Suami Untuk Mama (Bab 1—3)

2
0
Deskripsi

Gimana, nih kelanjutan hidup Jenisha? Apakah sudah punya pengganti Firdaus. Yuks, silakan dibaca….

Bab 1. Sharefaa : Aku Baik- baik Saja

.

.

Perkenalkan nama gue itu Shareefa Al-Attar —anaknya Mama Jenisha dan Baba Firdaus. Mama campuran Sunda-Palembang, sementara Baba campuran Arab-Jawa. Jelas saja DNA Arab lebih banyak mengalir di tubuh gue karena kata orang-orang, gue itu sangat mirip dengan Baba. Bukan hanya hidung bangir ini saja tapi juga cara bersikap.

Umur gue?

Masih empat belas tahun. Baru juga masuk Sekolah Menengah Pertama.

Sekolah gue itu deket banget sama rumahnya Mak dan Bapak, tempat tinggal gue dari bayi.

Mak di sini bukan Mama Jenisha atau Bapak bukan Baba, ya. Tapi, Nenek gue alias nyokapnya Mama. Sudah terbiasa memanggilnya Mak, seperti Mama menyapa beliau.

Waktu yang gue habiskan lebih banyak dengan Mak. Seringkali ikut beliau berjualan pakaian di pasar. Jangan berprasangka buruk dulu. Itu karena Mama dan Baba sibuk bekerja. Gue sangat memahami itu. Asal, tiap tanggal merah diajak jalan-jalan aja. Cuma nge-mall juga oke aja. Sekedar keliling kota juga nggak masalah. 

Kembali ke letak sekolah gue tadi. Saking deketnya bisa jalan kaki dari rumah ke sekolah. Lewat jalan depan bisa, lewat jalan belakang juga bisa. Jadi, gue nggak bisa dah kenal sama namanya minggat.

Takutnya ada aja tetangga yang lemes, terus lapor ke Mak atau Bapak. Kalau ke Mama, sih gampang. Paling marah bentar. Tapi, kalau kedua orang tua itu bisa berhari-hari kena omelnya. Duh, pusing, deh kepala kalau sudah dengar Mak ngomel. Angkat tangan gue, mah.

Lah, emangnya Baba nggak marah kalau gue minggat?

Gimana beliau bisa marah, kalau tahu tentang keseharian gue aja nggak. Dia sudah nggak tinggal serumah sama Mama. Sebelumnya tinggal di rumah Mak sama Bapak juga.

Udah lama, sih. Kalau nggak salah sejak gue kelas empat. Gue, sih biasa aja ada Baba atau nggak. Toh dia nggak pernah jemput gue sejak pertama kali menginjak bangku sekolah. Kalau nggak Bapak, ya Bunda Anna yang jemput dan antar.

Ah, Bunda Anna ini adalah adik Mama. Tapi, sudah seperti kakak buat gue, sih. Karena usia kami hanya terpaut delapan tahun. Sementara antara Bunda dan Mama terpaut hingga 15 tahun. Jauh, kan.

Gue nggak tahu cerita pastinya gimana Baba sama Mama berpisah. Yang gue tahu Baba nikah duluan dengan Tante Bella. Mau nanya Mama ataupun Bunda Anna, gue merasa enggan.

Kenapa gue nggak memanggil istri Baba itu dengan Bunda seperti anak-anaknya memanggilnya, karena beliau sendiri, sih yang nggak mengizinkan.

Dia nggak mengizinkan gue dan adik gue memanggilnya Bunda, hanya anak-anak yang lahir dari rahimnya saja. Cukup panggil dirinya 'tante'.

Dia punya dua anak lelaki dari Baba. Gue nggak terlalu akrab dengan mereka, tapi juga nggak membenci mereka hanya karena mendapatkan perhatian lebih dari Baba. Perhatian yang nggak pernah gue dapatkan dari lelaki berumur 37 tahun itu.

Akan tetapi, semua itu nggak masalah buat gue, sih. Toh perhatian dari Mama, Bunda Anna, Mak juga Bapak sangatlah berlimpah. Gue sama sekali nggak merasa kurang kasih sayang.

Iri melihat anak perempuan lainnya dijemput sama ayah mereka? Hm, entahlah ini perasaan iri atau jijik dengan itu.
 

