9+ // Bagian 6

2
0
Deskripsi

Jangan lupa dukung saya, ya! Terima kasih banyak :)

Day-14+1

Pukul sepuluh pagi, aku sudah bersiap untuk mengantarkan Anya pulang ke Bekasi. Selama setengah jam aku menunggu Anya di ruang tamu, sedangkan Anya masih berada di dalam kamar. Entah apa yang dia lakukan.

Karena tidak mau menunggu lebih lama lagi, aku memutuskan untuk menghampiri Anya. Di dalam kamar, Anya duduk merenung di pinggiran ranjang. Aku hanya menghela nafas melihat itu, pasti ada yang mengusik pikirannya. Aku mendekati wanita itu dan duduk di sebelahnya.

"Ada apa, Anya? Kalau kamu tidak yakin, kita ke Bekasi-nya kapan-kapan aja ya?"

Anya menggeleng, dia menatapku dengan tatapan yang menyedihkan. Aku melihat ada keraguan dalam manik matanya. Aku memang tidak berada di posisi Anya sekarang, tetapi aku sangat tahu berhadapan dengan orangtua itu memang memerlukan tenaga dan kesiapan yang ekstra apalagi datangnya dengan membawa beban.

"Beri aku waktu beberapa menit lagi, Ale. Aku hanya butuh untuk menenangkan pikiranku. Jika pikiranku tenang, hatiku pasti ikut tenang."

Aku mengangguk, lalu menggenggam tangannya dengan erat. Aku berharap genggaman tanganku dapat men-transfer energi positif untuk Anya. Lalu setelah itu aku keluar kamar, menunggu Anya di ruang tamu.

Sebelum ke Bekasi, aku sengaja mampir ke rumahku yang berada di Jakarta Selatan untuk menemui Papa dan Mama. Em sebenarnya bukan untuk menemui mereka, sih. Aku datang hanya untuk meminjam mobil. Karena tidak mungkin aku ke Bekasi naik kendaraan umum, karena untuk sekarang keramaian tidak cocok untuk Anya.

Perjalanan dari Jakarta Selatan ke Bekasi membutuhkan waktu sekitar dua jam karena terjebak macet. Lama-lama kota Jakarta makin panas dan makin ramai. Kadang aku ingin pergi dari kota ini. Aku sudah lelah dengan kemacetan dan kerusuhannya.

Sepanjang perjalanan Anya diam tidak banyak bicara, sesekali dia akan menatapku, tetapi kebanyakan dia memandang keluar jendela. Aku dapat menangkap kecemasan yang bercampur dengan gugup. Aku tahu pasti Anya memikirkan respon dari orangtuanya.

Aku tidak tahu seperti apa sifat kedua orangtua Anya, yang aku tahu hanya Anya dan keluarganya itu memiliki hubungan yang hangat.

====

Sesampainya di kediaman Anya, wanita itu tidak langsung turun. Dia masih diam seperti tidak ingin turun. Mengerti dengan keadaan Anya, aku kembali menggenggam tangannya dengan erat.

"Kamu tidak sendirian, Anya. Ada aku disini."

Anya membalas genggamanku, dia menatapku. Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepala. Seolah menerima energi positifku, Anya melepas genggamanku lalu turun dari mobil, aku mengikuti apa yang dilakukan Anya.

Setelah itu di depan rumah kami disambut oleh Akang tukang kebun.

"Eh Non Anya, makin geulis aja sih."

"Ah Akang mah bisa aja. Ohya ini kenalin temen Anya. Ale."

Aku mengulurkan tanganku kepada Akang tukang kebun, sebelum menerima uluran tanganku, Akang itu mengusapkan kedua tangannya ke bajunya. Lalu setelah itu menerima uluran tanganku.

"Kang Bowo, tukang kebun disini. Eleh eleh temen Non Anya geulis juga nyak."

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Kang Bowo, setelah melewati sesi perkenalan itu, kami pamit dengan Kang Bowo untuk masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah aku kembali di perkenalkan oleh Anya. Adik laki-laki Anya yang bernama Ello menerimaku dengan baik. Ayah dan Ibu Anya juga menyambutku tidak kalah ramah. Mereka semua senang akan keberadaanku.

====

Saat itu setelah makan malam, aku diajak Ello untuk melihat bintang di halaman belakang. Tanpa menolak, aku mengikuti Ello, adik Anya yang bertubuh atletis. Saat ini Ello sedang mengenyam bangku pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bekasi. Parasnya tampan, alisnya tebal, dan dia sangat lucu. Pasti di sekolah dia menjadi idola para wanita.

Kalau dilihat-lihat lagi Ello ini sangat mirip dengan Ibunya. Sedangkan kalau Anya lebih condong mirip dengan Ayahnya.

"Kak Anya sering loh nyeritain tentang Kakak."

Ketika aku sedang memandangi langit malam, Ello membuka percakapan dengan penuturannya tentang rahasia Anya. Aku menoleh karena terkejut. Seorang Anya menceritakan tentang aku ke adik kandungnya?

"Ohya?"

Ello mengangguk mantab, "Iya, katanya, Kakak itu baik, keren, pinter, bijaksana. Kak Anya aja sampai mengidolakan Kakak."

Aku tersenyum mendengar pengakuan dari Ello. Jadi selama ini Anya mengidolakan aku? Jadi selama ini aku menjadi bahan obrolan kakak beradik ini?

"Terus apa lagi yang Kak Anya bilang?"

"Katanya Kakak itu beda, nggak kayak temen-temen Kak Anya yang lainnya. Kakak itu berpikiran luas, terus kalau ada sesuatu Kakak itu langsung tanggap nggak banyak ngomong, nggak banyak nanya tapi langsung melakukan sesuatu yang dapat membantu orang lain."

"Kak Anya bilang begitu?"

Ello mengangguk. Dia mengupas kacang kulit lalu memakannya dengan lahap. Aku mulai tertarik dengan pembahasan ini, karena menyangkut tentang kredibilitasku di mata Anya. Aku berhak tahu seperti apa Anya memandangku, bukan?

"Iya. Tapi kalau aku lihat-lihat, Kakak emang keren. Dari pertama aku lihat Kak Ale, aku aja langsung suka. Kak Anya beruntung bisa temenan sama Kak Ale."

Aku menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal mendengar perkataan Ello barusan. Bisa saja laki-laki ini memujiku.

"Ah kamu bisa aja. Aku nggak sekeren itu kok. Masih kerenan kamu."

Lalu obrolan kami terhenti ketika mendengar suara gelas yang terjatuh. Suara itu berasal dari ruang santai. Mungkin Anya sudah mulai menceritakan tentang kisahnya.

Mendengar itu Ello bangkit berdiri hendak melihat apa yang terjadi, namun aku menahan lengannya. Aku tidak tahu mengapa menahan langkah Ello, itu terjadi begitu saja tanpa aku sadari.

"Kenapa Kak? Aku ingin melihat apa yang terjadi di dalam."

Aku menggeleng, lalu melepaskan genggaman tanganku. Kemudian Ello berlari memasuki rumah. Aku menghela nafas. Aku hanya berharap agar Anya kuat menghadapi respon dari kedua orang tuanya.

"Kak Ale, ayo masuk! Kenapa masih duduk disitu?"

Aku mendongakkan kepala, Ello masih berada diambang pintu, dia belum benar-benar masuk ke dalam rumah. Apa dia sedang menungguku? Dia ingin aku ikut masuk ke dalam?

"Iya, aku kesana."

====

Di dalam rumah, tepatnya di ruang santai. Anya duduk dengan menundukkan kepala. Om Anwar berdiri di hadapan Anya, sedangkan Tante Irene terduduk di samping Om Anwar sambil terisak hebat.

"Katakan pada Ayah siapa laki-laki itu, Anya!"

Anya tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ayahnya. Dia hanya terisak. Aku yang melihat itu tidak berani mendekat, karena menurutku ini adalah masalah keluarga, jadi tidak baik jika aku ikut campur.

Ello yang berdiri di sampingku tidak bisa diam ketika melihat kakak perempuannya dibentak oleh Om Anwar.

"Ada apa ini? Kenapa Ayah membentak Kak Anya?"

Ello berdiri tepat dihadapan Anya, tubuhnya yang besar berhasil menyembunyikan sosok Anya di balik punggungnya.

"Minggir Ello, Ayah belum selesai dengan kakakmu."

"Nggak mau! Katakan dulu apa yang terjadi baru aku akan minggir."

Terlihat Om Anwar menghela nafas. Om Anwar akhirnya ikut duduk di samping Tante Irene.

"Oke, duduklah. Ayah akan jelaskan."

Aku hanya melihat kejadian itu dari jauh, aku tidak berani mendekat, meski sesungguhnya saat ini aku ingin sekali menarik Anya ke dalam pelukanku. Aku tidak kuasa melihat Anya yang terisak hebat di samping Ello.

"Kakak kamu yang paling kamu sayangi itu baru saja dinodai oleh laki-laki brengsek. Dan sekarang Kakak kamu tidak mau memberitahu Ayah siapa laki-laki itu."

Setelah Om Anwar selesai menjelaskan apa yang terjadi, Ello ikut tersulut emosinya. Dia menatap tajam ke arah kakak perempuannya. Ello meminta penjelasan ke Anya. Ello ingin tahu siapa laki-laki yang berani menodai kakak perempuannya itu.

"Kak katakan saja siapa laki-laki itu, aku akan memberi perhitungan dengan manusia bejat itu! Kakak nggak boleh bungkam, ini namanya pemerkosaan Kak!"

Terlihat Ello menguncang-guncangkan bahu Anya. Anya masih tidak mau membuka suara. Dia masih saja tertunduk dan terisak. Aku menghela nafas sedih melihat hal itu.

Karena tidak tega melihat keluarga ini menjadi semakin kacau, aku memberanikan diri untuk mendekat dan ikut andil. Keluarga Anya berhak tahu siapa laki-laki itu. Dari apa yang aku lihat, Om Anwar tidak membenci Anya, Om Anwar hanya ingin mengetahui siapa yang telah dengan berani menodai putrinya.

"Fabian, Om. Laki-laki itu Fabian."

Semua orang yang berada di ruang santai sontak menatap kearahku ketika mendengar pengakuanku. Tidak terkecuali Anya. Dia menatapku tidak percaya. Mungkin Anya tidak ingin keluarganya tahu siapa lelaki itu. Tapi untukku, keluarga ini berhak tahu.

"Fabian? Fabian anaknya Pak Ferry?"

Aku mengangguk sembari mendekati Anya. Aku duduk di samping Anya, menggenggam tangannya. Lalu berbisik di telinganya.

"Ada aku disini, Anya, jangan takut. Keluargamu berhak tahu siapa laki-laki itu."

"Brengsek! Ayah kan pernah bilang sama kamu, Anya! Laki-laki itu tidak baik, tetapi kenapa kamu masih mendekatinya?"

"Sudah, Yah, sudah. Jangan memarahi Anya. Dia kan hanya korban."

Om Anwar kembali menghela nafas mendengar perkataan istrinya. Sedangkan kedua tangan Ello mengepal kuat. Aku ikut menghela nafas.

"Ayah akan mengambil tindakan, Ayah ingin keluarga Ferry bertanggung jawab."

Ketika Om Anwar hendak pergi, Anya menahan langkah Om Anwar. Anya melepas pelukanku, lalu berdiri menatap Om Anwar.

"Jangan, Ayah! Aku tidak mau berurusan lagi dengan Fabian!"

Om Anwar menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badan.

"Lalu? Mau kamu apa? Ayah diam tanpa melakukan apapun, gitu?"

Anya hanya menggeleng. Om Anwar kembali duduk di samping Tante Irene. Sedangkan Ello hanya bisa menggeleng tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Anya.

"Yasudah, Ayah tidak akan melakukan apapun. Ayah akan mengikuti permainanmu. Tetapi Ayah tidak akan diam saja jika Ayah bertemu dengan Fabian ataupun keluarganya."

Anya mengangguk lemah, setelah mengatakan itu pada Anya, tatapan Om Anwar berpindah kearahku.

"Alexia, terimakasih karena kamu sudah mau memberitahu siapa laki-laki itu. Terimakasih juga karena sudah mengantarkan Anya bertemu dengan kami. Jika terjadi sesuatu jangan sungkan untuk memberitahu kami."

Aku mengangguk, lalu setelah itu Om Anwar mendekati Anya, menarik Anya ke dalam pelukan hangatnya. Aku tersenyum melihat pemandangan ini.

"Jangan pernah merahasiakan sesuatu dari Ayah dan Ibu ya? Ayah tidak marah denganmu, karena Ayah tau, ini semua bukan karena sama-sama mau, pasti Fabian memaksamu, kan? Jangan bersedih, Ayah akan selalu ada disini untukmu. Kalau ada yang berani menghina kamu karena hamil diluar nikah, bilang saja sama Ayah. Oke?"

"Mereka perlu tau, kalau apa yang kamu alami ini bukan karena kemauan kamu. Mereka yang berani menghina kamu pantas berhadapan dengan Ayahmu, karena kamu bukan bahan olokan. Kamu adalah putri kesayangan Ayah. Mengerti?"

Anya mengangguk dalam pelukan Om Anwar, mendengar perkataan Om Anwar, aku jadi ikut terharu. Rupanya Anya sangat beruntung memiliki seorang ayah seperti Om Anwar. Anya sangat beruntung.

Lalu Ello dan juga Tante Irene ikut mendekati Anya dan memberikan Anya pelukkan hangat. Aku pun tidak ingin kalah. Malam itu kami saling berpelukan, saling memberikan dukungan dan kekuatan untuk Anya. Kami tidak ingin Anya menderita. Karena bukan caci maki yang dibutuhkan Anya, hanya kekuatan dan kepercayaan yang sangat dibutuhkan Anya sekarang ini.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
9+
Selanjutnya 9+ // Bagian 7
3
0
Jangan lupa dukung saya, ya! Terima kasih banyak :)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan