DUA ISTRI CEO BAB 1-7 (GRATIS)

0
0
Deskripsi

Bacaan 21+

Bagi yang belum cukup umur, dilarang mendekat.

Jika wanita lain tidak mau dimadu, maka berbeda dengan Azzura Wijaya. Wanita ini malah menyuruh sang suami untuk menikah lagi. Kira-kira, alasan apa yang mendasari Azzura menyuruh Brian, sang suami menikah lagi? 

"Mas ... menikahlah lagi." Bagai di sambar petir, apa yang dikatakan Azzura malam itu terdengar seperti sebuah lelucon untuknya. Setelah percintaan panas keduanya, bahkan rasa lelah dan peluh yang bercampur belum hilang sepenuhnya....

Bab 1 Permintaan Aneh

Hidup Brian Pradipta sangatlah sempurna. Bisa dipastikan jika banyak pria yang iri dengan kehidupannya. Di usia 35 tahun dia sudah menjadi seorang CEO yang sangat sukses.

Memiliki keluarga yang bahagia bersama dengan wanita yang sangat dia cintai, Azzura Wijaya. Azzura Wijaya adalah anak dari Antony Wijaya, investor terbesar di perusahaannya. Tapi, bukan dengan alasan itu mereka menikah, tetapi karena mereka saling mencintai.

Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang putri cantik yang mereka beri nama Kyra Wijaya Pradipta. Menyandang nama besar dua keluarga membuat kehidupan Kyra menjadi mimpi banyak anak gadis seusianya. Bahkan saat perayaan ulang tahunnya yang ke-sebelas, Brian menghadiahi putrinya itu dengan sebuah helikopter untuk anaknya. Kyra menjelma sebagai seorang sosialita di usia yang masih belia.

Brian sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sudah sempurna, hingga sebuah permintaan dari Azzura menggoyahkan harga dirinya.

"Mas ... menikahlah lagi." Bagai di sambar petir, apa yang dikatakan Azzura malam itu terdengar seperti sebuah lelucon untuknya. Setelah percintaan panas keduanya, bahkan rasa lelah dan peluh yang bercampur belum hilang sepenuhnya. Azzura mengucapkan kalimat yang tak pernah Brian duga sebelumnya. Atau mungkin Brian sama sekali tidak pernah memikirkannya.

"Apa maksud kamu, Zura?" Brian lelaki normal yang mungkin akan menjadi serakah akan cinta, tetapi tidak sekali pun dia memiliki pikiran seperti itu.

Sebanyak apa pun hartanya, setampan apa pun dirinya, dia tak berniat melihat ke arah wanita lain. Untuk apa mendua, jika apa yang dia mau telah dia dapatkan dari Azzura.

"Aku ingin Mas menikah lagi." Melihat wajah Azzura kali ini, dia sedang tidak bercanda. Brian sangat tahu jika saat ini istrinya itu tengah serius. Bahkan mungkin tak pernah seserius ini.

"Iya. Tapi, untuk alasan apa, Zura?" Brian merasa geram. Bahkan lelaki itu sampai mengepalkan tangannya. Apalagi melihat Zura yang nampak begitu santai saat mengucapkannya.

"Tidak ada alasan apa pun. Aku hanya ingin Mas menikah lagi."

"Apa kamu sudah bosan padaku dan tak mencintaiku lagi, Zura?" Baru kali ini dia merasa tidak percaya diri di hadapan istrinya. Brian meringsut sedikit menjauhkan tubuhnya dari Azzura.

Merasa suaminya sedikit menghindar, Zura mengeratkan pelukannya. Dia membenamkan wajahnya di dada Brian. "Mana mungkin aku bisa bosan padamu, Mas. Dan jangan kamu ragukan rasa cintaku padamu. Aku begitu mencintaimu, hingga rasanya aku tak mampu jauh darimu."

Brian hanya tersenyum miring. Percayakah ia dengan ucapan Zura? Bagaimana bisa seorang istri yang mencintai suaminya, meminta suaminya untuk menikah lagi?

Brian menggeleng, "Tidak, Zura! Aku tak mau memiliki istri lain selain kamu!" tegas Brian. Dia mungkin bukan suami yang sempurna, tetapi dia bukan pria bajingan yang akan menyakiti hati pasangannya.

Brian memalingkan wajahnya dari Azzura, dia merasa marah akan permintaan tak masuk akal itu. Apa alasan yang mendasari Zura meminta hal itu?

"Mas," panggil Zura.

Brian tetap bergeming, dia tak mau mendengar hal itu lagi. Baginya, tak akan ada cinta lain selain Azzura.

"Mas ... dengerin aku dulu," panggilnya mesra.

'Argh ... si al.' Sebenarnya Brian tak akan bisa bertahan jika istrinya ini sudah berucap manja seperti ini. Tapi, kali ini, dia mati-matian akan bertahan dari godaan sang istri.

Merasa tak mendapat tanggapan, Zura segera meraih dagu suaminya itu agar wajahnya dapat dia tatap. Dia sungguh tak bisa jika marahan dengan Brian. Bagaimanapun Brian adalah belahan jiwanya dan juga separuh hidupnya.

Kini manik mata mereka saling menatap. Ada gelora dan cinta di dalamnya, yang tak akan pernah padam meski dinyalakan seumur hidup. Tapi, kenapa? Pertanyaan itulah yang kini bersarang di hati Brian.

"Oke! Mas akan dengerin kamu." Akhirnya lelaki itu luluh juga. Satu hal yang paling tidak bisa dia lakukan adalah mendiamkan istrinya itu.

"Mas cinta nggak sama aku?" Tatapan Azzura begitu tajam menusuk hingga rongga hati yang terdalam, membuat Brian sama sekali tidak bisa berkutik.

"Cinta dong, Sayang." Suara Brian mulai melunak, meski sebelumnya hatinya terus bergemuruh. Brian tersenyum, mengelus lebut rambut istrinya.

"Menikahlah lagi, Mas. Sebagai bukti cinta Mas sama aku."

"GILA!" Baru pertama ini Brian mengumpat pada istrinya, setelah selama dua belas tahun berumah tangga. "Sebenarnya, apa yang ada di pikiran kamu Azzura Wijaya ...?" Brian benar-benar menekankan suaranya ketika menyebut nama istrinya. Kemarahan yang baru saja menguap, kini kembali menjadi rintikan yang semakin deras.

"Aku hanya ingin Mas membuktikan rasa cinta Mas sama aku."

"Tapi tidak dengan permintaan konyol kamu itu. Lebih baik kamu memintaku untuk membelikanmu sebuah jet pribadi ketimbang memintaku menikah lagi!"

"Tidak, Mas! Aku tak akan meminta hal lain."

Pembicaraan Brian dengan istrinya malam itu sungguh membuat Brian tak konsen dalam kerjanya. Selama beberapa hari ini dia uring-uringan nggak jelas. Semua anak buahnya menjadi sasaran kemarahan dari CEO Pradipta Corporation itu. Termasuk Risa, sekertarisnya.

Terdengar suara bantingan. Rupanya Brian telah membanting map yang baru saja diberikan oleh Risa. Tak ada yang benar beberapa hari ini. Semua kacau.

"Kamu udah kerja sama aku berapa lama?! Kenapa bikin laporan kayak gini aja nggak bisa?!" Suara teriakan Brian menggema memenuhi kantornya. Risa begitu takut kali ini. Bosnya yang biasanya santai dan juga tenang, menjadi sangat temperamen. Sudah tiga hari ini, Risa menghitung saat Bosnya mulai berubah.

'Ada masalah apa, si Bos, kok jadi kayak singa ngamuk gini?' batin Risa. Sungguh tiga hari ini telah menjadi hari terburuk untuknya selama lima tahun bekerja bersama Brian. Bahkan untuk sekejap, Risa sangat ingin keluar dari pekerjaannya.

"Jawab! Jangan diam saja!" bentak Brian. 

"Li-lima tahun, Pak." Meski lidahnya terasa kelu untuk menjawab, mau tak mau Risa harus menjawabnya. Jika tak ingin mendapat kemarahan lebih lagi.

Brian berkacak pinggang, tangan kanannya menyugar rambutnya ke belakang. Meski usianya sudah tak muda lagi, namun tak ada yang bisa menolak pesona seorang Brian Pradipta. Sayangnya tak pernah ada yang bisa mendekatinya karena dia tipe suami yang sangat setia.

"Dalam lima tahun ini kamu ngapain aja?" 

Risa hanya bisa meneguk saliva-nya. 'Apa pak Brian nggak bisa lihat jika aku beneran kerja selama lima tahun ini?' 

"Kerja, Pak," jawab Risa. Dia tak mau mendapat kemarahan karena tak segera menjawab pertanyaan dari Brian.

Brian melotot ke arah Risa, "Berani kamu ya, menjawab saya?" 

Serba salah. Itulah yang Risa rasakan kali ini. Jika bisa, dia akan mengumpat Brian saat ini juga. Namun, pekerjaannya akan hilang jika dia melakukannya.

"Sudah! Kamu keluar saja!" Mendapat angin segar, tanpa pertimbangan lagi, Risa segera keluar dari ruangan itu. 

Brian kembali duduk di kursinya, melihat layar laptopnya meski pikirannya sama sekali tidak berada di sana. Bayangan Azzura ketika memintanya menikah lagi, selalu melintas di pikirannya. Wajah Azzura saat itu benar-benar tenang, tidak seperti seorang wanita yang tengah terluka atau semacamnya.

Suasana rumah juga tak lagi hangat. Entah siapa yang memulai, tapi kini keduanya tak saling bicara. Sebenarnya Brian sangat tak tahan jika seperti ini, tetapi dia hanya ingin mengatakan jika dia sangat menentang permintaan Azzura.

Ini sudah seminggu lebih dan hubungan mereka tak ada perkembangan. Azzura benar-benar tak berbicara padanya. Dia hanya sekedar mengurus keperluan Brian sehari-hari. Brian sebenarnya bingung, kenapa Azzura sampai marah seperti itu? 

"Zura?!' Tak tahan rasanya perang dingin seperti ini. Apalagi tak bisa menyentuh tubuhnya. Percayalah, meski usia keduanya tak lagi muda, namun rasa yang Brian rasakan untuk Azzura masih sama.

Azzura menoleh ke arah suaminya itu. Sumpah demi apa pun, dia sangat merindukan sentuhan dari Brian. 

Brian menarik pinggang Zura dan merapatkan tubuh mereka. Brian bisa mendengar detak jantung Zura yang bertalu seperti gendang yang saling bersahutan. Begitu pun sebaliknya, degup jantung Brian tak bisa berbohong jika dirinya kini benar-benar menginginkan Azzura.

"Zura ... aku merindukanmu ...." Suara Brian terdengar begitu seksi di telinga Zura, hingga membuat darahnya berdesir. Terlebih saat Brian menggigit kecil cuping Zura, sungguh menjadikan sensasi tersendiri. Tak berhenti di situ, kecupan Brian semakin turun hingga membuat Zura menginginkan lebih.

Rasa marah dan juga kesal yang mereka rasakan sebelumnya, melebur bersama penyatuan keduanya. Jika Brian bisa mendapatkan segala bentuk kepuasan bersama Zura, kenapa dia mesti menikah lagi?

Brian mengurai pelukannya, dia melihat kabut gairah di mata istrinya. Dia sangat tahu jika Zura sedang menginginkan hal itu. Wanitanya itu tak pernah bisa menolak sentuhannya.

Zura menatap Brian seolah mendamba. Tak ada yang lebih dia inginkan selain sentuhan dari suaminya.

"Mas ... please," pinta Zura yang berharap lebih. Hanya dengan perlakuan seperti itu, benar-benar bisa membangkitkan sesuatu yang liar di dirinya.

"Do you want more, Baby?" tanya Brian dengan setengah menggoda.

"Yes. Do it now, Brian." 

Brian tersenyum penuh kemenangan, dia tahu istrinya itu sangat menginginkannya malam ini. Saat Zura hanya memanggilnya tanpa embel-embel 'mas', gelora di dalam Zura benar-benar terbakar.

Brian kembali mengecupi istrinya. "Are you sure, Baby?" Hembusan hangat napas Brian mengenai kulit leher Zura, membuat wanita itu menggelinjang. Merasa geli dan juga nikmat secara bersamaan.

"Yes. I want you!"

Bagi Brian, Azzura adalah perpaduan antara kelembutan dan juga ganas secara bersamaan, Sikapnya sehari-hari memang sangatlah lembut. Selalu memperlakukan Brian dengan penuh kasih sayang. Tetapi saat seperti ini, dia akan berubah menjadi sangat liar, hingga Brian tak yakin jika itu adalah orang yang sama. 

Namun, Brian sangat menikmati jika istrinya sedang berada di mode liar seperti ini. Karena Zura akan jadi sangat seksi.

Brian menarik napas panjang, dia melepas pelukannya lagi. Kali ini dia menatap Azzura dengan raut wajah kesal. Azzura semakin bingung.

"Kamu kenapa, Mas?"

"Aku akan menghukummu, Sayang. Jika kamu masih saja menyuruhku untuk menikah lagi, maka aku akan menyiksamu seperti ini.

Setelah mengucapkan hal itu, Brian meninggalkan Azzura yang kini hanya bisa bengong. Dia masih menginginkan sentuhan lagi. Oh, sungguh dia sangat ingin rasa rindunya akan terobati.

Dengan perasaan yang campur aduk, Azzura terduduk di tepi kasur, dia menangis.

"Aku juga tak ingin berbagi cinta, Mas. Tapi ...."

Bab 2 Tuduhan

Setelah meninggalkan Azzura, Brian tak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya masuk ke dalam mobil lantas menghidupkan mesin, keluar dari rumah besarnya itu. Sedang tujuan, Brian tak tahu akan ke mana.

Udara malam menemani perjalanan Brian malam ini. Sang Dewi Malam sedang menampakkan keindahannya. Langit yang cerah dengan ribuan bintang, menjadi saksi kegalauan hati lelaki itu. Jika bisa, dia akan mengumpat orang yang memintanya untuk menikah lagi. Tapi, sayangnya orang itu adalah Azzura, istrinya sendiri.

Tak mungkin dia melontarkan berbagai macam makian untuk wanita yang sangat dia cintai, ibu dari buah hatinya.

"Argh ...! Brengsek! Brengsek!" Brian memukul klakson mobilnya. Hingga membuat jalanan yang aslinya senyap, menjadi berisik karena bunyi yang berasal dari klakson mobilnya itu.

Jika sedang seperti ini, dia butuh sesuatu untuk menenangkannya. Segera Brian menepikan mobilnya di salah satu minimarket yang ada di pinggir jalan untuk membeli rokok. Ya, lelaki itu telah berhenti merokok sudah lama saat jatuh cinta 12 tahun yang lalu, tetapi entah dapat bisikan dari mana, dia ingin menikmatinya lagi malam ini.

"Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" Itulah sapaan khas yang Brian dengar saat memasuki minimarket ber-AC itu. Pelayan tersenyum ramah sembari kedua tangan ditelangkupkan di depan dada. Brian hanya ganti tersenyum tanpa menjawab.

Antrian di meja kasir lumayan penuh. Dengan wajah datar, lelaki itu ikut mengantri di sana, karena apa yang dia cari ada di belakang meja itu.

"Ck!" Brian menghindar ketika ada seorang yang seakan akan menabraknya. Dia bergerak ke samping kanan, namun ternyata kini dia malah terjebak di antara banyak orang.

'Kenapa tumben empet-empetan gini, sih?' tanya Brian dalam hati. Suasana hati Brian yang buruk bertambah buruk kini. Pria itu sampai bingung mesti menyingkir ke mana.

Netra Brian langsung melotot ketika dia merasakan sebuah tamparan mengenai pipinya. Segera saja dia mengangkat wajahnya untuk tahu siapa yang telah berani melakukan itu padanya. Brian merasa tak ada salah dengan siapa pun yang ada di sana.

Di hadapan Brian, berdiri seorang gadis cantik, berusia sekitar dua puluh tahun yang memiliki manik mata abu-abu. Yang bisa dibilang bukan warna mata asli orang Indonesia. Hidung mancung dengan bibir yang sedikit berisi semakin meyakinkan Brian jika wanita ini mungkin seorang turis. Tetapi, dengan alasan apa turis ini menamparnya?

Mata gadis itu melotot tajam ke arahnya. Oh ... sungguh, Brian sama sekali tak tahu di mana letak kesalahannya?

"Excuse me. What's my fault? So you slapped me?" Tak ingin langsung memaki, Brian ingin tahu alasan apa yang mendasari gadis itu menamparnya? 

"Excuse me, Excuse me. Aku nggak ngerti apa yang Om omongin. Tapi, yang aku tahu Om itu telah ngelecehin saya, tahu nggak?" Mata Brian membelalak. Membulat sempurna mendengar omongan gadis itu. 

'Ini, aku capek-capek pake bahasa Inggris, tahunya tuh anak nggak tahu. Dan dia bilang apa tadi?' 

"Melecehkan?" Brian ingin tertawa mendengar tuduhan itu, "siapa yang melecehkan siapa di sini? Bahkan saya sama sekali tak menyentuh Anda!" bentak lelaki 35 tahun itu. Dia malu, karena sadar jika mereka kini telah menjadi tontonan pengunjung minimerket.

"Anda yang telah melecehkan saya. Saya tahu, saya memang cantik. Tapi, bukan berarti orang setampan Anda bisa seenaknya meremas bokong saya." Gadis itu tak kalah galak dari Brian. Tak peduli dengan pandangan aneh orang-orang, dia hanya tak ingin harga dirinya diinjak seperti ini.

"Jadi intinya Anda mengakui jika saya tampan?" Jujur, perasaan Brian saat ini antara ingin marah tetapi juga ingin ketawa.

"Eh!" Gadis itu menutup mulutnya menggunakan tangan. Dia tak menyangka jika dia keceplosan telah mengakui jika pria itu memang tampan, meski dia tahu usianya tak muda. "Intinya bukan itu. Intinya Om telah meremas bokong saya tanpa ijin!"

"Jadi kalau ijin, boleh nih?" Brian tidak tahu kenapa timbul perasaan ingin menggoda gadis itu. Dia sangat lucu dan juga cantik.

'Berhenti, Brian! Sejak kapan kamu peduli dengan wanita lain selain Azzura?' Brian segera saja mengenyahkan pikiran buruknya saat itu juga. Baru saja dia marah pada istrinya karena memaksa dia untuk menikah lagi, kenapa saat ini dia malah kagum pada wanita lain? Hal yang belum pernah terjadi sepanjang pernikahannya dengan Azzura.

"Ya, nggak gitu konsepnya, Bambang!" Sang gadis merasa geram karena orang tua yang ada di depannya ini malah ingin bermain-main dengannya. Ingin sekali gadis itu mencakar dan juga menendang Brian saat ini juga. Kenapa ada model lelaki model mesum dan juga gila seperti dia?

"Nama saya bukan Bambang--"

"Pak ... Bu .... Mohon maaf sekali, jangan membuat keributan di sini." Salah seorang pelayan menghampiri keduanya. Brian baru menyadari jika dirinya telah mempermalukan dirinya sendiri. Untuk apa juga dia meladeni bocah itu?

"Ini, Mas. Ada om-om mesum yang seenaknya saja meremas bokong saya." Dengan wajah kesal, sang gadis menunjuk ke arah Brian, membuat Brian langsung melotot.

"Maaf, Mas. Saya tidak melakukan itu," bantah Brian. Sungguh hari ini terasa begitu sial untuknya.

"Bohong! Mana ada maling ngaku!" Sang gadis tetap pada pendiriannya. Dia sangat yakin jika Brianlah yang telah meremas bokong nya tadi.

"Saya bukan maling dan saya tidak melakukan hal yang Anda tuduh!"

"Tapi---"

"Cukup!" Baik Brian maupun gadis itu melihat ke arah orang yang tengah berteriak itu. Seorang pria botak berusia sekitar 50 tahun dengan perut buncit menghampiri mereka. 

"Malam, Pak," sapa pelayan yang menghampiri mereka tadi. Sepertinya pria itu manager atau mungkin malah pemilik Minimarket itu.

"Hm ... ada apa ini?" tanya pria botak itu dengan wajah garang. Dia melihat ke arah kedua orang pembuat onar bergantian. 

"Ini, Pak Gibran, tadi mereka bertengkar karena Mbak ini telah menuduh Bapak ini melakukan pelecehan terhadap Mbak-nya," jelas pelayan itu sedikit takut. Sang pegawai menunggu reaksi yang akan ditunjukkan bos-nya. 

"Pelecehan? Pelecehan seperti apa?" tanya Pak Gibran, dia ingin tahu lebih lanjut. 

"Dia meremas bokong saya, Pak!" ujar si gadis. Dia harus mempertahankan harga dirinya.

"Bukan saya!" bantah Brian. 

"Masih nggak mau ngaku, Om?" Si gadis melotot ke arah Brian.

 Brian melihat ke arah Gibran, "Begini saja, Pak. Bapak Gibran ini pemilik Minimarket ini, bukan?" tanya Brian.

"Iya. Saya pemiliknya," jawab Gibran sambil membusungkan dadanya, seolah merasa bangga ada orang yang langsung tahu kedudukannya di sana dalam sekali lihat.

"Begini, Pak Gibran. Minimarket ini apakah memiliki CCTV?" Brian merutuki dirinya sendiri, kenapa baru kepikiran sekarang? Kenapa nggak sedari tadi?

"Tentu saja ada," jawab Pak Gibran segera.

"Boleh tidak Pak, kami mengeceknya untuk membuktikan siapa yang bersalah di sini? Saya nggak mau, ya, nama baik saya buruk gara-gara urusan dengan gadis ini." Brian menunjuk ke arah gadis yang masih menatapnya dengan tatapan bencinya. Benci terhadap orang yang telah melecehkannya. Seumur-umur, tak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Lha ini, orang asing dengan tidak sopannya melakukan itu.

Pak Gibran berpikir sejenak, dia melihat kedua orang itu bergantian. Lantas melihat ke arah pegawainya yang hanya masih menunduk.

"Wildan! Antar mereka ke ruang CCTV!" Pak Gibran memberi perintah pada karyawannya yang ternyata bernama Wildan itu. 

"Baik, Pak!" Wildan mengangguk patuh. "Mari ikut saya!"

Bab 3 Kebenaran

"Terima kasih banyak, Pak Gibran," ucap Brian.

Brian dan gadis itu mengikuti Wildan ke bagian dalam Minimarket itu. 

"Ehm ... ehm ...!" Pak Gibran berdehem melihat ke arah pengunjung yang menonton drama gratis barusan, dan membuat mereka salah tingkah. Dia lalu kembali masuk ke ruangannya. Tak mau ikutan pusing dengan urusan mereka berdua.

Kini mereka bertiga telah berada di sebuah ruangan yang ada televisi yang menampilkan beberapa blok potongan gambar. Wildan duduk di kursi sedang kedua orang yang saling menatap sebal itu berdiri di belakangnya. 

"Di mana tadi kejadiannya, Mbak?" tanya Widan pada si gadis.

"Di sini, Mas." Tunjuk si gadis pada salah satu rekaman yang menunjukkan TKP. Wildan langsung melihat rekaman tempat itu beberapa waktu yang lalu. Dari saat si gadis masuk ke Minimarket.

Kedua orang itu menyaksikan dengan seksama untuk membuktikan siapa yang bersalah dalam hal ini. Brian tak ingin namanya muncul di berita, 'Seorang pengusaha kaya terlibat skandal dengan bokong seorang gadis'. Mau ditaruh di mana mukanya jika menghadapi para investor?

"Nah! Dari sini, Mas. Si om-om mesum ini baru saja masuk. Pasti kali ini bakalan kebukti siapa yang salah di sini." 

"Jangan panggil saya om-om mesum, dong. Belum juga terbukti kok udah yakin banget?" sewot Brian. 

"Udah! Pokoknya saya yakin 200 persen jika Om yang telah melakukan tindakan tidak senonoh pada saya," ucap sang gadis dengan penuh percaya diri. Perasaannya sebagai seorang wanita tak usah diragukan lagi. Bahkan saat kucingnya di rumah hamil, dia bisa menebak dengan benar berapa jumlah anak yang dilahirkannya. 

"Ck! Ya kali 200 persen," cibir Brian. 

"Biarin! Mulut-mulut saya kenapa Om yang repot?"

"Ehm .. ehm ...! Bisa nggak, sih, kalian ini diam dulu? Nanti gambarnya kelewat, saya nggak mau, ya, disuruh muterin lagi." Widan merasa geram karena mereka berdua tak berhenti bertengkar, sudah seperti kucing dan tikus saja.

"Lihat, tuh!" seru Brian sambil melotot ke arah si gadis. Tak mau kalah, si gadis mencebik, balas melotot ke arah Brian.

"Tuh! Dari sini mulai pake matanya, Om. Siapa yang salah di sini!" tegas si gadis. Brian yang merasa tak bersalah bersikap biasa saja. Dia benar-benar membuka matanya lebar-lebar untuk membuktikan jika bukan dia yang melakukan itu.

"Ulangi, Mas! Itu sudah sampai saya ditampar. Putar adegan sebelumnya! Coba lihat siapa yang melakukan itu!"

Wildan menghela napas panjang. Dia harus sabar menghadapi kedua manusia absurd ini. Bagaimana bisa dia seapes ini, berurusan dengan dua orang yang sama-sama nggak mau ngalah.

Dengan amat sangat terpaksa, Wildan menuruti perintah Brian. Dia hanya ingin segera menyelesaikan ini semua dan kembali bekerja, melihat para pelanggan wanita yang cantik-cantik.

'Ah! Sudahlah, Wildan. Selesaikan ini dulu,' ucap Wildan dalam hati.

"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah.

"Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat.

"Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya.

Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain. 

'Bego, lo, Vio. Om mesum itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadis yang bernama Vio itu langsung saja mendelik ke arah Brian yang terlihat begitu senang kali ini. Sungguh saat ini, Vio benar-benar ingin mencekeknya agar dia berhenti terkekeh.

"Ck! Itu 'kan gambarnya nggak jelas. Mas, bisa ulang sekali lagi, nggak?" tanya Vio pada Wildan sambil mendekatkan wajahnya agar sejajar dengan Wildan. 

"Eh, i-iya," jawab Wildan dengan gugup. Didekati gadis cantik dan seksi seperti Vio, tentu saja membuat tubuhnya gemetar kali ini. 

'Gila! Gue bisa gila jika gadis ini mepet gue terus. Bisa-bisa beneran gue pepetin ke tembok lalu gue cipok, deh!' ucap Wildan dalam hati. Meski sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya menepis pikiran kotornya barusan. Baru seperti itu saja sel-sel mesum di diri Wildan bisa bangkit dengan sendirinya. Bagaimana jika sampai hal lain?

Wildan kembali memutar rekaman CCTV itu pada menit di mana Vio mendapat pelecehan seksual. Vio tersenyum, merasa senang karena Wildan mau menuruti ucapannya.