Bagi gue semua itu hanyalah perasaan semu. Gue nggak mengerti akan perasaan kangen sama Baba. Perasaan rindu atau sayang itu nggak pernah mengusik hati.

Apakah gue ingin Baba dan Mama kembali? Dulu gue sempat menginginkan itu saat nggak memahami apa yang terjadi. Tapi, kian kemari seiring melihat pertengkaran mereka, gue nggak lagi mendambakan itu.

Yang gue mau hanyalah melihat Mama terus mengembangkan senyuman termanisnya. Karena gue benci melihatnya menangis tiap kali usai bertemu Baba.

Tersenyumlah terus Mama karena apapun yang terjadi Shareefa dan Bahri akan selalu ada buat Mama.

Bersambung ...

Saling kenal, yuk.
Follow IG @buuchaaa_ ya.

Season 1 judulnya “Mas, Pilih Aku atau Istrimu?”

Novel ini juga hadir di Karyakarsa.
Search aja buchaa
.

.

Bab 2. Tanpa Pasangan Hidup

.

“Shareefa...,” lirih Jenni.

Bulir air matanya menetes begitu saja seusai membaca kalimat terakhir buku diary anak sulungnya itu. 

Dia sangat tahu kalau Shareefa itu dari gayanya bersikap saja sudah dewasa, sok cuek. Namun, nggak tahu jika pemikirannya juga sedewasa ini.

“Ma!” Suara nge-bass Bahri terdengar.

Jenni bergegas menghapus air matanya. Jangan sampai ada sisa hingga Bahri memergoki sisa tangis itu.

Bahri sudah cukup besar untuk mengetahui emosi yang dirasakan oleh orang di sekitarnya. Nanti dia malah banyak tanya karena rasa ingin tahunya itu.

“Mama di kamar Kakak, Bahri!”

Sejurus kemudian, sosok Bahri muncul di kamar itu. Kemiripannya dengan almarhum Bakhtiar —sang datuk— kian kentara. Pipi chubby dan sorot mata berwibawa itu.

“Wah, Bahri sudah siap?” Jenni cukup terpesona menyaksikan anak bungsunya sudah tampil rapi dengan kemeja dan celana panjang, dilengkapi sepatu keds putih. Mereka memang mau ke acara pernikahan salah satu sepupu jauh. 

“Sudah. Bunda Anna yang tadi pakaikan baju.”

Anna tiba-tiba muncul. “Belum siap, Kak?!” Dari nada bicaranya saja terdengar suara marahnya seolah Jenni melakukan kesalahan fatal.

“Nunggu Efa mandi, Anna,” jawab Jenni seraya berdiri dan kabur dari kamar itu, ah tepatnya dari ledakan marah Anna.

Anna, tuh sedari pagi tadi udah wanti-wanti supaya cepat bersiap. Nggak enak jika mereka datang lebih siang padahal ke acara keluarga sendiri.  

Akan tetapi, Mak juga nggak mempermasalahkan itu, sih. Toh sudah diwakilkan sama Bapak juga yang sudah sibuk membantu dari beberapa hari yang lalu.

Makanya, Jenni masih santai-santai aja. Disempatkannya ke kamar Shareefa mumpung yang punya lagi ke kamar mandi.

Anna muncul hanya untuk melihat punggung Jenni. 

“Kamar mandi, kan ada tiga! Kenapa pakai sistem antrian segala?!” protesnya. Alasan kakaknya itu terlalu ngadi-ngadi.

Anna kalau sudah marah, wah Mariya aja kalah, deh sepertinya.

Guna menghindari hal-hal yang nggak diinginkan kian memburuk, Jenni pun bergegas bersiap. Setengah jam kemudian langsung berpakaian rapi. Ia mengenakan dress hijau muda kesukaannya. 

Jenni, sih pakai warna apa aja cocok-cocok aja di tubuhnya. Kulit putih bersinar, tubuh yang kian menuju body goals, dan wajah diiringi senyuman manis itu dengan mudahnya beradaptasi pada setiap pakaian yang dikenakan Jenni. 

Ditambah lagi dia itu jarang mengenakan make-up. Paling bedakan doang sama lipstik nude. Tapi, pagi menjelang siang ini dia sedikit menambahkan serum, primer, dan foundation, sedikit highlighter di tulang pipi malah bikin pangling. Padahal, hanya tepuk-tepuk dikit doang.

Itulah enaknya jadi Jenni. Mukanya bersinar seolah tanpa beban. Mungkin karena beban itu sudah terangkat dari pundaknya.

Suami yang selama ini menjadi beban dan membuat aura cantiknya nggak terlalu menonjol sudah pergi dari kehidupannya. 

Firdaus memilih hidup bersama istri baru yang pada awalnya adalah selingkuhannya —Bella.
Jenni sudah ikhlas kalau inilah takdir yang harus ia terima. Termasuk Firdaus yang nggak menafkahi anak-anaknya. Entah nggak sanggup atau memang nggak mau, dia nggak mau ambil pusing. Dia percaya Allah sudah menakdirkan rezeki untuk anak-anaknya.

Terbukti, beberapa bulan setelah perceraian rezeki anak-anak ada saja. Salah satunya toko baju milik Mariya yang kini diambil alih oleh Jenni laku keras. Tiap hari nggak pernah sepi pengunjung. Tiap ada upload-an produk terbaru di medsos juga selalu ludes terjual. Mungkin karena faktor Jenni yang cukup ramah melayani pelanggan.

Tapi, yang namanya manusia ketika menilai manusia yang lainnya, selalu saja ada kekurangan.

Saat Jenni menghadiri acara resepsi pernikahan itu yang dihadiri juga oleh keluarga dari pihak Bapaknya, para bibi dan nenek itu berlomba-lomba mengerubunginya.

“Jen, kamu itu cantik, banyak uangnya. Tapi, kalau nggak ada suami buat apa,” komentar salah satu bibi Jenni seraya merokok dengan leluasanya. 

“Perempuan itu hidup ya untuk mendedikasikan kehidupannya buat suami.”

Shareefa melirik ke arah ibunya, diam-diam. Ingin tahu seperti apa reaksi Jenni.

“Masih mau ngurus anak-anak, Bi,” sahut Jenni sopan. Padahal, hati tengah bergejolak marah. 

“Dedikasi juga itu namanya, Bi. Cuma beda objek aja,” imbuhnya sedikit bercanda. Meskipun, mukanya agak kaku karena tawa yang dipaksakan itu.

Anna mencolek pinggang kakaknya. “Sabar,” bisiknya.

“Ini sudah sabar, lho,” balas Jenni lantas tersenyum pada bibinya yang menatap curiga.

“Umurmu berapa toh?” tanya Bibi yang lain, dimana keriput di sekitar bibirnya terlihat jelas.

“Tahun ini 35.” Masih biasa, nih nada suara Jenni. Masih sanggup untuk bersabar. “Masih cantik, kan, Bi?” Diselingi canda pula.

“Nah, udah keburu tua nanti. Cantik gimanapun kalau soal umur ya nggak bisa dihubungin. Harus cepat dinikahin ini Mariya,” celetuk Bibi yang pertama tadi. Asap mengepul lagi dari mulutnya.

“Biarin aja, lah Jenni sendiri dulu, Mbak. Daripada nanti salah pilih lagi, masalah lagi, dah,” timpal Mariya acuh tak acuh. Kalau dia, sih lebih nyaman melihat anaknya sendiri dulu daripada dipaksakan menikah nanti malah kenapa-kenapa lagi, toh. Dia juga yang repot. Sakit hati karena mantan menantu aja belum sembuh. Masih trauma Mariya ini.

“Dia kan bukan ditinggal mati, kalau menikah lagi nggak masalah, ’kan? Nanti Bibi carikan yang baik, ya.” Kalau yang bicara ini adalah adik Bapak paling muda. Keriput belum terlalu banyak tersemat di wajahnya.

“Ma, ngapain nyariin buat anak orang? Anak sendiri masih single lho ini. Daripada nyariin buat anak orang, mending anak sendiri,” timpal Tika—anak Bi Saro. 

Alhasil, ucapan itu mengundang riuh tawa keluarganya. Lantas, gadis berusia hampir dua puluh sembilan tahun itu mengedipkan sebelah matanya ke arah Jenni.

“Makasih, Ka,” ucap Jenni. Demi melindungi dirinya, sepupunya itu berani menjadi bahan cemoohan orang lain. 

Tika memiringkan tubuhnya ke arah Jenni, lantas berbisik, “Nggak usah sungkan. Aku juga ngerasain apa yang barusan Kakak alami. Tiap hari ditanyain soal jodoh. Kayak nggak ada pembahasan lain aja.”

Jenni mengangguk-angguk.

Tika pun melanjutkan, “Kalau jodohnya belum ditakdirkan ketemu mau usaha sampai berguling-guling di aspal juga nggak bakal ketemu. Santai aja, Kak. Ntar juga ketemu kalau emang ditakdirkan bersama.”

Jenni mencubit pipi Tika yang lumayan gembol. “Dih, kamu dewasa banget, ya.”

“Aw. Sakit, Kak!” protesnya seraya mengusap-usap pipinya yang mulai memerah.

Sementara itu, Shareefa sudah bergerumul dengan pikirannya sendiri. ‘Suami untuk  Mama? Haruskah gue mencarikan suami untuk Mama supaya dia lebih bahagia lagi?’

“Kenapa, Nak?” tanya Jenni karena mendapati anak sulungnya itu menatapinya tanpa berkedip.

Shareefa mengerjap. Tersadar dari lamunannya. “Nggak apa-apa, Ma.”

Jenni tersenyum lantas mengusap pelan kepala Shareefa. Sementara gadis itu kembali tenggelam dalam pikirannya.

Akan gue usahakan menemukan suami terbaik untuk Mama,” tekadnya.
 

Bersambung ….

.

.

.

Bab 3. Suami Untuk Mama

.
“Shareefa! Nanti dijemput sama Mama, ya,” teriak Anna dari atas motor. Usaha pempeknya dengan brand Cuko memang sedang maju-majunya. Namun, gadis berusia dua puluh empat tahun itu lebih memilih membeli rumah daripada mobil. Dia juga merasa lebih nyaman menggunakan motor. Lebih cepat sampai ke tujuan.

Shareefa yang biasa dipanggil dengan Efa,  sudah bergabung dengan teman-temannya. Namun, disempatkannya menoleh. “Iya, Bun!” Daripada kena omel, kan ya.

“Fa, elo udah ngerjain tugas belom?” tanya Bianca. Sejak berpas-pasan dengan Efa di jalan tadi, ia sudah menunggu kedatangan sahabatnya itu.

Efa mendelikkan bahunya.

“Lho, kok nggak tahu?!” tanya Almira. Gadis berambut panjang di sisi kiri Efa itu mengernyitkan keningnya.

“Gue nyuruh Aksa ngerjain tugasnya kemarin. Nggak tahu, deh dikerjain sama dia atau nggak. Awas aja kalau nggak,” jawab Efa enteng, tapi diakhiri dengan kepalan tangan kiri memukul telapak kanannya.

Aksa itu ketua kelas di kelas mereka. Tapi, sejak SD kerjaannya ngintilin Efa melulu kemana-mana. Terus, nurut lagi sama semua kata yang keluar dari mulut Efa. Bucin banget, dah kalau lihat tingkahnya.

“Efa!”

Efa berhenti melangkah. Dia menoleh. Wajah juteknya yang tanpa ekspresi malah membuat sosok yang mendekat itu kian berdegup cepat jantungnya.

‘Cantik banget, sih?’

“Ini tugasnya.” Lelaki berambut cepak itu mengulurkan buku tugas dengan nama Shareefa di sampulnya.

Bibir tipis Efa menyeringai. Diterimanya buku tugas itu dengan senang hati. Ngapain ribet-ribet mikir kalau sudah ada yang mengerjakannya. “Ok. Thanks,” ucapnya lantas melangkah menjauh.

“Fa! Jadi, kan hari Sabtu jalan sama gue?” tagih Aksa. Bayarannya membuatkan tugas kali ini adalah Efa bersedia memikirkan untuk jalan dengannya malam minggu nanti.

“Nggak tahu. Ntar tanya Mama dulu,” jawab Efa tanpa menoleh.

Mereka nggak tahu kalau ada seseorang yang memerhatikan tingkah mereka sedari tadi.

Lima menit lagi bel bakal bunyi. Efa sudah duduk manis di tempatnya. Tapi, Bianca dan Almira masih asyik bercerita. Entah apa yang mereka perbincangkan, Efa nggak terlalu tertarik.

“Eh, kalian punya Om atau siapa gitu yang lagi jomlo nggak?” tanya Efa tiba-tiba, berhasil membuat sahabat-sahabatnya menoleh.

“Kenapa? Elo mau nyari ... apa, tuh namanya? Sugar daddy?” tebak Bianca. Bulu mata lentiknya mengerjap beberapa kali.

“Beneran, Fa?!” Almira menanggapi heboh. Kedua tangannya menggenggam erat senderan bangku. Matanya membulat sempurna. Nggak dipedulikannya teman sebangku yang menepuk-nepuk pahanya.

Efa pun menimpuk kepala Bianca dengan buku tugas miliknya. “Kalau ngomong jangan asal, Bi.”

“Jadi, apa, dong?”

“Gue nyari suami buat Mama. Kasihan sendiri melulu. Disindir terus sama orang-orang,” jawabnya agak berbisik.

“Sama aja dengan nyari bokap tiri, dong, Fa,” simpul Bianca sambil menjauhkan telinganya.

“Yah, bisa dibilang gitu. Tapi, gue nggak penting juga kalau nggak serumah, sih. Kalau dia mau bawa Mama ke rumahnya juga nggak apa-apa. Udah biasa, sih gue ditinggal-tinggal.”

Bianca menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. “Ada nggak, ya?” 

Almira berusaha mengingat-ingat seraya menatap langit-langit kelas. “Gue ada sih. Tapi, nggak tahu, tuh punya pacar atau nggak. Ntar gue tanyain sama Mami.”

“Sip. Kabarin aja kalau ada, ya.”

Brakkk!

Efa dan ketiga temannya terperanjat kaget. Mereka baru menyadari kalau Pak Akbar—sang guru killer—sudah nangkring di meja guru. Dan, setelah diperhatikan teman-teman sekelas yang lain sudah duduk rapi di kursi masing-masing.

Almira memutar tubuhnya. “Elo nggak ngasih tahu gue,” protesnya pada teman sebangkunya.

“Gue udah nepuk-nepuk paha elo dari tadi. Lo aja yang nggak peka,” timpal Ella.

“Ibu-ibu. Sudah ngerumpinya?” sindir Pak Akbar.

Efa nggak menjawab.  Tepatnya, nggak mau menjawab. Dia paling nggak suka dengan guru IPA satu ini. Tersemat sebutan guru killer di pangkal nama Pak Akbar. Kerjaannya marah-marah melulu. Ada saja salah siswa di matanya. Kabarnya, sih karena dia jadi perjaka tua, makanya sensitif gitu. Nggak laku-laku padahal usianya hampir menginjak empat puluh tahun. 

“Sudah, Pak,” jawab Bianca bersemangat. Nggak sadar kalau Pak Akbar itu lagi marah.

Efa meliriknya malas.

Kalau Bianca memang suka sama Pak Akbar. Menurutnya, pria itu keren dan tampan. Duh, Efa bingung dimana letak ketampanannya. Yang ada juga nyebelin.

“Ayo, kumpul tugas kalian.”

Aksa selaku ketua kelas pun berinisiatif mengumpulkan tugas teman-temannya. Efa menyerahkan tugasnya tanpa melirik Aksa, padahal cowok itu ingin sekali di notice olehnya.

Pak Akbar menerima kumpulan tugas. Dia membuka satu persatu.

Efa mengernyitkan keningnya melihat tingkah guru satu itu. Tumben banget dilihatin satu-satu. Entah kenapa ada perasaan yang mengganggu hatinya. Seperti sesuatu yang nggak mengenakkan bakal terjadi.

“Aksa,” panggil Pak Akbar.

Aksa tersentak. Nggak menduga namanya akan dipanggil. “Ya, Pak?”

“Tulisan kamu mirip banget dengan tulisan Shareefa, ya?”

Sontak Aksa dan Efa bertukar pandang. Lantas menghela napas.

Efa tahu ini akan berakhir memalukan. Dia di setrap di luar kelas berdua dengan Aksa. 

‘Ah, menyebalkan,’ keluhnya. ‘Gue benci banget guru killer satu itu.’

Hingga mata pelajaran IPA usai yang ditandai dengan bel istirahat, barulah hukuman Efa dan Aksa usai.

Efa memandang sinis ke arah punggung Pak Akbar yang meninggalkannya.

“Ih, udah, deh marahnya, Fa. Mending ke kantin. Gue laper, nih,” ajak Almira manja. Digayutnya lengan Efa.

Efa pun menurut. Kedua sahabatnya merangkul penuh kehangatan. 

“Shareefa.”

Uh, mendengar panggilan dengan suara yang dimanja-manjakan itu sudah membuat perut Efa mual. Dia nggak menoleh. Nggak mau melihat wajah orang yang memanggilnya itu.

“Shareefa. Ini ice tea kesukaan kamu.” Aksa menaruh sebuah cup berisi es teh minuman favorit Efa. Kemudian, sedikit disodorkannya agar gadis itu bisa melihatnya cukup jelas.

Efa melirik es teh itu lewat sudut matanya. Kemudian, memalingkan muka. 

“Fa, plis maafkan aku, ya,” pinta Aksa memohon.

“Elo itu ya, pinter tapi kenapa kurang cerdas, sih?! Seharusnya tulisan kita itu agak dibedakan. Kenapa malah sama banget?!” omel Efa yang sudah tertahan sedari tadi. Nada bicaranya nggak terlalu besar. Dia nggak mau seluruh kantin tahu permasalahannya dengan Aksa.

Sayangnya, Efa nggak sadar kalau seluruh sekolah sudah tahu betul bagaimana perasaan Aksa padanya.

“Sori, Fa. Aku nggak nyangka kalau Pak Akbar itu tahu tulisan kita sama.”

“Ya, samalah! Kan, kamu yang nulis. Gimana sih?!”

“Fa. Maafin aku.”

“Udah sana! Sana! Gue males lihat muka lo.” Bukan hanya lewat kata-kata Efa mengusir Aksa, jemari lentiknya juga berkibas seolah Aksa adalah hama yang mengganggu.

Bianca dan Almira menatap kasihan pada punggung lesu Aksa yang kian menjauh.

“Kasihan tahu Aksa, Fa. Sudahlah bikin tugas elo, malah kena marah Pak Akbar, terus sekarang dijutekin sama elo,” ujar Bianca.

Almira manggut-manggut. Mulutnya penuh siomay, gimana mau nimpalin.

“Biarin aja lah. Dia tahan banting, kok. Nggak dimasukin ke hati.”

Efa menatap diam-diam ke arah Aksa, yang hanya memainkan sendoknya di mangkuk bakso. ‘Iya. Besok juga dia enakan, kok hatinya.’

Sayangnya, sampai akhir sekolah Aksa masih terlihat lesu. Untuk berada dekat dengan pujaan hatinya itu pun ia nggak berani. Habisnya, baru dilirik sebentar cewek jutek itu sudah melotot ke arahnya.

“Dijemput bokap elo, Mir?” tanya Bianca.

“Nggak. Sopir, lah. Bokap, mah sibuk di Jakarta. Kerja. Ih, elo kayak nggak tahu aja.” Almira memukul pelan bahu Bianca. Sudah tahu hal itu masih juga nanya.

Efa juga langsung mengenali mobil merah Jenni, yang kian mendekat. “Gue udah dijemput, tuh. Kalian beneran nggak ikut gue, nih? Nongki bareng di tempat Bunda.”

“Gue ada les vokal, Fa. Tahu sendirilah nyokap pengen banget gue jadi penyanyi,” tolak Bianca halus. Kalau bisa memilih, ingin sekali pergi sama Efa. Tapi, apa mau dikata. Daripada Nyokapnya ngamuk.

Shareefa manggut-manggut. Sepertinya hari ini memang rezeki Bahri bisa bermain dengan dirinya.

Baru saja mau berlari, tiba-tiba Bianca menahan lengan Shareefa. Sontak, ia kembali ke tempatnya semula. “Duh, apaan, sih Bi?”

“Lihat, tuh. Aksa. Dijemput siapa, tuh?!”

Mata Shareefa dan Almira pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Bianca. Sedikit memicingkan mata karena agak jauh. Sosok Aksa sudah mengenakan helm, dan sekarang menaiki motor Harley Davidson. Sosok pengemudi membuka kaca helmnya.

Seketika sparkles berjatuhan di antara wajah pria berahang tegas itu. 

‘Siapa dia? Cakep banget ! Keren pula! Single, kah? Kalau jadi suami Mama sepertinya cocok, tuh.’

 

Bersambung....
 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suami Untuk Mama (Part 4—6)
2
1
Andreas. Sosok yang bikin orang di sekitar Efa mengira gadis itu mengincar Om-om. So, siapakah lelaki itu sebenarnya hingga membuat Efa tergila-gila padanya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan