AGARISH — Chapter 1, 2, & 3 #UnlockNow

56
13
Deskripsi

Blurb:

Agarish dan Sephora sudah bersama lebih dari 8 tahun lamanya. Sudah bertunangan secara personal. lebih dari siap untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. yaitu, pernikahan.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba restu itu tak lagi mereka dapatkan dari ibu Agarish?

 

Apa yang harus Agarish lakukan? Dan haruskah Sephora tetap bertahan?

Chapter 1. | OPENER |

Nggak Mampu Berkata, Cuma Bisa Tersenyum Kosong

Sore yang canggung untuk Sephora. Bergabung bersama keluarga inti Agarish di dapur selagi menyiapkan makan siang. Tempat yang biasanya ia kunjungi kala mengambil minum atau sekadar menaruh piring kotor. Bukannya berjibaku dengan bahan-bahan makanan yang jelas tak ia mengerti bagaimana proses mengolahnya.

Dari awal mengenal, Gendis memiliki pembawaan yang anggun selayaknya wanita Jawa. Lembut dan keibuan, membuat Sephora tak khawatir waktu Agarish menepi untuk menerima telepon dari rekan kerjanya. Sephora juga cukup akrab dengan Hana- kakak ipar Agarish. Gendis—ibu Agarish mengeluarkan Baby corn, Buncis dan Brokoli dari kantung plastik, meletakkan ke dalam baskom stainless yang berada di atas meja pantry dekat Sephora. “Tolong, kamu potongin ya, Nduk?”

Sephora tersenyum mengiyakan. Kembali ke Jakarta sama artinya mulai menyesuaikan diri dengan keluarga calon suaminya. Menjalin hubungan dengan Agarish 8 tahun lamanya, tak lantas membuatnya akrab dengan keluarga lelaki itu. Adanya bentangan jarak 11.711 km yang menghalangi, menyebabkan mereka minim komunikasi.

Hana mencelupkan Ayam yang sudah dimarinasi ke dalam adonan tepung basah, lalu dibalurkan pada tepung kering dan diremas-remas sedikit agar lebih menempel. “Kamu selama di London masak sendiri, Ra?”

Tersenyum tipis, kepala Sephora menggeleng samar.             

“Tiap hari beli?” Hana berjalan menuju kompor tanam yang ada di sudut samping dapur, menuangkan minyak secukupnya pada teflon.

“Nggak juga sih, Mbak. Seringnya catering gitu, mama yang siapin. Kadang pesan antar.” 

Gendis mengambil garam sembari menoleh pada Sephora sekilas. Kemudian menaburkan garamnya ke dalam nasi goreng yang sedang diaduk Hana selagi menunggu minyak penggorengan panas. “Tapi kamu bisa masak, Nduk?”

Di telinga Sephora nada suara Gendis bukan selayaknya pertanyaan biasa, tapi pernyataan sarat tuntutan dan pemastian. “Belum, Tan,” aku Sephora jujur.

Senyum Gendis meluntur, ia tatap Sephora serius.

Mendapati tanggapan seperti itu dari lawan bicaranya, Sephora meringis tak enak hati. Dahinya berkerut was-was. Menanti gusar apa yang akan disampaikan ibu Agarish.

“Perempuan berpendidikan tinggi itu bagus dan memang penting, Nduk, karena bakal jadi pendidik pertama untuk anak-anaknya kelak. Tapi selain itu, ada hal yang nggak kalah penting. Seperti memasak, itu sebuah kewajiban, apalagi bagi keturunan Jawa seperti kami.” Gendis menaruh nasi goreng di ujung sendok, lalu menyuapkannya pada Sephora. “Cobain, Nduk.”

Sephora membuka mulutnya, lalu mengunyahnya pelan.

“Gimana rasanya?”                                             

“Pas kok, Tante,” gumam Sephora. Menelan paksa butiran nasinya dengan kasar. “Enak.”

Gendis tersenyum lalu mematikan kompornya. Menuangnya ke atas piring besar yang ada di counter table. “Tante berharap, sebelum kalian menikah, kamu udah bisa masak, ya, Nduk?” tembaknya langsung tanpa basa-basi.

“Nggak harus langsung bisa kok, Ra, pelan-pelan aja, entar lama-lama juga terbiasa dan pasti jadi bisa,” Hana menyela kalem. Menengahi percakapan keduanya, karena mengenal karakter mertuanya yang kuno, jelas bertentangan dengan Sephora. Gairah masa muda yang ambisius dan menggebu-gebu penuh semangat.

Berdiri di belakang Gendis membuat Hana leluasa mengangkat tangannya sebatas dada menggerakkannya naik turun, memberikan kode pada Sephora agar tidak menelan mentah-mentah ucapan mertuanya. “Gini, Ra.” Ia bergumam sedikit lama. “Kayak, istri pintar masak, buat suami tambah sayang, gitulah." Kelakarnya berusaha mencari pemahaman yang mudah diterima.

“Kewajiban istri adalah melayani suami, dari mata terbuka hingga kembali terlelap. Maka dari itu, memasak termaksud point penting… bagi suami, memakan masakan istri itu jauh lebih berkesan dibanding makanan dari luar… semahal apa pun makanan yang dibeli di luar, nggak bisa mengalahkan rasa bangga kita sebagai istri saat dapat memuaskan suami,” imbuh Gendis.

Sephora tertegun, alisnya bertaut dengan mata berpendar bingung. Ia masih berusaha menyaring sisi positif dari setiap kalimat yang Gendis utarakan. Namun, demi kesopanan, ia tetap menampakkan ketenangannya.

Gendis menatapnya semakin lekat, dan Sephora berusaha semakin keras menyembunyikan kegelisahannya.

“Jujur saja, Nduk. Tante lebih suka… ke depannya, kamu sebagai istri Agarish bisa lebih fokus dengan keluarga kecil kalian. Menjadi Dokter memang sebuah pekerjaan yang sangat mulia, dapat menolong banyak orang. Tapi pasti terikat dan menghabiskan banyak waktu di Rumah Sakit.”

Gendis meraih tangan Sephora dan menggenggamnya erat. “Mungkin Tante terdengar kolot, tapi Tante hanya ingin yang terbaik untuk Agarish dan kamu, calon keluarga kalian. Tante harap kamu sependapat dengan Tante, ya? Karena karier yang cemerlang, nggak akan ada apa-apanya kalau sampai menelantarkan keluarga karena kalian sama-sama sibuk,” jelas Gendis.

Sephora menelan ludahnya susah payah. Terbaca jelas, pada pola pikir Gendis perempuan harus bisa memasak, kurang menyukai perempuan berkarier yang menyebabkan mengabaikan keluarganya. Bertentangan sekali dengan prinsipnya, menganut budaya barat yang memiliki kebebasan lebih luas dan pikiran terbuka.

Lantas, Sephora harus jawab apa? Ia bahkan tak diberi kesempatan untuk membuka mulutnya. Sebab Gendis langsung pergi menyambut kedatangan sahabat karibnya yang baru tiba.

Hana menepuk pelan bahu Sephora. “Tenang, Ra, nanti aku ajarin.” Ia meringis tak enak hati. “Ya, emang gitu mertua kita. Alasannya sih, karena sayang sama kalian. Mau yang terbaik buat semuanya."

Boleh Sephora anggap itu sekedar omong kosong? Memang kesenjangan berumah tangga tolak ukurnya hanya sebatas dapur?

“Mbak, dulu juga gitu?” tanya Sephora.

“Aku lebih parah lagi.” Hana tersenyum singkat, pandangannya tampak menerawang ke masa lalu. “Karena mas Arlan yang meneruskan usaha bapak di sini, jadinya setelah menikah kita masih tinggal bareng orang tua mas Arlan. Belum cukup biaya buat bangun rumah.”

Ia meringis miris menceritakan bagaimana awal kehidupan rumah tangganya. “Tiap hari kena omel ibu,” akunya berbisik. Ia mengedikkan bahunya santai. “Mungkin bukan omelan ya, kayak kasih tahu jadi istri yang baik itu harus gini, harus gitu. Cerewet bangetlah pokoknya, ngatur-ngatur gitu.”

“Ikut campur banget, Mbak?”

“Ya gimana, namanya juga satu atap.” Hana terkekeh kecil. “Tapi berkat ibu juga aku jadi kayak sekarang. Pinter mengurus orang rumah, apalagi masalah dapur. Jelas banget, job desk ibu rumah tangga kayak Mbak gini.” Kelakarnya melucu, entah untuk menenangkan Sephora atau terhibur atas apa yang sudah ia lewati, rasanya bagaikan lelucon kehidupan.

Hana menyendok potongan ayam yang sudah dibalur tepung lalu memasukkannya ke dalam fry pan.  “Dulu aku juga resign kerja setelah hamil Gala, soalnya waktu itu kandungan Mbak lemah.” Ceritanya tanpa diminta.

“Bosen banget di rumah, pasti. Biasanya ketemu banyak orang, jadi kayak cuma natap tembok rumah yang dingin. Namanya juga keputusan ya, Ra, berusaha dinikmatin aja. Jadi ibu rumah tangga full time buat keluarga, itu juga nggak kalah menyenangkan. Ada perasaan bangga dan lega secara bersamaan berhasil mengurus suami dan anak dengan tangan kita sendiri, kayak yang ibu bilang tadi, kalau di Mbak banyak benernya.” Ia tersenyum, layaknya seorang kakak perempuan pada adiknya yang sedang persiapan melepas masa lajang. “Jadi wanita karir juga hal yang sangat membanggakan, apalagi kamu seorang Dokter.”

Sephora tersenyum kosong sembari menatap Hana.

“Aku cerita kayak gitu, bukan mau nakutin atau mengharuskan kamu mengikuti jalan yang aku pilih… sekedar bertukar cerita.” Sebelah alis Hana terangkat, senyum tulus terpatri lama yang terlalu sering diulasnya sepanjang percakapan. “Baik ibu rumah tangga atau wanita karier, itu sama-sama berat. Cuma kesannya kan, udah tertanam di budaya kita, perempuanlah yang mengurus pekerjaan rumah. Secapek-capeknya pulang kerja, tetap saja kita perempuan yang dituntut membereskan perkara rumah."

Sephora hanya bisa menarik kedua sudut bibirnya kaku. Bahkan untuk berucap bibirnya terasa keluh.

------

Semenjak di London, kemampuan bersosialisasi Sephora mengalami peningkatan. Ia mulai terbiasa beramah tamah dengan orang lain, meski tetap lebih banyak sebagai pihak pendengar, dan masih ada gugup yang menyelimuti. Sephora mencoba menepisnya sekuat yang ia bisa. Ia juga bukan orang yang mudah terintimidasi. Sephora selalu percaya diri atas kemampuan dan semua yang dimilikinya. Tapi kedatangan sahabat karib Gendis bernama Mawar bersama anak perempuannya—Riska berhasil membuat rasa insecure menyergapnya.

“Agarish itu kalau makan harus ada sayurnya.” Itu suara Gendis yang terlihat bersemangat menceritakan kepada Riska apa yang disukai dan tidak disukai Agarish beserta kebiasan makan lelaki itu.

Sesampainya di dapur tadi, Gendis meminta Riska mengambil alih apa yang sedang Sephora kerjakan. Memukul mundur Sephora secara telak, membuat Sephora hanya bisa terpekur kaku, kepalanya menunduk menekuri pinggiran meja bar.

Riska adalah fresh graduate jurusan Tata Boga yang akan melanjutkan S2 nya di Jakarta. Sejak kecil gadis itu sudah dikenalkan dapur oleh ibunya, sampai rasa ketertarikan pada bidang kuliner semakin tinggi dan memutuskan untuk lebih menekuninya.

“Jadi, rencana mu kedepannya apa, Nduk?” tanya Gendis.

Dengan gerakkan cepat Riska memotong-motong sayuran, gesturnya serasa berbeda, nampak lincah sekaligus anggun menggunakan pisau. Matanya nampak berbinar senang. “Mau buka Resto, Tante. Menu nusantara sambil lanjut kuliah.” Riska tersenyum manis. “Doa’in ya, Tan, semoga semuanya diparingi lancar.”

“Jelas, toh,” sahut Gendis. “Kabarin loh kalau udah buka. Eh, pasti diundang, kan?”

Mawar tergelak. “Ya, pastilah, Ndis. Piye toh, mosok konco dewe nggak diundang?!” Ia menoleh pada anaknya yang juga terkekeh.

“Aku tunggu loh, Tan. Awas sampai bikin aku kecewa.” Ancam Riska bercanda. Ia sudah mengenal sedari bayi sahabat karib bundanya sejak ia masih berada di bangku Sekolah Dasar.

“Pasti dateng lah!” seru Gendis meyakinkan. “Oh, iya, Sephora.”

Mendengar Gendis memanggil namanya, Sephora mengangkat kepalanya. Menatap tenang, menyembunyikan gejolak tak nyamannya. “Iya, Tan?”

“Tolong kamu kupas bawang merah sama bawang putihnya, ya?” Gendis menunjuk sisi kanan kabinet atas, sedangkan dirinya, Mawar dan Riska mengelilingi meja pantry. “Ada di laci kedua, di wadah sesek. Kamu ambil terus kupas semuanya, ya? Itung-itung belajar masak dari yang paling dasar dulu saja.”

Setelah itu obrolan ketiganya terdengar saling bersahutan dengan diselingi tawa, Sephora tidak lagi memperhatikannya.

Sephora menjalankan instruksi Gendis tanpa mengeluh. Ia berdiri di samping cucian piring dekat tempat sampah kecil di bawah kabinet sambil mengupas bawang Putih dan bawang Merah secara acak. Tak ada yang menghiraukannya. Hana pun sudah kembali ke kamar saat anak keduanya menangis meminta susu.

Sebenarnya, dirinya siapa di sini?

Dirinya sedang apa ia di sini?

Untuk apa ia melakukan ini? Ia merasa diabaikan dan dikucilkan.

Sephora berusaha memfokuskan pandangannya, Matanya mengabur entah akibat panasnya Bawang atau sengatan nyeri di hati bercampur sesak oleh ketidak adilan. Berseru protes pun percuma, itu hanya memperlihatkan sisi pecundangnya.

 

Chapter 2. | Harus Banget? |

“Bisa, kan, Le?”

Agarish mengapit ponselnya di antara telinga dan bahunya, matanya terpatri pada layar laptop di hadapannya, menampakkan salah satu konsep design yang sudah ia buat sesuai keinginan client-nya. 

“Agarish!” tegur suara di ujung sambungan. Suara Gendis yang meninggi, namun tetap penuh keanggunan, sontak membuat Agarish meringis, telinganya terasa berdengung ngilu. Semampunya ia bentangkan jarak antara telinga dan ponselnya dengan tangannya. Namun, sia-sia, karena Gendis kembali menyerangnya, menggunakan nada terluka seolah lelah menghadapi tingkah anaknya yang amat durhaka.

“Kamu lagi ngapain? Ibu cuma minta waktu kamu sebentar, nggak sampai 5 menit ngomongnya. Emang Ibumu ini lebih penting dari kerjaan?”

Menghentikan pergerakkan jemarinya dari atas mouse, Agarish usap wajahnya kasar, lalu ia pindahkan ponselnya ke telinga kiri. Mendapat pertanyaan retoris seperti itu, sudah pasti dirinya kalah telak bukan?! “Iya, Ibu? Gimana?”

“Ibu udah bisa ngomong sekarang?”                  

Agarish masih menangkap kesinisan yang kental. Tertawa tertahan, ia anggukan kepalanya meski ibunya tak dapat melihatnya. “Ibu lagi puber kedua? Kok baperan amat.” Decak Agarish ogah-ogahan. “Atau jangan-jangan ini termaksud tanda-tanda menopause?”

“Dasar anak kurang ajar!” ujar Gendis setengah geram, tetapi Agarish malah tertawa keras. Meskipun usianya mau menginjak 26 tahun, tetap saja, Agarish adalah si bungsu yang suka merajuk pada keluarganya bila diganggu, lalu membalasnya dengan cara tak kalah menyebalkan. 

“Kamu tuh emang paling pinter bikin Ibu sewot.”

“Mas Arlan sering bilang gitu sih. Ternyata waktu denger langsung dari Ibu, nggak nyangka aja, malah bikin hati aku kembang kempis. Nggak ada terharu-harunya. Malah pengen buru-buru nutup teleponnya, terus lari nemuin Ibu sambil bawa sertifikat tanah.”

“Agarish, Ibu serius!”    

Agarish tergelak jenaka. “Loh, aku juga udah ada niatan nyeriusin… Sephora tapinya, bukan Ibu. Kan aku bukan Sangkuriang,” elaknya menyebalkan. 

Terdengar tawa renyah kakak iparnya di seberang sana, sepertinya Gendis sedang duduk di ruang santai ditemani oleh Hana selagi menunggu kedua keponakannya pulang sekolah selepas mengurus perkara rumah. Ibu rumah tangga idaman para suami, katanya. Tapi bagi Agarish, hanya Sephora idamannya.

“Ya ampun, ujung-ujungnya nggak jauh-jauh dari Sephora. Dasar Bucin!” ejek Hana yang belum bisa meredakan tawanya.

Mendengus geli, Agarish tatap planner yang sempat dicoret-coret Pak Rangga selaku senior arsitek di tempatnya bekerja. Seminggu yang lalu mereka melakukan meeting, memberi gambaran umum mengenai denah sebuah rumah yang menginginkan adanya taman ramah anak beserta kolam renang di bangun di atas tanah seluas 1.000 meter. “Jam berapa sekarang, Mbak?”

Terdengar bunyi kresek-kresek, sepertinya Gendis menyalahkan mode speaker pada ponselnya. “Hampir jam 1 siang,” jawab Hana terheran begitu adik iparnya itu mengganti topik obrolan begitu cepat. “Kenapa emang?”

“Kalau jam segitu kesiangan, kalau Sephora jelas kesayangan.”

Kekehan geli Hana lebih keras dari sebelumnya. “Udah nggak bisa diselamatkan lagi anak ini. majuin aja tanggal nikahnya.”

“Udah lama, Mbak,” gumam Agarish membenarkan olokan Hana, ia terSepho-Sepho. “Alasan terkuat aku lanjut S2 di London ‘kan demi bisa ketemu dia tiap hari, bonusnya bisa di titik sekarang," ujarnya tanpa malu. Puas pada perjuangannya dan pencapaiannya sendiri. “Dan pasti bikin Ibu bangga, ya nggak Bu Gendis?” tanya Agarish, seperti biasa, menggunakan nada main-main lengkap dengan ketengilannya.

Gendis tertegun, ia terdiam sesaat, kemudian tertawa pelan. Agarish dapat menangkap getar haru yang tengah Ibunya rasakan sebelum memberikan jawabannya. “Iya, iya, setelah kamu wisuda S2 kemaren kan udah ibu selametin, potongin sapi 1 ekor buat dibagiin orang sekampung.

Sejak kecil, ia dan suami tidak banyak berharap, apalagi menuntut Agarish. Anak bungsu yang tahunya cuma main dan membuat kekacauan semasa remaja. Namun, dengan hebatnya dapat menaikan derajat keluarga. Menjadi lulusan S2 Luar Negeri juga Arsitek.

“Itu jelas pamer, tapi berkedok syukuran.”

"Ya nggak lah, Le." elak Gendis, kemudian tertawa bersamaan bersama Hana.

“Yang tadi, emang bisa dimajuin, Mbak?” Meredakan gusar, Agarish meminum seteguk kopi hitam tanpa gula miliknya guna membasahi kerongkongannya yang terasa kering. “Bisa nggak, Mbak?” ia bertanya ulang, tanpa rasa malu. Pasti dirinya sekarang menyamai kucing yang sedang birahi.

Apanya, Dek?” tanya Hana tak mengerti.

“Kalau aku nikah tahun ini, okey nggak, Mbak?” tanya Agarish sok cuek. Ia menggaruk bagian belakang lehernya salah tingkah. Setengah main-main, setengahnya lagi penasaran. Sebab, meski sepakat terikat pertunangan, ia dan Sephora sama sekali belum membicarakan tentang pernikahan.

NGGAK BOLEH!”           

“Hehm?” Agarish terkejut akan respons teriakan ibunya yang terdengar panik saat membahas perihal pernikahannya. Salah satu alisnya menukik ke atas, matanya memincing penuh tanya, “Kenapa emang, Bu? Harus sesuai tanggal Jawa?”

Bukan!”

“Ngegas banget, Bu, makan siangnya tadi kebanyakan apa berasnya terlalu keras?”

Kamu ini, Le, ada aja yang diomongin.” Gendis menggeleng lelah, lalu menjelaskan pelan. “Pernikahan itu banyak yang diurus, nggak bisa asal-asalan. Mau, terus langsung jadi. Yo rah iso. Harus penuh persiapan.” Gendis bergumam agak lama, nampak menimbang. “Agarish,” panggilnya pelan.

“Ya?”

Tentang yang Ibu mau omongin tadi…” Gendis memberi jeda cukup lama.

Agarish sabar menanti kelanjutannya. Sepertinya bukan hal yang mudah untuk ia lakukan, menyadari gelagat Ibunya yang sangat hati-hati mengucapkannya.

“Ibu bisa minta tolong sama kamu?” 

“Apa, Bu?” Dilihatnya jam pada laptop menunjukkan pukul setengah satu siang, dan dirinya ada janji makan siang bersama Sephora di kantin kampus tunangannya. Agarish tutup benda persegi itu dengan hati-hati setelah menyimpan semua draft pekerjaannya, tak lupa menutup kolom email setelah mengecek jadwal meeting berikutnya sembari menunggu ibunya berbicara.

“Riska kan, baru di Jakarta, Ibu mau minta tolong buat kamu anter dia keliling Jakarta. Biar kalian juga bisa lebih saling mengenal, lebih deket kayak dulu—”

“Bu—”

Gendis tak membiarkan Agarish menyela. “Biar gimana pun, Riska itu anak sahabat karib Ibu, udah kayak saudara. Ibu juga anggap Riska anak Ibu sendiri. Umur kalian kan, juga nggak beda jauh, Riska cuma 2 tahun di bawah kamu, bisalah buat kalian jadi temen. Ajak dia jalan-jalan, biar dia lebih mengenal tempat tinggal barunya dan nggak bakal nyasar. Kamu tahu kan, gimana kerasnya Ibu Kota?

“Harus banget?” tanya Agarish tak menutupi keberatannya. Sekalipun tahu Ibunya pasti kecewa mendengarnya, tapi ia tak peduli. Ia memang menyayangi Ibunya, tetapi Agarish tidak suka permintaan yang tak masuk akal, terlebih dirinya sudah memiliki tunangan.

Ibu kan, nggak pernah minta apapun ke kamu, Le,” kata Gendis senduh, dan sumpah mati Agarish lemah jika sudah begitu. “Sekali ini aja masa’ nggak mau?”

Jika terus seperti ini, bisa-bisa dirinya terpaksa mengiyakan. Dan benar saja, tak lama bibirnya tiba-tiba menyuarakan persetujuan. Agarish yakin sekarang, Ibunya sedang tersenyum amat lebar karena berhasil menang darinya,

Nanti Ibu kirim alamat rumah Riska, ya? Sorean aja jemputnya, terus pulangnya jangan kemaleman,” ujar Gendis sumringah penuh semangat kemudian sambungan telepon diputus sepihak. Khawatir anaknya berubah pikiran.

Mengacak rambutnya kesal, Agarish hempaskan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya. Mengamati dalam diam langit-langit kantornya, berpikir bagaimana cara mengatur waktunya agar semua rencananya terealisasi dengan baik.

Getaran pada mejanya menyadarkan Agarish dari lamunannya. Bibirnya tertarik membentuk senyum senang kala melihat nama si penelepon. Tunanganku dongs. Ia tertawa geli sendiri membacanya. “Hallo, Kes?” sapanya hangat.

Agarish kembali mengapit ponselnya di antara telinga dan bahunya, akibat keterlambatannya tadi pagi hingga ia melupakan earphone-nya. Ia berjalan cepat melewati banyak kubikel, sesekali membalas dengan melambaikan tangan ke udara, menolak sopan ajakan makan siang beberapa rekan kerjanya yang dikenalnya akrab.

“Tapi nanti sore gue ada keperluan lain, Kes, nggak masalah?” tanya Agarish setengah meringis tak enak hati, tapi tetap mempertahankan gaya coolnya sambil mengacak isi tasnya serampangan mencari kunci mobilnya, mengumpat dalam hati karena tak kunjung menemukannya.

 

Chapter 3. | Unexpected |   

 

Milik Aku, Itu Kamu. Begitu Juga Sebaliknya.

Tak menunggu terlalu sore, mobil Agarish sudah terparkir rapi di depan gerbang rumah Budhe Mawar. Ia segera menghubungi nomor Ibunya guna menanyakan keberadaan sang pemilik rumah, sebab bangunan dua lantai itu nampak sepi tak berpenghuni.

“Kamu masuk aja, tekan belnya, ucapin salam,” kata Gendis dari ujung sambungan telepon, menghembuskan napas berat, iba akan kehidupan sahabat karibnya. “Budhe Mawar sama Riska cuma tinggal berdua di situ.”

Pak Dhe Yudit, suaminya Budhe Mawar meninggal setengah tahun yang lalu, kebetulan Riska lulus kuliah dan pengen melanjutin S2, sekalian pindah ke Jakarta, buka usaha sama nemenin Riska, kebetulan anaknya yang lain udah pada nikah, ikut seaminya semua keluar Pulau,” tutur Gendis memberikan informasi yang sejujurnya tak penting bagi Agarish. Bukan tak prihatin, tapi mereka terlalu asing baginya. “Entar Kamu bawa mobilnya hati-hati lho, Le. Salam dari Ibu buat mereka,” tutup Gendis.

Dengan langkah mantap, Agarish berjalan masuk ke halaman rumah, didorongnya sedikit menggunakan tenaga pagar besi setinggi dada orang dewasa yang ternyata tak terkunci. Ia mengernyit heran. Diamatinya sekitaran, lingkungan perumahan ini terlalu lenggang. Memang ada beberapa satpam yang berjaga di pos jaga depan, tapi tetap saja, keteledoran semacam ini tak boleh menjadi kebiasaan.

“Permisi!” teriak Agarish. Ia pencet bel yang ada di samping pintu.

Mendengar sahutan dari dalam rumah, Agarish spontan mundur dua langkah ke belakang. Memandang pintu kayu berbahan jati dengan ukiran bunga melintang di setiap sisinya hingga terbuka. Memunculkan gadis yang mengenakan celana kulot hitam dengan kaos press body berwarna hijau sage, dan berbalut alas kaki slip on. Kulitnya kuning langsat, wajahnya manis khas Jawa. 

“Kok udah dateng, Mas Agarish? Kata Tante nanti nunggu Mas pulang kerja.”

Agarish menggaruk telinganya, geli mendengar panggilan yang disematkan untuknya. Menatap datar lawan bicaranya, ia masukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana kerjanya berbahan kain. “Agarish, nggak usah pakek, Mas!” ucapnya ketus, memberi penegasan.

“Nggak sopan. Mas Aga kan umurnya lebih tua dari aku.”

“Cuma beda 2 tahun!” tandas Agarish.

Tatapan Agarish yang tajam dan gestur yang nampak ogah-ogahan membuat Riska mengerutkan dahi, memberanikan diri untuk mendongakan kepala, karena tingginya yang sebatas bahu lelaki itu. Menatapnya lebih lamat. “Mas Aga keberatan ya ngajak aku jalan?”

“Menurut, lo?” Agarish sama sekali tak menutupi keengganannya melaksanakan titah sang Ibunda. Buang-buang waktu pikirnya, karena jasa tour gaide ataupun ojek online sudah merajalela di Jakarta.

Riska terkekeh, ia tutup mulutnya menggunakan sebelah tangan sambil menggeleng geli. “Kalau nggak ikhlas, nggak mungkin Mas Agarish bisa sampai sini,” tanggapnya santai, mematahkan ucapan pedas sang lawan bicaranya. Pikirnya pongah. Ia geser tubuhnya sambil membuka pintu rumahnya lebar. “Masuk dulu, Mas, mau dibuatin teh atau kopi?” tawarnya ramah, senyumnya belum luntur dari bibirnya yang bervolume.

Mendengkus kuat-kuat. Agarish tatap anak teman Ibunya itu semakin tak bersahabat. “Oh, ternyata lo cewek yang kayak gitu,” komennya singkat yang mampu membuat Riska tersentak kebingungan.

“Maksud Mas Apa?” tanya Riska tak mengerti. Sebab apa yang diucapkan lelaki itu mengandung banyak arti, dan ia tak tahu pasti mana yang disematkan untuknya.

Agarish menaikkan kedua bahunya tak acuh.

“Emang aku cewek kayak gimana? Yang bukan tipe Mas, ya?” Riska berusaha berkelakar sok asyik.  Ia tak masalah bertindak aktif demi mendapat respon.  “Tapi biasanya yang awalnya nolak, entar akhirnya nyesel terus mohon-mohon buat balik lagi. Awas lho entar nyesel,” lanjutnya sambil melangkah ke samping, memberi ruang lebih luas untuk Agarish masuk ke ruang tamu.

Are you dreaming?”

Riska abaikan pertanyaan Agarish. “Bener kata Budhe Gendis.” Ia menilik lebih seksama penampilan lelaki di hadapannya sore ini. Sosoknya tinggi tegap berbalut kemeja abu tua yang lengannya sudah dilipat hingga siku. Pembawaannya begitu percaya diri dengan raut wajah jutek. Rambutnya ditata sedemikian rupa, terkesan berantakan namun tidak urakan, justru meninggalkan kesan manly yang dewasa. Ia yakin, lelaki semacam Agarish ini bisa membuat banyak perempuan memujanya tanpa banyak berusaha, termaksud dirinya yang sudah terjerat pesonanya.

“Ngadepin Mas Agarish itu harus banyak sabarnya, soalnya Mas gampang marah, radak tengil, tapi sebenernya baik dan pengertian. Sayang keluarga lagi.”

Agarish tak menghiraukan, ia berbalik badan lalu duduk di kursi single yang tersedia di teras rumah, kemudian membuka ponselnya. “5 menit atau gue tinggal,” ucapnya tanpa menoleh setengah mengancam.

Dan Riska hanya bisa tergagap, bergerak linglung selagi bergegas bersiap. “Tega banget,” keluhnya manja sebelum memutar tumit.

--

Setelah berpamitan dan berjanji tidak terlalu malam memulangkan anaknya, keduanya berjalan menuju mobil Agarish. “Aku masuk, ya, Mas,” ijin Riska sambil menampilkan senyum manis.

Agarish hanya menoleh sekilas, tak memedulikan, ia lebih dulu masuk dan memasang seat belt.

Riska memejamkan matanya terlalu senang, entah karena akan jalan setelah sekian lama hanya berdiam diri di rumah saja atau pengaruh sosok yang mengajaknya. Mungkin sebenarnya keduanya adalah alasannya. Mengangkat tangan guna membuka handle pintu, Riska tertegun mendapati sosok cantik duduk di jok samping pengemudi dengan mata terpejam pulas. “Mbak Sephora kok di sini?”

Suara Riska sangat lirih, namun masih mampu membuat mata lentik itu terbuka, menampakkan sepasang mata berwarna abu gelap tajam, cocok sekali membingkai wajah tegasnya. Balik menatapnya dengan senyum separuh. “Oh, hai, Ka,” sapa Sephora. “Udah siap, ya?”

“Hah?” Riska mengernyit bingung, namun tak lama setelah dapat mengendalikan diri, ia mengangguk mengiyakan. “Udah, Kak.”

Dilihatnya sendiri penampilannya sore ini, ia sudah berusaha berdandan sesuai trend anak muda Jakarta. Sebagai pendatang ia tak mau mempermalukan dirinya sendiri. Terlebih ada sosok lelaki yang sedang ia kagumi. Namun rasa-rasanya, tetap tak ada apa-apanya jika dibandingan penampilan Sephora, padahal perempuan itu jelas-jelas baru bangun tidur dengan pakaian yang nampak sudah kusut. Beda aura kali ya, pikirnya muram.

“Ya udah, masuk, gih!” ujar Sephora, yang hapal betul watak tunangannya yang enggan berbaik hati, sekedar beramah tamah.

“Duduk belakang?” tanya Riska ragu.

“Napa? Lo mabuk kalau duduk belakang? Harus duduk depan?” Sembur Agarish pedas. “Kalau gitu. Jangan naik mobil gue, naik angkot sana, atau bajaj sekalian!”

Riska memberenggut, menghentakkan kakinya gemas. “Mas Agaris selalu tega sama aku!” rajuknya manja. “Padahal dulu…..” gumamnya, yang seperti dengungan Lebah tak jelas.

“Nebeng jangan banyak mau!” sungut Agarish kian bertambah galak.

Sephora menghela napas lelah, ia melirik Riska sesaat lalu membuang muka tak peduli. Dirinya bukan perempuan bersayap yang secara naif memberikan tempatnya untuk orang lain. Ditutupnya pintu mobil tanpa tenaga, tepat saat Riska membuka mulutnya akan membalas ucapan Agarish. Alhasil Riska tak sanggup mengucapkan sekata patah apapun, sebab terlalu terkejut akan tindakan Sephora.

Terpaksa, Riska membuka handle pintu belakang, mendudukan pantatnya kesal. Tangannya terlipat di atas dada, menatap kedua anak manusia yang nampak santai tak terpengaruh aura seram yang ada pada dirinya. “Kita jalan-jalan bertiga?” tanya Riska setelah meredam amarahnya yang jelas tak berguna. Lelah bercampur kesal sendiri atas kesunyian seisi mobil.

“Berdua,” jawab Agarish singkat. Melajukan mobilnya membela padatnya jalan Ibu Kota, merayap secara perlahan begitu sampai di titik kemacetan.

“Seriusan?” jawab Riska penuh antusias, ia menggeser duduknya sedikit maju ke tengah, tangannya berada di atas sandaran jok Agarish dan Sephora. Berdua. Itu yang diinginkannya. 

Agarish hanya menjawabnya menyerupai gumaman, diliriknya posisi tidur Sephora yang sepertinya kurang nyaman. Melihat mobil depan yang masih belum bergerak, ia menaikkan hand rem, lalu membenarkan kepala Sephora agar tak terantuk kaca jendela.

Situasi seperti ini membuat napas Riska tercekat, ini terlalu dekat, ia bahkan dapat mengamati secara lebih detail wajah Agarish. Ada satu bekas jerawat yang memudar di dekat hidung mancungnya. Menghirup dalam aroma parfum lelaki itu yang memercik getar di hatinya. “Mas,” panggilnya menyerupai bisikan. Agarish begitu saja mempu membuat Riska semakin tergila-gila.

Agarish hanya menatapnya dengan satu alis terangkat, detik berikutnya ia kembali ke tempat duduknya. Risih melihat wajah cengo Riska.

--

Mereka sampai di Alertes bertepatan datangnya suara deru mesin motor sport berwarna merah, menampakan sosok lelaki memakai pakaian PNS berbalut jaket kulit, turun dari motor sembari memaki tak ada henti pada Agarish yang berdiri cengengesan di samping mobilnya.

“Udah lama ninggalin gue, balik-balik ke Jakarta main nyuruh-nyuruh, emang kampret lo, ye!” Ekspresi wajah Rio nampak jengkel tak terkira. “Nggak tahu apa tugas Negara masih banyak di pundak gue.”

Agarish langsung mencebik. “Halah, halah, bilang aja lo mau pamer status lo yang udah jadi pegawai tetap,” cibirnya, namun terselip nada bangga di dalamnya. Setengah berdecak, Agarish menampilkan ekspresi geli. “Gini ini kalau terlalu rindu, bawaannya marah-marah terus. Udah kayak cewek lo. Sini peluk!” Ia merentangkan kedua tangannya.

“Nggak like, gelay. Mati aja lo sono! Kezel banget gue!”

Tertawa setengah hati, Agarish memutar bola matanya, lalu meremas bahu sahabat lamanya dari masa Putih Abu-Abu agar lebih mendekat. Mendorongnya berdiri tepat di samping Riska yang sedari tadi memandang keduanya lelaki itu penuh tanya.

“Apa lagi nih?” tanya Rio sangsi, ia menoleh pada perempuan di sebalah Agarish. “Lo siapa?” tanyanya pada Riska yang juga sedang menatapnya ingin tahu.

“Riska, Mas,” jawab gadis itu kalem.

Rio mengulum senyumnya, tak tahan, ia keluarkan tawanya. “Lo manggil gue, Mas?” tanyanya tak percaya, sekaligus gembira. Tak familiar dengan panggilan tersebut.

“Emang harusnya aku panggil apa?”

Suara dehemannya Agarish menyela obrolan keduanya. “Gue mau minta tolong sama lo, ajak Riska keliling Jakarta, dia baru di sini,” terang Agarish sesingkat mungkin. “Lo free kan, Yo? Jelas bisalah."

“Kok sama dia?” tanya Riska tak terima. “Kan Budhe bilang—”

“Gue ninggalin Jakarta hampir 3 tahun, dan baru balik 2 minggu yang lalu. Lo mending keluar sama orang yang lebih mengenal kota ini, ketimbang gue.”

“Tapi, kan, aku maunya sama kamu, Mas Agarish.”

Melalui perdebatan alot dan rayuan manis Rio, terpaksa Riska menurut, daripada dipulangkan paksa oleh Agarish. Ancamannya yang akan mengadukan pada Budhe Gendis sama sekali tidak membuat nyali lelaki itu menciut. Sedangkan Rio sendiri juga setengah terpaksa, tapi tak mengapa, daripada malam Jumatnya dilalui seorang diri sebagai jomblo terbiasa merana. 

---

“Udah?” tanya Sephora merasakan ada pergerakan di kursi belakang pengemudi, ia mengucek matanya. Semalaman bergadang dan paginya sudah harus ke Kampus hingga sorenya membuatnya terserang kantuk luar biasa.

Agarish mengangguk. “Gue anter balik sekarang?” 

“Boleh.” Sephora menegakkan tubuhnya, meraup seluruh surai hitam kecoklatannya, merapikan rambutnya yang berantakan dengan tangan lalu menguncitnya membentuk gulungan asal.

“Capek banget, Ra?”                               

Sephora bergumam mengiyakan. Ia menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sambil memejamkan mata. Mengatur posisi duduknya menyandar senyaman mungkin. Jemari lentiknya memijat bagian leher, mencari-cari titik nyeri yang membuat otot-ototnya kaku. Sephora mendesah lirih saat tekanan jemarinya tepat sasaran. 

“Ra!” tegur Agarish datar.

“Apaan?” sahut Sephora malas.

“Gue kurang puas denger desahan lo.”

Sephora tersentak kala merasakan hangat telapak tangan Agarish menyentuh bagian belakang lehernya, perlahan menariknya lembut dan memberi kecupan dingin sekaligus basah di sana membuat Sephora merinding, menginginkan lebih.

“Ga,” desah Sephora, napasnya tercekik kala lelaki itu memberi isapan di sekitar perpotongan tulang selangkanya, satu tanganya menyentuh pinggang rampingnya, memeluknya, merapatkan padanya.

“Gue tahu,” bisik Agarish “Lo kesel karena kehadiran Riska.”

Agarish sedikit mendongak, ditatap dalam sepasang manik abu gelap yang selalu menenangkannya, kemudian kembali memberi kecupan ringan di tengkuk tunanganya, perlahan naik melewati daun telinga dan menggeser gulungan rambut Sephora. Memberi lumatan yang semakin membuat Sephora meracau dan Agarish menggeram tertahan begitu bibir keduanya saling menyecap.

“Tok, tok, tok!” Ketukan pada kaca mobil membuat keduanya terpaksa mengurai peluk dan membenahi posisi duduknya. Agarish menurunkan kaca jendelanya dengan enggan.

“Kamar atas gue kosong, sono lo pakek, gratis. Jangan nodain Kafe gue aja lo pada.” Suara Abiputra terdengar mencemooh ketika menangkap aksi keduanya. Matanya berpendar geli.

“Ganggu lo!” omel Agarish. “Belum juga bergoyang nih mobil, udah main grebek aja."

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Agarish
Selanjutnya AGARISH — Chapter 4 & 5 #UnlockNow
48
23
Berisikan :Chapter 4. Milik AkuChapter 5. Realita
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan