Bab 8. Jodoh Tak Kemana

.

.

Shareefa berjalan gontai keluar rumah Aksa. Padahal, dia masih mau menunggu sedikit lama. Tapi, sang mama memintanya cepat pulang.
"Ngapain kamu di rumah cowok lewat waktu Azhar begini?!" omel Jenni di depan Mariya. Kalau dia nggak memarahi anak sulungnya itu, yang ada dia yang dimarahi balik sama Mariya nantinya.
"Bentar lagi, la, Ma. Aku juga perginya sama Bianca dan Almira, kok." Beruntung kedua sahabatnya itu memang ikut, jadi Efa nggak perlu berbohong dengan Jenni.
"Mama bilang pulang artinya pulang, Shareefa Al-Attar!" Jenni juga bisa sangar, lho kalau marah.
Seraya berdecak pelan, Efa menuruti kemauan ibunya itu. "Ya, deh, Ma. Efa pulang."
"Sekarang!"
"Iya, Ma," sahut Efa pelan nan lesu. Sampai berada di depan pintu rumah Aksa, ia masih menundukkan kepala.
"Lesu amat!" Suara laki-laki berseru seolah menuduh namun dalam nada ceria.
Sontak Efa menegakkan kepala. Tapi yang ia lihat, laki-laki tinggi itu menatap ke arah Aksa. Ah, dia ini kakak ketiga Aksa, Bayu kalau nggak salah tadi namanya saat memperkenalkan diri.
"Apaan, sih?!" Aksa terlihat risih dengan tangan Bayu, yang merangkul bahunya.
"Elo lesu karena harus berpisah sama mereka atau salah satunya?" tanya Bayu berusaha menebak. Diperhatikannya wajah ketiga cewek itu satu-persatu, hingga berhenti pada sosok Efa. "Ah, gue paham sekarang."
Bayu sedikit menundukkan kepala. "Cantik juga. Yang pakai hijab ini, kan?" bisiknya lantas melengos begitu saja.
Aksa menatap sinis ke arah kepergian abangnya itu. 'Kok bisa tahu, sih?! Memangnya sejelas itu, kah?'
Kepergian Bayu dibarengi dengan kedatangan Weny. Di tangannya ada tiga buah plastik putih.
"Sudah mau pulang ini? Baru juga jam empat lewat." Bocah-bocah ini tiba sekitar jam dua siang, dan sekarang baru jam empat lewat sepuluh menit sudah berpamitan pulang. Belum lagi sempat Weny mengenal mereka satu-persatu lebih dalam.
"Efa sudah ditelpon Mama-nya, disuruh pulang, Bu." Aksa mewakilkan Efa menjawab. 'Harus cepat bertindak sebelum Om Andreas pulang,' tekadnya setelah mengetahui Om-nya itu akan kembali ke rumah sore ini. Meskipun di satu sisi, ia sedih melepas kepergian Efa.
"O, iya. Ini sedikit oleh-oleh untuk dibawa pulang. Sampaikan salam buat orang tua kalian, ya," pesan Weny agak ditekankan pada kalimat terakhir. Tiga bocah perempuan yang manis-manis ini adalah tamu cewek pertama yang dibawa pulang oleh Aska. Selama ini anak bungsunya itu cukup tertutup. Tapi, nyatanya memiliki teman-teman yang baik.
"Terima kasih, Tante." Ketiganya berterima kasih setelah masing-masing menerima bungkusan itu. Lantas berpamitan ketika sebuah taksi berhenti di depan pagar.
Sampai di restoran khas Palembang kepunyaan Bunda Ana, bahkan sampai kedua temannya pamit pulang, Efa terus saja menunjukkan wajah lesunya.
"Jangan pura-pura lesu, deh, Fa. Sengaja, kan supaya nggak kena marah sama Mama?" tuding Jenni seraya melirik anak perempuannya dari spion atas.
Efa itu sedang asyik melihat keluar kaca mobil. Masih menyayangkan dirinya yang nggak sempat bertemu dengan Om Andreas. Eh, Mama malah memancing pertempuran.
"Nggak, Ma. Efa beneran lagi lemes," jawab Efa jujur.
"Makanya, Nak. Kalau pulang sekolah itu langsung pulang." Kesempatan Jenni buat menceramahi anaknya itu.
Ana buru-buru menengahi. "Kak. Kayaknya Efa memang lemes, deh. Mungkin kecapekan ngerjain tugas di rumah temennya tadi."
"Iya, capek otak, Bun," sambung Efa cepat asalkan bisa mengcancel Mama marah.
Jenni memicingkan matanya, sempat melihat ke arah kedua perempuan yang nggak ada mirip-miripnya itu.
'Kenapa Ana ada di mobil ini, sih, padahal bawa motor sendiri? Ah, iya. Bapak sama Mak mau pakai motornya tadi. Kalau Ana sama Efa deketan, pasti saling mendukung, deh. Mencurigakan keduanya ini.'
Namun, kecurigaan Jenni mencair lantas menguap. Dilihatnya hingga pagi ini Efa masih terlihat kurang bersemangat. Nasi goreng mentega kesukaannya saja hanya diaduk-aduk asal.
"Nggak habis makannya?"
Agak lama barulah Efa mengangkat wajahnya. "Hah? Iya, Ma."
"Mama bungkuskan aja, ya. Buat bekal di sekolah."
Efa gegas menggeleng. "Nggak usah, Ma. Efa nanti jajan aja di sekolah."
Sontak Jenni dan Ana saling pandang. Nasi goreng mentega buatan Ana adalah makanan favorit Efa setelah sate madura. Kalau pun habis dimakannya saat sarapan dan masih ada stock, selalu dijadikannya bekal di sekolah nanti.
Sudah pasti ada sesuatu yang salah dengan Efa pagi ini.
Karena itu Jenni memutuskan untuk menyempatkan diri mengantar anak sulungnya itu. Sedangkan Ana yang mengantarkan dan menemani Bahri di sekolah. Maklum, baru kelas satu SD. Masih harus ditungguin.
"Assalamu'alaikum, Ma," pamit Efa setelah menyalimi Jenni. Suaranya terdengar lebih lunglai.
"Fa," panggil Jenni pelan.
Efa pun menghentikan jemarinya membuka pintu mobil. Ia menoleh. "Hm?"
"Kamu ada masalah di sekolah? Sejak pulang dari rumah temanmu itu kok jadi nggak bersemangat begini?" Tiba-tiba pikiran Jenni travelling akan kesimpulan yang baru saja tercetus itu. "Apa terjadi sesuatu kemarin?! Kamu..."
"Nggak terjadi sesuatu, Ma. Apapun itu yang terlintas di pikiran Mama, nggak terjadi apapun. Kemarin hanya mengobrol biasa, itupun ada keluarga Aksa di sana. Bianca dan Almira juga selalu ada di sampingku, Ma." Raut datar khas milik Efa menghiasi wajah gadis itu.
"Jadi, apa yang membuat kamu lesu begini?" tanya Jenni seraya mengelus lengan Efa.
"Itu..." Tanpa sengaja manik mata Efa menemukan motor gede milik Andreas baru saja tiba dan parkir tepat di depan mereka. Aksa juga terlihat duduk di belakang.
"Ma!" seru Efa tiba-tiba. "Turun, yuk!"
Kening Jenni pun mengernyit. "Ngapain?"
"Kenalan sama Aksa. Supaya Mama, tuh nggak curiga terus. Ya?" ajak Efa bersemangat.
Mau nggak mau Jenni pun mengangguk. Dia nggak mau membuat Efa curiga. Ini juga kesempatan mengenal lebih jauh siapa itu Aksa. Sudah sejak lama ia mendengar nama itu, tapi masih belum bertemu juga. Dulu, kan Ana sama Bapak yang lebih sering menjemput Efa sekolah.
"Hai, Aksa," sapa Efa seraya tersenyum ramah. "Morning, Om Andreas!" sapanya lebih bernada riang.
Hingga membuat Aksa bergidik ngeri mendengarnya. Terlalu ramah begini bukan sifat Efa banget. 'Jangan-jangan ada alien bersarang dan mengambil alih otak Efa,' simpulnya absurd.
"Good morning ... hm, Efa, that's right?"
Efa mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar.
Seraya mendekati anak sulungnya, Jenni terheran-heran melihat sikap ramah anaknya itu. Sungguh, perubahan sikap drastis itu sempat membuatnya bingung.
"O, iya." Efa menarik tangan Mama-nya supaya lebih dekat. "Ma, kenalin ini Aksa."
Aksa menyalimi hormat calon ibu mertuanya itu. Jantungnya berdebar cepat.
Namun, Efa bergegas mengakhiri momen sakral itu. Dia beralih mencondongkan tubuhnya dan Jenni ke arah Andreas.
"Ma, kenalin ini Om Andreas."
Jenni menatap anaknya, pada Andreas sekilas, lalu kembali pada Efa. "Kenalan?" tanyanya berbisik, meragu.
"Iya, Ma. Ayo," jawab Efa tertahan seraya menjaga senyumnya tetap mengembang.
Jenni pun tersenyum canggung. Ia menjulurkan tangannya terlebih dahulu. "Saya ibunya, Efa. Panggil aja Jenni ... em, Mas?" Ia bingung harus memanggil apa pada lelaki di hadapannya ini.
Andreas menyambut jabatan tangan itu. "Andreas." Namun, nggak lantas melepaskannya. "Kita pernah bertemu, kan?"
Efa menarik napas kencang dan tertahan. Matanya membulat sempurna. Pipinya merah merona. 'Apa?! Mereka pernah bertemu?! Inikah yang namanya jodoh itu nggak kemana?'

