
Humor adaah bagian dari elemen manusia untuk kemudian berkomedi atau bercanda. Tapi bagaimana jika setiap orang memiliki rasa humor yang berbeda. Akankah hal tersebut kemudian menjadikan seseorang tersinggung, bahkan sampai melakukan kekerasan fisik?
Bercanda, merupakan sebuah kebutuhan dimana manusia memang membutuhkan untuk sebuah hiburan. Dan terkadang karena hiburan itu tidak bisa ditemukan di banyak tempat, lewat bercanda bisa menjadi alternatif menemukan hiburan.
Karena merupakan sebuah alternatif untuk menemukan sebuah hiburan, bercandaan sering digunakan oleh banyak orang. Bahkan lintas generasi, usia, ras, dan kepercayaan ikut untuk meramaikan dengan bercandaan yang khas mereka sendiri.
Contoh mudah untuk lintas usia seperti yang kita tahu ada bercandanya anak muda yang masih segar dan terkadang menyenggol isu sosial yang ada bahkan dark joke. Ada juga yang sering kita sebut sebagai candaan bapak-bapak yang kerap kita dengar dilakukan dengan plesetan kata-kata tertentu yang agak garing untuk sebuah candaan tongkrongan.
Dalam perjalanannya sebuah candaan bisa jadi tidak relevan seiring berjalannya zaman bahkan bisa jadi tidak menimbulkan ketersinggungan untuk saat ini tapi bisa jadi beberapa tahun kedepan.
Konsep dalam sebuah candaan ketika seseorang akan bercanda harus ada sesuatu baik itu benda, peristiwa, individu atau kelompok yang kemudian dijadikan pertumbalan untuk membuat candaan menjadi lucu.
Nah, seringkali objek bercandaan itu yang terlalu sensitif untuk bercanda sehingga pada prakteknya bisa menyinggung banyak orang. Seperti contoh candaan rasis terhadap orang berkulit hitam, biasanya karena itu topik yang sangat sensitif maka tidak akan dibawakan.
Berbeda jika hal tersebut dibawakan oleh sesama orang kulit hitam yang sedang membercandai kulit hitam. Itu tidak akan menjadi masalah, malahan tidak akan ada yang tersinggung. Berbeda jika yang membawakan itu bukan yang berasal dari suku berkulit hitam.
Ketersinggungan ini yang kemudian mempersulit seseorang untuk bercanda secara bebas. Orang–orang kemudian menjadi sangat riskan untuk tersinggung akhir-akhir ini. Bahkan bisa dilaporkan atas dasar pencemaran nama baik atau bahkan UU ITE.
Beberapa hari yang lalu viral cuitan dari seorang komika profesional yang kini sedang naik daun yaitu Kiki Saputri yang scene roasting terhadap salah satu capres di salah satu acara stasiun TV ternyata dipotong atas permintaan capres tersebut.
Tidak terlepas dari itu semua orang bisa memiliki peluang untuk kemudian tersinggung atas suatu candaan. Bahkan seorang selevel seorang capres yang akan memimpin sebuah negara dengan sistem demokrasi.
Tapi tidak salah juga karena apapun bisa kemudian mempengaruhi peringkat elektabilitas beliau jika informasi sampai ke telinga masyarakat. Informasi tersebut bisa jadi juga sangat sensitif sehingga sebenarnya capres tersebut dalam niatnya ingin menyelamatkan seorang Kiki Saputri.
Kembali lagi bahwa sebuah candaan yang tercipta terkadang memang sudah kelewat batas. Sehingga kemudian candaan untuk dewasa ini sangat riskan untuk membuat seseorang menjadi tersinggung.
Pada awalnya sebuah candaan memang tidak memiliki tolak ukur yang pasti untuk membuat orang tersinggung. Meskipun secara umum beberapa hal memang harus dihindari seperti SARA.
Baik itu secara verbal atau fisik sebuah candaan ada baiknya untuk kemudi memperhatikan norma yang ada dimasyarakat dan menghindari berbagai unsur terkait dengan SARA. Karena topik itu merupakan sesuatu yang sangat sensitif untuk diperdengarkan ke orang banyak.
Bercanda untuk kondisi saat ini menjadi semakin problematik, bukan bercanda sebagai konteks, tapi bercanda sebagai sebuah kata. Biasanya digunakan sebagai sebuah tameng untuk menegaskan tindakannya sebagai sebuah bercanda agar tidak banyak yang tersinggung.
Kata “bercanda” sempat naik dengan konten seorang mahasiswi yang memplesetkan kata tersebut menjadi “bercanda” dengan gestur lucu. Setelah viral banyak orang banyak anak kecil yang memakai kata tersebut sebagai sebuah candaan.
Kembali lagi, sebagai upaya untuk membuat candaan tapi tidak menyinggung orang lain seringkali kita mendengar kata bercanda untuk menegaskan mereka sedang bercanda dan tidak ingin menyinggung. Di satu sisi itu baik agar orang tidak mudah untuk tersinggung hanya karena topik ringan.
Tapi kemudian hal itu merembet kepada persoalan bahwa kata “bercanda” sangat sakti sebagai sebuah pembelaan diri atau orang lain.
Pasti beberapa pernah mendengar ketika dua orang anak sedang saling bercanda dan salah satunya menangis. Biasanya salah satu dari orang tua bersangkutan bilang ke orang tua anak yang menangis “anakya cuman bercanda kok” sebagai pembelaan terhadap anaknya agar tidak bersalah.
Ini senada dengan beberapa waktu lalu beredar sebuah berita, mengutip dari kompas terkait kasus anak SD yang harus diamputasi kakinya setelah di sliding temannya. Sebagai perwakilan, wakil kepala sekolah mengatakan dan buka suara bahwa hal tersebut hanyalah sebuah candaan dan sudah biasa.
Secuil bukti dari kesaktian kata bercanda dan tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut menyulut kemarahan warganet terkhusus atas akibat yang diterima korban dari hal itu. Masih kecil tapi titian anak itu untuk menggapai cita-citanya semakin berat.
Hal ini tidak bisa dibiarkan bahkan dibenarkan begitu saja, karena kalau tidak untuk kedepannya konteks dari suatu candaan bisa jadi lebih buruk. Contoh untuk hal ini, beberapa waktu lalu ada sebuah berita yang menginformasikan terjadi sebuah penusukan terhadap siswa SMA.
Hal tersebut bisa terjadi lantaran karena, tersangka penusukan tersebut sering menjadi target bully oleh korban. Hingga pada satu momen emosinya mungkin sudah memuncak dan tidak dapat dibendung lagi sehingga melakukan hal tersebut.
Fenomena ini mulai sedikit mirip seperti yang kerap terjadi di Amerika Serikat berupa penembakan massal yang dilakukan oleh seorang murid. Dan motifnya kebanyakan sama, yaitu disebabkan oleh bullying.
Bagi seorang pembully aksi yang mereka lakukan biasanya dinilai menyenangkan dan lucu. Nah, ini yang seharusnya menjadi konsen bahwa lucu untuk setiap orang itu berbeda-beda. Dan itu tidak selamanya bisa diterima, bahkan oleh banyak orang.
Kemudian menjadi masalah adalah ketika seseorang belum sadar bahwa candaan mereka melewati batas dan terus melakukannya dengan subjek candaan yang sama setiap kalinya. Hal tersebut bisa tergolong bullying karena subjek merasa direndahkan tidak hanya sekali aja.
Bercanda itu boleh, hanya saja hati-hati ketika melontarkan sebuah candaan. Jika candaan tersebut melukai individu atau kelompok tertentu sebaiknya berhenti. Karena konsekuensinya tidak bisa kemudian kita prediksi. Dan jangan selalu bersembunyi di balik kata “bercanda” hanya untuk klarifikasi perilaku kita.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
