Berkaca Lewat Cerita (Chapter #6) - Semakin Ke Sini, Semakin Ku Paham

0
0
Deskripsi

Chapter #6

Semakin ke Sini, Semakin Aku Paham

            Sore itu, selepas sang surya pamit undur diri dari tugasnya menerangi cakrawala, aku masih duduk termangu di teras rumah. Kupetik gitar coklat kesayanganku yang badannya licin diplitur. Tak lupa aku menatap cantiknya gradasi semburat jingga-biru di ufuk barat. Hari ini aku menginap di rumah A Kou (dalam bahasa Mandarin hokkian artinya : bibi) untuk melepas penat berhubung besok adalah awal...

Chapter #6

Semakin ke Sini, Semakin Aku Paham

            Sore itu, selepas sang surya pamit undur diri dari tugasnya menerangi cakrawala, aku masih duduk termangu di teras rumah. Kupetik gitar coklat kesayanganku yang badannya licin diplitur. Tak lupa aku menatap cantiknya gradasi semburat jingga-biru di ufuk barat. Hari ini aku menginap di rumah A Kou (dalam bahasa Mandarin hokkian artinya : bibi) untuk melepas penat berhubung besok adalah awal libur panjang. Aku memang sangat dekat dengan A Kou sedari kecil. Ketika mama (ibu) dan papa (ayah) sibuk bekerja, aku selalu dititipkan pada A Kou. 

            Rumah A Kou adalah tempat teristimewa bagiku untuk rekreasi. Beliau selalu mempersiapkan sekantong jajanan tradisional kesukaanku sehingga aku tak khawatir perut keroncongan. Rumah seluas 800 mini juga bersebelahan dengan sebuah sanggar seni kecil. Sanggar itu kerap kali mengumandangkan lagu-lagu daerah yang nadanya mendayu-dayu saat sore. Kebiasaanku duduk di teras mendengarkannya sambil memejamkan mata selalu berhasil membuatku tenang. 

            A Kou adalah pendengar yang setia saat aku sedang “siaran” isi hati. Aku selalu dibuat takjub kala beliau menjawab pertanyaanku atau saat beliau melontarkan beberapa kata mutiara. Entah bagaimana beliau selalu punya cara jitu membuatku kagum. Sore ini, aku ingin membuktikan sekali lagi kesaktian A Kou menjawab segudang pertanyaanku.

            Aku yang sedari tadi asyik melamun sambil menatap mahakarya Tuhan yang indah dibuyarkan seketika oleh A Kou.

“Hei! Masih aja suka lihat langit. Langitnya bosen, tuh, lama-lama kamu lihatin terus,” canda A Kou mengusap ubun-ubunku. Di tangan beliau tampak secangkir wedang jahe untukku. Aromanya pekat menguap menembus hidung.

“Eh, A Kou! Hahahaha ... ‘Nggak bakal, lah. Masa dilihatin orang ganteng bosen, sih? Xixixi,” aku nyengir sembari menarik kursi isyarat mempersilakan A Kou duduk di sampingku.

Kami mengobrol sampai lupa waktu. Bahkan sampai bulan pun ikut menyimak percakapan kami. Tiba-tiba suatu hal terlintas di benakku.

“A Kou, A Kou suka dangdut?”

“Wah ... Suka sekali! A Kou bisa berjoget ria sambil menggoyangkan kedua jari jempol. Hahahaha,” beliau mulai akting menutup mata dan joget-joget sendiri seperti ada lantunan melodi dangdut di telinganya.

“Bagaimana A Kou bisa suka? Menurutku dangdut itu norak dan berisik, A Kou. Lebih enak datang ke festival band pop mancanegara daripada menghadiri konser dangdut,” aku berargumen.

“Loh, loh ... Kamu salah besar! Bule-bule yang mampir ke Indonesia aja bisa terkagum-kagum mendengar uniknya dangdut. Kamu ‘nggak tau kalau dangdut itu musik khas kebanggaan Indonesia? Seperti judul lagu band Project Pop-Dangdut is The Music of My Country. Kita musti bangga, dong. Budaya Indonesia bisa dikenal sampai ke dunia internasional,” tutur A Kou menggebu-gebu.

“Hmmm ... Kenapa A Kou sangat cinta budaya Indonesia? Padahal A Kou, kan, tidak sepenuhnya berdarah Indonesia.”

A Kou tersenyum simpul, “A Kou lahir dan dibesarkan di tanah Indonesia. Jadi, Indonesia sudah mendarah daging bagi A Kou. Ya, inilah Indonesia. Dari ujung barat sampai ujung timur, punya berjuta keragaman suku, adat, budaya, dan kekhasan masing-masing. Namun pada dasarnya kita adalah satu. Baik budaya lokal asli Indonesia maupun budaya hasil akulturasi dengan budaya luar, bila semua sudah diakui sebagai budaya bangsa, maka ya, itu budaya kita.”  

“Berarti barongsai juga budaya Indonesia dong, A Kou?” aku penasaran sembari menatap A Kou dalam-dalam.

“Oh, iya tentu! Dulu sempat, sih, dilarang untuk tampil karena situasi politik di Indonesia sedang genting. Tapi sekitar tahun 1998, barongsai kembali dimunculkan. Bahkan sekarang barongsai sudah diakui oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia. Barongsai Indonesia sering meraih kejuaraan tingkat dunia, lho.”

“Wow ... Sepertinya A Kou tahu banyak ya, tentang budaya Indonesia. Aku penasaran. Selain barongsai apa lagi budaya lain hasil akulturasi dengan budaya manca, A Kou?” aku mulai antusias.

“Nah, contoh yang paling dekat sekarang adalah benda yang kamu bawa saat ini. Gitar!” A Kou menunjuk gitar kesayanganku dengan berbinar-binar.

“Gitar?” aku bingung.

“Iya, gitar. Gitar berasal dari mancanegara. Awalnya nama gitar kan, diambil dari nama alat musik petik kuno di wilayah Persia. Lalu ada juga gitar yang berasal dari Romawi dan Spanyol. Nah, sekarang kesenian musik daerah Indonesia sudah banyak yang berkolaborasi dengan gitar, misalnya kendang, seruling, dan sebagainya. Seperti yang disajikan grup musik Tohpati Ethnomission tahun 2015 di Bentara Budaya Jakarta. Perpaduan alat musik tradisional asli Indonesia dan alat musik barat bisa menghasilkan seni yang indah. Keren, kan?” A Kou menjelaskan.

“Wah, A Kou, ternyata definisi kebudayaan Indonesia lebih luas dibanding yang kupikirkan,” aku menerawang ke langit yang mulai bertaburan gemerlap bintang. 

“Hmm ... Sudah malam, kamu tidur dulu aja. Dilanjut besok, ya,” A Kou tersenyum sekali lagi. Aku hanya mengangguk membalas senyum A Kou. Lalu beranjak menuju kamar.

            Seperti dugaanku, hari ini A Kou berhasil lagi menjawab semua pertanyaanku. A Kou yang kukenal memang sedari dulu sangat mencintai budaya Indonesia. Sejak kecil aku selalu diajak bermain dakon, gundu, layang-layang, petak umpet, dan permainan lain asli Indonesia setiap kali aku singgah di kediaman beliau. A Kou juga sering menyetel lagu-lagu anak yang berisi amanat untuk mencintai rupiah, rajin sekolah, gemar menabung, melestarikan tari-tarian Indonesia, dan lain-lain. Saat tidak sibuk, A Kou selalu mengajakku berjalan ke sanggar seni sebelah rumah. Biasanya sekadar untuk melihat para penari remo atau jaranan berlatih sebelum tampil di acara-acara tertentu. Atau melihat para perupa berkumpul untuk melukis di satu ruangan. Saking seringnya ke sana, sampai ada beberapa penari dan perupa yang hafal denganku. Aku pernah ditawari belajar membatik dengan canting dan malam. Juga sesekali diminta mengikuti gerakan para penari yang lincah saat sedang latihan. A Kou membuat 18 tahunku erat dengan kenangan bersama budaya Indonesia.

            Keesokan paginya, aku sudah berjanji pada adikku untuk mengantarnya ke acara fashion week. Dia memang peminat dunia busana. Cita-citanya ingin memiliki merk busana sendiri. Setiap ada fashion week di kota kami, ia selalu merengek minta diantar layaknya bocah bayi meminta susu. Ya, mumpung hari ini aku senggang, aku turuti kemauannya. Lagipula ini demi masa depan seorang gadis yang masih berusia 15 tahun. 

            Aku tergesa-gesa turun tangga dari kamar lantai atas rumah A Kou. A Kou memperhatikanku yang sedari tadi mondar-mandir seperti setrika.

“Kamu jadi mengantar adikmu?” tanya A Kou.

“Iya, A Kou. Aku pamit. Dari sini aku langsung menjemputnya di rumah. Mama papa juga sedang di luar kota. Jadi dia sendiri di rumah. Kasihan, sudah kesepian masa keinginannya ditolak juga? Hahaha,” aku mencium kening A Kou yang duduk di sofa. Sudah merupakan kebiasaanku dari kecil saat berpamitan pergi. 

Pandangan A Kou tertuju pada lengan tangan kiriku, “Loh itu kemeja batik kamu kenapa? Kok dijinjing begitu saja? ‘Nggak dipakai?”

“Hehehe ... ‘Nggak, A Kou. Tadinya, sih, pengin pakai. Tapi kata si adik pas ditelepon, jangan. Masa ke acara trendy bajunya ‘nggak trendy? Gitu deh, katanya,” aku menjelaskan.

“Hmm ... Gini deh, kamu tetap pakai kemeja batikmu itu saja. Hari ini A Kou ikut boleh, ya?” pinta A Kou.

“Boleh, A Kou. Aku ganti baju lalu panaskan mesin mobil dulu, ya. Sambil nungguin A Kou ganti baju juga,” A Kou mengangguk setuju. Selang beberapa menit, A Kou keluar rumah sudah menggunakan dress selutut bermotif batik yang cantik. Aku yang enggan bertanya langsung saja mempersilakannya masuk ke mobil. Mobilku pun melaju. 

            Setengah jam kemudian kami sudah sampai di depan rumahku. A Kou minta turun sebentar untuk menemui adikku. Saat kami masuk ke dalam rumah, adikku langsung tercengang melihat dress A Kou dan kemejaku yang senada, sama-sama bermotif batik.

Dress A Kou modelnya bagus banget. Tapi, A Kou yakin mau pakai batik ke fashion week?” bocah 15 tahun itu mengerutkan dahinya sambil berkacak pinggang. 

“Udah ... Kamu cepat ganti pakai batik juga sana. Biar dipandangnya serasi gitu, loh,” A Kou mendorong bocah itu kembali ke kamarnya. Lima menit kemudian adikku keluar dengan atasan dan bawahan batiknya. Lalu kami bertiga segera cabut ke TKP. 

            Betapa terkejutnya kami. Baru saja kami turun dari mobil, banyak penikmat busana terkemuka asal luar negeri menyoroti tampilan kami. Pun beberapa wartawan yang “mangkal” di situ tiba-tiba menyerbu kami dan antusias menanyakan perihal batik yang kami gunakan. Mereka mengaku salut karena masih ada orang yang mau melestarikan budaya khas Indonesia. 

            Kami duduk pada kursi-kursi di pinggir panggung catwalk yang panjang. A Kou terkekeh melihat adikku yang tak berhenti senyum-senyum sendiri lalu menyenggol lengannya.

“Gimana? Masih malu pakai batik? Masih menganggap batik ‘nggak trendy?” goda A Kou. Adikku tertawa dan menggeleng sedetik kemudian.

           Saat fashion show dimulai dan para model mulai keluar berlenggak-lenggok di atas panggung, adikku membulatkan matanya tak percaya. Hampir semua model mengenakan busana bermotif batik. Tampak beberapa batik yang bercorak wayang, ikon-ikon wilayah di Indonesia, dan motif burung Garuda Pancasila. Ia cepat-cepat mendokumentasikan pada kamera digitalnya. Setelah semua model kembali ke belakang panggung, giliran desainer-desainer busananya yang tampil di atas panggung. Dari penuturan salah satu desainer, kami baru ngeh kalau tema fashion week kali ini adalah batik. Para desainer itu sengaja launching tema batik karena pertimbangan mereka terkait isu batik yang mulai tenggelam di dunia busana. Mereka ingin memunculkan kembali eksistensi batik di kalangan masyarakat Indonesia. Harapannya agar batik mendunia. Di akhir sambutan, para desainer ingin memberi penghargaan kepada tamu dengan busana paling menginspirasi hari itu.

             Betapa terkejutnya ternyata penghargaan itu diberikan pada kami bertiga. Kami berpandangan lalu tertawa mengingat kejadian tadi pagi. Ya, begitulah hari ini A Kou berhasil lagi membuatku mengerti. Tak hanya aku, bahkan adikku juga. Kami berdua semakin jatuh cinta pada budaya Indonesia.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Special Content - Bejana Indah Buatan Ajik dan Biyang
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan