1. Komisi Disiplin

18
4
Deskripsi

free!!

happy reading, jangan lupa tekan tombol love dan comment ya!!

"Mampus, di depan ada abang lo!" Javio mengumpat lirih melihat siluet Marvin berdiri tegap di antara anak-anak osis yang lagi melakukan sidak dadakan.

Hesa berada di tengah-tengah ketiga temannya langsung memberengut. Javio dan Rendi sepakat menatapnya tajam. Beda lagi dengan Nata yang sedang berpikir mencari cara supaya terbebas dari pagi yang suram. Anak itu sibuk celingak-celinguk melirik medan.

"Lu bego apa gimana, anjing?" Rendi semakin melotot marah.

"Dibilangin kalian jangan percaya sama rencana Eca yang tolol ini, bejir!" Nata berceletuk pedas. Tangannya sibuk menutupi wajah sesempurna mungkin untuk menghalangi mereka para komisi disiplin yang dikirakan akan mengetahui keberadaannya.

Hesa yang mendapat gerutuan ketiga temannya mencebik kesal. Matanya memicing menatap mereka tidak suka. Sekedar info, posisi mereka benar-benar mengenaskan. Berada di belakang pos satpan kecil sambil bersimpuh tumpang tindih.

"Orang gue juga gak tau kalau abang gue yang jaga. Perasaan bukan jadwalnya sekarang deh..." Hesa yang suka dipanggil Eca itu mengetuk jari telunjuknya di dagu berulang-kali mengundang tepukan jidat ketiga temannya.

"Bodo amat! Yang jelas gue mau kabur!" Sambar Javio datar.

"Gue juga bejir, gue gak bawa sabuk." Rendi pun ikut menimpali dengan galak.

"Sama, dasi gue tadi malah gue pake buat iket stang motor." Kelakuan Nata yang super tidak jelas dan jangan heran sebelum Javio yang memilih membolos sebenarnya Nata sudah hampir kabur jika tidak ditahan ketiganya.

"Ayo buruan, kita jalan ngendap sampe ke ruang musik entar lewat gerbang belakang deket gudang aja." Nata membocorkan rencananya.

Hesa mendengus, dia menghentakkan kakinya kesal. Ketiga temannya itu mulai mengendap keluar dari tempat persembunyian. Mau gak mau Hesa harus ikut jika tidak ingin kena omel abang sepupu galaknya itu. Dan berakhir mengadukan ke abang sulungnya yang hampir mirip macan.

"Lo duluan Ca!" Javio mendorong pelan tubuh Hesa supaya menaiki tembok memakai tangga yang udah dipegangi Rendi.

"Pegangin." Hesa menatap ngeri tembok yang menjulang di depannya. Gini-gini dia masih punya rasa takut. Gimana kalau kepalanya nyungsep lebih dulu.

"Elah bocah, kelakuan setan nyali kayak winidepuh." Komentar Rendi kesal namun tetap berusaha menjaga keseimbangan Hesa supaya tidak jatuh.

"Lama banget bangsat! Sini gue duluan."

buk

"Anjing!" Hesa mengumpat, pantatnya menyentuh tanah lebih dulu mendapat serangan dari Nata yang menarik kerah seragam belakangnya sewot.

"Tinggi juga..." Gumam Nata akhirnya mendapat umpatan pedas dari ketiganya.

"Hehe, lo duluan deh Jav." Nata tersenyum tanpa dosa.

"Bacot, ah!" Dengus Hesa makin kesal.

"Buruan, pegel nih njing!" Rendi yang dari tadi sedia memegangi tangga dari bawah mendengus keras.

"Ayo buruan, bareng-bareng aja lompatnya biar seru."

"Seru nenek lu! Yang ada kita nyusruk." Pekik Rendi sudah kepalang marah.

Namun tetap saja berakhir dimulai dari Nata yang sudah nangkring di atas tembok diikut Javio lalu Hesa dan yang terakhir Rendi. Mereka akhirnya saling tatap.

"Gue itung sampe tiga, lompatnya bareng-bareng." Javio memberi peringatan.

Hesa mengangguk, menurutnya ini langkah awal menjadi bad boy. Membayangkan saja sudah membuatnya mencebik geli. Bagaimana kalau kata-kata biang onar sudah disematkan padanya, Hesa tersenyum senang.

Sinting.

"Satu... Dua—tig...."

"Mau ke mana kalian?"

Suara bernada tajam juga dingin itu sukses mengkagetkan keempat bocah yang masih nangkring di atas tembok pembatas. Mereka sama-sama menengang, serentak karena terkejut. Tidak ada yang berani berbalik, bola mata itu saling menunjuk memberi isyarat.

Javio menghela napas akhirnya dia memilih mengalah dengan melirik keberadaan si ketua komdis yang sudah bisa ditebak.

Javio berdeham canggung. Dia menggaruk lehernya yang tidak gatal, "Kita ma-mau metik mangga." Salahkan penglihatan Javio yang terlalu random.

Dia sengaja mengatakan itu karena di atasnya ada banyak pohon mangga yang menjulang di sekitarnya. Dan yang bodohnya adalah, mangga itu nampak masih sangat kecil.

Hesa, Rendi dan Nata, mereka bertiga spontan menepuk jidatanya apes. Hesa memilih membalikkan tubuhnya lalu nyengir memperlihatkan gigi rapinya yang menggemaskan.

"Halo abang?" Hesa melambaikan tangan kanannya ke arah Marvin yang masih menatap mereka dengan datar di bawah sana.

"Turun sekarang juga!" Marvin beralih menatap tajam.

Mereka berempat sama-sama meneguk ludahnya susah-susah. Keringat dingin saling bercucuran saking paniknya. Terlebih Hesa yang dari tadi mulai merampalkan doa supaya abangnya itu tiba-tiba kesurupan atau berubah jadi kucing sekalian saking ingin terbebas dari kejarannya.

Mampus gue!

**
 

srekk

Hesa menendang dedaunan kering dengan brutal. Mengundang decakan Javio yang berada di sampingnya. Mereka sama-sama sengsara karena ketahuan membolos juga pakaian tidak rapi. Poin pelanggaran mereka semakin membengkak.

"Sekali lagi kalau kalian berisik hukumannya bakal ditambah sepuluh menit!" Di ujung lapangan Marvin berteriak nyaring menekan peringatan pada si pelanggar.

Marvin terlihat sangat galak jika dilihat-lihat. Pernah menyandang sebagai kapten baksen, ketua osis dan sekarang ketua komisi disiplin membuatnya ditakuti semua penjuru sekolah.

Terlebih untuk anak-anak yang kerap melanggar. Bisa mati muda mereka mendengar setiap bentakan Marvin juga tatapan tajam yang melebihi kemarahan guru konseling mereka. Marvin memang terkenal sangat tegas dan tampan secara bersamaan. Namun siapa peduli, Marvin tetap dijuluki sebagai singa sekolah yang kapan saja bisa mencabik-cabik.

"Gara-gara lo!" Bisik Rendi tiba-tiba pada Hesa yang berada di sampingnya.

Hesa mendengus, siapa suruh mereka serentak mengiyakan ide gilanya untuk menerobos lewat gerbang depan supaya terhindar dari razia. Namun apesnya Marvin dan para bawahannya sudah stand by di sana.

Masih di ujung lapangan, Marvin melihat adik kelasnya itu dengan sangat lamat. Takut-takut di antara mereka ada yang meloloskan diri. 

"Lo gak balik ke kelas Vin? Kata Pak Ken udah boleh balik biar beliau aja yang nunggu." Sagio teman satu komdis menepuk pundaknya.

Marvin masih fokus pada beberapa anak yang sedang dihukum berjemur di bawah teriknya matahari. Marvin menghela napas, dia berbalik menatap temannya dengan datar, "Balik duluan aja. Gue harus tetep mantau mereka."

Sagio berdecak malas, Marvin si ambisius, galak dan perfeksionis. Kembali mencekik satu sekolah.

"Lo bakal ketinggalan pelajaran anjir, lagian buat apa mantau mereka? Kurang kerjaan banget lo—"

BRUKKK

Sagio menggantungkan ucapannya ketika mendengar suara gedebuk yang lumayan keras.

"HESA!!"

"ECA!!"

"ADA YANG PINGSAN."

Marvin dan Sagio sama-sama membalikkan tubuhnya melihat kegaduhan di lapangan. Anak-anak yang sedang dihukum total mengkrubungi satu siswa yang sudah tergeletak di tanah.

"Eca!" Wajah Marvin berubah panik.

Kakinya bergegas menghampiri kerumunan itu. Marvin melihat tubuh Hesa hampir diangkat Javio dan Nata namun langsung ditahannya begitu saja.

"Bang, Eca pingsan bang, ini harus buru-buru dibawa ke uks!" Nata mendelik tidak terima ketika tangannya ditepis oleh Marvin.

"Biar gue aja. Kalian lanjutin hukumannya." Tegas Marvin dan berakhir menggendong tubuh Hesa yang sudah terpejam pucat karena pingsan.

Bodoh. Marvin bodoh, kenapa juga dirinya membiarkan Hesa berjemur diteriknya matahari.

TBC

lanjut??

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 50. Panic Attack
3
1
Fake Feeling [E-book] ver. Kelanjutan dari chapter sebelumnya.happy reading❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan