
Andreas. Sosok yang bikin orang di sekitar Efa mengira gadis itu mengincar Om-om. So, siapakah lelaki itu sebenarnya hingga membuat Efa tergila-gila padanya?
Bab 4. Ada Apa Dengan Aksa?
.
.
‘Siapa kira-kira orang itu, ya? Punya hubungan apa dia sama Aksa? Bokapnya? Kayaknya terlalu muda, deh.’
Efa berbalik ke kiri, menambah kisut seprainya. Sudah pukul sembilan malam, namun matanya sulit menutup. Sosok lelaki yang menjemput Aksa siang tadi mengganggu tidur malamnya kali ini. Tubuh atletis pria itu ditambah lagi style berpakaiannya yang anak muda tapi tetap memberi kesan wibawa.
‘Gue tanya ke Aksa aja apa, ya?’
Efa baru saja hendak membuka ponselnya, tiba-tiba sosok sang mama muncul di pintu. Layar ponsel yang menyala di gelapnya kamar ini membuat Jenni dengan mudahnya menemukan sosok anak sulungnya itu.
“Efa belum tidur?”
Efa mau nggak mau harus jujur. “Bentar lagi, Ma.”
“Lho, kok masih main handphone?”
“Ini mau matiin, kok, Ma.”
“Sini Mama taruh di meja.”
Sepertinya Efa memang harus segera tidur. Ya, tentang siapa sosok lelaki itu, biar besok ditanyakan langsung ke Aksa saja. Karena mendadak saja ia merasakan kantuk saat ini, tatkala Jenni mengelus kepalanya. Perlahan namun pasti, matanya pun memejam.
°°
“Efa!”
Efa menoleh.
“Pulang dijemput Mama, ya!”
“Sip, Bun!”
Bianca tersenyum senang mendengar suara sahabatnya itu. Di depan gerbang ia menunggu kedatangan Efa. Cewek itu memang belum melihatnya, tapi sebentar lagi juga bakal ketemu, kok.
Brrrm! Brrrm!
Suara motor gede berkapasitas 1.202 cc itu membahana sejak kemunculannya belum tampak. Namun, berhasil menarik perhatian beberapa orang. Termasuklah Efa.
Efa sudah hapal dengan suara itu semenjak kemarin siang. Motor gede itu tak lama kemudian berhenti di dekat gerbang sekolah.
Aksa tampak turun dari motor seraya memberikan helm pada pria itu. “Pulang nanti ....”
“Aksa!” panggil Efa.
Aksa menoleh. “Efa?” Ujung alisnya terpaut pasti.
Efa pun berlari kecil menghampiri Aksa.
Kening Aksa yang nggak terlalu tinggi mengkerut melihat Efa dalam sekejap sudah berada di hadapannya. Ini bukanlah sesuatu yang biasa terjadi. Seharusnya dia yang secepat kilat menghampiri cewek ini, bukan sebaliknya. “Ngapain kamu di sini?”
“Em, menyambut kedatangan ketua kelas, lah,” jawab Efa asal.
“Siapa, Sa?” Suara berat agak serak pria itu terdengar juga.
“Kenalin, Om.” Efa menjulurkan tangannya duluan ke arah pengemudi moge. “Saya Shareefa, panggil aja Efa. O, iya. Saya teman satu kelasnya Aksa.”
Alis Aksa kian terpaut. Selama mereka kenal nggak pernah sekalipun Efa itu memperkenalkan dirinya duluan kepada orang lain. Lantas, apa yang membuat gadis tiga belas tahun itu sekarang bertingkah sebaliknya?
Lelaki itu tampak ragu menyalimi Efa. “Tolong perhatikan Aksa, ya.”
“Iya. Tenang aja, Om. Saya akan menjaganya seperti Om sebagai bapaknya menjaga Aksa.”
Aksa dan pria itu saling bertatapan.
“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Efa sembari menatap keduanya bergantian.
“Orang ini bukan Ayahku, Fa.”
“O, ya?! Jadi, siapa?” tanya Efa kian bersemangat.
“Oom-ku. Adik Ayah paling kecil.”
Sejurus kemudian bel pertanda dimulainya pelajaran berbunyi. Terdengar sampai luar sini.
“Salam kenal, ya, Efa. Saya Andreas. Sekarang, kalian masuk dulu. Okay?”
Bagai anak bebek diperintah oleh sang ibu, Efa manggut-manggut saja. “Ayo, Aksa. Kita masuk.”
Aksa memandang heran pada tangan Efa yang menggelayut di lengannya. ‘Aneh. Ini, tuh terlalu nggak biasa. Kenapa Efa berbuat sebaik ini sama aku?’
Aksa pandangi wajah cewek itu yang berjalan di sisinya. ‘Atau, dia merasa bersalah karena apa yang terjadi kemarin? Terus, mulai membuka hatinya? Bisa jadi!’
“Ah, shit!” Mendadak wajah kesal Efa kembali.
Aksa pun penasaran apa yang dilihat Efa hingga raut muka jutek itu harus muncul ke permukaan. “Yaaah,” lirihnya kecewa. Ditambah lagi ketika celingak-celinguk hanya mereka berdua di lorong ini.
Bagai scene film horor kalau ditambah efek asap-asap dramatis ditambah sound menegangkan. Dua siswa mundur perlahan sementara di ujung sana seorang pria mengenakan setelan putih hitam menggores penggaris besi ke keramik. Nyilu sekali sampai ke ulu hati suaranya menyesakkan.
“Duh, kayaknya kita pas kenal sialnya, nih, Fa.”
Untuk pertama kalinya Efa nggak merasa marah akan hukuman yang diberikan oleh Pak Akbar. Dia ikhlas-ikhlas saja di hukum hormat bendera merah putih di tepi lapangan upacara.
Diliriknya Pak Akbar yang berdiri di dekat gerbang, tengah menghukum siswa lain—entah apa kesalahan empat orang siswa itu. Setelah merasa aman, Efa menoleh ke arah Aksa.
“Gue baru lihat elo di jemput sama Om Andreas.”
“Om Andreas biasanya menetap di Bali. Kebetulan dia ikut touring tapi sampai Bogor doang. Nanti pulangnya baru bareng teman-temannya yang dari Medan.” Aksa mengernyitkan keningnya. “Kenapa, sih kamu penasaran banget sama Om Andreas?”
“Nggak kenapa-kenapa. Em, dia single?”
Aksa menurunkan tangannya. Raut wajahnya menampakkan ketidaksukaan. “Fa, Om Andreas bukan pedofil yang suka sama anak kecil!” Suaranya begitu kencang hingga terdengar ke kuping Pak Akbar. Lantas, mengambil tasnya dan memilih pergi meninggalkan Efa.
Sementara itu, Efa terbengong. Kepalanya miring ke sisi kanan. ‘Hah?! Aksa ngomongin apa, sih?! Kok pakai bahas pedofil segala.’
“Hei, Aksa! Aksa! Hukumannya belum selesai!” panggil Pak Akbar berusaha menghentikan Aksa yang kian menjauh.
Efa mengambil tasnya.
“Kamu mau kemana?! Hukuman kamu juga belum usai!”
“Mau usai, mau kagak. Terserah dah, Pak. Ada yang lebih genting.” Baru beberapa langkah, Efa berbalik di tempat. “Lagian pakai hukum-hukum gini ntar tak laporin, loh ke dinas pendidikan sama KPAI. Kalau anak-anak, tuh nggak sepatutnya di hukum seperti ini.”
Pak Akbar ingin membalas perkataan Efa, tapi gadis bertubuh tinggi itu sudah berlari meninggalkannya. “Pintar sekali mulutnya berbicara, sayang tidak diikuti tingkahnya untuk rajin belajar.”
°°
Selama jam pelajaran mata bulat Efa nggak berhenti melirik ke arah Aksa. Setiap tindak-tanduk cowok itu diperhatikannya dengan seksama.
‘Om Andreas punya dagu runcing, rahang tegas, hidung mancung, dan tatapan tajam. Kok beda, sih sama Aksa? Mukanya bulat banget gitu. Pipinya agak gembol lagi. Kalo dicubit, lentur kayak squishy. Jangan-jangan dia, tuh anak pungut lagi.’
Pertanyaan-pertanyaan dasar yang kemudian menjurus ke hal-hal di luar nalar terus mengganggu pikiran Efa.
Efa nggak tahu kalau Bianca tengah memerhatikannya dari tadi. ‘Ngapain, sih Efa liatin Aksa melulu? Jangan bilang kalau hatinya mulai terbuka buat cowok itu. Iyuuuuh, nggak banget, deh.’
Bel istirahat berbunyi. Melihat Aksa beranjak keluar kelas, Efa langsung menyusulnya tanpa membereskan buku miliknya.
“Fa, elo ....,” ucapan Almira tertahan karena Efa melewatinya begitu saja. Dia menoleh ke belakang, ke arah Bianca. “Kenapa, tuh?”
Bianca mendelikkan bahu. Toh dia juga nggak tahu apa yang terjadi pada Efa. Yang ia tahu hanyalah sahabatnya itu terus saja memerhatikan Aksa.
Di kantin, Aksa celingak-celinguk mencari tempat duduk. Penuh semua. ‘Duh, penuh lagi. Masa gue harus makan di kelas, sih.’
“Aksa!” Suara yang sangat dikenal oleh Aksa, terdengar memanggil. Tapi, biasanya nadanya nggak begini, nih. Biasanya pakai bentak, kok ini malah terdengar hangat dan bersahabat?
Aksa menoleh ke arah sumber suara. Efa terlihat mengamankan satu meja. Tangan berjemari lentik cewek itu juga melambai-lambai ke arahnya.
‘Pasti ada maunya,’ tebak benak Aksa. ‘Tapi, daripada makan di kelas, ya nggak apa-apa, lah. Cuekin aja kalau Efa nanya macem-macem.’
Aksa pun duduk di hadapan cewek berhidung bangir itu. Ingin sekali melirik wajah Efa, yang sepertinya sangat ramah hari ini. Namun, dia harus mempertahankan prinsipnya kalau nggak akan tergoda bujuk rayu Efa demi mendapatkan informasi tentang Om Andreas.
“Jadi, Sa.” Efa mencondongkan tubuhnya ke depan. “Om Andreas single apa nggak? Kalau punya istri nggak mungkin nganterin elo, dong. Pacar mungkin. Punya nggak?”
Aksa tetap menunduk. Sok berkonsentrasi menyantap siomaynya.
“Punya pacar nggak?!” Efa masih bersikukuh. Digoncangnya lengan Aksa cukup keras. Informasi ini sangat penting untuknya.
“Fa! Cukup! Jangan ganggu aku!” bentak Aksa tiba-tiba hingga membuat Efa terdiam. Bukan hanya gadis manis itu, sih tapi seluruh isi kantin.
Aksa nggak pernah marah atau bentak-bentak seperti ini, terutama pada Efa. Jadi, mereka semua termangu di tempat masing-masing.
‘Ada apa dengan Aksa?’
Bersambung...
.
.
Bab 5. Pamanku Mertuaku
.
Raden Aksara mengerjapkan matanya perlahan. Masih sulit baginya menerima apa yang barusan saja terjadi. Sikap kasar yang nggak pernah keluar dari dalam dirinya.
Hempasan kata demi kata menyakiti benak Shareefa, pikirnya. Cewek yang ia kagumi sejak lama.
Lihat saja Efa mendadak kaku, bola matanya membulat sempurna. Gadis berbulu mata lentik itu pasti juga nggak menduga kalau Aksa akan bersikap seperti ini.
“Elo kenapa, sih, Sa marah-marah?!” tanya Efa bingung sekaligus nggak terima. Memang apa kesalahannya sampai harus menerima sikap seperti itu. “Salah gue apa, sih sama elo?!”
Aksa mengusap wajahnya kasar sebelum kembali duduk. “Sorry, Fa. Aku agak terganggu karena sikap kamu barusan.”
Efa mengernyitkan kening seraya melipat kedua tangan di dada.
“Sikap Efa yang mana?” serobot Almira yang duduk di samping Aksa.
“Elo merasa terganggu dengan sikap Efa? Aneh. Bukannya elo malah suka kalau Efa mengganggu elo?” Kali ini Bianca juga hadir di samping Efa. Siapa, sih yang nggak tahu kalau Aksa, tuh bucin abis sama Efa, semua orang tahu.
“Kalian?!” seru Efa.
“Yah, kok elo yang heran. Kita yang heran sama elo berdua.”
“Kenapa emangnya kami, Bian?” Di akhir kalimat, Efa melirik Aksa.
“Kalian tuker jiwa, ya?” tebak Almira tanpa pikir panjang.
“Ih, apaan, sih Mira? Elo kebanyakan nonton drakor kali, makanya dikurang-kurangi. Supaya nggak ngayal gini, nih,” tukas Efa agak kesal.
Bianca ambil bagian. Dia harus membela Almira. “Habisnya kalian, tuh kayak ketuker tugas gitu. Biasanya tugas yang ngintilin, tuh Aksa. Tapi, sekarang malah elo, Fa. Kalau elo yang jadi bucin ke Aksa, malah aneh banget keliatannya.”
Efa terdiam sejenak. Matanya mengerjap perlahan. Sejurus kemudian, tawanya pun pecah, membahana di seluruh kantin.
“Ya, ampun.” Saking terbahaknya, air mata mengalir di sudut mata Efa. Diusapnya air mata itu seraya berusaha menghentikan tawanya.
“Lucu, Fa?” tanya Almira polos. Sementara Bianca menghaturkan tatapan tersinggung.
“Lucu, lah. Sampai kalian berpikiran seperti itu.” Kali ini tawa Efa memang sudah berakhir. “Kalian inget nggak, sih sama Om-Om yang jemput Aksa kemarin?”
Bianca dan Almira mencoba mengingat-ingat. Keduanya pun mengangguk bersamaan.
“Yang naik moge itu?”
Efa menepuk tangannya satu kali. “Yup! Nah, gue penasaran itu siapanya, Aksa. Ternyata Om-nya. Nah, gue penasaran dia single atau sudah punya pasangan.”
“Nah!” serobot Aksa yang sedari tadi menguping pembicaraan, mengagetkan ketiga sahabat itu. “Aku nggak mau ngasih informasi sedikit pun ke Efa. Masak iya dia nantinya jadi tanteku, sih.”
Almira, Efa, dan Bianca berusaha menahan tawa sebelum akhirnya keluar juga tawa terbahak-bahak itu. Aksa memandang ketiganya bergantian dengan heran.
“Kenapa pada ketawa, sih?!” Terjadi begitu saja, Aksa memukul meja seraya berdiri. “Kalian setuju kalau Efa, tuh pacaran sama Om-Om?!” tanyanya diliputi amarah.
Ketiga sahabat itu terdiam. Karena ucapan Aksa itu berhasil merubah riuhnya kantin menjadi keheningan. Ketiganya pun ikut berdiri.
Almira menutup mulut Aksa dengan tangan kanannya, Bianca menekan bahu cowok itu agar kembali duduk, sementara Efa meninju lengan Aksa dengan kepalan tangannya.
“Gila aja elo, Sa!” sergah Efa murka. “Ngomong jangan kayak orang nggak tahu tata krama gitu, deh. Sembarangan!”
“Lah, kamu nanyain Om Andreas single apa nggak melulu aja dari tadi. Siapa yang nggak curiga kalau kamu ada apa-apa dengan Om-ku itu. Kamu naksir, ’kan sama Om Andreas?”
“Bukan itu Aksa!”
“Jadi, apaan, dong, Mir kalau apa yang aku kira itu salah?”
“Maksud Efa itu bukan untuk dia, tapi nyokapnya. Kan lagi single juga, tuh. Ya, ’kan? Kali aja cocok. Gitu, Sa maksudnya.”
Aksa terbengong-bengong. Bayangan Efa bergandengan tangan dengan Om Andreas pun sirna dari otaknya. “O, gitu ....,” ucapnya sambil manggut-manggut.
Tinju Efa mendarat di lengan Aksa. “O, gitu,” tirunya agak mencibir. “Tapi, sudah bikin nama gue jelek satu sekolahan.”
“Sorry, Fa. Aku kira, kamu ....” Aksa menghentikan ucapannya. Jemarinya menggaruk tengkuknya yang mendadak gatal. “Ya, nggak mungkin, sih. Pikiran aku aja yang berlebihan kayaknya.”
Ingin sekali Efa memukul lagi tepat di wajah Aksa yang cengar-cengir nggak karuan itu. Tapi, ditahannya demi bisa mengenal lebih jauh tentang Andreas. Demi jodoh untuk Mama.
••
“Aksa!”
Sontak cowok berkulit hitam manis itu menoleh. Lantas, memalingkan wajahnya cepat.
Sempat terbersit bahkan hingga detik ini perasaan nggak setuju Aksa jika Efa menjodohkan Mama-nya dengan Om Andreas.
Bukan karena latar belakang dan cerita masa lalu Mama-nya Efa, tapi aneh aja. Kalau suatu hari nanti dia menikah dengan Efa terus bakal ada judul kayak di sinetron dong, ‘Pamanku Mertuaku’.
Ogah! Aksa nggak mau Om Andreas jadi mertuanya suatu saat nanti. Aneh. Janggal.
Satu lagi, kalau memang jadi pasti Om Andreas akan mengajak Efa sekeluarga ke Bali. Itu artinya, dia akan lama sekali baru bisa bertemu dengan Efa.
Jodohnya akan semakin jauh. Kali aja Efa akan kepincut bule ganteng kalau lama-lama tinggal di sana.
Ogah! Aksa nggak mau itu terjadi.
“Hei!” Efa menepuk pundak Aksa. “Apaan, sih dipanggilin malah geleng-geleng kepala?”
“Nggak. Itu ... ada yang aku pikirin,” elak Aksa. Jangan sampai Efa tahu apa yang tengah dipikirkannya ini. Bisa-bisa nggak akan ditegur selama sebulan.
‘Ya, aku harus menggagalkan rencana Efa ini.’ Baiklah. Aksa sudah membulatkan tekadnya.
“Elo dijemput Om Andreas?”
“Nggak. Aku naik taksi online.”
“Lho, kok?! Jangan bilang kalau Om Andreas sudah balik ke Bali.” Shareefa sudah bersiap menampakkan wajah kecewanya.
Aksa melambai-lambaikan tangan kanannya. “Bukan itu.”
“Jadi, apa, dong?”
“Ada acara kumpul keluarga di rumah. Om Andreas ada di sana.”
Mata Efa membesar. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Pemandangan yang jarang-jarang bisa dilihat. “Kalau gitu, gue main ke rumah elo, ya?” pintanya bersemangat.
Aksa bersiap menolak permintaan yang sempat membuatnya terperangah itu, ketika Bianca dan Almira sudah berada di dekat mereka.
“Ayo, Fa. Balik. Mau kumpul ke tempat Bunda Anna, kan?” ajak Bianca. Hari ini nggak ada les, jadi dia bebas mau ke mana aja setelah pulang sekolah.
“Nggak jadi,” jawab Efa seraya memamerkan senyumnya.
“Lho, kok?” Almira juga sedikit kecewa. Dia sudah senang bisa berkumpul dan nggak langsung pulang. Di rumah sendirian cukup membuatnya bosan.
Shareefa merangkul lengan Aksa, dimana ketiga temannya itu sama-sama berekspresi kaget bukan main. “Gue mau ke rumah Aksa,” jawabnya.
Padahal, Aksa belum mengiyakan permintaannya itu. Akan tetapi, Efa secara sepihak menganggap jawaban cowok itu adalah iya.
Bersambung ….
.
.
Bab 6. Pertemuan Pertama
.
Raden Aksara adalah anak paling bontot dari empat saudara. Ia memiliki kakak perempuan yang tertua dan dua saudara laki-laki di atasnya.
Kedua orang tuanya cukup berada. Rumahnya saja terletak di sebuah perumahan elite, tepatnya Jalan Merak. Rumah peninggalan orang tua dari ibu Aksa ini sudah di renovasi sehingga terlihat lebih minimalis namun terkesan mewah.
“Wih, gede juga rumah elo, Sa,” puji Bianca melihat rumah berlantai dua bertema mininalis itu.
“Masih gedean rumah elo, lah,” ucap Aksa malas. Entah apa maksud Bianca memuji rumahnya, padahal cewek itu sendiri tinggal di perumahan yang lebih mewah dari komplek ini.
Bianca pun nyengir menatap kepergian Aksa. Padahal, niatnya menghibur cowok itu supaya mukanya nggak manyun lagi. Tapi, malah nambah maju itu bibir.
Aksa berjalan duluan menuju rumah. Mereka baru saja turun dari taksi. Mereka? Iya. Dia, Efa, dan kedua temannya yang ngintilin melulu itu.
Padahal, kalau hanya Efa saja yang ikut, dia sudah lumayan terhibur, sih. Paling nggak bisa lebih mengenal dekat gadis itu. Tapi, kalau ada dua sahabatnya, mana bisa lah. Mau deket aja susah, apalagi ngobrol berdua.
“Kalian ngapain masih di luar? Mau masuk nggak?” tanya Aksa karena ketiga cewek itu malah cekikikan di pinggir jalan.
Tanpa menunggu reaksi ketiganya, Aksa berlalu duluan.
“Elo pada, sih mau ikutan. Jadinya, dia bete, kan?” tuding Efa seraya melangkah menuju rumah.
“Ih, gue nggak ada tujuan lain pulang sekolah ini selain ngikutin elo, Fa,” jawab Almira membela diri.
Bianca juga menambahkan, “Kan kita sudah janji mau ke tempat Bunda Ana. Tapi, elo-nya yang malah ingkar. Mau ke rumah Aksa segala.”
“Hayo! Naksir, ya?!” tuduh Almira seraya mengacungkan telunjuknya.
Efa menurunkan telunjuk Almira. “Apaan, sih?! Nggak, lah! Gue ke sini, tuh mau ketemu sama Om Andreas.”
Sementara itu seorang wanita berhijab keluar dari rumah. “Sudah pulang kamu, Sa?”
Aksa mengangguk. “Aksa bawa temen, Bu,” ucapnya.
Wanita itu mengulas senyuman lembut. “O, ya? Mana?”
Aksa menoleh ke belakang. Dia nggak kaget lagi melihat ketiganya berjalan berdekatan seperti itu, sambil asyik ngobrol. Ah, pasti mereka mengadakan rapat dadakan.
“Kalian temen-temennya Aksa?” tanya wanita itu sedikit menunduk. Alisnya tebalnya serupa dengan alis Aksa.
Efa dan kedua temannya serentak mengangguk.
“Yang ini Efa. Yang rambutnya agak ikal itu namanya Almari, eh Almira, Bu.”
Almira pun menghadiahi Aksa berupa pelototan.
“Yang agak berisi ini Bianca.”
Berhubung Bianca yang terdekat dengan Aksa, ia pun mencoleknya. “Jangan body shaming, dong,” protesnya agak berbisik.
Wanita berhijab itu tersenyum geli melihat tingkah ketiganya. Ia juga menyambut jabat tangan ketiga gadis manis itu.
“Saya Weny. Panggil aja Ibu Weny, ibu kandungnya Aksa.”
“Ih, tapi kok beda, Bu,” celetuk Almira yang mendapatkan colekan peringatan dari kedua temannya. “Ih, beda, lho. Ibunya cantik banget gini. Anaknya ....”
“Hush!” seru Bianca dan Efa berbarengan.
Weny tersenyum geli melihat tingkah keempat bocah yang saling melempar pelototan.
“Ayo, silakan masuk. Kebetulan lagi acara kumpul keluarga ayahnya Aksa. Kalian belum makan siang, kan? Makan aja dulu di sini,” tutur Weny ramah. Dia mengekori bocah-bocah itu ketika memasuki rumah.
Langkah keempatnya terhenti di ruang tengah yang sangat luas. Nggak ada sekat ke bagian belakang. Jadi, kalau ada acara kumpul begini memang memadai sekali.
“Cie. Udah pulang elo, Sa. Bawa anak geulis-geulis pisan lagi,” celetuk seorang cowok yang lebih tinggi dari Aksa. Demi menegur adik bungsunya, cowok itu rela memalingkan wajah dari gawainya.
“Berisik aja lo, Bay!” tukas Aksa bete. Dua abangnya memang hobi banget menjahilinya. Nasib jadi anak bungsu. “Aku ke atas dulu. Kalian ke ruang samping itu aja.”
Ketiganya mengangguk bersamaan.
“Aksa mau ganti baju dulu sepertinya.” Weny berlalu, digantikan oleh seorang wanita yang begitu mirip dengannya namun memiliki mata persis milik Aksa. Teduh.
“Iya, Tan,” sahut Efa.
Wanita itu tertawa kecil. “Duh, udah tua banget, ya kelihatannya? Gue ini kakaknya Aksa, jangan panggil Tante, lah. Panggil aja Kak Nisa.”
“Nah, lho,” balas Almira.
“Ish.” Efa menyodok balik pinggang Almira. Keburu malu, nih.
“Ayo, silakan ke samping. Emang disitu spot favoritnya Aksa. Bisa sambil ngeliatin kebun di samping.”
Bianca dan Almira pun menuju tempat yang ditunjuk oleh Nisa tanpa banyak tingkah lagi.
Sementara itu, Efa masih berdiri di tempatnya. Lehernya memanjang menatap ke arah ruang tengah. Ada sekitar lima belas orang dewasa di sana. Ada juga tiga orang bocah yang berlarian menuju halaman belakang. Tapi, sosok yang ingin ia temui nggak kelihatan.
Nisa menoleh ke arah ruang tengah. Menelisik ke arah mana tatapan Efa berujung. Tapi, tak menemukan jawabannya. “Lihat apa, Sayang?”
“Om Andreas mana, Kak?”
“Om Andreas?!” tanya Nisa heran. “Kamu kenal sama dia?”
Efa memergoki tatapan bingung Nisa. “Oh, itu ... tadi pagi kenalnya, Kak. Pas Om Andreas nganter Aksa sekolah.”
“Lagi pergi dia.”
“Pergi?”
“Buru-buru tadi. Katanya mau ketemu sama temennya di sini. Padahal, kita ngumpul gini karena sudah lama nggak ketemu sama dia.”
Efa menghela napas berat. “Itu artinya nggak balik ke sini, dong?”
“Katanya, sih balik. Tapi, agak sorean.”
“Yaaah,” ucap Efa lesu seraya menyusul keberadaan Bianca dan Almira. Ditinggalkannya Nisa yang terbengong-bengong.
Wanita berumur dua puluh lima tahun itu bingung kenapa Efa harus bereaksi selesu itu karena nggak bisa bertemu dengan Andreas.
🌷🌷
Di lantai dasar Botani Square, Andreas berjalan dengan langkah lebar. Tangannya terus saja mengarahkan ponsel lipat ke telinga. Kepalanya memutar ke kiri dan ke kanan.
“Di mana elo bilang?” Suara beratnya menggema hingga sempat menarik beberapa perhatian orang yang mendengar.
Andreas memang nggak fokus melihat apa yang ada di depannya. Dia tengah sibuk mencari lokasi pertemuan yang disebutkan oleh temannya lewat ponsel.
Andreas memang ada sekitar satu tahun sekali ke Bogor karena keluarganya lebih suka menyambanginya ke Bali. Tapi, dia jarang ke mall begini. Jadi, nggak terlalu hapal dengan isi mall ataupun tata letaknya. Jadilah ia seperti anak ayam tersesat.
“Aw!” Andreas berseru nyaring. Sesuatu yang dingin terasa di bagian lututnya.
“Ya, ampun!” Seruan seorang wanita juga terdengar.
Andreas menunduk. Ternyata sebuah cup minuman jatuh setelah menyenggol lututnya. Celananya bagian lutut pun terlihat basah.
“Sorry. Sorry,” ucap wanita yang tergopoh-gopoh datang seraya mencari tisu di dalam tasnya lantas mengelap lutut Andreas.
Lelaki itu terkejut. Ia pun menahan agar tisu itu nggak lagi menyentuh lututnya. “It’s okay. Nggak usah, Mbak,” tolaknya.
Wanita berhijab itu menaikkan wajahnya, lantas berdiri. Raut penyesalan menyelimuti wajahnya. “Maaf, Mas. Anak ini nggak sengaja. Pasti asyik lihat kanan-kiri.”
Andreas menoleh ke arah dua bocah kecil yang berada di samping wanita itu. Bocah perempuan itu menghindari tatapannya. ‘Kok mukanya agak kucel? Bajunya terlihat baru, tapi ... Masak iya anaknya?’
“Jadi, nggak apa-apa, nih, Mas?” tanya wanita itu ragu.
“Iya. Nggak apa-apa. Nanti bisa Saya bersihin sendiri, kok.”
“Kalau begitu Saya permisi. Sekali lagi maaf, ya, Mas,” ucap wanita berkulit putih dengan senyuman berkharisma penuh makna itu.
Andreas membalas senyumnya.
Ia menatap sosok wanita itu yang pergi seraya menggandeng kedua bocah yang terlihat kucel itu. Pakaiannya baru, tapi mukanya nggak terlalu bersih. ‘Jangan-jangan wanita itu penadah pengemis lagi!’ tudingnya curiga.
“Andre!”
Suara sang sahabat terdengar samar namun cukup jelas mengalihkan perhatian Andreas. Dia celingak-celinguk, lantas menemukan sosok sahabatnya yang sudah berada di dalam restoran.
Tak dipikirkannya lagi wanita itu, meskipun senyuman manis sang wanita berhijab sempat terlintas walau sesaat.
Bersambung...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
