9+ // Bagian 9

2
0
Deskripsi

Jangan lupa dukung saya, ya! Terima kasih banyak :)

Wisuda

Ketika pagi menyingsing, seperti biasa aku merasakan ada pergerakan lain dari wanita di sampingku. Semalam setelah adegan menangis tersedu-sedu, kamipun mulai lelah dan terlelap.

Sekarang aku lebih tahu seperti apa keadaan batin Anya setelah mendengar cerita itu. Pemikiran tentang perilaku Fabian sekarang lebih jelas dalam benakku. Aku sudah tidak menerka-nerka lagi.

"Sudah bangun?"

Aku tersenyum ketika melihat Anya mulai membuka matanya pelan, tidak seperti biasanya, kami terbangun dengan posisi saling berhadapan tidak saling berpelukan.

Setelah agak sadar, Anya membalas senyumanku. Aku mengusap kepalanya pelan, aku sudah tidak tahu lagi mengapa aku bisa dengan yakin ingin merawat wanita di hadapanku ini. Aku dan Anya hanya sebatas teman main, kami sama sekali tidak dekat. Kami bisa sedekat ini juga karena kejadian Fabian itu.

"Kenapa dahimu berkerut? Kamu sedang memikirkan apa, Ale?"

Aku menggeleng, lalu menarik Anya ke dalam pelukkanku. Sepertinya memeluk Anya adalah hobi baruku, entahlah, aku merasa nyaman ketika memeluk wanita ini, aku merasa ... utuh.

"Aku akan terus berada disini, memelukmu seperti ini Anya. Aku akan terus berada di samping kamu, jangan takut, oke?"

Anya mengangguk dalam pelukkanku. "Terima kasih banyak Ale, aku sudah tidak tau lagi kalau tidak ada kamu disisi aku."

====

Anya sedang membaca majalah masakan ketika aku membuat jus alpukat. Ketika selesai dengan kesibukan membuat jus, kemudian aku membawa dua gelas jus alpukat itu untuk aku dan Anya.

Aku menghampiri Anya yang sedang duduk di ruang santai. Dia menoleh sejenak lalu kembali terfokus pada bacaannya.

"Nih diminum, jus alpukat baik untuk kandungan kamu. Juga bisa membantu mengurangi rasa mual."

Aku menaruh segelas jus alpukat ke atas meja, tepat di samping tangan Anya yang sedang membolak-balikkan halaman majalah. Sedangkan aku duduk tidak jauh dari Anya, satu kakiku aku naikkan keatas sofa. Aku hanya memperhatikan Anya sembari meminum jus alpukatku.

"Terima kasih Ale."

Lalu Anya meminum jusnya, hanya dua teguk lalu kembali terfokus dengan majalah. Aku tidak tahu apa yang sedang dicari oleh Anya, hanya saja memperhatikan Anya seperti ini dapat membuat senyum dalam wajahku terkembang.

"Ih, Ale kamu dengerin aku nggak, sih?"

Aku mengerjapkan mata ketika Anya memukul kakiku. Memperhatikan Anya membuatku tidak sadarkan diri. Sepertinya tadi aku sedang berada di khayangan, dimana para bidadari tinggal.

"Maaf, kamu bilang apa tadi?"

Anya mendengus, dia mengerucutkan bibirnya. Lalu kembali mengungkapkan apa yang ingin dia ungkapkan tadi.

"Tadi aku tuh minta pendapat kamu, kan rencana aku mau buka catering tapi sasarannya anak muda gitu, yang kekinian. Nah, what do you think, Le?"

Aku berpikir untuk beberapa saat, Anya memang pandai memasak, itu adalah salah satu nilai plus Anya. Emm, menurutku tidak ada salahnya jika dia ingin menjalankan bisnis makanan semacam itu.

"Kalau aku sih, yes, asalkan kamu bisa konsisten aja sih. Aku dukung apapun yang ingin kamu lakukan, Anya. Asalkan kamu senang, aku pun ikut senang."

Dan aku pun menutup perkataanku dengan senyuman.

"Kamu loh selalu baik sama aku, terima kasih banyak ya Ale."

Lalu Anya berhambur kedalam pelukkanku. Dia kembali ceria, aku tidak lagi melihat Anya yang suka merenung dan melamun. Yang ada hanya tersenyum dan terus tersenyum.

Benar. Aku akan senang jika Anya senang. Aku akan selalu mendukung apapun yang ingin dilakukan Anya, asalkan itu masih dalam kiblat positif.

====

Tidak terasa sudah satu bulan aku satu atap dengan Anya. Itu menandakan, wisuda telah menunggu di depan pintu.

Hari ini aku dan Anya sudah disibukan dengan berbagai kegiatan persiapan wisuda, mulai dari make up hingga pakaian yang akan dikenakan. Anya memakai kebaya berwarna pink, sedangkan aku lebih memilih untuk memakai kebaya berwarna biru.

Papa dan Mama sudah menunggu di ruang tamu, mereka berdua sedang bercakap-cakap dengan Om Anwar dan Tante Irene, sedangkan Ello sibuk mendokumentasikan kegiatan aku dan Anya. Walaupun aku sudah melarang Ello untuk tidak mengambil potret diriku, tetapi Ello tetap mencuri potretku. Untung Ello ganteng, jadi ya nggapapa lah ya.

Ohya, aku ingin bercerita sedikit tentang seorang perempuan cantik. Melihat Ello, aku jadi teringat Kakak perempuanku. Dia bernama Ghea.

Kak Ghea suka sekali mendokumentasikan apapun yang sedang terjadi. Aku pernah sampai kesal dengan perilaku Kak Ghea yang suka merekam diriku. Selain menyukai dunia video, Kak Ghea juga menyukai kebebasan. Dia tidak pernah mau dikekang. Tetapi sayangnya, kebebasan itu merenggut nyawa Kak Ghea. Kak Ghea meninggalkan aku dari dunia ini karena kecelakaan mobil yang menimpanya tiga tahun yang lalu.

Aku sangat sedih dan terpukul, namun hidup terus berjalan bukan? Jadi aku tidak mau terkungkung dalam kesedihan, makanya aku memilih kuliah yang jauh dari orang tua. Ya sebenernya nggak jauh juga sih, cuma di Jakarta Timur, sedangkan rumahku di Jakarta Selatan.

"Jangan melamun Kak Ale, ayo bilang chees!"

Aku tersadar dari lamunanku ketika sosok Ello kembali muncul dihadapanku. Aku tersenyum, lalu menutup lensa kameranya dengan tanganku.

"Sudah ku bilang jangan merekam diriku. Dasar anak nakal."

Lalu aku pergi meninggalkan Ello yang tertawa bahagia. Aku berjalan keluar kamar menghampiri kedua orang tuaku dan kedua orang tua Anya, karena aku sudah terlebih dahulu siap.

====

Akhirnya sesi wisuda kami selesai juga, Anya mendapat predikat cumlaude. Dengan IP mendekati sempurna. Itu sudah bukan rahasia lagi sih kalau Anya itu cerdas. Sedangkan aku? Meski tidak mendapat predikat cumlaude, setidaknya IP-ku masih sangat membanggakan keluarga, 3.45. Hampir cumlaude bukan?

"Aduh Anya gue tersayang, lo kemana aja sih? Gue telpon, chat, sms nggak pernah lo gubris. Jadi gini lo nganggap gue sebagai sahabat? Tega lo!"

Bukannya memberi selamat karena sudah mendapatkan gelar secara resmi, Cindy malah menghujani Anya dengan uneg-unegnya yang sepertinya sudah disimpan lama.

"Aturannya lo tu ngucapin selamat dulu baru nyerocos marah-marah, bukannya ngasih selamat malah nyerocos kek kereta lo!"

Anya tersenyum ketika mendengar celotehan Cindy. Sedangkan Bila hanya memegang bahu Cindy untuk menenangkan.

"Diem lo, jangan ikut campur, ini urusan gue sama Si-Nyonya-Anya."

"I-D-I-H!"

Anya dan Bila geleng-geleng melihat tingkah laku Cindy denganku. Aku dan Cindy memang sudah biasa berperilaku abnormal seperti ini.

"Congrats ya Nya, lo bisa dapet predikat cumlaude dan menjadi mahasiswi teladan. Gue sebagai temen bangga sama kerja keras lo."

Bila tersenyum, dan memeluk Anya dengan sayang. Aku pun ikut tersenyum melihat pemandangan itu. Tapi tidak berselang lama, aku kembali menatap Cindy yang berdiri disampingku.

"Nah kek Bila gitu loh, bener. Ngasih ucapan selamat bukan malah marahin. Parah lu, Ndy."

Cindy menatapku dengan sinis, lalu menarik Bila dari dekapan Anya.

"Udah jangan lama-lama pelukannya, kek teletubis kalian. Sekarang jelasin ke kita kenapa lo menghilang seperti ditelan bumi!"

Anya hanya tersenyum kearah Cindy. Sedangkan aku waswas jika saja Anya mulai tidak nyaman dengan keberadaan temanku, Cindy.

"Gue cuma lagi sakit aja Ndy, jadi gue nggak pernah pegang hp. Tanya tuh sama Ale. Dia tahu kok kalau gue nggak pernah pegang hp, jadi mana sempet gue gubris semua perhatian lo."

Sekarang giliran Bila yang menatapku dengan sinis, ohya, ditambah Cindy. Sedang Anya hanya tersenyum. Senyuman itu kurang lebih artinya seperti ini; 'Tolong bantu urusin temen-temen kamu ini, aku nggak bisa ngurus mereka sendirian, aku juga nggak yakin bisa cerita ke mereka, aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk cerita.'

Aku menghela nafas. Lalu mulai angkat bicara. Tapi kok aku kesel ya sama sikap Anya. Dia kok mengumpankan aku ke kandang singa.

"Iya, Anya itu nggak pernah pegang hp, dia tuh lagi sakit. Kata dokter dia harus menjauhi sumber kekacauan, nah gue rasa lo itu sumber kekacauan, Ndy."

Cindy memukul lenganku keras-keras. "Mulut lo, Le! Bikin kesel!"

Aku hanya terkekeh, lalu Bila menimpali. "Katanya lo mau cerita tentang Anya, nyatanya sampai kita di wisuda lo nggak pernah cerita Le tentang Anya. Anya juga gitu, kenapa sih lo nyembunyiin sesuatu dari gue dan Cindy? Emang apa bedanya gue, Cindy sama Ale? Kok Ale lebih dapet perilaku VIP daripada gue yang sekelas sama lo, Nya?"

Aku menepuk jidatku pelan, aku mulai merasa situasi ini mulai memanas. Sedangkan Anya hanya tertunduk. Karena mengerti dengan situasi Anya, akhirnya aku angkat bicara lagi.

"Mungkin ini belum saatnya, Ndy, Bil. Anya masih butuh waktu untuk cerita, lagian nih ya kita kan baru aja diwisuda, kenapa kita nggak have fun aja, sih, daripada marah-marah nggak jelas gini? Nanti kalau udah waktunya, Anya pasti cerita kok, ya kan, Anya?"

Anya mengangguk, Bila dan Cindy pun ikut mengangguk. Sepertinya mereka menyetujui perkataanku. Huh, akhirnya masa menengangkan dengan Cindy dan Bila berakhir juga.

"Tapi lo, lo pada kudu janji cerita, oke? Karena gue sebagai teman nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama lo, Anya. Gue sama Bila itu sayang sama lo."

Anya mengangguk, dia menatap Cindy dan Bila bergantian.

"Iya gue janji, maaf gue nggak bisa cerita sekarang. Next time gue bakal cerita."

Lalu setelah itu Cindy mengangguk mengerti. Kemudian Cindy memberikan pelukkan hangat untuk Anya, dan disusul oleh Bila. Karena tidak mau kalah, aku pun ikut memeluk Anya.

=====

The New Life

Ketika aku keluar dari perusahaan ketiga yang aku tolak, ponselku berdering. Panggilan dari Anya. Wanita itu kini lebih menyebalkan dari biasanya. Aku maklum karena dia sedang hamil, jadi mood-nya tidak stabil. Tapi, boleh tidak aku kesal dengan sikapnya?

"Ada apa, Anya?"

"Kamu dimana? Aku nitip beliin ayam pop Kang Maman dong. Boleh?"

Aku menghela nafas ketika mendengar apa yang diinginkan Anya. Ini sudah ketiga kalinya dia menginginkan sesuatu yang letak tempatnya jauh. Anya memang tidak ngidam yang aneh-aneh, namun ngidamnya itu yang jauh-jauh!

Kemarin malam, tepat pukul dua belas, Anya membangunkan aku. Dia meminta untuk dibelikan oseng-oseng mercon yang berada di daerah Grogol. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, dan mendengar apa yang diinginkan Anya sontak membuat mataku membulat sempurna.

Ngidam kok nggak kira-kira!

Terpaksa aku harus menolak, karena aku tidak setuju dia memakan makanan pedas dimalam hari terlebih lagi Grogol jauh dari kontrakanku. Anya memberengut, dia bilang itu karena bayinya. Tetapi aku tetap kekeh untuk tidak membelikan. Akhirnya Anya cemberut dan kembali tidur.

Karena merasa bersalah, kemudian aku memeluk Anya dan memberitahukan padanya bahwa makan makanan pedas dimalam hari itu tidaklah baik. Tetapi Anya tetap marah, akibatnya, sampai siang hari dia mendiamiku.

Benar-benar, keadaan wanita yang sedang hamil dua setengah bulan itu luar biasa sikapnya. Kesabaranku benar-benar diuji. Aku tidak pernah menyangka jika akan berurusan dengan wanita hamil seperti sekarang ini.

"Ale, kok diem aja? Boleh apa enggak? Kalau enggak, yaudah aku nggakpapa."

"Eh-- Em, oke. Nanti aku beliin."

"Terima kasih Ale. Hati-hati dijalan ya. Jangan ngebut-ngebut, inget ada aku dan dedek yang nungguin."

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Anya, dia memang seperti itu. Terkadang aku merasa geli ketika Anya mengatakan itu, terdengar seperti aku ini suami Anya, dan Anya adalah istriku. Lucu kan? Tapi aku menyayangi wanita ajaib itu.

====

Dua jam setengah sudah aku habiskan untuk perjalanan dari PT. Manuver ke warung ayam pop Kang Maman yang berada di Bekasi. Mau beli ayam pop aja sudah berasa seperti ingin menemui Tante Irene, Ibu Anya.

Jika bukan karena Anya sedang ngidam, pasti aku tidak akan mau jauh-jauh ke Bekasi untuk membeli ayam pop, mana jalanan macet parah lagi. Jelas aku tidak akan mau. Gila nggak sih?

Sesampainya di rumah, Anya sudah menyambut kedatanganku dengan senyumannya yang sangat manis.

"Welcome home, Ale. Mana pesanan aku?"

Aku memberikan bungkusan plastik putih untuk Anya, lalu duduk disofa, melepas jaket, dan heels yang aku pakai. Lalu mengikat rambut, dan merebahkan punggung di senderan sofa.

Ah, ini enak sekali.

"Gimana tadi interviewnya? Diterima?"

Aku menggeleng, lalu membenarkan posisi dudukku. Anya duduk disampingku, sambil memakan ayam pop yang aku belikan. Dia memakan ayam pop itu dengan bahagia.

"Yang sabar ya, Le. Mending kamu itu bantuin catering aku aja, daripada ngelamar sana ngelamar sini enggak diterima. Ngelamar di aku, malah langsung ketrima."

Aku menghela nafas, lalu mengarahkan tangan Anya yang memegang garpu dengan ayam dipucuknya kearah mulutku. Sambil mengunyah, aku menjawab.

"Sebenernya, aku diterima. Tapi Bapak HRD-nya kurang ajar. Jadi, aku nggak mau nerima. Aku nggak mau kerjasama dengan orang kurang ajar."

"Ha? Kurang ajar gimana? Kamu diapain?"

"Masa waktu Bapaknya bilang 'Selamat, kamu diterima menjadi karyawan disini. Kamu bisa mulai kerja besok pagi.', terus kita salaman. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan tatapan Bapaknya. Enggak lama, dia mengelus tanganku, lalu merembet ke kakinya yang mengelus betisku. Ya aku marah dong, terus aku teriak, maki-maki Bapaknya. Dan aku bilang kalau aku nggak akan pernah mau kerja di perusahaan itu. Perusahaan besar tapi kok punya HRD kurang ajar. Idih."

Anya menatapku dengan tidak percaya, aku tidak tahu dia tidak percaya dengan sikapku ke Bapak genit itu atau karena sikap Bapaknya yang kurang ajar ke aku.

"Tapi kamu nggakpapa, 'kan?"

"Iya, aku enggak kenapa-napa kok, tenang aja."

"Syukurlah kalau begitu. Jadi, kamu masih mau cari kerja lagi apa gimana?"

Aku berpikir sejenak, karena sudah tiga kali aku melamar dan tidak ada yang cocok denganku.

Perusahaan yang pertama, aku diterima, namun karena tidak ada jenjang karir yang bagus, aku menolak. Padahal aku kira perusahaan itu memiliki jenjang karir yang bagus, makanya aku meng-apply pekerjaan disana, tetapi rupanya aku salah.

Sedangkan perusahaan yang kedua, Sebenarnya bagus, namun aku tidak suka dengan suasana kantor yang terlalu serius, seperti bukan aku banget gitu. Jadi, kembali aku tolak.

Nah sedangkan yang ketiga, yang baru saja ini. Sebenarnya jenjang karir disana sangat menjanjikan. Suasana kantor juga cair dan menyenangkan, namun lagi-lagi terpaksa aku tidak mengiyakan kerjasama itu, karena ya itu tadi, aku tidak suka bekerja dengan orang yang kurang ajar terhadap orang baru.

"Sepertinya, aku ambil S2 di Toronto atau London. Papa pernah nawarin aku kesana kalau aku belum dapet kerja dan berubah pikiran. Tapi...."

Aku sengaja menggantung kalimatku, Anya terlihat kesal karena aku menggantung kalimatku.

"Tapi apa?"

Aku tersenyum, lalu berkata, "Tapi aku mau bantuin usaha catering kamu dulu, baru aku berangkat untuk ambil S2."

Diakhir kalimat, aku menyentil pucuk hidung Anya. Kemudian, wajah wanita itu menjadi cerah seketika. Dia pasti berpikir kalau aku akan meninggalkannya, tapi rupanya dugaan wanita itu salah. Aku tidak akan meninggalkan Anya sebelum dia melahirkan buah hatinya.

Aku sudah berjanji untuk menemani Anya hingga bayi itu lahir, jadi aku tidak akan mengingkari janjiku. Karena yang namanya janji harus ditepati, bukan?

"Aku pikir kamu bakal ninggalin aku, aku udah mau maki-maki kamu kalau kamu sampai ninggalin aku. Kan kamu udah janji mau nemenin aku!"

Aku tersenyum, lalu bergeser sedikit mendekati Anya. Aku mengambil wadah sterofoam yang dia bawa, lalu menaruhnya diatas meja. Kemudian aku memegang kedua tangan Anya. Dengan menatap mata Anya, aku berusaha mengatakan bahwa aku tidak bisa tanpa kehadiran Anya disampingku. Karena Anya adalah poros hidupku.

"Dengarkan aku baik-baik, Anya. Aku tidak akan pernah ingkar janji. Kalaupun buah hati kamu sudah lahir, if you say 'stay with me', i will do it, Anya. Aku hanya tidak mau kamu merasa sendirian, karena sesungguhnya ada aku disini yang dengan senang hati menemani kamu."

Anya meremas kedua tanganku, dia menatapku dengan tatapan berterima kasih. Buliran air mata itu kemudian jatuh menuruni pipinya lalu melewati bibir merahnya. Satu tanganku yang diremas sengaja aku lepas, kemudian jari jemari ini bergerak naik untuk menghapus buliran air itu.

Aku mengusap pipinya, kemudian turun ke bibirnya. Aku tersenyum. Lalu entah apa yang dipikirkan Anya, dia mendekatkan wajahnya, dan mengecup lembut ujung bibirku. Ini adalah kali pertama aku dicium oleh orang lain selain Mama. Jadi seperti ini rasa dicium oleh orang yang aku sayang selain Mama aku?

Kecupan itu hanya sebentar. Lalu Anya memelukku, dia membisikkan kata-kata yang dia rangkai menjadi sebuah kalimat tepat ditelingaku.

"Terima kasih Ale, aku menyayangimu. Aku tidak pernah tau apa jadinya aku jika tidak bertemu denganmu. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menerima keadaanku yang seperti ini."

Aku mengangguk didalam pelukkan, "Dengan senang hati, Anya. Aku juga tidak akan pernah tau apa jadinya kamu jika tidak bertemu dengan aku. Aku juga menyayangimu."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
9+
Selanjutnya 9+ // Bagian 10
2
0
Jangan lupa dukung saya, ya! Terima kasih banyak :)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan