerto juga?" tanya Sari ramah.
Meski sedikit risih dengan cara Sari melihatnya—yang seperti sedang menilai sesuatu, Desy tetap mengenalkan dirinya. "Saya Desy, Tante. Teman kuliahnya Ines, saya asalnya dari Kediri. Dari Ines jadi kenal anak tante yang ganteng kayak keponakannya itu." Desy terkekeh pelan diakhir kalimat yang segera disambut gelak tawa yang lain.
Rizal menatap jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul setengah dua belas. “Bentar lagi kalian istirahat? Mau makan siang bareng?”
"Kebetulan, bentar lagi waktunya kita pulang juga,Mas," sahut Desy dengan mata berbinar mendengar ajakan Rizal. Ia melirik Andra penuh minat.
Di mata Desy, Andra adalah calon suami potensial. Tidak banyak bicara, namun dapat diandalkan. Pembawaannya lembut, cara pikir yang dewasa, dan yang paling penting Andra pria baik-baik. Sosok imam yang didambakannya.
Wajah kalem Andra sangat membuat Desy gemas. Ia menahan kuat tangannya agar tak lancang menyentuh lalu mencubit gemas pipi pria yang tiga tahub lebih tua darinya.
"Loh, setengah hari?" tanya Mita sedikit terkejut karena baru mengetahuinya.
"Biasanya dalam sebulan cuma masuk dua kali aja di hari Sabtu, itupun juga setengah hari, tergantung jadwal pasiennya juga, sih mbak. Dibeberapa keadaan, yang harusnya libur bisa masuk," jawab Desy.
"Kenapa Alvaro nggak Desy aja yang nangangin?" Pertanyaan tiba-tiba dari Sari itu membuat mereka yang ada disitu tersentak. Sekali lihat, menurutnya Desy lebih dapat diandalkan daripada Ines.
Andra menatap Ines tak enak, yang dibalas senyum tipis gadis itu.
"Kalo tante mau ganti terapisnya bisa kok, tinggal konfrimasi aja ke pihak adminitrasi," jawab Ines. Senyum manis tak juga luntur dari bibir tipisnya.
Kehilangan satu pasien tak masalah baginya, daripada dipertanyakan tentang kualitas dan kuantitasnya yang terbukti sudah terjamin.
Sepertinya Sari memandangnya sebelah mata, pasti kedepannya semua yang Ines lakukan nampak tidak memuaskan di mata Sari.
Ibu Andra pikir Ines berada di posisi seperti ini dengan mudah. Tentu saja tidak!
Ines harus melalui banyak tahapan. Mengikuti berbagai seminar untuk mendapatkan sertifikasi terapis wicara sebagai dokumen penunjang. Selain menempuh pendidikan terapi wicara, untuk bisa praktek dan memberikan intervensi, seorang terapis wicara juga perlu memiliki surat tanda registrasi, surat izin praktik dan surat izin kerja, agar layanan yang diberikan sesuai dengan standar kompetensi.
Untuk mendapatkan surat-surat tersebut, terapis wicara biasanya perlu mengikuti uji kompetensi yang telah disediakan oleh lembaga pendidikan terkait. Baru ia dapat memberi layanan terapi wicara di klinik, rumah sakit atau tempat-tempat yang membutuhkan layanan ini.
"Oh, begitu. Fleksibel berarti ya?" Sari tersenyum lebar. "Nanti kamu urus ya, Mit," ucap Sari pada menantunya satu-satunya.
Mita menatap suaminya tidak rela, tapi karena Rizal bilang tidak masalah untuk ganti terapis— sama saja pikirnya. Terpaksa Mita mengangguk singkat pada mertuanya.
Ines mengulum senyum melihat keluarga harmonis dihadapannya. Rizal gambaran anak baik calon penghuni surga-Nya karena begitu menuruti perintah ibunya dan membiarkan sang ibu turut andil dalam kehidupan rumah tangganya.
Dan Andra—adalah calon berikutnya.
"Udah biarinlah, dateng-dateng kok ngatur kamu itu." Ibrahim yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara.
“Rizal sama Mita juga nggak ada masalah kok. Udah Bapak ikut aja.”