Bersambung...

.

.

Bab 8. Fallin’ In Love

.

Ujung alis Jenni saling terpaut. 'Pernah bertemu? Kapan? Di mana?' Dipasatinya wajah lelaki di hadapannya ini. Wajah tampan berahang tegas, dibumbui senyuman renyah ini. Betulkah dirinya pernah bertemu lelaki ini. Wajah yang asing buatnya itu. 'Ngaku-ngaku aja mungkin, ya?'

"Hm, entahlah," jawab Jenni sambil lalu.

Seketika ia terkejut begitu menyadari bahwa jemarinya masih berada dalam genggaman jemari lelaki itu. Buru-buru ditarik tangannya itu.

Andreas melepaskan genggaman itu. "Tapi, Saya yakin sekali kalau kita pernah bertemu," gumam Andreas nggak terlalu pelan sebab Jenni bisa mendengarnya cukup jelas, begitu juga Efa dan Aksa.

Senyum Efa pun mengerucut. Ah, akan indah sekali cerita ini seandainya kedua orang dewasa itu memang pernah bertemu.

Suara bel terdengar.

"Sebaiknya kalian masuk. Nanti terlambat memulai pelajaran," suruh Jenni. Dikecupnya pelan kening Efa.

"Ayo, Fa," ajak Aksa.

Bukannya menerima ajakan itu, Efa malah memelototinya. Alasan gadis itu bersikap seperti ini karena dilihatnya Jenni nggak terlalu tertarik dengan Andreas. Sikap dingin sang mama pun menular pada dirinya.

Aksa berhenti. Ditunggunya Efa berjalan duluan. 'Tangan melipat di depan dada dan wajah jutek itu, ah, akhirnya Efa yang kukenal kembali,' sorak benaknya riang.

Setelah puas memerhatikan kepergian Efa, Jenni juga hendak meninggalkan tempat itu. Diliriknya Andreas. Ia sedikit terkejut saat menyadari bahwa lelaki itu masih menatapinya dengan kening berkerut.

"Kalau begitu, Saya juga permisi," ucapnya sopan.

Tanpa menunggu balasan dari Andreas, Jenni berlalu menuju mobilnya.

Andreas menatapi punggung Jenni. Tiba-tiba bayangan punggung wanita yang kemarin tak sengaja bertemu dengannya di mall terlintas begitu saja. Ditatapnya lagi wanita berkerudung hijau mint itu.

"Iya! Kita pernah bertemu!" seru Andreas.

Sontak Jenni menghentikan langkah, namun belum menoleh. Masih ingin tahu kelanjutan seruan itu. 'Kok ngotot banget, sih bilang pernah ketemu? Kapan? Di mana?'

Sejujurnya, dia juga penasaran kenapa lelaki berhidung runcing itu bisa berkesimpulan seperti ini.

Andreas tersenyum penuh kemenangan. Dia sangat ingat kapan pernah bertemu wanita itu. Dia pun berjalan menghampiri Jenni, lalu berdiri di hadapannya. "Kamu nggak ingat?"

Jenni menatapnya agak sinis. Dia benar-benar nggak ingat. Kalau tahu, sudah pasti ia menyapa lelaki ini. "Nggak. Saya nggak mengingatnya."

"Kemarin," ujar Andreas memberi clue seraya menjentikkan ibu jari dan telunjuk. Binar semangat terlihat jelas di wajahnya.

Kening Jenni kian mengkerut dalam. Mau sekeras apapun dia berusaha mengingat, tetap saja wajah lelaki ini nggak terlintas.

"Di mall." Andreas memberi clue tambahan, tapi Jenni masih belum bisa menebak. "Jeans ketumpahan boba," lanjutnya.

Sekilas bayangan kejadian itu terlintas di kepala Jenni. 'Ah, kejadian itu. Tunggu. Dia pria itu?'
Jenni nggak terlalu memerhatikan wajah pria itu kemarin. Dia terlalu sibuk untuk meminta maaf. "Jadi ....?"

Andreas mengangguk. "Iya. Itu Saya."

Jenni tersenyum, tersipu manis. "Maaf Saya nggak terlalu ingat. Kejadiannya cukup cepat dan Saya ..."
"It's okay," potong Andreas. "Gimana kalau ngobrolnya sambil duduk di coffe shop? Saya lihat ada di ujung gang sini."

Jenni menghela napas.

Firasat buruk kalau ajakannya akan ditolak lantas menjalar di benak Andreas.

Q"Sekali lagi Saya minta maaf sekali. Karena sepertinya nggak bisa. Jam sembilan sudah harus bekerja," tolak Jenni sopan. Memang dia punya pekerjaan, 'kan? Meskipun karyawan yang membuka duluan butiknya, tapi ia tetap harus menyambangi.

Andreas berusaha tetap tersenyum. "Okay. Nggak apa-apa, kok."

"Kalau gitu, Saya permisi," ucap Jenni santun.

"Go a head." Andreas memberikan jalan buat Jenni kembali ke mobilnya. Dia hanya bisa menatap dan melambai pelan saat Jenni berlalu. "Ah, what a shame. Padahal, aku mau mengenalnya lebih dekat," gumamnya.

Andreas menepuk jidatnya sendiri. "Ngapain, sih elo gangguin istri orang, Ndre," gumamnya seraya geleng-geleng kepala.

🌷🌷

"Nggak kemana-mana lo?" tanya Rahman-abang sulungnya Andreas.

Iya. Kakak beradik tapi namanya yang agak bule cuma Andreas doang. Kalau abang-abangnya ada yang Rahmanto, Ismawan, dan Ardianto. Sepertinya sang ibunda mendapatkan inspirasi lain untuk nama anak bungsunya. Mungkin pas lagi musim nonton telenovela pas mengandung anak bontotnya.

Andreas tengah mengetik sesuatu di laptopnya. Sebagai pemilik restoran keluarga di Bali, dia harus tetap mengetahui perkembangan keuangannya.

"Ada yang mesti gue kerjain bentar." Dia melirik abangnya itu yang sudah pensiun dini di sebuah bank dan sekarang memilih bermain saham juga memiliki bengkel mobil.

Rahman duduk seraya menyeduh teh hangat yang dibuatkan istrinya.

"Mbak. Buatku nggak ada, nih?" tanyanya sedikit berteriak.

Weny pun datang dengan secangkir teh, lalu meletakkannya di dekat laptop. "Sabar," ucapnya pelan diikuti senyuman.

"Thank you, Mbak," ucapnya senang.

"Yah, jalan, yuk," ajak Nisa yang tiba-tiba nongol. Dihempaskannya punggung di sofa, tepat di sebelah ibunya. "Bosen," keluhnya.

"Mau ke mana emangnya?"

"Cari cemilan."

Andreas pun menutup laptopnya. "Ayoklah. Kamu ada rekomendasi, Nis?"

Nisa pun mengangguk tersenyum sumringah. Terlintas suatu tempat di pikirannya.

🌷🌷

Bayu memarkirkan mobilnya. Di tempat parkir itu juga ia mengenali mobil milik ayahnya. Dia diberitahu supaya datang ke sini kalau sudah selesai urusan di kampus.

Saat ia melangkah, Nisa melambaikan tangan ke arahnya. Lantas, Bayu pun membalas singkat.

"Tempatnya bagus, kan, Om? Mirip coffe shop tapi sebenarnya ini, tuh tempat makan pempek. Menu utamanya ya yang berkaitan sama pempek gitu," tutur Nisa bersemangat.

Andreas menganggukkan kepalanya seraya menatap ke sekeliling. Dinding unfinished sajian utama untuk dinding bagian luar dan dalam. "Bagus, sih idenya. Industrial. Anak muda pasti banyak yang betah nongkrong di sini."

Ia menatap label nama 'Cuko' bewarna hitam di tengah. Kalau duduk di luar sini, terlihat jelas sekali.

"Sudah selesai kuliahmu?" tanya Weny ketika Bayu duduk di dekatnya.

Bayu mengangguk. Ditatapnya satu-persatu anggota keluarga yang hadir di sini. Kurang dua. Kalau abang sulungnya memang sibuk kerja. "Aksa mana, Bu?"

"Nggak mau ikut. Mager katanya."

Bayu pun menggeleng-gelenggkan kepalanya.

"Bu, nanti lihat ke butik itu, yuk."

Weny menoleh ke arah butik yang ditunjuk oleh Nisa. Butik dua pintu itu bersebelahan dengan Cuko. "Bagus-bagus disitu bajunya?"

Nisa mengangguk. "Nisa udah beberapa kali beli kesitu. Owner-nya ramah banget. Cantik lagi."

Mendengar kata cantik, refleks Andreas melirik ke arah Nisa. Kebiasaan pas masih jadi player itu belumlah hilang sepenuhnya.

"Eh, itu owner-nya keluar butik," lapor Nisa. Tubuhnya agak condong ke sisi Weny seraya menunjuk kejauhan dengan wajahnya.

Andreas juga melirik ke arah yang ditunjuk Nisa. Spontan aja, sekaligus penasaran, sih seperti apa rupa owner butik yang kecantikannya diagung-agungkan oleh keponakannya itu.

Jantungnya berdegup cepat, tiba-tiba saja. Apa karena kecantikan owner butik itu? Bisa saja. Atau, karena wajah bersinar cerah yang tengah menatap ke arahnya itu adalah wajah yang dikenalinya?

'Kalau nggak salah dia itu ... ibunya Efa, 'kan?'

Andreas memegangi dada kirinya. 'Astaga. Ada apa dengan jantung gue? Kenapa detaknya terasa sekali sampai luar sini?'

Bersambung ….

.

.

Bab 9. Ditakdirkan Berjumpa

.

“Jangan sampai ada yang keselip ya, A’,” pesan Jenni pada kurir langganannya. Setiap hari pesanan untuk dikirimkan selalu ada saja. Terlebih lagi kalau habis open order seperti kemarin, pasti berlimpah paket yang mau dikirimkan kayak hari ini. Kiri kanan tas kurir penuh dengan paket baju dari butiknya.

“Tenang aja, Bu Jenni. Insya Allah semuanya sampai ke rumah customernya,” jawab sang kurir tersenyum dari balik kumis tipisnya.

Jenni mengangguk pelan. Dia menghela napas seiring motor sang kurir yang menjauh. Namun, tatapannya cemas takut ada paket yang agak lama sampai ke customer. Mending kalau customer-nya pengertian, lah kalau cerewet gimana. Biasanya ada aja kasus yang begitu.

Bersamaan dengan toko baju milik Mariya yang mulai laris manis, Jenni beralih menyewa ruko paling depan. Dua pintu sekaligus. Diubahnya dekor lebih elegan, begitu juga nama toko yang kini bernama ‘Edelweis Butiq’.

Semua dilewatinya dengan pertimbangan matang, apalagi bersebelahan dengan Cuko milik Anna. Jadi, bisa sesekali ikut mengontrol keadaan tempat makan itu kalau adiknya itu sedang ada kegiatan lain.

‘Rame juga sore ini,’ ucapnya memuji seraya menoleh ke arah Cuko. Di dalam sudah full, di luar juga hampir penuh.

Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan sosok seorang laki-laki yang tengah menatapinya. Dipicingkan matanya.

“Bukannya dia ...”

“Om Andreas!” seruan Efa mendahului kesimpulan Jenni. Begitu juga dengan gadis itu yang duluan pergi menyambangi meja yang diduduki Andreas.

Andreas menatap Efa yang mendekat. Detak jantungnya perlahan kembali kesediakala. Raut wajahnya pun kembali datar. Kenyataan mulai menyadarkan angannya.

‘Ah, iya. Dia sudah berkeluarga. Mana mungkin gue merebut istri orang. Gue memang bad man, tapi nggak sehina itu.’

“Hai, Om, Bun, Kak,” sapa Efa lantas menyalimi Andreas, orang tua Aksa, dan kedua kakak Aksa. Dia celingak-celinguk, seperti ada yang kurang. “Aksa mana?”

“Aksa tinggal di rumah,” jawab Weny.

“Lho, kenapa, Bun?! Dia nggak mungkin nolak kalau diajak ke sini,” tanya Efa kaget akan absennya cowok yang biasanya ngintilin dia kemana-mana.

“Dia nggak tahu kalau mau ke sini,” sahut Nisa.

Bayu mencondongkan tubuhnya. “Kenapa elo seyakin itu kalau Aksa nggak bakalan nolak? Memangnya dia tahu elo ada di sini?”

“Ya, tahulah, Kak. Dia tahu kalau itu butik Mama dan restoran ini milik Bunda Anna —tanteku.”

Nisa sontak tampak bersemangat. “Jadi, owner butik itu Mama kamu?”

Efa mengangguk mantap. Ia melirik Andreas.
Yang dilirik berusaha mengalihkan pandangan ke tempat lain, terutama saat dilihatnya Jenni kian dekat.

‘Kirain Aksa yang sengaja ngajak Om Andreas ke sini.’ Tiba-tiba matanya membulat sempurna, senyumnya terkulum samar. ‘Apa ini yang namanya ditakdirkan ketemu? Antara Mama sama Om Andreas.’

“Permisi,” ucap Jenni.

Perhatian satu keluarga itu teralihkan ke arah Jenni. Aura kecantikannya seolah menyihir mereka agar melihatnya.

“O, ya, Ma. Kenalin. Ini orang tuanya Aksa. Yang ini kakak-kakaknya Aksa. Kalau Om Andreas, sudah kenal tadi pagi, kan?”

Jenni pun menyalimi mereka satu-persatu, kecuali Andreas. Dia hanya mengangguk seraya tersenyum pada lelaki itu. Namun, tersenyum lebar pada Nisa yang wajahnya cukup familiar.

“Salam kenal. Terima kasih kemarin sudah menerima Efa di rumah. Kuenya juga enak banget,” ucap Jenni tertuju pada Weny.

“Ah, nggak usah sungkan. Efa sama temen-temennya juga sopan, kok.”

“Sudah pesan makanan?” tanya Jenni kemudian.

“Sudah, Kak. Bentar lagi mungkin datang,” jawab Nisa karena tugasnya lah tadi memesan makanan. Ia terbiasa memanggil Jenni dengan sebutan ‘Kak’ ketika menyambangi butik.

Jenni mengerling padanya. “Nanti mampir, lah ke butik.”

“Sip,” sahut Nisa.

“Kalau gitu Saya tinggal nggak apa-apa, ya. Mau ke butik dulu. Ada kerjaan,” pamit Jenni. Selain lumayan banyak customer yang datang, dia juga harus meneliti penjualan kemarin.

“Iya. Nggak apa-apa. Silakan," ucap Weny nggak keberatan.

“Ayo, Fa.”

Efa enggan pergi, sebenarnya. Tapi, genggaman Jenni di lengannya cukup kuat. Terpaksa, ia pun mengekori jejak sang Mama.

Begitu Jenni pergi, barulah Andreas beranikan diri melihat sosok wanita itu.

Rahman menyadari tatapan sendu milik adik bontotnya itu. Karena nggak banyak wanita yang dihadiahi tatapan seperti itu. “Elo kenal sama dia, Ndre?”

“Tadi pagi nggak sengaja ketemu pas jemput Aksa,” jawab Andreas seadanya.

Tepat saat itu pesanan mereka sudah datang.

“Cantik, lho, Ndre,” celetuk Rahman.

“Ngapain ganggu istri orang. Aneh-aneh aja elo ini,” tukasnya agak tersinggung. Rahman tahu pasti kalau Andreas itu dulu sangat menyukai wanita sampai bisa puluhan ganti dalam setahun. Tapi, itu kan dulu saat dirinya masih muda. Sekarang hal seperti itu tidaklah penting lagi buat Andreas.

“Siapa bilang itu istri orang, Om?” celetuk Nisa kalem.

Andreas menatap keponakan perempuannya dengan kening berkernyit. “Nyokapnya Efa. Istri orang, lah. Kalau nggak, gimana Efa bisa ada di dunia ini.”

“Hm,” cibir Nisa seraya mengibas tangan kanannya. “Single mom lagi, Om.”

“O, ya?!” tanya Weny nggak percaya.

Nisa mengangguk agak songong. Bangga, dong tahu info gosip. “Dia itu cerai dengan suaminya. Biasalah, gara-gara pelakor.” Sebagai customer setia butik, dia tahu banget gosip tentang usainya pernikahan Jenni dan Firdaus.

Andreas sontak membenahi duduknya. Tidak lagi menyender, justru condong ke arah Nisa. “Seriously?! Udah lama?”

“Udah lama, sih. Semenjak ada butik di depan ini, sudah cerai kayaknya.”

Andreas tersenyum penuh arti. Matanya menatap ke arah butik. Tampaklah sosok Jenni tengah sibuk menata kembali butiknya.

••

“Permisi,” ucap seorang pria berjaket kecoklatan. Ia baru masuk selangkah ke butik. Sebelum masuk lebih lanjut, kepalanya celingak-celinguk mencari seseorang yang bisa ditanyai.

“Ya?” Pegawai Jenni bertubuh kecil namun terlihat lincah bernama Riska menghampiri pria itu. Kebetulan dia sendiri yang tidak melayani customer.

“Ibu Jenni ada?” tanya pria itu dari balik maskernya setelah melihat sebentar catatan kecil di buket bunga, yang sedari tadi dibawanya.

Riska mengangguk pelan, bingung. “Iya. Ada.”

“Ini buket bunganya untuk Ibu Jenni.” Pria itu menyerahkan buket itu pada Riska.

Sementara itu Riska membawa buket itu ke bagian belakang butik, tempat Jenni berkutat dengan laptopnya.

“Ada apa, Ris?” tanyanya.

“Ini, Kak. Ada buket bunga,” jawabnya lantas meletakkan buket di atas meja, tepat di sebelah laptop.

Jenni menegakkan punggungnya. “Buket? Dari siapa, nih?”

“Kakak baca aja di memonya. Aku tinggal, ya, Kak. Ada customer lagi, tuh,” kata Riska sekaligus berpamitan.

Jenni mengangguk lalu meraih buket bunga ke pangkuannya. Sebuah kartu ucapan tersemat di antara bunga mawar pink baby yang sangat manis dan segar itu. Ia membuka lipatan memo.

“Hai, mau makan malam bersamaku?
Andreas.”

“Andreas? Bukannya dia itu Om-nya Aksa?” Jenni menggeleng-gelengkan kepalanya lalu meletakkan kembali buket ke atas meja. Cukup kasar.

“Aneh-aneh aja, sih mau makan malam bersama. Seperti anak muda aja.” Lantas, ia kembali memerhatikan laptop. Ajakan di kartu ucapan itu hanya dianggapnya angin lalu saja.

Namun, tidak bagi Andreas. Ajakan itu adalah sebuah tanda keseriusan darinya. Terbukti akan apa yang ia lakukan pada malam harinya.

Saat Jenni menunggui pegawainya menutup dan mengunci ruko, ia melihat ke arah parkiran. Matanya memicing supaya bisa melihat jelas sosok di antara temaramnya lampu.

“Itu ... Andreas?!”

Bersambung...

Suami Untuk Mama (Bab 7—9)