
Siapa sih sebenarnya yang layak disebut "AKTIVIS MAHASISWA" ?
Saat situasi sosial-politik Indonesia memanas akibat Krisis Moneter yang menghantam sejak 1997, Indonesia menghadapi krisis multi dimensi.
Atas kondisi bangsa tersebut Micka dan teman-teman mahasiswa angkatannya terpanggil untuk menuntut perubahan atas Indonesia. Ia turut dalam barisan demonstran mahasiswa memperjuangkan REFORMASI.
Namun demikian keturutsertaannya itu mendapat tentangan dari orangtua Micka sendiri dan Widodari, gadis pujaannya. Hal mana kondisi yang membuat Micka merasa dipersimpangan jalan.
Yang Perlu Kalian Ketahui Lebih Dahulu
Halo teman-teman pembaca sekalian!
Perkenalkan, namaku Micka. Ini adalah kisahku semasa kuliah dahulu. Aku juga pernah mengalami masa muda sama seperti kalian. Aku dahulu juga anak muda yang mencari jatidiri, mengejar cita-cita dan juga tentunya mencari cinta belahan jiwa. Sama saja kok anak muda zaman itu sama zaman sekarang. Perbedaannya, anak muda zaman sekarang alias "kids zaman now" eranya lebih digital, sedangkan era itu masih banyak yang manual. Tapi jangan dikira zamanku itu tidak menantang, seru banget malah!.
Tahun '98 itu adalah tahun ketika Indonesia sedang mengalami masa transisi sosial dan politik. Bayangkan oleh kalian, disaat usia-usia mahasiswa yang penuh keceriaan kami ditantang untuk memperjuangkan nasib bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Waktu itu hari-hari kami adalah hari-hari turun ke jalan, berdemonstrasi!. Kami menuntut perubahan negeri ini, atau kami sebut REFORMASI.
Sebenarnya aku benci politik, dan sebagian besar mahasiswa yang berdemonstrasi sewaktu tahun '98 itu aku yakin banyak yang tidak suka-suka amat sama yang namanya politik. Kebanyakan dari kami adalah penggemar sepak bola, bola basket, otomotif, dan lain sebagainya. Aku sendiri lebih suka naik gunung dan ngeband. Aku bukannya apolitis atau buta politik, hanya aku pikir politik itu bukan duniaku. Tapi saat itu adalah persoalan masa depan Indonesia, kami tidak bisa apatis apalagi mengabaikan.
Adapun pertimbangan utamaku berdemonstrasi adalah mengikuti kata hati nurani dan panggilan ibu pertiwi. Kedengarannya terlalu idealis ya, tapi ya begitulah adanya anak muda. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa kala itu masyarakat jelata hidupnya masih bergelut dengan kesulitan dan kekurangan. Padahal Indonesia sudah lama merdeka. Aku merasa waktu itu sudah saatnya golongan-golongan tua yang sudah terlalu lama berkuasa di negri ini yang kekuasaannya semena-mena mesti diganti! Harus ada pembaharuan.
Tapi sebagaimana anak muda umumnya aku juga dihadapkan dengan persoalan seputar kegalauan hati setelah diputus cinta sama pacar yang aku cintai sepenuh hati, terlebih saat sedang ada masalah sama pacarku. Aku juga punya beban tanggung jawab ke orangtua yang sudah membiayai kuliah. Di usia itu juga aku sedang mencari tempatku di dunia ini, aku kerap bergelut dengan perenungan akan makna keberadaanku di dunia.
Pada kesempatan ini juga aku mengucapkan terimakasih kepada Bobby RVT yang sudah berkenan menulis cerita masa kuliahku ini menjadi novel. Sebenarnya mauku novel ini berjudul "Angkatan 98" atau "Micka", hehe... rada narsis ya?, tapi terserah Bobby RVT saja sebagai penulis. Ya sudah itu saja pengantar dariku. Mudah-mudahan ada yang bisa diambil pembelajaran dari ceritaku ini. Selamat membaca. Salam “devil horn” dariku, Micka.

Chapter 1.
MENDUDUKI MPR
20 Mei 1998.
Hari itu hari Rabu. Pukul setengah delapan pagi aku baru bangun tidur. Aku langsung bergegas mandi kemudian berpakaian. Jaket almamater kampus dan handuk kecil tidak lupa aku masukkan ke dalam tas untuk persiapan bermalam. Tanpa sarapan dan tak seorang melihat, aku pergi meninggalkan rumah dengan terburu. Larangan Ibuku dua malam lalu agar hari ini jangan kemana-mana aku abaikan. “Maafkan anakmu mah, aku lakukan ini untuk masa depan bangsa Indonesia”.
Di depan kompleks perumahan tempat tinggalku adalah pangkalan angkutan kota yang bernama Koasi, melayani trayek ke terminal bus kota Bekasi. Aku naiki Koasi itu. Bangku Koasi masih banyak yang kosong, baru dua penumpang termasuk diriku. Sudah dipastikan akan sedikit lama baru akan berangkat, menunggu bangku penumpang paling tidak terisi setengahnya. Aku gelisah, padahal baru duduk sekitar tiga menit tapi berasa sudah satu jam. Aku putuskan turun dari Koasi itu.
Kemudian aku panggil ojeg motor. “Ke stasiun Bekasi bang, berapa?”, tanyaku. “tiga ribu mas”, jawab abang tukang ojeg. “Oke, cabut bang!”, kataku sepakat sambil naik ke boncengan motor ojeg. Dari kompleks tinggalku ke stasiun kereta dapat melewati jalan perkampungan. Menghemat waktu meski harus membayar lebih tak mengapa, sebab aku takut ketinggalan kereta, habis aku bangun kesiangan.
#o#
Aku tiba di kampus sebuah universitas swasta di bilangan Jakarta Timur sekitar pukul sepuluh. Di kampus itu aku mengambil Fakultas Hukum. Dahulu saat masih SMP ketika ditanya apa cita-citaku oleh Ayah aku jawab ingin menjadi seperti Iwan Fals. Jawabanku itu membuat Ayah berang, marah-marah. Saat lulus SMA ditanya lagi cita-citaku, kali itu jawabanku agak beda. Aku menjawab ingin menjadi astronout atau polisi hutan (Jagawana). Namun orangtuaku menghendaki aku mengambil kuliah jurusan ekonomi, menurut mereka akan lebih mudah mencari pekerjaan. Aku kesal, dan mengancam lebih baik tidak kuliah jika dipaksa masuk ekonomi. Orangtuaku akhirnya angkat tangan, menyerahkan keputusan kepadaku. Akhirnya Aku mengambil kuliah di jurusan Hukum.
#o#
Hari itu semua perkuliahan diliburkan meski bukan masa liburan dan tanpa ada pemberitahuan beberapa hari sebelumnya. Keadaan memang menjadi tidak menentu. Ini ada hubungan dengan kondisi Jakarta yang semakin memanas sejak kejadian di kampus Trisakti. Sejak bulan Februari 1998 nyaris setiap hari mahasiswa di Jakarta dan beberapa kota Indonesia berdemonstrasi, namun hanya di dalam pelataran atau area kampus.
Bukan tidak ingin berdemonstrasi ke luar pagar kampus alias ke jalanan, namun aparat keamanan melarang keras. Itupun meski berdemonstrasi di dalam area kampus tetap saja aparat keamanan berjaga di luar pagar kampus untuk memastikan jangan sampai mahasiswa keluar. Yunas, teman seangkatanku menggerutu; “kita udah kayak anjing penjaga rumah, cuma menggonggong dari dalam pagar rumah majikan”.
Saat menjaga demonstran mahasiswa aparat berseragam lengkap standar pengendali massa yaitu; bantalan pelindung tubuh, helm, tameng dan bersenjatakan pentungan pemukul dari karet atau rotan. Ada saja mahasiswa yang mencemooh penampilan para aparat dengan meneriaki; “wooiyy! awas!, ada Kura-Kura Ninja!!”.
Keluar dari lingkungan kampus merupakan ukuran kesuksesan demonstrasi mahasiswa saat itu. Seberapa jauh demonstrasi berhasil keluar dari gerbang kampus. Maka menembus keluar kampus meskipun hanya sejauh 100 meter sudah bisa dikatakan prestasi hebat.
#o#
Di seberang gerbang kampus, aku menoleh ke kanan kiri mencari penampakan mahasiswa yang berkerumun pertanda bersiap berangkat menuju gedung Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), namun tidak terlihat. Beberapa mahasiswa memang masih terlihat di pelataran kampus dan di kantin namun tidak berkerumun.
Kemudian aku bertanya kepada penjual buku yang lapaknya persis di seberang gerbang kampus. Si penjual berasal dari Sumatera Utara.
“Lae, rombongan mahasiswa udah berangkat belum?”, tanyaku.
“Sudah dari pagi dek. Pake dua bis mayasari”, jawab si lae penjual buku.
“Waduh ketinggalan gue”.
Semalam aku mendapat informasi dari Doni bahwa rombongan mahasiswa kampusku hari ini akan berangkat menuju gedung MPR di Senayan, hendak menduduki gedung wakil rakyat tersebut bersama mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi lainnya yang ada di Jabodetabek. Kabarnya mahasiswa dari Bandung dan kota-kota lainnya di Pulau Jawa juga akan datang menyerbu gedung MPR.
Terdengar pengeras suara kampus diaktifkan, kemudian seseorang berbicara ;
“Salam Mahasiswa!. Teman-teman sekalian, jam setengah sembilan tadi teman-teman kita sudah berangkat menuju gedung MPR. Nanti akan ada dua bis lagi yang akan memberangkatkan kita ke sana. Mari bergerak dan bersatu, menuju Indonesia baru. Hidup Reformasi!! Hidup Mahasiswa!! Hidup Rakyat!!”.
Lega aku mendengar pengumuman itu. Meskipun sebenarnya aku sudah bertekad akan tetap berangkat menuju gedung MPR meski harus berangkat sendirian dengan menggunakan transportasi umum.
“Heiy Mick!!”. Itu suara yang tidak asing di telingaku, suara Doni, ia bersama Yunas. Mereka berjalan dari arah dalam kampus.
“Don!, Nas!, Ketinggalan rombongan kita”, sahutku sambil nyengir kepada kedua temanku itu. “Bangun kesiangan gue”, sambungku.
“Sama”, kata kedua temanku kompak sambil tertawa.
“Jaket almamater lo ga ketinggalan kan?”, tanya Doni kepadaku.
“Engga, ada nih di dalem tas”, jawabku.
“Eh Don, lo barusan dari dalem kampus kan?”, tanyaku.
“Iya, kenapa?”, jawab Doni.
“Lo liat Ari ngga?”, tanyaku lagi.
“Engga. Tapi temen-temen gengnya ada tuh. Lagi pada duduk-duduk di depan sekretariat fakultas.
“Oh gitu. Tunggu ya, gue ke dalem dulu sebentar”.
Lalu aku berlari ke dalam kampus.
Di depan sekretariat, aku melihat ada Rina, Melda dan Vera sedang bercakap-cakap di bangku panjang. Mereka adalah teman-teman akrab atau teman satu geng Ari. Ada beberapa mahasiswa lain, namun aku tidak memperhatikannya. Perkuliahan memang diliburkan namun kegiatan administrasi berjalan seperti biasa.
“Rin, boleh minta waktu sebentar”, panggilku ke Rina.
Rina yang sedang asyik bercakap-cakap dengan kedua temannya menghentikan percakapannya. Lalu ia menghampiriku.
“Ari ngga ke kampus?”, tanyaku.
“Engga Mick. Semalem sih gue ke rumahnya. Hari ini dia mau ke pulang ke Solo sama keluarganya, naik pesawat. Nanti jam dua berangkat ke Bandara. Katanya sih sebenernya berangkatnya hari Senin, tapi baru dapet tiket pesawatnya yang berangkat hari ini”, papar Rina.
“Ke Solo?.....”, ulangku dengan lirih.
“Iya. Dia cerita katanya di Solo ada kerusuhan juga. Bapaknya Ari khawatir sama neneknya yang ada di Solo”, kata Rina lagi.
“Ari …….”, aku bergumam sendiri dengan suara berbisik. Tatapanku menerawang.
“Apa Mick?”, tanya Rina kepadaku yang dikiranya menyampaikan sesuatu kepadanya.
“Eh, engga….ngga apa-apa”, kataku.
“Rin, gue boleh minta tolong ngga?”. Kemudian aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah buku novel karya Kahlil Gibran berjudul Sayap-Sayap Patah.
“Boleh. Apa?”, tanya Rina
“Tolong kasih buku ini ke Ari. Ada kertas catatan di dalemnya. Jangan sampai jatuh ya kertas catatannya”, pintaku. “Tolong sampein juga gue minta maaf ngga bisa nganterin dia ke Bandara. Gue mau berangkat ke gedung MPR sebentar lagi”, sambungku.
Saat menyerahkan novel itu tanganku sedikit gemetar.
“Oh elo mau ikut ke gedung MPR?”, tanya Rina.
Dijawab dengan anggukan olehku.
“Ya udah nanti gue ke rumah Ari dulu ngasih titipan lo ini”, kata Rina.
“Makasih atas kebaikan elo Rin”, kataku. Kemudian aku kembali ke Doni dan Yunas yang menunggu di depan gerbang kampus.
#o#
Beberapa saat kemudian aku sama kedua sahabatku berangkat bersama rombongan mahasiswa lainnya, gelombang kedua. Sama seperti keberangkatan rombongan tadi pagi, kami diangkut dengan dua bus Mayasari Bakti ke gedung MPR, Senayan.
Di jalan, kami berpapasan dengan bus-bus lainnya yang mengangkut rombongan mahasiswa dari universitas lain. Kami saling menyapa, melambaikan juga mengepalkan tangan ke udara. “Hidup Mahasiswa!, Hidup Rakyat!”, demikian kami saling menyemangati.
Masyarakat yang ditemui di jalan juga menepuki konvoi bus-bus yang mengangkut mahasiswa, sebagai bentuk dukungan kepada aksi mahasiswa. Para mahasiswa menjadi bersemangat dibuatnya. “Ini adalah bakti kami untuk bangsa”, mungkin demikian suara hati tiap mahasiswa pagi menjelang siang itu.
Hari itu Jakarta dipenuhi demonstran mahasiswa yang bergerak dari berbagai kampus. Mereka mengenakan jaket almamater masing-masing, sehingga suasana jadi terlihat berwarna-warni. Sempat ada rumor, bahwa kampus-kampus yang pasif kepada gerakan mahasiswa dikirimi celana dalam perempuan dengan dilemparkan begitu saja sehingga tersangkut di pagarnya. Entah benar atau tidak rumor tersebut.
#o#
Dibawah jembatan Semanggi, bus yang mengangkut diriku, Yunas dan Doni tidak dapat bergerak lebih maju lagi. Massa mahasiswa dari berbagai kampus sudah menyemut mengepung gedung MPR. Barisan mahasiswa demonstran kampusku melanjutkan perjalanan dengan long march, berjalan kaki.
Kordinator lapangan (korlap) sibuk mengomandoi masing-masing massanya dengan toa pengeras suara jinjing. “Satu komando!, Satu perjuangan!, awas provokator!. Teman-teman yang di sisi terluar agar membentuk rantai supaya tidak disusupi!”, demikian arahan sang korlap. Mahasiswa tidak menghendaki adanya provokator atau penyusup yang berpotensi memancing kericuhan. Mengingat seminggu sebelumnya, yakni tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan besar melanda Jakarta dan sekitarnya.
Saat itu sudah semakin mendekati tengah hari, matahari sedang terik-teriknya. Pantulan terik matahari pada aspal melipat gandakan hawa panas. Aspal jalan raya seolah bagaikan penggorengan raksasa. Tapi hal itu tidak melelehkan semangat mahasiswa.
Gerbang gedung MPR dijaga aparat polisi dan tentara bersama beberapa mahasiswa yang sudah terlebih dahulu berada di sana. Akhirnya tiba giliran rombongan massa demonstran mahasiswa kampusku berada di mulut gerbang. “Mahasiswa universitas mana ini?”, demikian pertanyaan dari salah seorang aparat. Setelah menyebut nama kampus yang dikuatkan dengan jaket almamater yang dikenakan barulah diizinkan masuk ke lingkungan gedung wakil rakyat.
Saat sudah berada di dalam komplek gedung MPR, aku, Yunas dan Doni mencari rombongan mahasiswa dari kampus kami yang sudah berangkat terlebih dahulu. Mereka akhirnya menemui mereka di belakang gedung Nusantara III, gedung yang terletak paling depan kompleks gedung wakil rakyat itu. Aku merasa senang bertemu dengan wajah-wajah yang aku kenal diantara ribuan mahasiswa berbagai universitas yang hari itu berada di gedung MPR. Salah satu wajah yang akrab denganku adalah Ado.
“Micka!”, panggil Ado. Aku hampiri sahabatku itu. Saat aku berada di dekatnya, Ado berkata lagi, “inilah dunia gue Mick”, katanya sambil merentangkan dua tangannya.
#o#
Ini adalah cerita sehari sebelum Pak Harto menyatakan mundur dari jabatan presiden, atau disebut “Lengser Keprabon”. Kalian juga pasti bertanya-tanya siapa nama-nama yang aku sebut barusan. Baiklah, ceritaku ini mundur dulu ke dua tahun sebelumnya ya.
Chapter 2.
MAHASISWA BARU
Dua Tahun Sebelumnya ……..
Hari pertama perkuliahan bagi para mahasiswa baru. Tahun 1996, September minggu pertama. Mudah menerka mana anak mahasiswa baru, terlebih yang laki-laki, mereka semua berkepala botak!. Meski tidak plontos, masih tersisa rambut sepanjang 1 inci. Sedangkan yang perempuannya atau mahasisiwi baru bisa diterka dari pakaiannya, memakai kemeja dimasukan ke dalam celana. Terlihat rapih. Aturan yang dibuat oleh senior, selama 1 semester mahasiswi baru dilarang memakai baju kaos.
Seminggu sebelumnya kami semua menjalani masa Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) selama 3 hari, kemudian dilanjutkan dengan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) alias perpeloncoan selama 2 hari. Anak-anak mahasiswa era sekarang tidak mengalami Penataran P4 kan?
Penataran P4 di era Orde Baru wajib diikuti para mahasiswa baru mulai pukul delapan pagi hingga pukul lima sore. Jangan tanya rasa kantuk yang menerpa selama mengikuti penataran. Adalah perjuangan luar biasa bila tidak ketiduran, terlebih di “jam kritis” yaitu sekitar pukul satu siang sampai pukul empat menjelang sore, jam nikmat-nikmatnya tidur siang. Ada juga memang satu atau dua dosen pemateri yang tidak membosankan, sehingga suasana kelas dan peserta penataran aktif. Jika mendapat dosen seperti demikian aku antusias, aktif bertanya dan menjawab.
Di hari terakhir penataran para mahasiswa baru Fakultas Hukum (FH) diminta tidak langsung pulang karena ada briefing dari senior pengurus Senat Mahasiswa mengenai kegiatan Ospek esok harinya. kami dikumpulkan pada sebuah ruangan aula.
#o#
Beberapa kaka senior memasuki ruang aula. Seorang dari mereka berbicara di muka ruangan.
“Selamat sore adik-adik cama-cami” (singkatan dari : calon mahasiswa dan calon mahasiswi), katanya membuka pengumuman.
“Selamat sore ka”, balas para cama-cami berbarengan.
“Gimana?, cape?”, tanyanya.
“Cape ka”, jawab cama-cami lagi.
Mendapat jawaban demikian yang bertanya merespon senyum sinis saja.
“Kenalkan, nama saya Arman. Saya akan memberi informasi untuk kegiatan Ospek besok. Siapkan alat tulisnya, ada yang harus dicatat”, kata si senior bernama Arman itu. “Besok acara dimulai jam enam pagi, ngga boleh telat. Yang telat akan mendapat hukuman”, sambungnya.
Cama-cami mengeluarkan suara seperti gemuruh, protes yang bersamaan.
“DIAM!!, siapa yang suruh komentar?”.
Sekonyong-konyong seorang senior laki-laki berperawakan tubuh gempal yang berdiri di samping ka Arman membentak, membuat suasana seketika senyap. Kemudian si senior gempal melanjutkan, “jangan ada yang protes, jangan ada yang bertanya kalau belum disuruh tanya. Paham kalian!!”.
Aku membatin, “galak amat sih pak, sekut dong”. (Sekut bahasa prokem, artinya santai)
“Oke, saya lanjutin ya”, kata ka Arman. “Besok acara mulai jam enam. Ngga boleh diantar pake kendaraan pribadi sampai persis di depan gerbang kampus. Bagi yang diantar, silahkan turun dari jarak radius kira-kira 50 meter dari gerbang”.
Baru kemudian cama-cami diperbolehkan bertanya seputar Ospek besok.
“Ka, kalo ngga keburu sholat shubuh gimana?, tanya seorang cami.
“Ya sholat di kampus aja, kan ada masjid kampus”. Enteng saja dijawab demikian oleh ka Arman.
Berikutnya disampaikan “dresscode” Ospek :
Untuk cama :
- Rambutnya wajib dipotong pendek ukuran 1 inci.
- Atasan kemeja lengan pendek warna putih, bawahan celana panjang bahan warna hitam, dan sepatu warna hitam.
- Membawa tas yang terbuat dari karung goni untuk membawa perlengkapan makanan dan alat tulis.
- Ikat Pinggang terbuat dari tali rapia.
- Membawa jagung rebus yang masih lengkap kulit dan rambutnya.
- Memakai kaos kaki bola, sebelah kanan warna kuning sebelah kiri warna biru, harus terlihat.
- Lauk untuk makan siang, paha ayam yang masih ada cekernya, dan cekernya diberi kutek berwarna merah dan telur ceplok berbentuk bintang.
Untuk cami :
- Rambutnya wajib dikepang dua dan diikat kecil-kecil dengan sedotan yang dijadikan semacam pita. Belahan kepang sebelah kanan pita sedotan warna merah 10 pita, belahan kepang sebelah kiri dipita sedotan warna putih 10 pita, jadi totalnya 20 pita.
- Pakaian; idem dengan cama.
- Tas; idem dengan cama.
- Ikat pinggang; idem dengan cama.
- Memakai kalung yang terbuat dari buah petai yang masih utuh kulitnya.
- Lauk; idem dengan cama.
Saat briefing selesai, waktu sudah menunjukan pukul enam sore. Aku melihat ada seorang sesama mahasiswa baru satu fakultasku jalan sedikit tertatih-tatih.
“Kenapa kakinya mas?”, sapa aku ke anak itu.
“Ngga tau nih, kesemutan. Kelamaan duduk kali selama penataran, sama duduk sila pas briefing tadi”, jawabnya.
“Tapi ngga apa-apa kan?”, tanyaku lagi.
“Engga, ngga apa-apa. “Eh iya, nama gue Doni”, jawabnya sambil mengajak bersalaman.
“Micka”, balasku. “Pulangnya kemana Don?”, tanyaku.
“Priok”, jawab Doni. “Elo?”, balas Doni bertanya.
“Gue ke Bekasi”.
“Parah banget ya peralatan ospek besok, aneh-aneh gitu. Bawa jagunglah, paha ayam cekernya dikutekinlah. Suruh botak pula. Bedebah sekali senior”, aku menggerutu.
“Yah namanya juga lagi plonco”, tanggap Doni. “Rada kawatir sama kaki gue juga sih nih, mudah-mudahan besok sembuh”, sambung Doni.
Kami berdua pun berpisah, naik bus jurusan pulang masing-masing, satu ke arah Tanjung Priok, satu ke arah Bekasi. Besok kami akan menjalani hari yang melelahkan.
#o#
“Heh kamu!! cepet!!, cepet!! priittt…!!, ayo kesini anak hukum (maksudnya mahasiswa Fakultas Hukum)!”. Pukul enam lewat pagi itu, suasana kampus sudah riuh oleh bentakan para senior sambil sesekali meniup pluit. “Kamu, kupret!, sini kamu. Lari!, lari!, lari!”. Yang dipanggil kupret tak lain adalah diriku!.
Sewaktu briefing kemarin selain para senior menyampaikan informasi perlengkapan yang harus dibawa pada kegiatan Ospek, mereka juga menamai para cama-cami dengan nama-nama panggilan selama kegiatan Ospek. Ada yang dinamai pitak, dobleh, jeding, ableh, dan lain-lain nama yang aneh-aneh dan terdengar lucu. Entah sejak Ospek era kapan tradisi menamai itu sudah ada. Nama itu kemudian ditulis dengan spidol berwarna hitam pada kertas karton berwarna kuning ukuran 30 x 15 cm dan kemudian dikalungkan pada leher sebagai tanda pengenal selama ospek.
“Iya kak”, aku menghampiri sambil lari senior yang memanggilku. Nafasku tersengal-sengal.
“Kamu tau ini jam berapa?!”, bentak senior.
“Jam enam kak”, jawabku.
“Ini udah hampir setengah tujuh tau!”, sanggah si senior.
Aku rada tidak percaya, karena suasana pagi ku perhatikan masih rada gelap.
“Masa sih kak?”, bantah aku.
“Udah! udah!, ga ada alasan!, kamu salah!, senior ngga pernah salah!. Saya kasih tau ya undang undang Ospek, ada 2 Pasal. Pasal 1; Senior tidak pernah salah. Pasal 2; Apabila terdapat kesalahan senior, maka tinjau kembali Pasal 1. Jelas kamu!?”.
Ya tentu saja itu undang undang mengada-ada. Tapi 2 Pasal itu juga sudah ada sejak era kapan tidak tidak tahu. Mungkin sudah ada sejak era Daendels menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda.
“Push-up kamu kupret!”, perintah senior. “seratus kali!”.
“Waduh, jangan dong ka belum sarapan, masih lemes. sepuluh kali aja ya ka”, aku coba menawar.
“Dih, kurang ajar masih cama, berani nawar. Emang ini pasar!, Ya udah dua puluh lima!”.
Aku akhirnya push-up, sambil senyum kecil. Aku jadi teringat potongan lirik lagu –Kereta Tiba Pukul Berapa- milik Iwan Fals, “Tawar menawar harga, pas tancap gas”.
Setelah mendapat hukuman push-up seratus kali yang ditawar jadi sepuluh kali akhirnya jadinya dua puluh lima kali, barulah aku diijinkan bergabung dengan barisan para cama-cami peserta Ospek FH. Kami dikumpulkan di pelataran parkir sekretariat FH yang cukup teduh dengan rindang pohon Mahoni, dekat ruang Tata Usaha.
Agenda pertama sekali adalah sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh pihak fakultas. Sambil sarapan, Aku menoleh ke kanan, kemudian ke kiri. Aku mencari Doni, teman yang baru ku kenal kemarin sore. Saat pandanganku menatap ke sebelah kiri arah jam 10, aku melihat Doni.
Kegiatan Ospek sesuai namanya diisi dengan acara berkeliling seluruh lingkungan universitas, mengunjungi semua fakultas beserta fasilitasnya agar para mahasiswa baru lebih mengenal kampusnya tempat menimba ilmu beberapa tahun ke depan.
Kemudian ada sesi bagi para pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk mempromosikan eksistensinya. Itu juga menjadi ajang merekrut anggota baru. Ada beberapa UKM di kampus, seperti mahasiswa pecinta alam (Mapala), seni musik, kerohanian, bela diri, basket, bulu tangkis, sepak bola, dan Resimen Mahasiswa (Menwa).
#o#
Waktu sudah menunjukan pukul sebelas siang, sebentar lagi waktunya makan siang dan istirahat. Para mahasiswa baru dipisah, cami ke ruang aula sedangkan cama di pelataran FH.
Di Tempat Cama……
“Kalian semua bawa jagung yang saya tugaskan kemarin kan?”, tanya ka Arman kepada para cama.
“Bawa ka!”, jawab para cama.
“Bagus!”, kata ka Arman.
Selanjutnya ka Arman berdiskusi dengan kaka yang bertubuh gempal yang kemarin bentakannya menggelegar. Ternyata namanya Dwi, teman-temannya memanggilnya Bagong.
“Udah siang gini enaknya rebahan bentar ya”, kata ka Dwi kepada para cama mengambil alih pembicara dari ka Arman. “Ayo semuanya rebahan”, perintahnya. “Diatur posisinya supaya kaki kalian ngga kena kepala temen”, sambungnya. “Jagungnya dikeluarin semuanya”, lanjutnya.
Para cama mengeluarkannya dari tas karung goni.
“Letakan jagungnya di pas “burung” kalian”, sambung ka Dwi.
Para cama patuh mengikuti instruksi ka Dwi.
“Sekarang kupas jagung kalian!”, perintah ka Dwi.
Telingaku menangkap suara tertawa entah dari mana asalnya. Sepertinya semua yang melihat pemandangan itu pasti menertawakan.
“Bedebah!”, kataku dalam hati.
Jagung sudah terkupas semua. Para cama kemudian dipersilahkan duduk untuk menikmati makan siang. Menunya nasi dengan lauk paha ayam goreng yang cekernya berkutek plus jagung tadi juga telur ceplok berbentuk bintang. Sedangkan untuk minumnya disediakan oleh panitia Ospek.
Tidak jauh dari posisiku duduk ada seorang mahasiswa baru pula peserta Ospek sama seperti diriku. Perawakannya tidak tinggi cenderung pendek tapi raut mukanya menyiratkan usia yang kebapakkan, biasanya orang seperti itu dijuluki -kecil tapi tua- alias “ketu”. Aku menyapanya, namanya Yunas. Ia bukan anak Jakarta, asalnya dari Garut, Jawa Barat.
“Saya geh aya turunan sunda (artinya : saya juga ada turunan sunda). Bapak saya asli Bandung. Nenek sama kakek juga masih ada di Bandung. Tapi saya kelahiran Jakarta sih”, urai diriku saat berkenalan dan berbasa-basi dengannya.
“Tiasa nyarios sunda atuh ? (artinya : bisa ngomong sunda dong?)”, tanya Yunas.
“Little-little mah I can lah. Hehehe”, jawabku.
“Hade atuh lah. Bungah saya mun aya babaturan urang sunda dina kota metropolitan (artinya : Bagus lah. Senang saya kalo ada temen orang sunda di kota metropolitan)”, balas Yunas girang.
Sedang asyik aku dan teman baruku Yunas menikmati makan siang sambil ngobrol, seseorang menghampiri kami. Aku menatap siapa yang datang.
“Weiy Doni. Gimana kaki lo, masih sakit?”. Ternyata itu Doni.
“Udah ga terlalu”, jawab Doni.
“Duduk sini Don. Kenalin nih, Yunas, dari Garut”.
Kami bertiganya pun larut dalam obrolan menyenangkan di jam istirahat Ospek.
#o#
Hari terakhir Ospek. Sore harinya para cama-cami FH kembali dikumpulkan di ruang aula oleh para senior pengurus Senat Mahasiswa. Cama-cami duduk lesehan di lantai. Berdiri di hadapan kami para kaka senior yang kali ini nampak pula jajaran Dekan FH dan beberapa dosen. Acaranya adalah penutupan Ospek Mahasiswa baru FH.
Dekan III, Pak Rusli yang menutup secara resmi Ospek. “Selamat buat adik-adik semua. Sekarang kalian sudah bukan calon mahasiswa atau calon mahasiswi lagi, mulai sore ini kalian sudah resmi menjadi Mahasiswa”. Kata-kata Pak Rusli itu mendapat sambutan tepuk tangan dari semua orang yang ada di aula itu.
“Kalian sudah berada di tahap baru dari kehidupan kalian. Bukan lagi seorang siswa melainkan ada kata -maha- di depannya. Ada tanggung jawab besar dengan menyandang sebagai Mahasiswa. Tanggung jawab kepada diri lebih besar. Sukses atau gagalnya studi kalian benar-benar tergantung kalian sendiri. Tidak seperti saat kalian sebagai siswa yang semuanya harus didikte guru”.
“Tanggung jawab kepada orangtua sudah pasti, karena merekalah yang membiayai perkuliahan kalian, jangan sia-siakan perjuangan mereka. Persembahkanlah kesuksesan studi kalian untuk mereka.”
“Kemudian yang sangat penting pula, sebagai Mahasiswa kalian memiliki tanggung jawab kepada bangsa dan masyarakat. Ditangan kalianlah para pemuda-pemuda generasi penerus bangsa tongkat estafet pembangunan dan peradaban bangsa ini berlanjut. Juga ditangan kalianlah manusia-manusia terpelajar yang akan menebarkan manfaat kepada masyarakat sekitar juga segenap rakyat Indonesia. Itu semua adalah sebagaimana amanah dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.”
Demikian intisari pidato penutupan Ospek oleh Pak Rusli sebagai Dekan III.
Setelah Pak Dekan III beserta jajarannya juga beberapa dosen pamit undur diri, ka Arman ganti memegang kendali acara. Mimik wajahnya kelihatan lebih santai juga kaka-kaka seniornya lainnya termasuk senior berbadan gempal yang bernama Dwi.
Suasana sore itu lebih ceria, karena acaranya sudah tidak terlalu formal, acara ramah-tamah dan hiburan. Ka Arman memperkenalkan diri lebih lanjut bahwa ia adalah ketua Senat Mahasiswa FH. Senior lainnya merupakan staf dari ka Arman.
“Ayo dong, yang mau nyumbang nyanyi ada gitar nih”, kata ka Dwi.
Seorang mahasiswi baru berdiri dengan malu-malu, ia hendak nyumbang suara.
“Nah…gitu dong. Mau nyanyi lagu apa?”, kata ka Dwi.
“Don’t Speak ka”, jawab si mahasiswi baru.
“Lagu siapa itu?, gue ngga tau”, tanya ka Dwi.
Para mahasiswa baru menyahuti : “No Doubt ka!”.
“Ga tau kunci gitarnya gue”, kata ka Dwi sambil nyengir.
“Ah payah lo, sini gitarnya!”, kata ka Arman.
Ternyata ka Arman cukup piawai bermain gitar.
Sementara Don’t Speak dan berlanjut lagu-lagu lainnya dinyanyikan bergantian oleh para mahasiswa baru bersama para senior dengan iringan gitar ka Arman, ada seorang mahasiswi baru sedang berusaha melepaskan kunciran pita dari sedotan merah putih pada rambutnya. Ia terlihat kesulitan melepaskan sendiri pita sedotan yang berjumlah dua puluh itu. Posisi bersila mahasiswi itu persis di depanku. Aku sebenarnya sedari tadi memperhatikan mahasiswi baru itu.
“Boleh saya bantu lepasin pitanya mba?”. Aku menyapa mahasiswi itu menawarkan bantuan. Si mahasiswi menoleh, tatapan kami berdua beradu, kemudian ia tersenyum simpul.
“Emm.., boleh kalo ngga ngerepotin”, jawabnya.
“Ribet ya mba pake pita gini?”, tanyaku sambil mulai melepaskan pita si mahasiswi.
“Pusing mas dua hari pake pita sedotan begini”, jawabnya. Suaranya lembut sekali terdengar.
“Jangan panggil mas mba, nama saya Micka”, aku memperkenalkan diri sambil mengajaknya salaman.
“Kamu juga manggil mba ke aku. Namaku Ari”, balasnya sambil bersalaman menyambut ajakanku.
“Ari?…, kaya nama cowok”, kataku.
“Hihihi…, itu nama panggilan. Nama lengkapku Widodari”, sahutnya.
”Widodari?, namanya cantik amat”, kataku dalam hati. “Eh, kalo ga salah Widodari bahasa Jawa artinya bidadari ya?, tanyaku melanjutkan.
Yang ditanya hanya senyum simpul. “ya Tuhan, senyumnya manis sekali”, kataku dalam hati.
“Kamu asli Jawa ya?”, tanyaku lagi karena menangkap aksen bicara Ari sedikit medok.
“Iya, aku dari Solo”, terang Ari.
“Ooo…gadis Solo. Pantesan kemayu”, kataku.
Dibilang kemayu wajah Ari memerah merona menahan malu. Seperti ingin mengucapkan terimakasih, namun tak sanggup, karena malu.
Semua pita dari sedotan sudah terlepas dari rambutnya. Rambutnya kini tergerai, ternyata panjang hampir sepinggang. Dengan rambut tergerai panjang seperti itu semakin tersibaklah kecantikan Ari. Semakin takjub aku dibuatnya.
Selepas magrib, Ospek benar-benar sudah bubar. Kali ini aku pulang berjalan beriring tidak dengan Doni atau Yunas, melainkan dengan seorang Widodari. Penggambaran senja yang indah yang sering digambarkan dengan untaian kata-kata mutiara oleh pujangga dengan kalimat : “Wahai lembayung senja, bermandikan kilau cahaya. Betapa guratan emas berlapis biru yang menjadi temaram itu meruyak kalbuku. Dan demi planet Venus!, engkau membuat hatiku syahdu. Aku luruh di haribaanmu”, tidak terpikir olehku. Pokoknya bagiku sore itu lebih indah dari sore-sore sebelumnya. Titik!.
#o#
Suasana hari pertama perkuliahan bagi para mahasiswa baru terlihat canggung. Mungkin dikarenakan antara mereka belumlah terlalu akrab, atau mungkin juga mereka masih kaget dengan kondisi berpakaian baju kasual saat jam pelajaran. Karena biasanya sebelumnya selama dua belas tahun berpakaian seragam saja. Rata-rata topik pembicaraan mereka adalah pertanyaan nama, asal sekolah, atau asal kota mereka.
Ada 6 kelas FH pada angkatan kuliahku. Aku mendapat kelas di 1D. Per kelas rata-rata jumlah mahasiswanya 41 orang. Aku satu kelas dengan Doni dan Yunas. Universitas tempatku kuliah adalah gedung bertingkat 5. Jadwal kuliah perdana pagi itu adalah Ilmu Budaya Dasar, kelasnya berada di lantai 3.
Jam kuliah belum dimulai, baru nanti jam delapan tepat. Mahasiswa kelasku sebagian sudah ada yang di dalam kelas, berbincang sambil menunggu kuliah dimulai. Sebagian lagi berbincang di balkon depan kelas.
Aku melihat Yunas sedang berbincang dengan seseorang, raut mukanya menampakan keseriusan saat mendengar tutur lawan bicaranya. Sedangkan lawan bicaranya terlihat berbeda dengan kebanyakan, laki-laki, rambutnya tidak botak 1 inci melainkan panjang seleher, potongannya kriting. Tampilannya sedikit kumal, memakai baju kemeja surjan. Surjan adalah kemeja busana khas berasal dari daerah Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta.
“Menurut gue model Penataran P4 ala Orba itu adalah satu bentuk indoktrinasi, mahasiswa baru dipaksa hanya mendengarkan satu arah saja paparan dosen, materinyapun sudah given dari Depdikbud”.
“Kemudian Ospek. Ospek itu adalah bentuk feodalisme gaya baru. Semua sistem orientasi buat mahasiswa baru itu udah salah. Harus diadakan revolusi, Revolusi Sosial tepatnya”, kata laki-laki berambut gondrong kriting kriwil-kriwil itu.
“Siapa tuh yang ngobrol sama Yunas?, ko ngga botak?, senior apa anak baru juga, atau temennya si Yunas bukan anak mahasiswa sini?”, aku jadi bertanya-tanya dalam hati merasa heran.
Yunas melihat kehadiranku, kemudian memanggil, “Mick, kadieu gera (artinya : Mick, ke sini cepat)”, Yunas memanggil diriku. Aku menghampiri. “Mick, kenalin, temen sekelas kita, Ado.
“Hah?!, seangkatan dan sekelas pula”, batinku
Kamipun bersalaman saling menyebut nama masing-masing, “Micka!”, “Ado!”.
Ado ini adalah seorang mahasiswa pindahan dari kampus lain. Di kampus sebelumnya ia mengambil jurusan ilmu sosial dan politik, namun baru saja semester 2 sudah berhenti atas kehendaknya sendiri entah atas dasar apa. Tidak seperti aku dan teman-teman lainnya yang merupakan kelulusan SMU tahun 1996, Ado lulus tahun 1995.
Chapter 3.
BIDADARI TURUN KE KAMPUS
Tempo hari, sepulang dari hari terakhir Ospek. Malamnya di kasur sambil rebahan dan menatap langit-langit kamarnya, aku terbayang-bayang wajah Ari. Tutur katanya yang lemah lembut, bola matanya yang bulat tapi sendu, rambut hitamnya bagai mayang maurai, dan senyum manisnya itu mengacaukan detak jantungku. Padahal sumpah!, aku tidak punya riwayat mengidap aritmia. Aku kemudian beranjak bangun dan mengambil gitar akustik, jemariku menekan posisi kunci E mayor. Kemudian terdengar suara kocokan senar gitar, “Jreng” …..
Ingin punya pacar
Yang cantik dan seksi
Rambutnya panjang, terurai dan wangi
Ingin punya pacar
Yang lembut dan ngerti
Ngga banyak nuntut
Terima ku adanya
reff:
‘Kan aku sayang, ku jaga ku manja
‘Kan ku lindungi, hangati setiap saat
‘Kan aku cinta, setia slamanya
Takkan mendua, diriku hanya untuk dia
Aku menyanyikan lagu karyaku sendiri bersama bandku “NIB”, judul lagunya : Ingin Punya Pacar. Pesan lagunya persis seperti liriknya itu, tanpa tedeng aling-aling. Maklum saja, bandku itu beraliran Pop Punk. Aku menjadi vokalis merangkap gitaris.
Aku menghentikan nyanyian dan kocokan gitar, ada sesuatu yang tiba-tiba mengusik pikiranku. Mataku menatap ke depan namun kosong. Aku mendadak melamun, teringat sesuatu. Kala itu sembilan bulan yang lalu aku kalah dalam bercinta. Kekasihku memutuskan hubungan cinta tanpa ada alasan yang jelas.
#o#
Aku pernah menjalin percintaan saat aku duduk di bangku SMA kelas 2 dengan seorang gadis, namanya Chika, warga perumahan sebelah kompleks perumahan tempat tinggalku. Perjumpaanku dengan Chika adalah saat aku berkunjung ke rumah tetangga rumahku yang merupakan teman bermain. Gadis itu menarik hatiku. Rambutnya ikal dikuncir buntut kuda warna kecoklatan depannya berponi, alisnya tebal, kulitnya putih bersih.
“Ada cewek lucu tuh”, kataku dalam hati. “Lia, siapa?”, tanyaku setengah berbisik kepada Lia temanku sambil memberi kode dengan mata.
“Temen SMA gue, Chika namanya. Kenapa? Suka lo?”, jawab Lia sambil meledek.
“Hehehe”, responku.
“Chik, ada yang mau kenalan nih”, tegur Lia kepada temannya yang sedari tadi membolak-balik halaman majalah remaja saja.
Aku langsung menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman.
“Hai Chika, gue Micka”, sapaku.
“Eh iya”, jawab gadis yang bernama Chika sambil menyambut salaman tanganku.
“Temen sekolah Lia?”, tanyaku.
“Iya, sekelas”, jawab Lia.
“Kok gue baru liat elo ya main ke rumah Lia”, tanyaku memburu info bagaikan detektif.
“Lumayan sering kok, tapi biasanya ke sininya pulang sekolah. Baru hari ini aja, minggu sore. Abis iseng di rumah. Eh, gue juga baru liat elo deh”, balas Chika.
“Sebenernya tiap hari juga ketemu aja sih sama Lia namanya tetanggaan, cuma pas sore kalo ngga malem. Abis sekolah gue lumayan jauh, di daerah Pasar Baru”, terangku.
“Pasar Baru?, Jakarta?!”, tanya Chika dengan nada kaget.
Aku membenarkan.
“Jauh banget!. Jam berapa berangkat dari rumah?”, tanya Chika.
“Kalo bareng bokap naik mobil, jam 6, kalo ngeteng naik bus jam 5 lewat seperapat”, jelasku.
“Idihh…jam setengah 6 aja gue baru bangun, elo udah siap-siap berangkat ya, hihi”, kata Chika sambil tertawa.
“Kacang kacang!. Gue berasa jadi obat nyamuk deh dicuekin elo bedua”, tiba-tiba Lia yang merasa diabaikan menyeletuk, menyela obrolanku dengan Chika.
#o#
2 minggu sejak perkenalan itu, aku menyatakan cinta kepada Chika, atau istilah anak 90an “nembak”. Jika “tembakannya” diterima maka sahlah “jadian”. Begitulah anak muda, banyak istilah-istilah unik yang lahir darinya. Semenjak jadian hampir setiap pulang dari sekolah aku main ke rumah Chika meskipun hanya sebentar, paling lama lima belas menit. Sudah seperti absen. Terkadang malamnya aku menelepon ke rumah Chika, dari telpon rumahnya atau dari warung telepon (wartel).
Hari Sabtu sekitar pukul empat sore aku jadi punya rutinitas baru, menjemput Chika ke rumahnya dengan motor Suzuki RGR 150 milikku. Kemudian aku antar Chika ke tempat bimbingan belajar (bimbel) yang berada di sekitar alun-alun kota Bekasi. Pulang dari bimbel jadwalnya lanjut kencan, kalau tidak ke mal makan di restoran cepat saji, atau ke kafe tenda yang kala itu sedang trend, atau sekedar ngobrol di rumah Chika.
Teman-teman rumah dan bandku awalnya janggal melihat perubahan jadwal diriku. Aku jadi jarang kumpul. Jikapun bergabung nongkrong dengan teman-teman saat malam minggu, baru kelihatan batang hidungku saat sudah dekat tengah malam.
“Mick, lo kemana aja sih sekarang jadi jarang nongol?”, tanya David teman bandku.
“Ah, itu hanya perasaan dek David saja. Nongol kan gue malem minggu juga, terus minggu sore latihan band seperti biasa”, balasku memberi klarifikasi ke David.
“Ya tapi kan biasanya kalo malem minggu lo udah nyatronin ke rumah gue dari jam delapan malem. Selain malem minggu aja kadang lo nongol, kadang nginep pula. Sekarang boro-boro”, balas David.
“Hehehe”, aku cuma bisa nyengir kuda.
“Ada perubahan schedule bro. Gue udah bokinan (pacaran)”, jelasku.
“Pantesan, gue udah duga. Sama siapa?”, David bertanya penasaran.
“Kaga bakal kenal lo gue kasih tau juga”, kilahku.
“Siapa?”, tanya David lagi sedikit memaksa.
“Chika. Anak perumahan sebelah”, terangku.
“Sebentar, sebentar…Chika ya, hmm, kayaknya gue tau deh”, kata David sambil mengingat-ngingat. “Ohh!!, yang anaknya putih, rambutnya panjang ikal depannya ponian, alisnya tebel, idungnya mancung ya?!”, David menjabarkan. “Temennya si Lia kan?”, sambungnya lagi.
“Iya bener. Kok elo tau?”, aku membenarkan sekaligus bertanya aneh, ko bisa tahu sih?.
“Iya kan gue suka liat dia ke rumah Lia kalo siang”, terang David. “Gokilll, Mickaaa….kece berat tuh doi. Bisa aja lo ngegebetnya”, puji David.
Dipuji gitu lagi-lagi aku cuma bisa nyengir kuda.
Kehadiran Chika dalam hidupku merubah diriku. Yang tadinya lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sekarang tidak lagi. Yang tadinya sering berpakaian cuek bahkan rada dekil sekarang tidak lagi, sedikit necis bahkan wangi. Yang tadinya potongan rambut aku biarkan panjang sampai seleher bahkan sampai-sampai larangan dari sekolah sekalipun aku abaikan, sekarang tidak lagi, dipotong pendek model mandarin, sering memakai minyak rambut pula.
Yang tadinya hanya mendengarkan musik genre musik cadas dari luar negri seperti GNR, Motley Crue, Faith No More, Metallica, Skid Row, Ugly Kid Joe, Nirvana, Pearl Jam, Sound Garden, Red Hot Chili Peppers dan lain-lain, kemudian band musisi Indonesia seperti Iwan Fals, Slank, Power Metal, Pas Band, God Bless, Netral dan lainnya lagi, sekarang .…, oh tidak!, kalau urusan musik aku sudah cinta mati kepada genre musik Rock!, tidak akan berubah selera. Hanya saja semenjak itu aku juga mendengarkan musik seperti Air Supply, Boyz II Men, All For One, Rick Price, Andre Hehanussa, Ruth Sahanaya, Kla Project, Tito Sumarsono, Kahitna dan Fatur.
“Mick, lo jadi cemen gini anjir”. Begitu komentar David atas perubahan selera musikku.
Aku seolah menjadi budak cinta. Ya tapi begitulah prinsipku, jika sudah mencintai seseorang, maka cintaku hanya untuk sang pujaan hati seorang. Aku tidak jarang memberi kejutan manis ke Chika. Kebetulan Ibuku gemar menanam bunga mawar di pot pada teras rumah. Aku sering memetik bunga mawar yang baru mekar. Sampai-sampai Ibu bingung bunga kesayangannya itu sering raib.
Meskipun hanya setangkai, aku persembahkan kepada Chika. “Bunga mawar ini seperti elo, merah merekah dan wangi semerbak”, kataku sambil menyerahkan mawar. Eh, si Chikanya merespon; “dih, apaan sih”.
Banyak yang berkomentar jika aku dan Chika sepertinya memang berjodoh, lihat saja nama kita, serima, senada dan seirama; Micka……Chika. Aku menyadari akan senadanya namaku dengan kekasihku itu. Maka dari itu tas, buku-buku, sepatu, juga beberapa barang-barang lainnya milikku aku tulisi pakai spidol inisial “MC”. Tadinya ku tulis “CM”, tapi aku pikir-pikir mirip satuan ukuran centimeter pada penggaris. Sedangkan aku tidak ingin cintaku kepada Chika hanya seukuran centimeter, aku ingin sedikitnya ribuan kilo meter.
Tapi sialannya ada saja temanku yang berbuat iseng. Pernah tanpa sepengetahuanku tulisan inisial MC pada tasku ada yang menambahkan huruf K, hingga menjadi “MCK”. “Anjrit!!, kerjaan siapa nih?! bedebah!!”, maki diriku saat menyadari ada yang ngerjain.
#o#
Setahun lebih berjalan jalinan cintaku dengan Chika, hingga suatu hari saat seperti biasa aku berkunjung ke rumahnya. Waktu itu kira-kira pukul lima sore. Aku mengucap salam di gerbang rumah Chika namun tidak ada yang membalas salam dan menyambutnya membukakan pagar. Tiga menit kemudian, mbak Inah asisten rumah tangga keluarga Chika yang keluar menyampaikan bahwa Chika belum pulang sekolah. “Tumben”, pikirku.
Tadi malampun ketika aku menelpon ke rumah Chika, yang mengangkat telepon bukan Chika melainkan nyokapnya. Nyokapnya bilang, “Chikanya sudah tidur”. Aku bingung, ini tidak seperti biasanya. Kejadian seperti itu berlangsung selama seminggu lebih.
Hari Sabtunya, aku menjemput seperti biasanya karena aku pikir ini jadwal bimbel, tidak mungkin Chika absen, ia anak yang rajin kalau urusan bimbel. Dengan pd-nya aku memarkirkan motor RGku di depan pagar rumah Chika, kemudian aku panggil dia. Sampai tujuh kali panggilan, lagi-lagi yang keluar mba Inah.
“Mas Micka, tadi non Chika nelpon katanya dari sekolah langsung ke tempat bimbel”.
“Oo, gitu ya mba. Ngga pesen apa-apa lagi?”, tanyaku.
“Engga mas”, jawab mba Inah.
“Ya udah deh mba kalo gitu. Saya langsung ke tempat bimbel Chika aja jemput dia”, jawabku sekalian pamitan.
Mendengar kalimat aku akan menjemput Chika mba Inah jadi terlihat salah tingkah. Aku jadi bertanya, “kenapa mba?”.
“Eh…anu mas, anu,..ngga apa-apa mas. Saya masuk dulu mas”, jawab mba Inah sambil seperti buru-buru balik badan masuk ke dalam.
Aku tiba di daerah alun-alun kota Bekasi pukul lima kurang sepuluh menit. Tujuannya adalah ke tempat bimbel Chika. Aku tidak memasukkan motor ke parkiran di pelataran gedung bimbel. Aku parkirkan saja di dekat halte bus seberang gedung bimbel. Aku bertekad nunggu sampai selesai waktu bimbel yang biasanya bubar pukul enam lewat lima belas menit sore.
Akhirnya tampak siswa-siswi bimbel berhamburan keluar. Dilihat setiap siswi yang potongannya mirip Chika. “Itu bukan. Itu juga bukan”, kataku dalam hati sambil memperhatikan siswi-siswi yang keluar gedung. “Ko belum keluar-keluar”, mulai gelisah aku. Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam, yang ditunggu tidak nampak juga. Akhirnya aku tidak tahan, aku menyeberang ke gedung bimbel. Aku tanya satpam yang sedang berjaga, “mas, masih ada yang belajar ngga di dalem?”. Satpam menjawab, “udah kosong dari tadi pas magrib mas, udah pada pulang semua”.
Sepanjang perjalanan pulang dari tempat bimbel Chika rasa kalut berkecamuk dalam pikiranku. Hampir saja menabrak angkutan kota Koasi yang tiba-tiba berhenti karena mengambil sewa penumpang. Fokusku menurun. Di dalam kepala, aku mendengar suaraku sendiri, “Kenapa Chika?, kenapa Chika?, apa salah gue?, apa salah gue?”. Aku putuskan langsung ke rumah Chika malam itu juga.
“Assalamualaikum,…..Chika!, Assalamualaikum!.....Chika!.....permisi….Chika!”. Aku sudah sampai lagi di depan rumah Chika.
Akhirnya seseorang ada yang keluar dan membuka pintu depan. Itu Chika sendiri!. Ada perasaan lega, namun ada juga tanda-tanya besar dalam benakku ketika akhirnya Chika menemuiku. Aku berharap, sebenarnya semua baik-baik saja meskipun seminggu ini sampai tadi sore perasaanku dibuat tidak karu-karuan oleh Chika.
Seperti biasa teras rumah Chika menjadi tempat kami berdua mengobrol. Saat membuka pagar untuk Micka masih dilihatnya Chika memberi senyum namun sekejap kemudian wajahnya berubah datar. Kamipun duduk di bangku teras. Suasana hening dan canggung.
“Gue tadi ke tempat bimbel, elo ngga ada”, aku membuka pembicaraan, memecah kesunyian.
“Oiya,…maaf ya, gue tadi ngga bimbel, ngerjain tugas di rumah temen. Gue lupa ngasih tau gitu ke mba Inah”, papar Chika. “Maaf ya”, sambung dia lagi.
“Oo gitu, iya, ngga apa-apa kok”, jawab aku mencoba menekan rasa kesal sekuat-kuatnya.
Suasana hening lagi.
“Oiya, elo mau minum apa?, tanya Chika yang lebih mirip pertanyaan pelayan rumah makan atau malah basa-basi belaka, karena biasanya tanpa bertanya Chika akan menghidangkan sirup dan air putih buat Micka, malah kadang-kadang kopi susu atau teh manis, tidak ketinggalan kue cemilannya.
“Air putih aja Chik”, jawabku.
Chika masuk ke dalam rumah, mengambilkan minum.
Tidak lama kemudian Chika kembali ke teras dengan segelas air putih, tanpa kue cemilan.
“Gimana sekolah?”, aku melanjutkan obrolan.
“Baik”, jawab Chika singkat.
“Seminggu kemarin ngga ke rumah Lia?”, tanyaku lagi.
“Engga”, jawab Chika.
“Agak gerah ya malem ini?, kaya ngga ada angin”. Topik obrolanku jadi tidak jelas. “Padahal bintangnya lagi bagus”, sambungku lagi, semakin absurd.
Kali ini tidak ada respon dari Chika.
“Chik, sory, elo kenapa sih akhir-akhir ini?”, akhirnya aku tidak tahan untuk menanyakan langsung ke Chika sehubungan dengan kondisi yang aku rasakan belakangan ini.
“Gue ngga kenapa-napa. Biasa aja”, jawab Chika dengan ekspresi datar dan tanpa kontak mata denganku. Ngeselin banget.
Aku kemudian berkata, “Tapi gue ngerasa sikap lo jadi dingin ke gue. Seminggu ini elo seperti ngehindar dari gue. Terus …….”.
“Chika!, ada telepon”, mamanya Chika memanggil Chika dari dalam rumah, memutus omonganku.
“Sebentar ya, nerima telpon dulu”, kata Chika sambil berdiri kemudian berlalu ke dalam.
Lima belas menit berlalu, Chika belum menyudahi telponnya. Tiga puluh menit kemudian, Chika masih belum juga keluar. Aku sudah berada pada batas kesabaran. Kemudian aku berdiri, “Chika, Chik…, gue pulang dulu ya”. Tapi tidak ada respon dari dalam. Lalu Aku coba memanggil siapapun penghuni rumah Chika, “permisi, om, tante, mba Inah…saya pamit pulang”.
Akhirnya mamanya Chika keluar menemui aku. “Loh, Micka kok pulang?, Chikanya masih nelpon. Ngga ditunggu aja?”, kata mamanya. “Engga tante, saya permisi pulang aja. Chika udah tau kok tan saya mau pulang. Permisi tante, terimakasih”, balasku kepada mamanya Chika.
Diperjalanan pikiranku semakin kalut. Aku pikir dengan menghampiri Chika ke rumahnya dan mengajak bicara baik-baik semua akan kembali normal dan semua kejadian seminggu terakhir hanya salah paham, ternyata dugaan dan harapanku salah besar. Hatiku malah dibuat menjadi hancur berkeping-keping.
Malam itu aku tidak semangat untuk bertemu teman-teman nongkrong, padahal malam minggu masih sangat muda, baru pukul setengah sepuluh. Aku lebih memilih pulang ke rumah, langsung menuju kamar dan mengunci pintu. Aku aktifkan pemutar kaset. Sejurus kemudian Nirvana album In Utero menggelegar di kamar dengan musiknya yang bising. Aku menaikkan volume pemutar kasetnya, tidak perduli kuping orang rumah yang lain. Aku menenggelamkan diri ke dalam lantunan vokal Kurt Cobain. Tidak lama kemudian aku merasa ingin melampiaskan kemarahan. Akhirnya kipas angin dan beberapa buku diktat sekolah jadi sasaran, aku banting sampai luluh lantak berantakan.
#o#
Aku menarik nafas panjang teringat peristiwa sembilan bulan lalu itu. Aku merasa belum siap akan sebuah romansa lagi.
“Cinta….cinta, gue ngga ngerti sama cinta. Gue agungkan, gue tinggikan, hanya untuk menghempaskan gue dari ketinggian. Sampai gue terjerembab jatuh ke lubang yang paling dalam”, kataku dalam hati sambil merebahkan badan kembali ke kasur. Aku memejamkan mata, hingga akhirnya tertidur.
#o#
Dunia kampus. Waktu itu rasanya seperti mimpi, aku sedang berada pada tahap hidup selanjutnya sebagaimana kata sambutan penutupan Ospek oleh Pak Dekan III tempo hari. Dan aku merasa awal dunia kampus itu merupakan awal yang baik. Bertemu dengan teman-teman baru, cara belajar yang baru, dan baju bebas!.
Ya, sekolah dengan memakai baju bebas kasual adalah hal yang sangat ku idam-idamkan. Pakaian favoritku dahulu adalah celana jins belel, kaos bergambar atau tulisan band favoritku dan memakai jaket berbahan jins yang warnanya sudah belel, sepatu kanvas merk converse atau sneaker. Satu lagi, rambut!. Aku sejak dari SMA kelas 2 mendambakan berambut gondrong. “Yes!!, aku bakal gondrong!!”.
Lalu bertemu Ari atau Widodari. Aku ragu mengkategorikan pertemuan dengan Ari, apakah itu sebuah awal yang baik juga atau bukan. Tapi kemudian aku tersadar, “ah kan baru juga ketemu. Belum tentu juga dia suka sama tipe cowok kaya gue. Cewek kemayu kaya gitu. “Jangan GR dulu Mick”, kataku ke diri sendiri.
#o#
Pagi itu di kampus, saat aku melewati ruang sekretariat. Di depan ruang sekretariat ada bangku panjang yang sering dijadikan tempat duduk-duduk para mahasiswa saat menunggu jam perkuliahan, atau sekedar bercengkrama dengan teman-teman. Namun mahasiswa baru belum mendapat “hak” duduk dibangku itu. Bangku di depan sekretariat itu dikuasai mahasiswa senior.
“Eh, ada mahasiswi anak baru, kece banget, namanya Widodari. Anak kelas A”, kata seorang mahasiswa senior kepada temannya. “
Eits, lo jangan macem-macem sama dia. Inceran gue tuh”, kata temannya merespon.
Disahut oleh mahasiswa yang lainnya, “gini aja, liat aja siapa yang bakal dipilih sama dia. Pasti gue sih…., jawabnya sendiri ke-pd-an.
“Wuuuu!!”, respon teman-teman lainnya meneriaki.
“Wah, gokil, Ari jadi topik pembicaraan cowok-cowok senior”, kataku dalam hati saat tidak sengaja mendengar pembicaraan senior-senior. Entah terdorong oleh apa, aku jadi ingin melewati kelas 1A di lantai 3, aku jadi kepingin melihat Ari. Sebab kemarin hari pertama kuliah aku tidak ketemu dia. Aku nongkrong dengan teman-teman baru; Yunas, Doni, Ado, kemudian juga Fani, anak Mampang, juga ada Gungun, tinggalnya di Tangerang. Selesai jam kuliah, lanjut makan siang di kantin, lanjut ngobrol-ngobrol, mulai topik seputar materi kuliah, cewek, sampai politik sehubungan situasi nasional terkini.
Aku mendapat kelas jam pertama di lantai 4, tapi aku sengaja ke lantai 3 terlebih dahulu. Saat berjalan melewati pintu-pintu ruang kelas aku menolehkan kepala melihat ke dalam, mencari sosok Widodari. “Ini dia, kelas A”, kataku dalam hati. Aku melambatkan langkah di depan pintu kelas A, menoleh ke dalam kelas. “Loh kok ada ka Arman?, aku ngga salah ruangan kan?, engga ah, banyak cowok-cowok botak”, kataku dalam hati ke diri sendiri.
“Eh dia lagi ngobrol sama cewek……, sama Ari”, gumamnya lirih. Ada semacam rasa kecewa juga hatiku, mungkin juga rasa cemburu. Aku melanjutkan jalan ke tujuan semula, ke kelas. “Ah, ngga ngaruh juga sama gue, mau dia suka sama siapa aja”, tampik diriku dalam hati mencoba angkuh. Kemudian senyum mengembang di bibirku. Mantap aku melangkah.
#o#
Pukul sepuluh, mata kuliah pertama usai, nanti baru ada lagi mata kuliah kedua pukul satu siang. Teman-temanku mengajak nongkrong di kantin yang kemarin. Tapi aku merasa enggan. “Aku nanti aja, belum laper. Mau ke perpustakaan dulu”, kataku berdalih.
Sejujurnya aku sedikit sungkan ke kantin kemarin, terlalu ramai bagiku, sedangkan sebenarnya aku tidak terlalu suka keramaian. Aku merasa tempatku bukan di situ. “Aing ngiring jeung maneh Mick (artinya : gue ikut elo Mick)”, kata Yunas. Berjalanlah aku dan Yunas menuju perpustakaan, berpisah dengan teman-teman yang lain.
“Kalo kamu suka buku-buku politik Mick?”, tanya Yunas.
“Kaga. Benci gue sama politik”, jawabku. “ari maneh? (artinya : kalau elo?)”, balasku bertanya.
“Suka saya mah. Apalagi baca biografi tokoh-tokoh politik”, terang Yunas. “Emang suka baca buku apa?”, timpal Yunas bertanya lagi.
“Gue suka buku-buku sastra, kebudayaan, sama tentang lingkungan hidup”, terangku.
“Hade atuh (artinya : bagus dong)”, puji Yunas.
Tempat membaca di perpustakaan kampusku disekat dengan semacam partisi, jadi mirip bilik-bilik. Satu partisi untuk satu pembaca. Suasananya cukup tenang seperti pada umumnya perpustakaan, tempat membaca yang ideal untuk bisa berkonsentrasi membaca, juga untuk tidur!. Ada juga yang kesana dengan tujuan ngobrol, tentunya dengan volume suara yang rendah. Jika ke perpustakaan niatnya ngobrol, biasanya mahasiswa memilih posisi bersebelahan, sehingga masih memungkinkan bertatap muka dengan lawan bicara.
Setelah aku dan Yunas masing-masing mendapat buku yang diingini kita berpisah duduk, karena memang perpustakaan pada jam segitu sedang banyak pengunjung. “Ah, itu ada satu bangku kosong di tengah”, kataku.
Aku menggeser bangku pada partisi tempat membacanya, pelan-pelan, khawatir menganggu konsentrasi mereka yang sedang membaca. Aku sempat melihat partisi disebelahku ada mahasiswi sedang membaca. Dari belakang terlihat rambutnya dibiarkan terurai hampir sepinggang. Saat aku duduk mahasiswi sebelah itu menoleh.
Baru saja aku membuka sampul depan buku terdengar ada yang menyapa dengan sedikit berbisik; “Micka!”. Aku terhenyak, “suara lemah lembut itu”. Aku memundurkan posisi badan memastikan siapa pemilik suara lembut yang memanggil namaku. Dugaan aku tepat; Widodari. “Ari!”, sapaku pelan.
Aku tersenyum, senang sekali mengetahui siapa gadis yang memanggilku. Ari membalas dengan senyuman. Bibirnya memakai gincu, tapi tidak menor, warna merah muda. “Ya ampun, Ari, kamu cantik banget”, kataku dalam hati. Terpana aku melihat penampilan Ari.
“Kamu kemarin kemana?”, tanya Ari.
Aku malah bengong menatap Ari.
“Mas Mickaaa…haloo, wong ditanya meneng ae” (artinya : ditanya diem aja), kata Ari sambil menepuk halus siku tangan kananku.
Seketika lamunanku buyar.
“Apa kabar?”, responku aneh dan garing.
“Hihihihi, kamu tuh yo aneh. Masa nanya apa kabar. Kayak udah lama aja ngga ketemu. Ya opo toh mas Micka”, kata Ari sambil tertawa kecil.
Malu aku jadinya.
“Aku kemarin ke kantin, sama temen-temen kelasku”, akhirnya aku mulai menguasai keadaan. “Kamu sama siapa ke perpus?”, lanjut aku bertanya.
“Bareng temen-temen. Vera, Melda sama Rina. Tapi duduknya mencar”, terang Ari.
“Ohh”, respon aku. Dalam hati aku bersorak girang: “YESS!!, ngga bareng cowok”.
“Makan siang udah janjian belum bareng temen?”, sambungku.
“Emm…belum sih”, jawab Ari.
“Makan bareng aku ya?”, tanyaku.
“Emmm…bolehh…”, jawab Ari sambil tertunduk namun ia tersenyum. Wajahnya merona kemerahan, gantian menahan malu.
Aku ingat betul, itu adalah respon pertama Ari sewaktu aku meminta izin membantu melepaskan pita sedotan saat Ospek dan menyebutnya kemayu. Wajah merah merona Ari itu adalah impresi pertama seorang Micka mengenal Ari.
“Kamu baca buku apa?”, tanya Ari.
“Bukunya Kahlil Gibran, judulnya Sayap-Sayap Patah”, jawabku sambil menunjukan sampul bukunya.
“Bagus ngga?”, tanya Ari lagi.
“Kalo yang ini aku juga belum baca. Temen ngerekomendasiin. Katanya sih ceritanya sedih. Tentang seorang laki-laki yang ditinggal kekasihnya”, terangku. “Aku ngefans berat sama Kahlil Gibran gara-gara qoutenya : Seseorang bisa bebas tanpa kebesaran, tapi tak seorang pun bisa besar tanpa kebebasan”, lanjutku sekalian mempromosikan karya Kahlil Gibran.
“Dalem ya kata-katanya. Tapi kok itu novel yang mau kamu baca sedih ya kayanya?”, respon Ari.
Aku tersenyum. “Kamu sendiri baca apa ?”, ganti aku bertanya.
“Majalah. Hihihi”, kata Ari sambil terkekeh.
#o#
Apakah kalian pernah mendengar kisah Jaka Tarub?, legenda dari tanah Jawa yang menceritakan seorang pemuda yang berhasil menikahi bidadari yang turun dari kahyangan ke bumi untuk mandi di air terjun dengan cara mencuri selendang si bidadari yang mana selendang itu adalah alat untuknya terbang pulang ke kahyangan.
Adakah hubungan legenda Jaka Tarub dan bidadari dengan aku bertemu dengan Widodari di kampus?, jawabnya tidak ada. Aku bukan Jaka Tarub, dan Widodari bukan bidadari dari kahyangan yang turun ke bumi untuk mandi. Meskipun bagiku, Widodari adalah bidadari yang turun ke kampus.
Chapter 4.
DOSEN KILLER
Namanya Zahar, para mahasiswa menyapanya “Pak Zahar” tentu saja. Titelnya Sarjana Hukum plus Magister Hukum. Beliau dosen Hukum Tata Negara. Jika dilihat dari fisik dan penampilan ditaksir usianya paling tidak pertengahan lima puluh atau enam puluh awal. Konon belum menikah alias masih perjaka.
Kebiasaannya sebelum mengajar adalah merokok di luar kelas yang akan diisi kuliahnya. Bukan rokok biasa, dari kebulan asapnya tercium bau kemenyan. Berkacamata minus menengah yang bingkainya tebal warna hitam. Orangnya jarang tersenyum dan tidak suka berbasa-basi kepada mahasiswa, itu semakin membangun kesan terlalu serius, sekaligus angker akan dirinya.
Cara mengajarnya sadis, maksud sadisnya bukannya ia manusia tanpa perikemanusiaan. Selain terkenal tidak ramah ia juga sering mengadakan kuis tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada mahasiswa. Menurutnya itu caranya agar mahasiswanya tidak hanya belajar saat menjelang ujian tengah atau akhir semester saja, namun kapanpun harus belajar. Soal ujiannya berbentuk essai, hanya tiga nomor saja, namun jawabannya bisa sangat panjang berhalaman-halaman, paling tidak sampai lima halaman kertas polio bergaris.
Saat membagikan hasil dari kuis minggu lalu suasana kelas menjadi lebih mencekam tiga kali lipat dari suasana normal. Itu dikarenakan sejak memasuki ruang kelas air muka beliau terlihat cemberut. Penyebabnya adalah jawaban dari mahasiswa menurutnya sangat tidak memuaskan.
“Jawaban macam apa ini?!, pantasnya jawaban anak SD!!”, begitu hardiknya. Adegan selanjutnya adalah ia melempar kertas-kertas jawaban kuis hingga bertebaran bagaikan salju di awal musim dingin di Eropa sana.
Pada saat Ospek, kaka-kaka senior sebenarnya sudah menceritakan akan “legenda” Pak Zahar, tapi para mahasiswa tidak menduga semengerikan ini. Para mahasiswa memberi predikat kepada Pak Zahar dengan sebutan “Dosen Killer”. Killer, dari bahasa Inggris yang artinya “pembunuh”. Pak Zahar memang Pembunuh. Pembunuh harapan-harapan mahasiswa akan nilai diatas C, ia membunuh nyali para mahasiswa, ia dosen tanpa peri kemahasiswaan.
Jam mata kuliah beliau pada kelas regular selalu di jam pertama, yakni pukul delapan pagi tepat, waktu jam mekanik Pak Zahar. Tidak ada toleransi!. Setiap mahasiswa yang datang terlambat sudah pasti ia tidak akan sudi membukakan pintu kelas.
Pernah ada seorang mahasiswa baru yang karena belum terbiasa akan peraturan Pak Zahar itu. Ia terlambat datang pada pukul delapan lewat lima belas menit. Mahasiswa itu mengetuk pintu kelas, lalu dibukanya sendiri pintunya, kemudian masuk lalu berkata, “Maaf pak, saya terlambat. Kena macet”. Reaksi Pak Zahar, “Maaf, maaf,….anda pikir ini lebaran minta maaf minta maaf. Keluar sana!!. Minggu depan saja kamu boleh masuk kelas saya jika beruntung”. Sadis bukan?.
Sudah begitu, mata kuliah Hukum Tata Negara adalah kuliah wajib dengan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) 3, yang artinya tiga jam durasi kuliahnya. Tiga jam yang menegangkan.
#o#
Sebagai warga masyarakat yang tinggal di Bekasi, konsekuensi bagiku adalah harus selalu bangun pagi-pagi paling telat pukul lima. Aku memang sudah terbiasa bangun pagi untuk berangkat sekolah sejak SMA, namun yang satu ini urusan Pak Zahar, tekanannya berbeda. Kelasku 1D, mata kuliah Pak Zahar di hari Rabu.
Selesai jam mata kuliah, aku dan teman-teman makan siang di kantin.
“Mick, muka lo kok masih keliatan muka bantal. Mana bau ketek lagi”, kata Doni kepadaku.
“Masa sih?”, tanyaku tak pecaya seraya menghidu pakaian dibagian ketiak. “Sialan, bener bau ketek”, gumamku dalam hati.
“Kaga mandi gue berangkat kuliah, gosok gigi doang. Kesiangan bangun. Kaya ngga tau aja kuliah Zahar”, jawabku menanggapi Doni.
Mendengar keteranganku teman-teman tertawa menggelegar.
“Gue aja berangkat jam setengah enam kalo matkul (mata kuliah) Zahar”, kata Gungun yang rumahnya di Tangerang.
Boleh jadi Pak Zahar menyandang predikat dosen killer, namun dari kuliah Pak Zaharlah aku jadi mengetahui Ketetapan Majelis Permusywarata Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Tap MPRS itu ditetapkan tanggal 5 Juli 1966 ditandatangani oleh Ketua MPRS saat itu dijabat oleh Jenderal Dr. Abdul Haris Nasution.
Poin penting dari Tap MPRS itu adalah mengatur Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia, yaitu:
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan MPR.
- Undang-Undang.
- Keputusan Presiden.
- Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya, seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya.
“Kalian sebagai mahasiswa hukum harus ingat terus sampai mati Tap MPRS ini, jangan sampai tidak”, wasiat Pak Zahar.
Hal lain yang menurutku juga penting adalah produk Undang-undang yang paling pertama dikeluarkan oleh Orde Baru (Orba) atau Presiden Suharto paska jatuhnya Presiden Sukarno, yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA).
“Menurut kalian mengapa Undang-Undang produk perdana Orde Baru adalah tentang Penanaman Modal Asing?”, tanya Pak Zahar kepada para mahasiswa. Saat itu para mahasiswa diam semua tidak ada yang bisa menjawab, maklum saja mahasiswa baru belum banyak mengetahui tentang sejarah perundangan Indonesia, atau bisa juga karena enggan terlibat diskusi berlarut dengan Pak Zahar”.
“Karena tidak ada yang menjawab Pak Zahar menjawab sendiri pertanyaannya; “Itu karena Orde Baru mengejar ketertinggalan pembangunan yang saat era Sukarno porak-poranda akibat konflik politik berkepanjangan. Konsep ekonomi di awal pemerintahan Orba adalah membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi asing dan juga lembaga dana moneter internasional seperti Bank Dunia untuk memberi pinjaman hutang negara”.
Meski dosennya killer namun bagiku mata kuliah Hukum Tata Negara adalah mata kuliah yang menarik. Karena aku jadi lebih banyak mengetahui perihal kondisi negara saat itu yang ternyata tidak lepas dari sejarah peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh Orba.
Namun sisi lain dari Pak Zahar adalah arogansinya. Ia tidak suka kepada mahasiswanya yang memilki organisasi di luar kampus (organisasi eksternal). Ia seperti memantau siapa-siapa saja mahasiswa yang berorganisasi di luar kampus, dan bagaikan intel ia dapat mengendus siapa saja mahasiswa yang memiliki organisasi eksternal. Baginya kampus harus bersih dari politik praktis sehingga suasana belajar-mengajar di kampus tetap kondusif. Sedikit tendensius memang.
#o#
Suatu hari saat kuliah Pak Zahar, ia memanggil Ado di muka kelas.
“Ado!”, panggilnya. “Ya pak”, jawab Ado.
“Baik-baiklah kamu di kampus ini. Jangan kamu pakai jaket luar kamu selain jaket kampus”, kata Pak Zahar.
Ado merespon dengan diam saja.
Saat di kantin, aku menanyakan Ado maksud dari omongan Pak Zahar itu, namun seperti tadi di kelas Ado juga diam tak menjawab pertanyaanku. “Ngga kenapa-napa”, hanya itu jawaban Ado.
Sebulan kemudian, setelah Ujian Tengah Semester maka nilai-nilai ujian para mahasiswa akan dipajang di papan pengumuman di sekitar sekretariat FH. Satu sama lain jadi dapat mengetahui nilai ujian teman yang lain. Aku mendapat nilai 77 untuk mata kuliah Hukum Tata Negara. Lumayan lah. “Ari berapa ya?”, tanyaku dalam hati. “Yahh..58”, aku jadi sedih mengetahui nilai Ari tidak sampai angka 6.
Saat perkuliahan Pak Zahar, ada kejadian yang cukup menghebohkan hari Rabu pagi itu di kelas 1D. Tidak lama setelah Pak Zahar memasuki kelas dan bersiap menyampaikan materi tiba-tiba Ado angkat suara.
“Maaf pak, apa maksud bapak memberi saya nilai 3?”. Pertanyaan Ado itu ditujukan kepada Pak Zahar.
“Ya memang segitu nilai kamu?”, jawab Pak Zahar.
“Dimana letak kesalahan jawaban saya?, saya menjawab pertanyaan dengan uraian serta dasar hukum perundangannya pak!”, balas Ado, kali ini nadanya dan volume suaranya meninggi.
Pak Zahar tidak suka dengan nada bicara Ado. “Jangan kurang ajar ke saya kamu!”, ancam Pak Zahar dengan nada tinggi juga.
“Saya menduga kuat bapak telah bersikap tidak adil ke saya dan hak-hak saya dikebiri oleh bapak!!”, jawab Ado semakin meninggi. “Bapak bersikap subjektif kepada saya. Saya tidak terima!!”, sambung Ado sambil menggebrak meja.
Tampak wajah Pak Zahar merah menahan amarah. Belum pernah sebelumnya ia didebat dan mendapat tentangan keras dari mahasiswa. Pak Zahar balik badan ke meja dosen di muka kelas, kemudian ia duduk lalu merapikan buku-buku dan berkas miliknya entah berkas apa, meski sebenarnya tidak ada yang berantakan dari buku-buku dan berkas-berkasnya itu. “Saya atau dia yang keluar kelas”. Kalimat itu yang kemudian keluar dari mulut Pak Zahar. Saat berkata demikian tatapannya lurus ke arah tembok bagian belakang kelas.
Dari kalimat “dia” Pak Zahar tadi seisi kelas jadi menoleh pelan-pelan ke arah Ado. Ado memasukkan alat tulisnya ke dalam tas kemudian keluar kelas dengan membanting pintu. Semua terperangah. Suasana kelas hening.
“Saya jadi kehilangan selera mengajar. Saya sudahi kuliah hari ini”, kata Pak Zahar memecah keheningan. Kemudian ia berlalu meninggalkan kelas. Padahal kelasnya baru dimulai kurang dari dua puluh menit.
#o#
Itu dia Pak Zahar, sang dosen killer. Rasa-rasanya pada setiap lembaga pendidikan manapun mulai Sekolah Dasar sampai perkuliahan selalu ada saja karakter guru atau dosen seperti itu. Boleh jadi tujuannya baik, agar menjadi cambuk para siswa atau mahasiswa belajar lebih giat dan lebih disiplin.
Namun guru atau dosen juga manusia, tidak ada yang sempurna. Ada gunjingan mengapa Pak Zahar bersifat galak atau killer, katanya dikarenakan umur setua itu masih belum berkeluarga juga. Belum ada bukti ilmiah yang membuktikan umur yang cukup tua dengan sifat galak, namanya juga dugaan belaka.
“Mau ngga kamu ke Pak Zahar, kasian tuh perjaka tua. Jadi galak deh tuh”, kataku menggoda Ari.
“Ihh…ngga mauuu!!. Amit-amit. Buat kamu aja”, jawab Ari.
“Loh, kok buat aku. Ngadu pedang dong”, balasku sambil terkekeh.

Chapter 5
GUNUNG SALAK
Waktu itu hari Kamis sekitar pukul dua siang. Aku masih di kantin kampus bersama Ado, Doni dan Fani. Yang lain sudah pulang lebih dulu.
“Aduh..suntuk nih kuliah. Jalan yuk kemana kek gitu”, kata Ado.
“Kemana?”, tanya Doni.
Kami jadi berpikir ke mana kira-kira tempat yang cocok untuk menumpas rasa suntuk. Kecuali Fani, ia asyik membaca majalah Donal Bebek.
“Eh, lo udah pada pernah naik gunung belum?”, tanyaku memecah sunyi.
“Naik gunung?”, respon Ado dan Doni hampir bersamaan.
“Yoi”, jawabku.
“Belom pernah gue. Paling kemping di Cibubur, kegiatan Pramuka lagi zaman SMP”, kata Ado.
“Kalau gue paling ke Cibodas, Puncak. Sama keluarga itu juga”, kata Doni.
“Nahh…mau nyobain naik gunung ngga?”. Yang deket-deket aja, Gunung Salak, Bogor. Gue ada saudara tinggal di sana. Kita numpang nginep aja di rumah saudara gue itu, jadi ngga perlu bawa tenda. Gimana?”, paparku.
“Boleh tuh”, sahut Ado. “Gimana Don, Fan?”, tanya Ado kepada dua teman lainnya.
“Kaga gue, makasih. Males gue naik gunung. Udah cape-cape jalan sampe puncak gunung terus turun lagi. Ngapain?, hahaha”, Fani memberi argumen sambil tertawa nyinyir.
“Nah yang begini nih ngga punya jiwa petualangan”, balasku berargumen balik.
“Kalau elo gimana Don?”, tanya Ado kemudian ke Doni.
“Boleh, boleh. Kapan enaknya berangkat?”, tanya Doni.
“Besok!”, kataku.
“Hah!!, serius lo besok?”, tanya Doni meyakinkan seolah tak percaya apa yang ia dengar.
“Persiapan peralatannya gimana?, kompor, tenda dan lain-lain. Aku pernah liat orang kalau naik gunung bawaannya banyak banget gitu”, papar Doni.
“Kan kata gue juga kita nginep di rumah saudara gue. Jadi peralatan kaya tenda dan kompor ngga perlu bawa”, paparku sekali lagi.
“Bertualang spontan itu seru, ada sensasinya, kita akan dapat kejutan-kejutan dalam perjalanan. Yang penting kita mengukur diri aja, jangan nekat juga. Hehehe. Tujuan kita di sana ke Curug Seribu sama ke Kawah Ratu. Hah?, hah?, hah?…gimana?”, kataku sambil membesarkan-besarkan kelopak mata kepada Ado dan Doni.
Mata Ado dan Doni berbinar mendengar pemaparanku. Lalu Ado berkata, “Wah…boleh, boleh tuh, asyik kayaknya. Jadi lah!”.
“Ok. Fiks ya kita jalan besok nih. Tapi biar gimana kalau namanya ke gunung tetep ada peralatan pribadi standar yang wajib kita bawa”, kataku.
“Apa tuh?”, tanya Ado, nampaknya antusias sekali dia.
“Bahan-bahan makanan buat kita untuk kira-kira tiga hari dua malam: beras, mie instan, garam, cabe, kalau mau bawa bahan makanan lain ya ngga papa, bagus malah. Terus obat-obatan pribadi, senter buat alat penerangan kita kalau malem, soalnya belum ada listrik di sana masih pake lampu minyak kalau malem”, aku menjabarkan.
“Kalau elo Don, jangan lupa bawa kancut yang banyak. Lo kayanya masih ngompol”, cela Ado.
“Sialan lo!”, sergah Doni.
“Bawa berasnya kita tentuin aja ya, masing-masing dua liter. Biar ngga kesannya ngerepotin saudara gue di sana, kan biar gimana kita numpang. Gimana, setuju ga?”, tanyaku.
“SETUJU !!”, seru kedua sahabatku itu.
#o#
Keesokan harinya, selesai sholat Jum’at kami berangkat menuju Gunung Salak, Bogor dengan menggunakan bis jurusan Pulo Gadung – Bogor, terminal Baranangsiang. Dari terminal Baranangsiang menyambung naik angkutan umum ukuran kecil jenis minibus sampai ke daerah Leuwiliang. Kota Bogor saat itu sudah dipenuhi angkutan umum, namun jumlahnya tidak over seperti sekarang, kemacetannya juga masih remeh.
Tiba di Leuwiliang sekitar pukul empat sore kurang sedikit. Dari Leuwiliang kami mencarter sebuah mobil angkutan umum kecil karena si supir menawarkan jasa antar sampai ke batas jalan yang tidak jauh dari Curug Seribu katanya. Untuk mempersingkat waktu supaya sempat menghabiskan petang ke Curug Seribu kamipun setuju.
#o#
“Sampe kita. Ini dia Gunung Salak!, liat pemandangannya, rasakan kesegaran hawanya”, kataku kepada dua temanku ketika turun dari angkutan umum dan menginjakkan kaki di tanah pada suatu tempat yang disebut Cibungbulang.
Daerah itu merupakan salah satu titik keberangkatan para pendaki Gunung Salak yang akan menuju Kawah Ratu atau Curug Seribu. Di sana juga sering dijadikan tempat kemping. Dahulu daerah itu tidak padat dengan vila-vila. Masih sepi, hutannya masih lebat, masih sangat alami. Akses ke Kawah Ratu dan Curug Seribu hanya berupa jalan setapak yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat setempat, belum dikelola Pemda.
Aku, Ado dan Doni terpaku di posisi kami, melemparkan pandangan ke sekeliling melihat bukit-bukit dan lembah yang hijau yang pada bagian tertentunya dihinggapi gumpalan kabut putih. Kami menarik nafas panjang, tercium wangi tanah, rerumputan dan juga seperti wangi khas pepohonan mungkin dari pohon Pinus yang memang banyak tumbuh di sana. Terdengar suara kicau burung, suara tonggeret (sejenis serangga), samar-samar juga terdengar suara jangkrik. Benar-benar suasana yang menghanyutkan jiwa dan menawarkan kedamaian. Kami bertiga tersenyum.
“Yuk, jalan ke sana kita”, kataku sambil menunjuk akses jalan berbatu dan ditumbuhi rerumputan. Jalannya sedikit menanjak. “Ini tempat yang aku butuhkan untuk berlari sejenak meninggalkan keriuhan”, sahut Ado sambil melepaskan pandangannya ke bukit-bukit hijau sekeliling.
#o#
“Assalamualaikum….”, aku memberi salam di pelataran sebuah rumah berukuran sedang. Temboknya bercat warna putih yang nyaris coklat karena faktor usia atau mungkin juga faktor alam. Entah kapan terakhir dicat.
Ada dua tiang penyangga dari kayu di kedua sudut kanopi pada teras rumah. Sebelah kanan berdempetan dengan rumah itu terdapat warung sederhana bertembok bilik berukuran 5 x 4 meter yang bagian belakangnya ada pintu yang terhubung dengan dapur rumah. Warung itu menjual mie instan, gorengan dan sekedar makanan ringan lainnya.
Rumah saudaraku itu menjadi tempat jajan, mengganjal perut atau juga beristirahat para pendaki dan wisatawan yang berkunjung. Tidak jarang pula ada yang menyewa tempat untuk bermalam.
“Waalaikumsalam….”, sahut seorang kakek sambil keluar menyambut tamunya. “Ehh…Micka. Ti mana iye?, ti Bekasi? (artinya : dari mana ini?, dari Bekasi?)”, tanya si kakek.
“Ki”, sapaku sambil menghampiri kemudian mencium punggung tangan kakek itu.
Mencium punggung tangan atau disebut juga dengan “salim” adalah sebuah simbol penghormatan kepada seseorang yang dituakan atau dihormati. Teman-teman mengikutiku salim tangan kepada Kiki.
“Ini temen-temen kuliah saya ki, dari Jakarta”, terangku kepada Kiki.
“Ohh…dari Jakarta. Jadi tadi berangkat juga dari Jakarta?, tanya Kiki.
“Iya ki”, jawabku. Kiki atau Aki adalah sebutan kakek dalam bahasa Sunda.
“Ki, Micka sama temen-temen mau nginep di sini. Sampai hari Minggu siang. Boleh ya ki?”, paparku menerangkan maksud kedatangan kami sekaligus memohon izin menginap.
“Nya sok, mangga atuh…, tapi punten wae nyah tempatna siga kiye (artinya : ya boleh, silahkan, tapi maaf tempatnya seperti ini)”, jawab Kiki.
“Wios ki. Iye geh tos hade pisan (artinya : tidak masalah ke, ini pun sudah bagus sekali)”, jawabku. “Oiya ki, Tisna kemana?”, lanjut aku bertanya.
“Biasa, ka kebon, di leweung (artinya : biasa, ke kebun, di hutan)”, jawab Kiki.
Yang aku tanya seseorang bernama Tisna adalah anak nomor enam Kiki. Tisna anak lelaki Kiki yang berusia sebaya denganku. Anak Kiki semuanya berjumlah tujuh orang.
“Papah sareng Mamah sarehat? (artinya : Papah dan Mamah sehat semua?)”, tanya Kiki kepadaku.
“Sehat ki, Alhamdulillah”, jawabku.
“Nya syukur Alhamdulillah atuh”, balas Kiki.
Kakek yang olehku dipanggil Kiki, namanya adalah Sena. Kiki Sena sebenarnya bukan kakek sedarahku. Semasa perang revolusi fisik dahulu kakekku yang sebenarnya, merupakan teman seperjuangan Kiki Sena di Divisi Siliwangi. Lebih tepatnya Kiki Sena dahulu adalah anak buah dari kakekku.
Saat perang kemerdekaan berakhir persahabatan mereka tetap terjalin bagaikan pertalian saudara. Meskipun kakek dan nenekku sejak tahun 60an sudah menetap di Jakarta mereka tetap saling bersilaturahmi hingga anak-cucu keturunan mereka.
Kiki Sena kemudian memanggil seseorang yang tak lain adalah istrinya. Sedari tadi ia sedang di dapur. Aku dan teman-temanpun salim kepada nenek. Dari tujuh orang anak Kiki Sena tinggal dua orang anaknya yang tinggal di rumah itu, yakni Tisna dan si bungsu, anak perempuan yang masih bersekolah di Madrasah Tsanawiyah. Anak-anak Kiki Sena yang lain sudah berkeluarga, ada yang pindah bermukim di kota Bogor, ada juga yang merantau ke Jakarta.
Untuk keperluan hidup sehari-hari Kiki Sena dan sekeluarga selain masih menerima uang pensiun dari Kodam Siliwangi. Mereka juga hidup dari berkebun, dan memelihara ikan di kolam yang terletak di belakang rumah. Ukuran kolam ikannya cukup lebar. Ikan mas, mujair dan gurame yang dipelihara. Kiki Sena juga memelihara ayam kampung dan kambing domba. Semuanya untuk dikonsumsi sendiri, selain ada juga yang dijual ke pasar. Pendapatan lainnya adalah dari para pendaki gunung dan wisatawan sebagaimana tadi sudah dijelaskan.
Kamar depan rumah Kiki Sena sering disewakan kepada pendaki atau wisatawan, kamar itulah yang diperuntukkan aku dan teman-teman selama menginap di rumah Kiki Sena. Kebetulan pula sedang kosong, karena memang saat itu bukan musim liburan panjang. Namun terkadang di akhir pekan ada saja wisatawan yang datang. “Kalau musim liburan mah rumah Kiki jadi rame”, kata Kiki Sena.
#o#
“Jam lima kurang seperempat, gimana nih?, sore ini kita istirahat dulu aja atau jadi ke Curug Seribu?”, tanya aku ke teman-teman.
“Bolehlah ke curug, ga terlalu jauh kan?, ujar Doni.
Kami akhirnya sepakat sore itu ke Curug Seribu sekedar menghabiskan sore. Berdasar pertimbanganku jaraknya tidak seberapa jauh. Kami bertiga pun pamit ke Kiki Sena.
“Jangan berenang ya, airnya deres, bahaya. Kade-kade di jalan (artinya : hati-hati di jalan)”, Kiki Sena mengingatkan kami bertiga.
Akses menuju ke Curug Seribu dari rumah Kiki Sena tidak jauh lagi, durasi paling lama sekitar setengah jam berjalan. Namun bagi yang sudah hafal jalannya juga medannya bisa kurang dari itu. Dahulu hanya berupa jalan setapak. Untuk mencapai ke sana terlebih dahulu melewati aliran sungai berbatu yang airnya jernih dan mengalir dari sumber mata air dari atas gunung. Kedalamannya dangkal saja, yang paling dalam hanya sebatas pinggang orang dewasa. Jika kaki kita tak ingin terkena aliran air maka kita berjalan dengan menapaki bebatuan sungai yang besar-besar, tinggal pandai-pandai memilih batu yang tepat untuk dipijak. Setelah itu akan melewati semacam lapangan rumput. Jika musim libur panjang di lokasi lapangan itulah dijadikan tempat mendirikan tenda.
Setelah lapangan rumput tadi lanskap menjadi berbeda seolah memasuki dimensi lain. Pepohonan mulai rindang, cahaya pun mulai meredup karena sinar matahari terhalang lebatnya dedaunan pohon-pohon besar yang menjadi kanopi hutan. Jalan setapak menyempit menjadi seukuran dua orang dewasa berjajar saja. Bersisian lereng bukit terjal yang ditumbuhi pepohonan lebat, di sisi sebelahnya adalah lereng menurun dengan kemiringan sekitar 45o.
Jika sudah terdengar gemuruh suara air, itu pertanda Curug Seribu tidak jauh lagi. Posisi Curug Seribu seperti tersembunyi dibalik sebuah tikungan berpenghalang kelebatan pepohonan hutan, sehingga baru akan terlihat sempurna pemandangan air terjun jika kita sudah sepenuhnya berbelok melewati tikungan. Betapa pemandangan yang menakjubkan.
Curug adalah bahasa Sunda yang artinya air terjun. Dinamakan Curug Seribu oleh masyarakat setempat karena selain air terjun utama yang debit airnya besar dan deras, di sisi kanan dan kiri air terjun yang dikelilingi bukit juga mengeluarkan air dari celah-celahnya sehinga terlihat seperti banyak air terjun dengan ukuran lebih kecil. Ketinggian air terjun Curug Seribu sekitar 100 meter, sehingga air yang menghujam kebawah mengeluarkan suara bergemuruh. Tepat dibawah air terjun itu terdapat sebuah ceruk membentuk danau kecil.
Curahan air terjun juga menghantam bongkahan beberapa bebatuan besar di sekitar air terjun sehingga mengakibatkan percikan-percikan butiran air seperti embun. Percikannya bisa mencapai jarak 30 meter dari kucuran air terjun. Maka itulah tanah, bebatuan dan daun-daun pepohonan dalam jarak itu selalu basah.
“Woww!!...indah banget Mick!!”, kata Doni setengah berteriak.
Saat berkomunikasi dalam jarak yang tidak jauh dari air terjunpun kita harus sedikit berteriak, karena dengan volume normal suara kita akan ditelan oleh suara gemuruh air terjun.
“Wuuuhuuhhhh!!!”, teriak Ado sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.
Aku tersenyum melihat reaksi teman-temanku itu.
“Ke situ yuk”, ajak Ado menunjuk danau kecil di bawah air terjun.
“Jangan Do!, bahaya. Batunya juga licin. Udah kita dari sini aja, kalau mau main air di aliran sungainya aja”, sahutku mengingatkan Ado.
Aku mengintip jam tanganku, sebentar lagi pukul setengah enam sore.
“Masak mie yuk, laper gue”, ajak Doni.
“Masak mie?, gimana caranya?,” tanyaku heran.
Doni yang saat itu yang membawa tas ransel, membuka tasnya itu. Ia mengeluarkan sesuatu, dua bungkus mie instan rebus, panci, botol plastik berisi air dan kompor parafin. Kompor parafin sangat popular di kalangan pendaki gunung hingga tahun 90an. Bentuknya kotak, bahannya terlihat dan berwarna seperti lilin. Terbuat dari bahan kimia metana yang dipadatkan. Termasuk bahan yang mudah terbakar sehingga menjadi pengganti minyak tanah atau kayu bakar yang masih banyak digunakan sebagai keperluan memasak pendaki kala itu. Kompor parafin juga digunakan personil militer, khususnya infantri pada sebuah operasi perang atau latihan perang di dalam rimba.
“Waduh, ngga bakal keburu mateng Don, keburu maghrib”, kataku resah.
“Gampang kok ini kebakarnya, pasti cepet mateng mienya juga”, Doni berdalih.
Sebenarnya aku tidak setuju, namun aku tidak ingin mematahkan antusiasme teman yang baru pertama kalinya ke alam bebas itu. Aku mengalah saja, sambil berharap mudah-mudahan mie rebusnya segera masak.
Kemudian Doni mencoba membakar parafin dengan korek api kayu. Sekali, gagal, lalu ia coba lagi, gagal lagi, lalu dicoba lagi, gagal lagi, terus begitu sampai korek apinya hampir setengah kotak dihabiskan. Doni lupa bahwa api sulit menyala karena terkena percikan air terjun Curug Seribu. Aku juga terlambat menyadari. Aku kembali melihat jam tangan, enam kurang lima belas menit.
“Stop Don!, ngga bakal nyala sampai bego juga. Korek apinya basah kena percikan air terjun”, sergahku.
“Udahlah Don, digado aja”, tambah Ado.
Digado maksudnya dimakan begitu saja mie instannya persis seperti memakan krupuk.
Akhirnya Doni menghentikan kegiatan sia-sianya itu. Kami pun bersiap kembali ke rumah Kiki Sena. Perasaanku tidak enak, ada semacam firasat akan terjadi sesuatu.
#o#
Suasana semakin gelap, karena memang sudah menjelang waktu maghrib.
“Bahaya kalau kemalaman di tengah hutan, mana senter di tas ngga dibawa. Aduh gobloknya gue”, aku membatin memaki diri sendiri.
Kami berjalan dengan posisi berbaris, aku di depan, Doni di tengah dan Ado paling belakang. Kami berjalan tanpa banyak bercakap, dilatari suara-suara burung dan serangga malam yang mulai terdengar riuh. Suasananya terasa mencekam.
Terbalik dengan perjalan berangkat tadi, kali ini yang terlebih dahulu dilewati justru jalan yang bersisi lereng bukit terjal yang ditumbuhi pepohonan lebat, yang sisi sebelahnya lereng menurun dengan kemiringan sekitar 45o.
Di pertengahan jalan, aku dikejutkan oleh batu sebesar kepala yang menggelinding jatuh persis di depanku. Aku terkejut, menghentikan langkah kemudian aku menoleh ke kanan pada sisi yang terjal. Tak dinyana, terdengar suara : “HAUMMMM!!”, itu adalah suara auman entah harimau, macan kumbang, atau macan tutul, yang pasti suaranya berat dan keras sekali pertanda jaraknya tidak jauh.
Sejenak aku sempat mencari si empunya suara, namun aku tidak melihat apa-apa kecuali siluet batang-batang pohon besar dan rimbunan tanaman belukar. Jantungku berdetak kencang, rasanya seperti akan lepas. Seluruh tubuh terlebih lutut terasa lemas. Namun demikian aku, Doni dan Ado mencoba berlari mengabaikan suara auman itu. Baru beberapa meter berlari suara auman keras kembali terdengar: “HAUMMMMM!!”
Kami bertiga menghentikan lari. “Ya ampun mati gue hari ini”, pikiran itu yang terbesit dalam benakku. Kemudian aku bersimpuh pada kedua lutut, tanganku menengadah ke atas posisi sedang berdoa secara Islam. “Ya Allah lindungi aku, ampuni aku. Astagfirullah hal adzim”, lirihku dalam hati. Kemudian aku berdoa sebisanya, Surah apapun yang aku ingat.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Semalam aku sempat membaca buku semacam ensiklopedia fauna. Aku memang menggemari hal-hal yang berkenaan dengan konservasi lingkungan hidup, termasuk di dalamnya dunia flora dan fauna. Dalam buku itu, di bagian pembahasan tentang macan besar aku mendapati informasi bahwa harimau dan macan kumbang memiliki penglihatan sangat baik di malam hari namun tidak pendengarannya. Artinya, menurut buku itu jika kita berada di dekat macan besar asalkan posisi kita tersembunyi lalu berusaha tidak bersuara sedikitpun, atau setidaknya meminimalisir suara maka macan besar tidak akan menyadari keberadaan kita.
“Ini saatnya membuktikan teori dalam buku itu”, pikirku. Maka aku diam saja tanpa bergerak dan berusaha tidak bersuara. Kemudian aku menoleh ke belakang kepada kedua temanku sambil meletakan jari telunjuk di bibir, kemudian berbisik : “sstt…jangan bersuara”. Herannya suasana yang sebelumnya terdengar suara burung dan serangga malam, semuanya jadi turut diam. Seolah mereka semua ikut tegang menyaksikan kejadian dramatis itu.
Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara gesekan kayu dan daun-daun yang tertiup hembusan angin.
Ditunggu sesaat. Tidak terdengar lagi suara auman lanjutan, atau suara dengusan binatang besar. Perlahan aku menoleh kembali ke belakang untuk mengetahui kondisi Doni dan Ado. Tampaklah olehku, Doni sedang posisi bersujud, dan Ado posisinya tubuhnya sama seperti aku, bersimpuh dengan lututnya, namun kedua kepalan tangannya tertutup saling mengunci dengan mata terpejam, posisi berdoa umat Kristen. Ado memang beragama Kristen Protestan.
“Gerak pelan-pelan, setengah tiarap”, begitu aku mengkomandoi kedua temanku itu dengan suara berbisik. Kami mulai bergerak. Sampai kira-kira 10 meter dari posisi semula, aku berteriak: “Larii!!!”. Kami bertiga berlari sekencang-kencangnya dengan segenap tenaga yang masih tersisa. Hingga berhasil mencapai daerah lapangan rumput.
“Aduh…, berhenti dulu Mick, berhenti dulu, gue udah ngga kuat lagi. Kaki gue sakit”, kata Doni. Wajahnya sangat pucat, tubuh dan pakaiannya basah oleh peluhnya sendiri. Tidak lama kemudian Doni ambruk, persis seperti adegan pohon yang tumbang ditebang penebang liar di hutan Kalimantan.
“Don, ayo bangun kita masih belum aman kalau disini!”, kataku. Aku berpikir akan kemungkinan macan tadi mengejar.
Ayo Don, bangun!”, kata Ado pula. “Ayo Mick, kita rangkul aja Doni”, sambung Ado.
Akhirnya kami berlari sambil memapah Doni ditengah diapit rangkulan aku dan Ado. Tentunya itu bukan berlari dalam kondisi normal dan kecepatan ideal, sambil berangkulan. Tapi daripada tidak segera meninggalkan tempat itu, sama sekali bukan pilihan juga.
Akhirnya kami tiba di pinggir sungai yang dangkal. Aku merasa keadaan dan lokasi di pinggir sungai sudah aman. Doni didudukkan dan diberi minum, ia tidak sepenuhnya pingsan. Syukurlah kami bertiga selamat dari terkaman harimau, macan kumbang, atau macan tutul atau mungkin singa, entahlah. Yang pasti itu bukan suara musang, pokoknya itu macan besar!, ditebak dari berat dan keras suara aumannya.
#o#
Malamnya di ruang tengah rumah Kiki Sena, kami bersama keluarga Kiki Sena makan malam bersama dengan menu tempe goreng dan ikan asin yang juga digoreng. Tidak lupa sambal ulek dan lalapannya. Menu sederhana tapi begitu terasa nikmat. Makan bersama ala pedesaan, tidak di meja makan namun lesehan menggelar tiker.
Suasana begitu hangat. Aku, Ado dan Doni begitu menikmati makan malam masakan Nini Sena (Nini adalah sebutan Nenek dalam bahasa Sunda). Terlebih Doni, lahap sekali makannya. Sudah piring kedua ia menambah nasinya. “Buset, laper apa doyan lo Don?, tanya Ado. “Maklumin aja, orang yang lolos dari maut emang gitu”, sahutku. “Hahahahaha”, tawa kami pecah.
Selesai makan malam Nini Sena pamit istirahat terlebih dahulu masuk kamarnya, disusul kemudian Entin, putri bungsu Kiki Sena. Jam menunjukan pukul setengah sembilan malam. Kiki Sena mengambil radio tua bertenaga baterainya. Merknya Phillips, entah produksi tahun berapa. Penutup baterainya sudah lenyap hingga baterainya yang berukuran sedang berjumlah empat buah itu terlihat. Ia putar pencari frekuensi pada radio dan berhenti pada stasiun radio yang mengudarakan pertunjukan wayang golek oleh dalang Asep Sunandar Sunarya. Sejurus kemudian ia nikmati kopi tubruk juga rokok kreteknya.
“Mau pada ngopi juga ngga?, kopi tubruk nih mantap”, tanya Tisna kepadaku dan teman-teman.
“Boleh Tis. Mau ngga lo pada?, tanyaku kepada Ado dan Doni.
“Boleh kang”, kata Ado.
“Saya ngga ngopi, terimakasih”, kata Doni.
Kopi panaspun terhidang.
“Di gunung, cocoknya kopi tubruk sama rokok kretek”, kata Tisna. Kemudian ia menyeruput kopinya dan menghisap rokoknya dalam-dalam, kemudian dihembuskan asapnya secara perlahan. Banyak sekali asap dari rokok kretek Tisna, sampai-sampai membentuk gumpalan. “Mantap”, kata Tisna.
Aku tergoda mencoba rokok kretek Tisna. “Gue mau dong nyobain rokok lo tis”, pintaku. Namun baru sehisap aku langsung batuk-batuk.
“Gokil, keras banget!. Ngga kuat gue. Uhuk uhuk!”, kataku sembari terbatuk.
Akhirnya aku mengganti dengan rokok yang aku bawa sendiri, rokok putih merek luar negri itu. Ado berkata ia bukan perokok aktif, hanya sesekali saja. Lantas Ado meminta rokok putihku. Cara Ado menghisap rokok tidak dalam-dalam, lebih terlihat seperti meniup-niup.
Lalu kami membahas kejadian yang dialami sore tadi sepulang dari Curug Seribu kepada Tisna. Tisna malah tertawa.
“Biasa itu, mau ngajak kenalan”, kata Tisna.
“Buset, ngajak kenalan kayak mau makan gue”, kata Doni. “Hahahaha”, yang lain tertawa.
“Uwa itu”, lanjut Tisna.
“Uwa siapa?”, tanyaku heran.
“Wa aung!”, jawab Tisna sambil kemudian kembali tertawa.
“Pokona lamun di gunung wayahna urang ulah sombong, ulah sompral (artinya : pokoknya jika sedang di gunung sudah sepatutnya kita jangan berkelakuan sombong dan bicara sembarang menjurus kepada sombong)”, kata Kiki Sena menyela obrolan kami. Rupanya sedari tadi sambil mendengarkan radio iapun menyimak obrolan kami anak-anak muda.
“Inget ngga dulu kejadian tahun 80an, anak STM dari Jakarta yang hilang?”, lanjut Kiki Sena.
“Oh iya. Inget ki. yang tujuh orang ya kalau ngga salah?”, sahut Doni.
“Iya itu. Sebelum naik gunung ngumpulnya juga di warung Kiki dulu. Terus Kiki denger salah satu dari mereka ada yang ngomong gini ; “segimana sih tingginya Gunung Salak ?”, ngomongna siga nu ngajago (artinya : bicaranya seperti orang menantang). Teman-temannya bukan mengingatkan supaya jangan sombong malah ikutan ketawa”, terang Kiki Sena. “Jadi we kajadian, kasasar (artinya : maka kejadian, kesasar)”, lanjutnya.
“Baru juga dua minggu kemarin ada kejadian di Curug Seribu”, tambah Kiki Sena.
“Waduh, Curug Seribu ki?”, tanyaku terperangah.
“Iya, yang tadi sore kalian ke sana”, jawab Kiki Sena. “Itu mah katanya dia dari Angkatan Laut. Sebelum kejadian, sempet ngobrol sama Kiki. Dia bilang mau berenang di danau Curug Seribu, Kiki larang. Bahaya, kata Kiki. Eh dia malah bilang sambil ketawa, “Saya udah biasa nyelam ki. Di dalam laut arusnya lebih kuat”. Akhirnya itu juga kejadian, tenggelam. Badannya ketarik ke dasar danau. Muncul-munculnya besok, udah jadi mayat”, terang Kiki Sena.
Aku, Ado dan Doni menyimak kisah Kiki Sena yang sedikit mencekam itu dengan seksama.
“Di gunung kita harus saling menghormati ke makhluk Tuhan yang lain. Kan Tuhan menciptakan makhluk bukan hanya manusia. Ada pohon-pohon, ada binatang-binatang, ada juga makhluk yang teu katempo ku panon (artinya : makhluk yang tak nampak oleh mata). Kemampuan mata manusia terbatas, bisa jadi dipenglihatan kita mah pohon-pohon tapi dipenglihatan batin itu rumah atau malah istana makhluk lain.
Terus kita buang sampah sembarangan, buang air sembarangan, ngobrol-ngobrol berisik mana ngomong juga asal. Coba dibayangin kalau ada orang lain yang ngga permisi masuk ke rumah kita, terus ngga sopan, kita marah ngga?. Atuh yang namanya tamu mah harus sopan santun. Kalau tamu sopan tuan rumah juga pastinya segan. Bener ngga?”.
Aku, Ado dan Doni mengangguk-nganguk mendengar paparan Kiki Sena.
“Ke gunung, ke hutan, ke curug, pokoknya ke alam bebas mana juga ya silahkan, itu bagus. Kan jadinya kita melihat ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita mengaguminya. Kita jadi mawas diri betapa kecilnya kita. Baru dihadapan ciptaanNya, apalagi Yang Menciptakannya”.
Petuah dan uraian Kiki Sena penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan. Mungkin terdapat beberapa hal yang sulit diterima oleh nalar, namun kita harus mengakui bahwa memang ada beberapa fenomena alam yang terjadi tidak dapat diterima dengan akal logika. Terlepas dari itu semua, penghormatan-penghormatan kepada gunung atau hutan-hutan dengan kisah-kisah metafisik atau mitologi dari masyarakat setempat terkadang bermakna nilai-nilai konservasi atau perlindungan alam. Itulah yang dinamakan kearifan lokal.
Aku dan teman-teman larut dalam obrolan yang penuh makna bersama Kiki Sena juga Tisna. Diselingi tertawa renyah, kopi tubruk plus tembakau benar-benar perpaduan yang lengkap. Lalu ditambah cemilan ubi dan kacang rebus, sempurnalah.
Hawa malam pegunungan yang terasa semakin dingin justru menambah suasana semakin hangat. Hingga tanpa terasa malam semakin larut, kami semua bersiap menuju peraduan. Sebelumnya Kiki Sena berpesan agar berhati-hati esok hari jika akan ke Kawah Ratu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