"Terserahlah, Bapak tunggu di mobil." Ibrahim mengangguk dan tersenyum tipis pada Ines sebelum berlalu.
"Kalian selesaiin, Ibu ikut bapak tunggu di mobil." Sari melangkah mengikuti suaminya.
Rizal juga berlalu ke lantai satu untuk mengajukan berkas perpindahan anaknya.
Mita menatap Ines sungkan, padahal gadis muda di depannya ini yang memberitahu tentang keanehan Alvaro. "Maaf, ya," ucapnya penuh penyesalan.
"It's okey Mbak, kayak gitu udah biasa kok." Ines terkekeh, ia maju lebih mendekat pada Mita dan berbisik di telinganya, “Lumayan, Mbak, bisa ngerasain weekend yang lebih panjang.”
Bukan lebih panjang lagi, namun Ines kembali mendapat kebebasannya. Tempatnya praktek ini memberi kebebasan, mau ambil praktek setiap hari Sabtu atau hanya menerima beberapa pasien yang kebetulan rolling jadwal. Dan Alvaro adalah pasien Ines satu-satunya pada hari Sabtu.
Desy pun tak ambil pusing akan perasaan temannya yang tersinggung atau tidak. Ini Ines, temannya yang selalu santai menghadapi apapun.
Hal seperti ini juga sudah biasa terjadi dibeberapa kondisi atau karena beberapa kemungkinan. Seperti jadwal pasien dan terapisnya yang berbentrokan akan diahlikan ke terapis lain atau dijadwalkan ulang.
"Ikut makan siang, kan, Dek?" tanya Andra penuh harap.
Ines menggeleng. “Nggak bisa, Mas, aku harus mindahin beberapa berkas punya Alvaro ke Desy.”
Andra menghela napas kecewa. Tanpa menanyakan pun sebenarnya ia tahu jawabannya atas ketidakengganan Ines. Tapi ia juga tidak bisa memaksa untuk ikut. “Ibu sama Bapak ikut, jadi kayaknya setelah makan nanti langsung balik ke Mojokerto.”
Biasanya setelah terapi keponakannya selesai. Andra memisahkan diri dari keluarga kecil Rizal. Ia akan keluar bersama Ines dan kembali ke Mojokerto malam harinya. Nampaknya malam minggu ini pengecualian.
"Masih ada minggu depan, Mas. Mungkin," sahut Ines enteng.
Selain tidak nyaman, alasan lain Ines menolak adalah masih adanya rasa kesal yang bersarang di hatinya. Kebiasaan Andra yang hilang timbul. Kadang rajin menghubunginya, lalu tiba-tiba menghilang begitu saja.
Dan sekarang lelaki itu muncul selayaknya tidak pernah terjadi apa-apa. Maunya apa?!
"Liat nanti gimana, ya? Coba aku usahain.
"Nggak usah naik motor loh, Mas!" Ines memperingati. Sebelum Alvaro terapi, biasanya Andra menemuinya setiap Sabtu pagi dan kembali ke Mojokerto sore harinya.
"Entar kalo bisa bawa mobilnya bapak." Andra tersenyum melihat bibir Ines yang mencebik. Tangannya terulur mengacak gemas rambut panjang berwarma hitam legam milik Ines.
"Terserah deh. Bakal percuma juga aku larang." Ines merapikan kembali rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah Andra. “Yaudah, aku siapin dulu ya dokumen pengantarnya buat alvaro.”
Meski Desy terlihat bercakap-cakap dengan Mita. Namun, ia lebih fokusnya mendengarkan obrolan Ines dan Andra. Sering kali Desy menimang, apakah bisa ia membuat Andra yang sudah delapan tahun hanya melihat Ines berpaling padanya?
Desy berdecak dalam hati melihat bagaimana cara Andra menatap punggung Ines hingga tubuh gadis itu menghilang di balik pintu ruang prakteknya.
Desy jadi penasaran bagaimana reaksi Andra jika mengetahuinya bila Ines hanya beralasan agar dapat menolak makan siang bersama keluarganya?
"Kamu jangan kelamaan, keburu Ines diambil orang entar," bisik Mita pada adik iparnya. Kemudian, ia tergelak melihat wajah masam Andra.
"Mau siap-siap dulu?" tanya Andra pada Desy. Ia tak ingin menanggapi godaan dari kaka iparnya itu.
Desy mengerjap, padahal hanya mendapat pertanyaan formalitas, tapi hatinya tetap saja berdecak cepat. Desy menyibakkan rambutnya ke belakang telinga. “Aku ganti sebentar ya.”
"Santai aja. Kita tunggu di lobi ya kalo gitu," ucap Mita.
Andra dengan sigap mengambil ahli Alvaro dari gendongan Mita yang terlihat keberatan menggendong tubuh gembul anaknya.
"Ya ampun, ya ampun." Desy mengibas-ngibas heboh pipinya yang memanas. Ia tak bisa berhenti tersenyum mengingat sebentar lagi bergabung dalam acara makan siang keluarga Andra. Satu langkah pendekatan, pikirnya.
Desy melangkah masuk ke dalam ruang ganti dimana Ines sudah selesai berganti pakaian. Sahabatnya itu nampak khusyuk dengan ponsel di tangannya. “Beneran nggak mau ikut makan siang bareng?”
Ines tahu pertanyaan itu hanya sekedar basa-basi. Desy tetaplah Desy, yang selalu secara terang-terangan bila menginginkan atau mendambahkan sesuatu hal termaksud laki-laki. “Nggak, aku ada acara lainnya.”
“Sama siapa?”
"Ck, banyak nanya! Sana ganti, entar ditinggal gulung-gulung di sini. Najis," kelakarnya, menutupi dongkol hatinya.
Desy mencekal tangan Ines yang akan keluar dari ruang ganti. “Kamu keluarnya entar aja setelah aku pergi.”
"Apaan sih, suka-suka gue lah." Ines melepas sedikit kasar tangannya. Untuk apa memedulikan Desy kalau gadis itu sendiri tidak pernah memedulikannya.
"Nes, Ines, motorku gimana ya? Masa' habis makan balik ke sini lagi?" Desy mengejar Ines yang sudah berjalan di lorong lantai tiga.
Meski kesal, Ines masih saja tetap menjawab. “Tinggal aja, senin baru di ambil.”
“Entar kalo aku mau makek gimana? Atau kamu aja yang bawa motorku sekalian belajar. Pelan-pelan asal nyampe.”
Ines menghentikan langkahnya, menatap Desy tak habis pikir. Apa segitu kecilnya dirinya di mata Desy?
"Gimana, Nes?" Desy masih saja tetap menuntut.
Tanpa menjawab Ines pergi berlalu begitu saja dengan langkah cepat. Lebih baik ia mulai membuat jarak daripada semua makian dan kata-kata kasar meluncur dari mulutnya untuk Desy. Desy benar-benar keterlaluan.
Ines tersenyum tipis pada Mita yang duduk di sebelah Rizal—keduanya sedang berbincang dengan pihak adminitrasi.
"Mau kemana?" tanya Mita tanpa suara.
"Pulang. Bye, Mbak," jawab Ines tanpa suara, ia melampai kecil lalu berjalan cepat keluar dari gedung, ia menghindari tatapan Mita yang pasti sedang penuh tanda tanya.
Sudah berada di luar gedung, Ines membaca pesan masuk dari ponselnya.
———
Dilla
Tunggu, aku udah deket.
———
Sepertinya Dilla sudah melihat keberadaannya. Tak menunggu lama mobil yang seperti Ines kenali berhenti tepat di depannya.
"Nes, ayo!" ajak Dilla sambil membuka pintu mobil bagian belakang.
Kaca bagian depan terbuka menampakkan Ryan menggunakan kaca mata hitam bertengger manis di hidungnya yang sedikit mancung. “Lelet, lo.”
"Kuli gendongnya, Kakak," sahut Bian tepat di belakang Dilla.
Astaga! Ines kira ia akan keluar bersama Dilla seperti biasa. Ternyata seperti rombongan. Ines terkesiap merasa ada yang mendorong lembut punggungnya, menuntunnya masuk ke dalam mobil. Ia menoleh kebelakang. “Hito ....”
“Here, I'am.”
**********
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