Tapi, Brian juga terlihat tenang karena rekaman CCTV itu nggak mungkin berubah sendiri dalam hitungan detik. Dan bukan dia yang telah meremas bokong Vio.

"STOP!"

"STOP!" ucap Brian dan Vio bersamaan. Mereka baru saja melihat saat-saat penting itu. Vio mengamati dengan seksama apa yang ada di depannya. Brian ada di belakangnya persis dan kedua tangannya berada di belakang sesaat sebelum Vio menampar Brian. Jadi di waktu itu, bukan lelaki yang ada di sampingnya itu yang bersalah. Tetapi, bapak-bapak yang mengenakan topi di sebelah kanannya.

"Brengsek!"

Vio menggebrak meja yang ada di depan Wildan, membuat pemuda itu merasa ngeri saat ini. Begitu pula dengan Brian, wanita jika sedang marah, banteng ngamuk pun bakalan kalah. 

"Sudah jelas 'kan sekarang? Siapa yang asal tuduh di sini?" cibir Brian. Vio memejam, dia tak sanggup menatap mata Brian. Dia sangat malu. Tapi, ada hal lain yang lebih penting kali ini.

"Saya minta maafnya besok saja. Saat ini saya harus mencari bapak-bapak yan sudah membuat bokong saya menjadi tidak perawan lagi." Setelah mengucapkan itu, Vio segera berlari ke luar ruangan itu. Dia celingukan mencari sosok yang muncul di CCTV.

Setelah kepergian Vio, Brian dan Wildan saling berpandangan, melongo, seakan baru saja melihat salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

"Apa kamu mengerti wanita?" tanya Brian pada Wildan.

Pemuda itu menggeleng, "Tidak, Pak. Itu yang membuat saya jomblo hingga saat ini."

Brian mengangguk lantas menepuk bahu Wildan pelan, "Makasih, ya." 

Brian keluar dari ruangan itu dengan rasa bangga. Dia bukanlah om-om cabul pecinta bokong gadis. Tapi, dia adalah tipe pria setia pada satu wanita, Azzura.

Rasa ingin membeli rokok pun hilang begitu saja. Dia sudah kehilangan selera untuk menghisap benda silinder panjang itu. Yang khas aroma tembakau.

'Mungkin Tuhan nggak ngijinin aku untuk merokok lagi. Baru aja niat, udah dapet malu,' batin Brian. Dia kini tengah memasukkan kunci mobilnya ke dalam lubangnya. Dan memutar kunci itu ke kanan lantas mengemudikannya.

Dia merasa kesal dengan gadis yang baru saja dia temui. Kenapa ada modelan gadis seperti itu? Bisa-bisanya nuduh dan menyalahkannya atas kesalahan yang tidak dia perbuat.

Setelah sebelumnya pikiran Brian teralihkan, kini dia kembali teringat dengan Azzura. Dia sebenarnya kasihan, melihat istrinya itu sedang mode pengen ketika dia tinggalkan tadi. Namun, dia harus memberikan pelajaran untuk orang yang menyuruhnya menikah lagi. Meski itu istrinya sendiri. Meski jenis hukuman yang dia berikan, lain dari pada yang lain.

"Azzura ... apa sebenarnya yang ada di kepalamu?" gumam Brian seorang diri. Dia masih kesal. Ada dua kejadian yang membuatnya menjadi benar-benar kesal.

Mata Brian memicing, dia sepertinya melihat seseorang yang dia kenal sedang dalam keadaan tidak baik. Dia segera memperlambat laju mobilnya dan menepikan di pinggir jalan raya.

Dia dengan penuh marah berjalan ke arah orang itu.

"Hey! Apa-apaan kalian?!"

Bab 4 Aku Menginginkanmu

Vio keluar dari ruangan CCTV, mencari di mana keberadaan orang yang telah melecehkannya. Dia geram karena tak juga menemukan orang itu. Vio berlari ke luar Minimarket, tengok ke kiri dan ke kanan, namun nihil.

"Ke mana si brengsek itu?" Vio meremas tangannya, merasakan amarah yang luar biasa. Sungguh jika dibiarkan maka orang yang melakukan hal itu akan terus menjamur. Dia harus memberi pelajaran untuk orang mesum seperti itu.

Kebanyakan wanita di dunia memang sengaja bungkam jika dilecehkan karena mungkin merasa malu jika kejadian itu diketahui oleh orang lain, tetapi Vio beda. Dia akan tetap membuat orang itu mendapat pelajaran.

Vio menajamkan matanya, sepertinya dia melihat sosok yang tadi benar-benar dia ingat saat di ruang CCTV. 

"Gotcha!" Vio tersenyum miring. Dia segera berlari ke arah lelaki yang terlihat kikuk sambil memegangi topi itu. Lelaki itu terus melihat ke belekang, seolah takut dikejar sesuatu.

Gadis yang memakai celana jeans dan juga jaket kulit itu berusaha menyusulnya. Dia tak mau kelolosan untuk masalah ini.

"Enak saja, mau pergi begitu saja. Memang dia pikir saya wanita seperti apa? Udah nuduh orang lain lagi. Aduh! Moga aja nggak bakalan ketemu lagi. Kalau beneran ketemu, pasti aku bakalan lebih memilih ngumpet di kolong meja ketimbang berhadapan dengannya."

Malam ini jalanan terlihat sangat sepi. Mobil pun tak banyak yang berseliweran. Mungkin karena ini hanya jalan kecil, bukan jalan raya. Ditambah sudah masuk jam sepuluh malam, jam malam sudah berlaku. Tidak banyak yang berada di luar rumah.

"Berhenti!" teriak Vio. Si pria tadi langsung menoleh sekilas, merasa kaget karena Vio mengejarnya. 

Pria itu terus berlari, menabrak segala sesuatu yang ada di hadapannya. Vio berusaha berlari sekuat tenaga dan ....

Vio melayangkan tendangannya pada punggung pria itu hingga si pria tersungkur mencium trotoar. Bagaimana bisa tenaga seorang wanita sekuat itu? Si pria langsung menyentuh hidungya yang telah mengeluarkan darah.

Vio yang merasa marah, menatap pria itu dengan penuh kebencian. Saat ini dia benar-benar ingin mengumpat, mengeluarkan semua kosa kata kotor yang dia tahu. 

"Kenapa lo tiba-tiba nyerang gue?" Pria itu bangkit, ganti melihat Vio dengan tatapan marah. Sungguh hal yang memalukan jika ada yang melihat ini.

"Kamu udah melakukan pelecehan terhadap saya sewaktu di Minimarket. Masih nanya kenapa?!" tuduh Vio. Gadis itu sungguh berani, seolah tidak memiliki ketakutan.

Si pria nampak salah tingkah, raut wajahnya seketika berubah. "Siapa bilang? Lo nggak ada bukti!" tampik si pria. Dia merasa percaya diri karena tidak tahu jika Vio sudah melihat semuanya melalui CCTV.

Vio menarik sebelah sudut bibirnya ke atas, "Siapa bilang saya nggak punya bukti? Bahkan saya bisa memberikan bukti sebanyak mungkin," ucap Vio dengan penuh percaya diri. 

"Banyak bacot, lo!" Si pria mulai menyerang Vio. Dia melayangkan pukulan ke arah gadis itu, tetapi dengan sigap, Vio langsung menangkap kepalan tangan pria itu dengan sebelah tangannya. Vio mencengkeram tangan si pria dengan sekuat tenaga, hingga si pria merasakan kesakitan.

Mata si pria membelalak kaget, mungkin dia tak menyangka jika gadis seperti Vio bisa membuatnya kesakitan. Ternyata tendangan tadi bukanlah hal kebetulan, tetapi memang karena gadis itu memang menguasai bela diri.

Tahu sebelah tangannya tak segera bisa lepas, dia melayangkan pukulan dengan tangan yang satunya. Namun, nasibnya tidak jauh beda. Vio dapat menangkap semuanya.

"Kamu kira aku ngga bisa lawan hanya karena aku wanita? Akan kubawa kamu ke penjara saat ini juga. Biar nggak ada korban lainnya!" ancam Vio. Dia memiliki trauma terhadap pelecehan seperti ini, yang membuatnya menjadi seseorang yang berbeda.

"Aw ...!" Vio merasakan tendangan di kakinya hingga dia sedikit menunduk karena kesakitan. Dia tak mengira jika pria itu akan mengarah betisnya. Akhirnya cengekeraman tangannya terlepas.

"Jangan harap!" balas si pria. Tanpa ingin babak belur, akhirnya pria itu memilih untuk lari saja.

'Dari pada aku masuk penjara, mending kabur saja,' ucap pria itu dalam pelariannya.

"Jangan lari!" teriak Vio. 

"Aduh!" Vio yang geram akhirnya melemparkan sepatu yang dipakainya. Si pria mengadu ketika benda sebuah benda pas mengenai bagian belakang kepalanya.

"Makan tu bau terasi!" Vio kembali lari dan ....

"Hyiaaat ...!" Vio melompat ke arah pria itu hingga membuat tubuhnya menimpa sang pria. Kini posisi si pria tengkurap dengan Vio terduduk di atasnya. Vio mencoba mengikat tangan si pria ke belakang agar tak berkutik lagi. Dia selalu menggantung tali di saku celannya. 

"Hey! Apa-apaan kalian?!" Mereka berdua dikejutkan oleh suara teriakan dari arah belakang.

'Dia lagi. Kenapa ketemu lagi, sih?' batin Vio. Dia merasa malas bertemu lagi dengan lelaki yang dia tuduh tadi, mungkin lebih tepatnya malu. Malu karena salah menuduh.

Brian melihat ke arah Vio sang sedang mengikat tangan si pria ke belakang lantas beralih melihat ke arah si pria. Kenapa malah dia ingin tertawa?

"Kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Vio. Ketahuan dalam posisi seperti itu sungguh memalukan. Dia sedang berada di tubuh seorang lelaki, meski kenyataannya tak semesum itu.

"Aku lewat dan melihat pertunjukan ini. Sungguh membuatku ingin menonton secara langsung," ledek Brian. Tidak mungkin dia mengatakan jika dirinya kepo dengan apa yang terjadi. Setelah melihat langsung, ternyata tak seburuk dalam pikirannya tadi.

Dengan bantuan Brian, akhirnya Vio dapat melaporkan orang itu ke polisi. Meski kasusnya harus ditindak lanjut lagi. Vio dapat bernapas lega, satu pelaku pelecehan seksual akhirnya dapat diproses juga.

"Kamu nggak takut?" tanya Brian. Kini Brian dan Vio tengah berada di depan kantor polisi. Vio menunggu taksi sedang Brian ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini. 

"Takut apa?" Vio ganti bertanya. Gadis itu kini tengah meneguk kopi yang berada dalam botol yang dia minta pada polisi di dalam sana.

"Sama orang tadi. Baru kali ini aku lihat gadis seberani kamu," puji Brian. Tapi memang benar, circle pergaulannya yang selalu dengan kalangan atas, tak pernah melihat wanita petakilan seperti Vio. Ini kali pertama untuknya.

"Jika kita takut terus, maka kita yang akan ditindas, Om. Orang mesum seperti mereka harusnya cepat diberantas, supaya nggak ada korban lainnya." Vio dengan mata abu-abunya menengadah, melihat ke arah atas. Seakan ada sesuatu yang menjadi pikirannya saat ini.

Brian hanya melihatnya dari samping. 'Perasaan apa ini? Kenapa aku seolah ingin melindungi gadis ini?' Brian menggelengkan kepalanya, 'sadar Brian. Dia lebih pantas menjadi adik, atau anak mungkin.'

"Kamu--"

"Udah, ya, Om. Saya pulang dulu." Vio beranjak dari duduknya. Rupanya taksi yang dipanggilnya lewat aplikasi online tadi sudah datang. Brian melipat bibirnya ke dalam, menurunkan niatnya untuk bertanya sesuatu.

"Oh, iya!" Vio kembali berbalik menghadap Brian, "maaf dan makasih." Hanya dua kata, tetapi mampu membuat Brian kehilangan logikanya. Vio masuk ke dalam taksi dan tak lagi melihat ke arah Brian.

Brian masih terpaku di sana, merenung apa yang terjadi dengan dirinya? "Ada apa ini? Kenapa seperti ini?" gumamnya pelan. 

"Aku pasti sudah gila." Brian segera bangkit, menuju ke mobilnya dan bersiap untuk pulang. Dia merindukan Azzura, pasti karena itu. Memikirkan Azzura, senyum di bibir Brian mengembang. Pasti saat ini Azzura sedang menyadari kesalahannya. Dia pasti akan minta maaf dan tidak memaksa Brian untuk menikah lagi.

Hari sudah sangat larut, hampir tengah malam. Brian sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Zura pasti sedang pusing mencarinya. Dia sengaja mematikan ponselnya, agar istrinya tak menghubunginya. Bukan karena dia sedang selingkuh, tetapi karena dia tidak ingin dicecar oleh permintaan tak masuk akal dari istrinya.

Brian kembali terbayang tentang Vio. "Siapa namanya tadi? Apa aku sudah menanyakannya?" Brian membelokkan setirnya ke kiri, masuk ke halaman rumah megahnya.

"Sudahlah, Brian! Stop thinking about her! Apa kamu akan menjilat ludahmu sendiri?" Untuk sesaat Brian sangat jijik dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia memikirkan wanita lain selain Azzura. Padahal dia terang-terangan menolak usul poligami istrinya.

Brian melihat ke dalam rumah, lampu masih menyala terang, tandanya Azzura masih terbangun. Mungkin wanita itu menunggunya, hingga belum tidur?

Saat memasuki rumahnya, Brian melihat Azzura tengah tertidur di ruang tengah. Segera lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. Brian melihat wajah istrinya dari samping, lelaki itu tersenyum.

"Kamu selalu cantik." Brian mengecup pipi Azzura, membeli rambutnya dengan lembut. Menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya.

Selama sepuluh tahun lebih bersama, tak pernah ada rasa bosan di hati Brian. Azzura sangat pintar merawat badan dan juga wajahnya, serta kelembutan hatinya membuat Brian selalu jatuh cinta, lagi dan lagi.

"Bagaimana bisa aku menyakitimu, Zura? Dan jangan memintaku untuk menyakitimu, karena aku takkan pernah sanggup," lirihnya. Dia tak ingin mengganggu tidur istrinya, Brian hanya ingin mengungkapkan isi hatinya. 

Brian mengambil napas panjang. Lelaki itu mengangkat tubuh istrinya dan menggendongnya ke kamar. Meski rasa marah pada istrinya belum juga reda, namun tak mungkin juga dia meninggalkan Zura seorang diri di sofa depan. 

Saat menidurkan Azzura di atas kasur, Brian benar-benar memperlakukan wanita itu seperti benda yang terbuat dari kaca. Begitu lembut dan juga hati-hati. Takut jika dia perlakuan dengan keras maka akan hancur dan pecah. Betapa dia sangat mencintai wanita yang menjadi cinta pertama dan terakhirnya itu.

"Mas ...." Azzura menahan tangan Brian yang hendak berbalik meninggalkannya. Keduanya lama bertatapan, sengatan-sengatan itu masih sangatlah terasa. Panggilan merdu Azzura, terdengar sangat seksi di telinga Brian. Apakah dia masih bisa marah dan sama sekali tak menyentuh istrinya itu?

"Persetan dengan semua itu!" Brian tak bisa lagi menahannya. Dia ingin segera melupakan jika saat ini dia sedang menghukum istrinya. Dia menginginkan Zura malam ini. Zura pun sepertinya memikirkan hal yang sama, dia tersenyum penuh arti ke arah Brian dan menarik Brian untuk lebih mendekat ke arahnya.

Bab 5 Perkelahian 

Hawa Jakarta memanglah selalu panas. Tak ada yang bisa mengingkarinya. Kecuali orang-orang yang berada di dalam ruangan yang ber-AC. Berbeda dengan orang-orang yang memang bekerja di lapangan. 

Kehidupan yang keras dan berat, sangat kontras dengan wajah ayu dan parasnya yang rupawan. Adalah Vio, dengan nama panjang Violet Handoko yang memiliki nasib itu. Ternyata wajahnya yang cantik tak bisa menjamin kehidupannya akan berjalan seirama dengan fisiknya.

"Dasar bule miskin!" Itu adalah salah satu kalimat ejekan yang dia terima sedari kecil. Perawakannya memang bukan khas orang Indonesia yang memiliki kulit kecoklatan. Terlebih warna mata dan juga rambutnya yang terlihat mencolok ketimbang yang lain. Warna mata Vio abu, begitu pula rambutnya berwarna silver.

Kulit putihnya yang memerah kala terkena sinar matahari langsung, membuatnya lebih terlihat seperti bule. Tak ada yang percaya jika dia memang benar-benar anak dari Handoko, pria yang kini dia panggil sebagai ayah. Itu semua karena fisik Handoko adalah fisik asli orang Indonesia.

Tak ada yang tahu siapa ibu Vio yang sebenarnya dan tak ada yang bisa dia minta tolong untuk menceritakan masalah ini. Dulu memang dia sering bertanya pada ayahnya, namun seiringnya waktu berlalu, Vio memilih untuk diam. Percuma bertanya pada orang yang sam sekali tidak berniat untuk memberitahunya.

"Mungkin dia bukan anak kandungnya. Mungkin juga si Handoko nyulik dia waktu bayi. Mungkin ibunya dulu selingkuh dengan bule dan akhirnya lahir si Vio." Beberapa kemungkinan itulah yang sering dia dengar dari tetangga-tetangganya dahulu.

Vio sudah terbiasa untuk berpindah tempat. Ayahnya tak pernah lama menetap di suatu tempat. Bahkan sengat Vio, mereka tinggal paling lama di suatu wilayah itu sekitar tiga tahun. Awalnya Vio serng protes, tapi lama kelamaan dia menjadi terbiasa.

"Vio! Antarkan ini ke tempat ini, ya?" Pak Dodi, bos di tempat Vio bekerja. Tak jauh, sih, toko kelontong dekat rumah. Mau bagaimana lagi, Vio ada tanggung jawab mengurus ayahnya yang kini sakit-sakitan. Inginnya, sih, kerja jauh dengan gaji yang besar seperti teman-temannya yang lain. 

Handoko, ayah Vio menderita gagal ginjal dan harus cuci darah seminggu dua kali. Vio harus menemaninya karena tak ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Mereka hanya hidup berdua selama ini, tak ada yang lain.

"Baik!" Vio pun mengambil kardus mie instan dari tangan Pak Dodi dan mengikatnya di jok belakang motornya. Meski bukan pekerjaan bergengsi yang dia kerjakan, tetapi Vio merasa dia wajib bersyukur. Ini semua adalah rejeki yang telah Tuhan gariskan untuknya.

Vio adalah gadis yang kuat dan ceria. Masa kecil yang sedikit suram, menempanya menjadi pribadi yang keras dan mandiri. 

"Panas banget, sih. Apa mungkin matahari sedang menggandakan dirinya saat ini? Hingga sepanas ini?" Vio mengelap kening hingga pelipisnya menggunakan punggung tangan kirinya, sedang tangan kanannya dia gunakan untuk terus menarik gas agar motornya bisa terus berjalan.

Bisa dipastikan jika kulitnya telah memerah kini. Dan Vio sangat membenci hal ini.

Vio melajukan motornya sedang, tidak cepat, tidak pula lambat. Dia suka sesuatu dengan takaran yang pas. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Vio akhirnya tiba juga di tempat yang menjadi tujuannya. Sebuah warung sederhana yang letaknya berada di pinggiran kota.

"Eh ... Neng Bule udah dateng." Seorang wanita paruh baya langsung menyambutnya sesaat setelah dia memarkirkan motornya di halaman warung itu. Vio hanya tersenyum. Dia tak masalah jika dia dipanggil dengan sebutan itu, asal bukan panggilan yang merendahkan dia.

"Iya, Bu Sonya. Gimana warungnya? Rame?" tanya Vio basa-basi. Dia tak pernah bisa jika harus berdiam diri saat bertemu pelanggan seperti ini. Dia akan selalu beramah tamah pada siapa pun.

"Alhamdulillah. Ramai, Neng." 

Setelah melakukan basa-basi dan mengirim barang pada pelangganya, Vio segera pamit. Jika terlalu lama, bisa-bisa Bu Heni--istri Pak Dodi --bakalan marah. Entah kenapa dia terlihat tidak suka dengan Vio. 

Vio kembali melajukan motornya di jalanan. Seperti saat berangkat, dia pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang. 

"Tolong ...! Tolong ...!" Vio segera menajamkan telinganya. Dia seakan tengah mendengar suara wanita sedang minta tolong. Vio menepi, mematikan mesin motornya agar bisa mendengar suara itu lebih lanjut.

"Tolong ...!" Setelah yakin di mana sumber suara itu berasal, Vio kembali menghidupkan mesin motornya dan menuju ke tempat itu.

Dari kejauhan, Vio bisa melihat adegan tarik-tarikan antara seorang wanita dengan seorang pria.

"Sepertinya dia mau merampok wanita itu," gumam Vio. Dia segera mempercepat laju motornya. 

"Berhenti! Mau aku panggilan polisi?!" ancam Vio masih dari atas motornya. Dia segera menepikan motornya itu dan menghampiri kedua orang itu.

"Siapa lo?! Jangan banyak bacot!"

Sang pria melepas tarikannya pada tas dan bersiap untuk memukul Vio. Vio pun melakukan hal yang sama. Dia memasang kuda-kuda dan mengepalkan tangannya, bersiap untuk berkelahi dengan lelaki itu.

Satu pukulan dari si pria dapat Vio hindari. Akhirnya perkelahian pun tak bisa dihindari. Vio lumayan gesit bertarung.

Masih di tempat itu, wanita yang Vio tolong masih gemeraran. Dia sangat takut kali ini. Dengan tangan yang terus bergetar, dia berusaha mencari sesuatu dari dalam tasnya.

"Halo, polisi. Ada perampokan di Jalan Mangga." Setelah melakukan pembicaraan singkat dengan polisi yang ada di telepon, wanita itu kembali mendekap erat tasnya. Kali ini dia begitu takut karena melihat Vio yang masih terus menghajar preman itu.

Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika polisi tak segera datang? Bagaimana ini? Hanya itu yang terus berputar di kepala sang wanita. Meski dia melihat jika Vio sangat pandai berkelahi, tetap saja dia kewalahan jika harus melawan pria yang tinggi besar itu.

Vio terus melawan pria itu, meski dia wanita, namun tenaganya tak kalah dari preman itu. Tak sia-sia dia belajar taekwondo selama ini. Dia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga membantu orang lain.

"Brengsek! Brengsek! Brengsek!" Vio terus memukul preman itu. Dia kini dalam posisi di atas perut sang preman. Wajah preman itu babak belur karena pukulan Vio.

"Ampun ... ampun ...." Pria itu mengiba, mengharap belas kasihan Vio. Namun, Vio yang masih kesal terus saja memukul tanpa henti. Seolah dia sama sekali tak mendengar apa pun. 

Wanita yang Vio tolong masih menatap ngeri pada keduanya. Namun, dia sedikit merasa lega karena Vio dalam posisi yang menguntungkan. Jadi, apa yang sedari tadi dia khawatirkan tidak terbukti.

Tak berselang berapa lama, ada mobil polisi yang menepi. Sang wanita langsung menghampiri mobil itu.

"Berhenti!" teriak salah satu polisi yang baru saja datang. Vio yang tadinya seperti orang kesetanan, langsung menghentikan pukulannya. Dia mengatur napasnya yang tadi sempat tak beraturan.

Vio melihat sekitar. Dia sampai tak sadar jika sudah ada polisi di sana.

"Tangkap pria itu, Pak! Dia tadi berusaha merampok saya!" tunjuk si wanita pada pria yang sudah tak jelas gambar wajahnya. Vio langsung bangkit dan mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah.

Bab 6 Bantuan

Polisi itu pun menangkap si preman yang sudah terkulai lemas. Ternyata dia tak bisa melawan wanita seperti Vio.

"Badan aja gede, tapi ngelawan cewek aja kalah," ejek salah satu polisi itu pada si pria. Sebenarnya sang pria ingin marah, tetapi bersuara saja dia tak sanggup.

"Nyonya Wijaya. Saya minta keterangannya di kantor polisi," ucap salah satu polisi pada wanita yang diselamatkan oleh Vio. 

"Baik, Pak. Saya akan ke sana." Setelah membawa si pria menggunakan mobil, polisi itu segera pergi dari tempat itu. Tinggallah Vio dan juga wanita itu.

"Makasih, Dek. Saya berhutang budi sama kamu," ucap si wanita pada Vio. 

Muka Vio pun tak kalian parah dari pria tadi. Hanya saja dia masih kelihatan cantik meski wajahnya banyak luka lebam.

 "Nggak papa, Mbak. Saya ikhlas nolong, kok." Vio mengucapkannya dengan tersenyum, meski ada sedikit nyeri di ujung bibirnya. Vio memegang perut bagian kananya, rasanya nyeri. Mungkin tadi tak sengaja terkena pukulan.

"Perkenalkan ...." Wanita itu hendak menyalami Vio, dia tersenyum sangat manis. Vio tahu jika dia usianya berada jauh di atasnya, namun dia masih kelihatan sangat cantik, "nama saya Azzura."

Vio menerima uluran tangan itu dan balas tersenyum, "Saya Vio, Mbak."

Setelah perkenalan singkat itu, Azzura menawarkan Vio untuk pergi ke klinik paling dekat dengan tempat itu. 

"Nggak usah, Mbak. Saya nggak perlu ke klinik segala. Ini juga pasti akan segera sembuh. Nggak perlu obat-obatan kayak gitu," tolak Vio. Dia sudah lama meninggalkan toko tempatnya bekerja. Dia takut istri bos-nya akan marah jika dia tak segera kembali bekerja.

"Tapi luka kamu serius, lho itu." Azzura menunjuk ke arah wajah Vio yang hampir tak bisa dikenali. Meski masih saja terlihat cantik, namun kini sedikit mengerikan. Beberapa bagian pipinya membiru karena bekas pukulan.

"Saya--aw ...!" Vio kembali merasakan nyeri di tulang rahangnya, seakan terjadi pergeseran di sana.

"Tuh 'kan? Ayo! Ikut saya! Biar kamu diobati!" Dengan paksa Azzura menarik lengan Vio agar mengikutinya masuk ke dalam mobil.

"Tap-tapi motor saya--"

"Tenang. Saya sudah panggil orang untuk bawa motor itu." Tanpa mau menerima bantahan dari Vio, Azzura terus menarik Vio dan mendorongnya untuk duduk di jok penumpang di sebelahnya.

Setelah Vio duduk dengan tenang, Azzura segera melajukan mobilnya menuju ke sebuah klinik yang jaraknya hanya sekitar satu kilo dari tempat itu. Vio pun hanya diam, tak membantah lagi. Dia seakan merasakan kasih sayang seorang ibu dari wanita itu.

'Beruntung banget yang dapetin mbak ini. Cantik, baik, dan juga penuh kasih sayang. Aku bisa liat itu semua dari sikap dan juga ucapannya. Dia adalah gambaran wanita yang sempurna.' Tanpa sadar, Vio mengagumi Azzura dalam hatinya. Seakan sosok yang ada di sebelahnya itu adalah sosok yang bisa dia jadikan contoh dan panutan.

"Kamu tinggal di mana?" Pertanyaan Azzura kembali menyadarkan Vio pada kenyataan. Semanjak masuk ke dalam mobil, dia memang hanya melamun saja. Hingga membuat Azzura penasaran.

"Sa-saya tinggal di Gang Jambu, Jalan Mawar." Vio menyebutkan nama gang yang masih agak jauh dari tempat itu.

"Kamu ... masih kuliah?"

"Oh ... nggak! Saya kerja," jawab Vio singkat.

"Kenapa nggak kuliah?" 

"Saya harus biayain bapak saya. Kasihan."

Terjadi pembicaraan antara keduanya yang awalnya hanya basa-basi berakhir dengan pembicaraan yang lumayan berat. Meski baru mengenal, Vio merasakan sangat cocok dengan Azzura sehingga dia dengan tenang menceritakan semuanya. 

"Kamu mau aku bantuin bapak kamu?" Vio kaget mendengar pertanyaan Azzura, hingga dirinya hanya bisa melongo. Dia baru saja mengenal wanita itu, tetapi kenapa dia seakan sangat baik padanya.

"Nggak usah, Mbak. " Vio hanya bisa tersenyum. Dia tak ingin merepotkan orang lain.

"Loh, kenapa?"

"Saya masih bisa mengurus bapak saya sendiri." Vio tersenyum canggung. Dia kurang nyaman dengan perhatian seperti ini. Terlebih dari orang yang baru saja dia kenal.

"Maaf," lirih Azzura. Dia tak menyangka jika niat baiknya menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain.

Setelahnya hanya ada keheningan antara keduanya.

Tak berselang berapa lama, mobil Azzura memasuki halaman sebuah klinik. Mereka berdua masih saling diam. Bingung harus memulai pembicaraan lagi dari mana.

"Vio! Ayo masuk. Obati dulu luka kamu." Azzura masuk ke dalam klinik itu diikuti Vio di belakangnya.

"Siang, Bu Azzura," sapa salah satu satpam yang berada di depan klinik itu.

"Siang juga, Pak Supri. Pak Adrian ada di dalam?" tanya Azzura, dia balas tersenyum pada Pak Supri, satpam itu.

"Ada, Bu," jawab Pak Supri.

"Oke! Makasih, ya, Pak."

Vio merasa aneh karena satpam di klinik ini bisa kenal dengan wanita yang ada di depannya itu.

"Mbak Zura sering ke sini?" tanya Vio penasaran.

"Ah! Iya. Di sini klinik milik sahabat saya."

Vio hanya mengangguk-angguk saja. Dari sini, dia bisa menilai jika wanita itu pasti orang kaya.

"Dia aslinya psikiater, tapi punya klinik umum juga. Kadang di sini, kadang di tempat prakteknya sendiri." Vio bisa menilai jika Azzura itu adalah orang yang sangat asyik. Dia orang kaya, tetapi tidak malu berbincang dengannya yang hanya orang biasa.

Tiba di sebuah pintu ruangan, Azzura mengetuk pintu itu. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung saja masuk ke dalam.

Vio hanya terus mengikuti wanita itu masuk ke dalam ruangan. Lagi-lagi dia merasa aneh, kenapa dia malah diajak ke sini? Katanya mau mengobati luka?

"Hai, Ad," sapa Azzura pada seorang pria yang berada di dalam sana. Pria yang tadinya menunduk itu, langsung saja mengangkat kepalanya. Vio dapat melihat dengan jelas, tatapan memuja dari laki-laki itu untuk Azzura.

"Hai, Zura. Apa kabar?" Pria yang dipanggil Ad itu langsung berdiri untuk menyambut Azzura.

"Baik. Ad."

"Kamu lama banget nggak nemuin aku."

"Haha ... aku sibuk."

Vio masih berdiri membatu, dia terpesona pada pandangan pertama pada pria itu. Tidak salah 'kan, jika Vio terpana. Pria yang sedang berbincang dengan Azzura itu terlihat seperti pria yang penyayang. Tatapannya lembut namun mematikan.

"Ini ... siapa?" Rupanya sang pria baru menyadari tentang keberadaan Vio setelah beberapa saat.

"Dia Vio. Dia yang nolongin aku. Kamu bantuin obati dia dulu." Azzura duduk di salah satu kursi di ruangannya. Dia terlihat begitu terbiasa di sana, seperti tak ada batasan lagi.

Adrian tersenyum pada Vio, membuat jantung Vio berdegup dengan kencang.

'Ada apa ini? Pasti ada yang salah dengan jantungku,' gumam Vio dalam hati. Senyuman Adrian benar-benar bisa membuat Vio melayang. Manis dan juga memabukkan.

"Hai, Vio," sapa Adrian, "makasih udah nolongin wanita manja ini."

Azzura tertawa, "Aku nggak manja, Ad," elak Zura. Vio melihat kedekatan mereka begitu manis. Hingga dia berpikir, bahwa keduanya memiliki hubungan.

"Ini sakit?"

"Ouch!" Vio meringis kesakitan ketik Adrian menekan luka lebam yang ada di lengan kanannya.

Adrian mulai mengobati luka Vio satu per satu. Vio melihat wajah tampan itu tanpa kedip. Sepertinya dia baru pertama kali melihat wajah tampan sedekat ini. Seketika saja Vio merasa jika udara di sekitarnya mendadak berhenti.

"Nah! Sudah!" Vio gelagapan karena ternyata dia dia sudah terlalu lama melamun. Gadis cantik itu menatap lukanya yang kini telah bersih dan diberi salep. Selama itukah dia terpesona pada lelaki yang ada di depannya.

"Te-rima kasih," ucap Vio terbata.

Pria bernama Adrian itu begitu dingin dan cuek, namun terlihat begitu hangat ketika berbicara dengan Azzura. Mereka berdua saling berbincang, menyisakan Vio yang kalut dengan pemikirannya.

"Jadi, kamu berkelahi sama preman itu?" Vio terhenyak, dia tak menyangka jika dia akan mendapat tatapan kagum dari lelaki yang baru saja dikaguminya.

"I-iya." Vio mencoba tersenyum semanis mungkin.

Adrian mengangguk. "Salut sama kamu!" Dia mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah Vio, membuat pipi gadis itu memerah. Vio merasakan debaran di hatinya semakin nyata.

"Ah! Aku pamit dulu, Ad. Aku mesti ke kantor polisi buat laporan." Azzura berdiri dari duduknya. Dia ingat masih harus mendatangi kantor polisi setelah ini.

"Ayo, Vio!" ajak Azzura pada gadis yang masih terus berjuang untuk menahan debaran jantungnya. Ini baru pertama dia rasakan, debaran yang tak kunjung usai meski hanya menatapnya.

Kini Azzura dan Vio telah berada dalam mobil. Sesekali Vio melirik ke arah Azzura yang terlihat begitu cantik dan anggun. Seperti dia memang ditakdirkan seperti itu sejak lahir.

"Ada yang ingin kamu tanyakan padaku?" Sesaat Azzura menoleh ke arah Vio. Sepertinya dia sadar jika gadis itu sedari tadi curi-curi pandang ke arahnya.

"Ah! Enggak. Hanya saja ...." Vio melipat bibirnya ke dalam, merasa ragu.

Bab 7 Penasaran

Vio menggantung ucapannya. Dia kembali ragu, haruskah menanyakan hal ini atau tidak?

Azzura menaikkan alisnya, masih menanti apa kira-kira yang bakal dikatakan oleh Vio.

"Apa Mbak Zura sudah menikah?" Vio memejam. Bisa-bisanya dia menanyakan hal itu pada orang yang baru dikenalnya.

'Bodoh kamu Vio,' rutuknya dalam hati.

"Hahaha ...!" Vio bingung, kenapa Azzura malah tertawa. Bukankah Vio sudah tidak sopan dengan bertanya seperti itu?

Azzura mengangkat tangan kirinya, seolah dia ingin memperlihatkan sesuatu pada Vio. "Ini sebuah cincin pernikahan. Artinya aku sudah menikah."

"Iya." Vio nyengir. Dia merasa pertanyaannya itu sangat tidak penting. Andai dia bisa memutar waktu.

"Aku sudah menikah dan aku sangat cinta sama dia." Vio melihat ke arah Zura. Dia mengatakan kejujuran. Ada pendar kebahagiaan di mata wanita itu saat bilang cinta. Vio yakin jika Azzura mengatakan sebuah kebenaran. Tetapi, kenapa ada kesedihan juga di dalamnya?

"Pasti suami Mbak Zura orang baik, buktinya dapat Mbak Zura yang sangat baik," celetuk Vio. Dia memang suka seperti itu. Mengatakan apa yang ada di pikirannya. Hingga kadang dia heran sendiri dengan mulutnya yang seperti tak ada filter.

Azzura mengangguk. "Tentu saja dia adalah suami terbaik di dunia." Tanpa sadar sudut mata Azzura sudah hampir jebol. Akhir-akhir ini dia menjadi sangat mellow. Entahlah!

Sejak pertama bertemu dengan Vio, Azzura merasa jika dia menyukai gadis itu. Azzura yang seumur hidup tak memiliki adik, seperti melihat sosok seorang adik di diri Vio. Gadis itu baik, cantik, dan ceria. Pasti laki-laki yang mendapatkannya adalah laki-laki yang beruntung.

"Oh, ya." Azzura mengusap sudut matanya. Dia tak mau terlihat rapuh di depan siapa pun, "Aku antar kamu ke mana?"

"Motorku gimana, Mbak? Kalau ilang pasti aku bakal dipecat sama Pak Dodi," ucap Vio dengan nada penuh kekhawatiran. Dia sangat takut kali ini. Bagaimana jika dia dipecat? Lalu ayahnya harus bagaimana?

Memikirkannya saja sudah membuat Vio gelisah. Dia masih harus membiayai ayahnya yang sering cuci darah.

"Siapa Pak Dodi?" tanya Azzura heran.

"Dia bos saya di tempat kerja saya. Motor itu punya toko kelontong saya bekerja. Jika hilang, bagaimana saya bisa menjelaskan pada mereka?" Zura dapat melihat raut wajah putus asa pada gadis itu. Andai gadis itu mau menerima uluran tangannya.

"Motor kamu aman. Nanti biar saya suruh orang saya antar ke tempat kamu kerja. Kasih tahu alamatnya."

Vio pun menyebutkan sebuah alamat dan Zura segera menelepon seseorang untuk mengantarkan motor itu. Vio terlihat sangat panik. Sungguh ini membuat Azzura trenyuh.

"Aku antar kamu ke rumah kamu, ya?" Tak mungkin dia membiarkan Vio terus bekerja dengan kondisi yang seperti ini. Ini semua karena menyelamatkannya. Tidak mungkin dia bisa tenang.

"Nggak usah! Ke toko saja! Saya takut dipecat." Vio sangat berbeda dengan gadis yang tadi menolong Azzura. Saat ini, dia sangat terlihat rapuh dan menyedihkan.

"Tapi, kamu belum sembuh benar, lho. Aku jadi merasa sangat bersalah." Ini semua terjadi karena Vio menolongnya. Andai tadi Vio mengabaikannya, pasti gadis itu akan baik-baik saja. Dia seakan memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas gadis itu.

"Nggak papa. Aku nggak papa, kok. Maaf, mungkin tadi aku hanya sedang kepikiran saja." Vio berusaha menekan air matanya untuk kembali masuk ke dalam. Bukan waktunya meratapi semuanya. Dia harus menerima semua takdir yang Tuhan gariskan untuknya.

Azzura terdiam. Dia tak ada pilihan lain selain tidak ikut campur lagi. Mungkin dia yang keterlaluan sehingga membuat Vio terluka.

Mereka saling diam dengan pikirannya masing-masing. Vio dengan nasib pekerjaannya, sedang Azzura memikirkan nasib Vio. Andai dia bukan orang lain, maka dia tidak akan pernah membiarkan gadis sebaik Vio sedih.

"Terima kasih." Mereka kini telah sampai di depan toko kelontong tempat Vio bekerja. Vio telah melihat motor yang tadi dikendarainya di sana. Dia sedikit bernapas lega. Setidaknya motor itu tidak hilang, hanya saja dia harus berpikir bagaimana menjelaskan semua ini pada Pak Dodi dan istrinya.

"Harusnya aku yang bilang makasih ke kamu." Azzura mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Kamu kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk hubungi aku."

Vio menatap kartu nama itu. Ada perasaan ragu untuk menerimanya. Dia tak mau menjadi manusia yang tidak ikhlas saat menolong. Jika dia menerima kartu nama itu, dia pasti mengharapkan sebuah balasan atas pertolongannya tadi.

"Aaa ... butuh temen ngobrol, misal? Soalnya aku juga suka kesepian. Mungkin kita bisa jadi temen." Azzura meralat kata-katanya. Dia takut kalau Vio kembali salah paham dengan niat baiknya. Sungguh, dia saat ini begitu ingin berteman dengan gadis itu. Meski terlihat sangat kuat, namun dia rapuh, sama seperti dirinya.

Dengan ragu-ragu, Vio menerima kartu nama itu. Mungkin memang suatu saat dia butuh.

Vio bersiap membuka pintu. Dia juga bersiap dengan kemarahan yang akan dia dapatkan. Gadis itu menapakkan kakinya di depan toko tempatnya bekerja. Dia bisa melihat raut kemarahan dari wanita paruh baya yang menjadi istri Dodi itu. Inikah akhir pekerjaannya di sini?

***

"Pak! Siang ini ada rapat dengan Tuan Mark Sutopo." Risa saat ini tengah berada di depan meja Brian. Dia memegang tablet di tangannya. Semua jadwal Brian ada di tangan Risa.

"Jam berapa rapatnya?" tanya Brian masih dalam posisi matanya tak lepas dari tumpukan laporan di hadapannya. 

"Jam dua siang," jawab Risa mantap. Brian menghentikan aktifitasnya, dia menarik napas panjang. Mark Sutopo adalah salah satu saingan bisnisnya yang begitu gencar menjatuhkan perusahaannya. Brian tahu jika Mark sering menempuh cara licik, tapi sebagai orang yang jujur, Brian belum bisa bergerak. Dia harus memikirkan semua konsekuensi yang harus dia ambil.

"Ingatkan nanti!" Brian memutuskan untuk kembali berkutat dengan laporan yang menurutnya tak pernah berhenti. Setiap hari, selalu ada segunung laporan yang harus dia periksa. Begitulah, jika perusahaan semakin besar maka pekerjaannya pun juga semakin banyak.

Brian tiba-tiba teringat saat dulu perusahaannya belum sebesar ini, dia masih punya banyak waktu untuk Azzura dan juga Kyra. Tidak seperti saat ini.

"Baik, Pak! Saya permisi!" Risa segera undur diri dari hadapan bos-nya itu. Suasana Brian sedang buruk beberapa hari ini, dia tak mau ambil resiko dengan berlama-lama ada di sekitaran Brian. Bisa-bisa dia kena amukan lagi seperti waktu itu.

"Hi ...! Jangan sampai!" Risa bergidik ngeri kala mengingat saat dia kena omelan pria berusia 35 tahun itu. Padahal dia sama sekali tak melakukan kesalahan fatal apa pun. "Mungkin Pak Brian nggak dapat jatah dari Bu Zura hingga garang kayak macan gitu," gumam Risa sesaat dia menutup pintu ruangan Brian.

Sepeninggalan Risa, Brian membuang napas kasar. Brian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi miliknya. Dia merenggangkan tangannya dan memutar lehernya. Dia sungguh lelah akhir-akhir ini. Perusahaannya harus bekerja sama dengan Sutopo Group dalam memenangkan tender pembangunan jalan tol di daerah Jawa Tengah.

Tak mungkin tadi dia nampak bersantai saat di hadapan Risa. Itu akan menjatuhkan wibawanya sebagai seorang CEO di sana.

"Mas, menikahlah lagi." Kata-kata Azzura saat itu, terus terngiang di kepalanya. Seakan menjadi sebuah momok yang mengerikan. 

Brian memijit pangkal hidungnya. Dia masih mencari tahu, apa yang membuat Azzura meminta hal itu. 

Brian mengambil ponselnya, dia menghubungi salah satu nomor yang ada di sana. Bagaimanapun ini sangat tidak wajar. Pasti ada apa-apa dengan istrinya itu?

"Halo, Vincent!"

"Halo, Bos. Ada apa?" Terdengar sahutan dari ujung telepon sana.

"Kamu mau kerjaan, nggak?"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Madu Untuk Istriku Bab 9-11
0
0
Namaku Dani. Aku adalah seorang karyawan pabrik. Aku menikah dengan Reni selama tujuh tahun dan belum memiliki anak. Spermaku pernah diperiksa dan hasilnya mengatakan jika spermaku bermasalah. Aku yakin jika hasil itu salah. Dokter itu pasti bukan dokter yang kompeten. Dalam keluargaku, tidak ada yang mandul. Aku yakin ini karena istriku Reni yang tidak bisa mengandung.Aku akhirnya ingin membuktikan sendiri bahwa aku tidak mandul dengan mendekati seorang janda beranak satu. Aku yakin aku bisa menghamilinya dan membuktikan jika bukan aku yang salah. Aku akan membuktikan jika Reni yang bermasalah dan tidak bisa hamil. Aku yakin itu. Bab 9Kemarahan DaniDani memasuki kamarnya, hatinya dipenuhi amarah ketika mendengar aduan dari ibunya tadi. Ditambah nafsu yang tidak tersalurkan saat bersama Tari tadi membuat amarahnya semakin memuncak.Dilihatnya Reni yang sudah tidur berbaring memunggunginya.Yang ... yang ...! panggil Dani kasar. Reni bergeming, dia pura-pura tertidur. Dia tahu apa yang akan dikatakan suaminya itu.Kini Dani mendekatkan tubuhnya pada Reni, dan mengguncang-guncang bahu istrinya agar terbangun.“Yang ....”  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan