TPN - Pamungkas Seni Langkah Besi

1
0
Deskripsi

Tanah Para Naga 

Bagian 2: Pamungkas Seni Langkah Besi 

AAA!

“Ada apa denganmu, hah?!” bentak Penjaga Perpustakaan Ming dari balik meja setelah melemparkan buku yang tadi lagi ia baca ke arahku, “jangan berteriak-teriak di tempatku, apalagi di siang bolong begini. Dasar, Anak Nakal!”

Hehe, aku tersenyum meresponsnya yang tengah kesal. “Bosan, Kakek Ming …,” kataku kemudian sambil manyun padanya.

“Lantas kau bebas membuat onar di sini kalau sedang bosan, begitu, hah?” rajuknya yang buru-buru menghampiriku dengan rotan di tangan.

Lalu, Plak!

“Apa?” Muka kesalnya kini berganti kaget, lantaran rotan yang ia ayunkan ke arahku telah patah seketika menghantam bahuku. “Kau ….”

“Penjaga Ming, percuma kau ayunkan ‘lidi’ tipis itu,” ledekku sembari merebah ke lantai dan membelakanginya, “ilmu kulit bajaku sudah sempurna, kau tahu. Lihat sendiri, kan?”

Cek! Aku tak tahu apa yang para ‘sepuh’ di padepokan pikirkan. Semua buku perpustakaan ini sudah kuno dan kurang efisien. Setelah tiga hari membaca semua catatan di sini, sama sekali tidak kutemukan teknik maupun jurus baru.

Hoaaam! Bosan sekali cuma sembunyi di padepokan. Cek! Apa aku pergi saja ya? Tapi, jadwal keberangkatan kapal udara ke Benua Baru tinggal dua minggu—hei!”

“Apa?” 

‘Orang tua menyebalkan!’ batinku, “Apa-apaan kau ini, Kakek Ming?” 

Kusemprot ia karena perbuatanya padaku barusan, tapi muka sang penjaga perpustakaan malah tampak abai dan semakin menyebalkan di depanku.

“Bukankah ilmu kulit bajamu sudah sempurna?” Begitu timpalnya, kelihatan amat senang dan puas. “Pasti sangat melelahkan harus terus memadatkan chi ke seluruh permukaan kulit, bukan? Nah, aku hanya ingin membantu mendinginkan tubuhmu, itu saja.”

Sungguh menjengkelkan mendengar orang tua satu ini bicara. 

“Tapi tidak perlu sampai menyiramku seperti ini juga!” protesku, “kau sengaja, kan?” 

Cih! Dasar anak muda zaman sekarang, tak tahu sopan santun,” katanya sambil melengos kembali ke meja di dekat pintu sana, “harusnya kau berterima kasih, Mi.”

‘Hah, aku gak salah dengar? Terima kasih …?’ Hem, baiklah. “Terima kasih, karena sudah membuatku jadi basah kuyup?” 

Puas kau sekarang, Pak Tua.

Dih. ‘Senyum arogan di bibir tipisnya itu sungguh bikin mata iritasi, akh!’ Respons macam apa barusan itu. ‘Aku ingin sekali memukul orang tua satu ini ….’

Sayang cuma bisa ngebatin.

“Aku tahu kau sangat bosan, Mi. Ini, ambilah ….”

Hah? Apa-apaan kau, Pak Tua? Ada apa dengan dirimu, ke mana perginya wajah sombong barusan? Kenapa juga kau tiba-tiba menyodorkan sebuah token padaku?

“Apa itu?”

“Ambil dulu, akan kujelaskan setelahnya!”

Hem. “Baiklah ….”

“Itu adalah token Perpustakaan Leluhur Pendiri—”

“Lalu!”

“Dengar dulu!” pekiknya, “dasar, Bocah Tengik!”

Ya-ya-ya. “Baiklah-baiklah.” Mari dengar apa yang mau orang tua di depanku sampaikan.

“Ehem.” Kenapa kau tiba-tiba pasang pose sok wibawa begitu. “Token itu hanya dipegang oleh orang-orang khusus saja, seperti ini diriku misalnya.” Pret. “Bahkan, ketua perguruan kita pun sama sekali tidak boleh memilikinya. Token itu ada—”

“Gak mungkin!” Aku malas mendengarkan ocehan orang tua ini. “Ketua Sekte, kan—aw!”

“Sudah kubilang, dengarkan!”

Ya baiklah, akan kudengarkan kau sampai selesai. Dasar, Pak Tua!

“Ehem, sampai mana tadi … ah, token itu merupakan warisan langsung dari Perpustakaan Leluhur Pendiri. Sesuatu yang tidak diberikan kecuali pada penjaga perpustakaan seperti diriku, kau paham betapa berharga benda di tanganmu sekarang?”

Hadeuh. “Lantas, apa hubungannya denganku?” 

Aku, sama sekali tidak mengerti apa maksudmu, Pak Tua.

“Aku bukan penjaga perpustakaan sepertimu, juga tak punya niat buat menggantikanmu suatu saat nanti, kau tahu—aduh!”

Bisakah kau berhenti megeplak kepalaku, Orang Tua!

“Siapa juga yang ingin kau gantikan, Bocah? Aku memberikan token itu kepadamu, hanya agar kau cepat-cepat pergi dari sini. Kau tahu, sudah tiga hari tiga malam kulihat dirimu cuma mengurung diri di perpustaka—”

“Terus?”

“Hal itu sangat merusak kedamaian hidupku, Bocah!”

“Ohh.” Kukira kau menyukaiku—malahan.

“Jadi pergilah ke Perpustakaan Leluhur Pendiri, di sini sudah tidak ada lagi buku yang bisa kau baca!”

“Tapi—“

“Lokasinya ….” Dih, ia mengabaikanku. “Ada di puncak Gunung Karang, di balik bukit yang tempo hari kau tersambar petir.”

Eh? Bukit itu? Tempatku mempelajari rahasia aliran pukulan Telapak Besi sama kenangan pertamaku di padepokan ini, kan? 

“Jangan terlalu banyak berpikir, cepat pergi sana!”

“Iya-iya, Bawel kau ….” Tidak kau usir pun aku akan pergi. “Pak Tua.”

“Bagus, hush-hush ….” 

Gunung Karang.

Sepertinya mengunjungi Perpustakaan Pendiri yang ada di sana bukan ide buruk, lagi pula tempatnya yang terisolasi dari orang luar—serta baru pertama kali ini kudengar—sangat cocok buat sembunyi dari Aliansi Beladiri Benua Timur. “Hahaha ….”

“Hei, kenapa anak itu tiba-tiba tertawa sendiri?”

“Abaikan saja, dia murid Dewi Tapak Besi Teratai Perak.”

***

Beberapa hari sebelumnya. 

Setelah berhasil meloloskan diri dari kepungan di Kolom Lima-Tiga Benua, aku akhirnya tiba ke depan Gerbang Perguruan Telapak Besi. 

Pagi itu. Bajuku compang-camping bak gelandangan saat mengetuk Pos Jaga Petugas Du.

Cuma penampilan luar saja, sebab titel Pembunuh Naga sudah meregenerasi semua luka serta memulihkan kondisi tubuhku—seketika.

“Seben-taaar!” Kudengar sahutan dari dalam, dari suaranya macam orang baru bangun tidur atau masih mengantuk.

Tapi, bodo amat. Pokoknya aku harus segera bersembunyi di dalam padepokan sebelum aliansi berhasil menyusul kemari. “Petugas Du, cepat buka gerbangnya. Aku mau masuk!”

“Iya-iya, hoaam ….”

‘Hei! Bisakah kau bicara pakai nada profesional?’ Ah, lupakan! Sudah syukur orang ini mau muncul. “Minggir Petugas Du, aku harus segera masuk—”

“Eit-eit!”

Ada apa. “Kenapa menghalangiku?”

“Instruksi Kepala Perguruan, padepokan ditutup selama masa libur murid-murid,” katanya dengan wajah mendongak bak penguasa, tepat di depanku.

Cih! Aku tahu tujuan aslimu, tapi lebih baik pura-pura dulu. “Lantas?”

“Kau murid perguruan, seharusnya dirimu pergi berlibur di waktu ini, kan? Kenapa malah datang kemari? Sekarang belum diizinkan masuk!”

Hem, orang ini benar-benar menjiwai. Aku diam, dia pun ikut bisu. 

‘Arghhh! Apa kita cuma bakal saling tatap di pintu begini?’ batinku, ‘Menyebalkan. Kalau bukan karena sedang buron, aku malas meladenimu, tahu.’ Terserahlah. “Ehem … semoga ini bisa melonggarkan kunci pintu gerbang, ya, Petugas Du.”

“Hei! Apa ini maksudnya? Kau ingin menyuapku, ya?” 

Apa? masih kurang? Meh. Dasar lintah, sok jual mahal kau, Petugas Du. 

“Ah, maaf …, bukan maksudku begitu. Ini hanya hadiah kecil. Tolong, ya, aku sedang ingin menghabiskan liburan di perguruan.” 

Kuharap segitu cukup dan kita bisa segera sepakat. 

“Hanya itu saja, boleh?”

“Hem ….” Buat apa kau pura-pura mikir, aku tahu aslimu. “Sebenarnya agak berat, tapi tidak bagus juga jika menolak maksud baik seseorang, kan? Baiklah, kau boleh masuk.”

Yes. “Terima kasih, Petugas Du—”

“Eit-eit-eit!”

Kenapa tanganmu masih menghadangku? Jangan bilang kau mau uang lebih, aku sudah membayarmu pakai koin emas, Kampret. “Apa lagi, Petugas Du?”

“Ini hanya antara kita saja, apa kau melihat petugas ‘Du’ membukakan gerbang buatmu?” 

Hallah. Lucu mendengarmu menanyakan itu sambil tunjuk diri sendiri. Geli.

Dasar rubah. “Ahahaha, tentu, tentu saja—tidak. Aku sama sekali tidak melihat siapa pun saat menyelinap kemari, aku menerobos dengan melompati dinding.” 

Puas kau sekarang?

“Eum, pergilah!”

Menyebalkan.

Walau berhasil masuk padepokan, aku masih harus mencari tempat aman buat sembunyi, tempat yang setidaknya bebas dari inspeksi petugas jaga serta paling jarang diperhatikan.

Aha! Aku tahu. 

“Penjaga Perpustakaan Ming, sepertinya aku akan merepotkanmu kali ini.”

Mwehehe ….

***

Arghhh! Sialan kau.

“Pak Tua Ming! kenapa kau tidak bilang kalau jalan ke Gunung Karang sangat gersang dan curam? Awas nanti jika Perpustakaan Pendiri juga gak sesuai harapan, kuhajar kau pakai Telapak Besi dan Tapak Dewa bersamaan—lihat sajaaa ….”

Seharian diriku berjalan di bawah terik matahari mengikuti jalan setapak ini, tetapi gapura atau penanda di Gunung Karang yang pak tua itu bilang belum juga kelihatan. 

“Kau pikir dari kuil di Bukit Batu hingga kemari itu cuma butuh sepuluh langkah, Pak Tua? Aku sudah berjalan sepanjang hari, kau dengar itu. Pak Tua Miiing ….”

Ha …, ha …, ha …, istirahat dulu.

Salahku sendiri. Selain ciri atau tanda ketika mencapai wilayah Gunung Karang, harusnya aku juga bertanya sejauh apa jalan menuju ke sana sebelum berangkat. 

“Sialan-sialaan-sialaaan ….”

Sudahlah, tidak ada gunanya juga memaki di tengah bukit pasir begini.  Lagi pula aku masih berada di jalur yang benar, kurasa. 

Biarlah kali ini aku bermalam di sini, di tengah jalan tandus antara Bukit Batu dan Gunung Karang—jauh ke mana-mana.

Eh, ya! Tapi ….

Ngomong-ngomong, langit sore yang mulai malam ini lumayan bagus—kalau kulihat-lihat.

Merahnya perlahan memudar bersama gelap, serasi dengan sunyi di sekeliling. Dan walau berbaring di tanah, aku gak bakal protes sama indahnya langit pas malam nanti. Hanya, akh! Udara kering dan dingin yang berhembus ini tetap saja mengganggu. 

‘Eh, tunggu dulu. Aku masih bisa melakukan ini …, juga ini ..., dan ini. Mwehehe ….’

Sekarang udara dingin bukan lagi masalah. Dinding ini bisa menghalau hembusan angin. 

“Hoi, Bintang! Yang berkilau di atas sana, kemarilah ….” 

Temani tidurku ….

***

Berhenti!

Hah? Ada suara!

“Kau! Yang baru saja melewati Gapura Kediaman Pendiri, identifikasikan dirimu!” 

Suara dari mana itu? Tunggu! Apa jangan-jangan maksudnya aku. 

“Anda sedang bicara padaku, Tetua?”

“Apa ada orang lain selain dirimu di tempat ini?”

“Ya ….” Aku menjuling. “Karena suara Anda bisa kudengar. Meski tidak menunjukkan diri, berarti bukan cuma diriku saja yang ada di tempat ini. Benar, kan, Tetua?”

“Hem … kuulang pertanyaanku, apa kau datang kemari sedirian?” 

Eh? Nada bicaranya berubah.

“Ya. Aku datang kemari sendiri.”

“Sebutkan nama, dan apa urusanmu kemari?”

Baiklah. “Namaku, Mi, Tetua. Aku kemari gegara ini—ah!” Amit-amit, amit-amit. Sesuatu tiba-tiba muncul di depanku seperti itu. “Jangan mendekaaat! Hush, hush!”

“Tenanglah, aku bukan hantu.”

“Muncul mendadak di depanku, itu yang kau sebut bukan hantu, hah?”

Cih! Turunkan kuda-kudamu ….” 

“Jangan mendekat, kau!” 

“Lihatlah …, lihat kakiku, kakiku masih menginjak bumi. Lihatlah kemari, lihat!” 

Kakimu memang menapak bumi, tapi manusia mana yang mau menjingkrak-jingkrakkan kaki begitu supaya tidak dianggap hantu?

Akh. “Baiklah, baiklah, aku percaya. Berhenti melompat dan mengangkat-angkat kakimu macam katak. Dan, Tetua, sebenarnya Anda ini siapa?”

“Berikan token yang barusan kau tunjukkan.”

Eh? Kok, tiba-tiba. Gak mau. “Ogah! Katakan dulu siapa Anda!”

“Hah ….” Jangan cuma meliahatku, cepat bilang sesuatu. “Baiklah, aku adalah penanggung jawab di tempat ini. Penjaga Perpustakaan terhebat di seluruh Perguruan Telapak Besi, dan satu-satunya. Akulah ….”

Aku malas mendengarkan ocehannya, dia mirip Kakek Ming.

“Cukup-cukup, cukup, cukup. Langsung saja ke inti. Kenapa aku harus memberikan token ini kepada Anda?”

“Kau ….” 

Kenapa melotot? Apa dia kesal gegara pertanyaanku? 

“Dengarkan kau, Bocah! Aku adalah Penjaga Perpustakaan Pendiri. Token itu—”

“Benarkah? Bagus! Tunjukkan padaku di mana letak Perpustakaan Pendiri itu, Tetua!”

“Heh! Jangan menyelakuuu!”

Ish, untung aku langsung menutup telinga pas mukanya berubah. “Dasar, Orang Tua. Baik! Aku tidak akan menyela, puas?”

“Hah …, untuk apa kau pergi ke Perpustakaan Pendiri?”

“Anda tidak perlu tahu. Tetua, tolong antarkan saja aku ke sana dan token ini akan jadi milikmu, bagaimana?”

“Kau sama sekali tidak tahu arti benda di tanganmu, ‘kan?”

Hem. Sama dengan ucapan Kakek Ming, tapi, “Siapa peduli. Aku hanya ingin masuk ke perpustakaan pendiri, itu saja. Token ini—tangkap!”

“Hoi! Bocah! Berani sekali kau melemparkan Token Penerus Penjaga Perpustakaan seperti melempar batu, apa kau ingin mati, hah?”

Dih, kok marah? Terserahlah.

“Tokennya sudah Anda pegang, sekarang antar aku ke Perpustakaan Pendiri.”

“Hah …, sudahlah. Percuma meladenimu, ikuti aku!”

Hehe. Bagus. 

Perpustakaan Pendiri aku datang ….

***

Setelah melewati batas Kolom Lima-Tiga dan masuk ke Kolom Lima-Dua Benua, pasukan Aliansi Beladiri Benua Timur berhasil mengepung serta menyudutkanku di sebuah tebing hingga pilihan yang kupunya sekarang hanya melompat ke belakang, dan itu bisa berarti maut karena aku tidak tahu seberapa dalam jurang tersebut.

“Sudah, menyerah saja, lah. Kami berjanji tidak akan menyakiti Anda, jika Pemilik Rumah Lelang bersedia bekerja sama!” 

Begitu kata salah seorang, berusaha membujukku.

“Cuih!” Yang tentu saja takkan kupercaya. ‘Jujur saja. Kalau bukan karena Chloe Kecil dan ibunya, dengan semua tingkat yang telah kucapai menghabisi mereka bukanlah perkara sulit. Hanya saja, aku punya janji kepada mendiang Chloe, untuk takkan menjadi monster penebar teror di Eldhera.’

Aku, di sini sekadar mengikuti permainan saja.

“Bagaimana?” Mereka masih ingin aku menyerah.

“Najis!” kataku sambil melempar Pukulan Naga tingkat dua, yang sialnya—serangan jarak jauhku itu—bisa dinetralisir oleh mereka. “Aku takkan pernah menyerah ….”

Dalam keriuhan di tepi jurang tersebut seseorang tiba-tiba berteriak, “Semua berhenti!” dan karena teriakan itu pula pasukan yang sedang menghalauku tiba-tiba saja membelah jadi dua kelompok, seakan membuka jalan untuknya yang baru saja memekik.

Aku yang juga mendengar teriakan barusan, spontan melihat ke sumber suara. 

Dari celah dua barisan tersebut, keluar orang-orang dengan atribut yang mudah dikenali sekali lirik bahwa mereka bukanlah orang biasa—kuulangi, sekali lirik.

‘Baiklah …,’ mantapku dalam hati ketika mereka tiba di depanku, sebelum kutanya, “Siapa lagi kalian? Mau apa dariku?”

Kupasang kuda-kuda kuat, bersiap melempar pukulan Tapak Dewa, jaga-jaga kalau orang-orang ini juga berniat meringkusku.

“Tenanglah, Pemilik Rumah Lelang. Kami di sini berniat untuk bernegosiasi,” jawab salah seorang yang berada paling depan, mungkin pemimpin mereka.

“Hah? Aku tidak salah dengar, kan?” tanyaku, merespon apa yang baru saja dia katakan. “Bernegosiasi, setelah mengerahkan pasukan sebanyak ini buat menangkapku. Kau pasti bercanda, bukan?”

Dia tersenyum kecil dan hendak melangkah maju. Akan tapi ….

“Eit-eit-eit! Selangkah kakimu mendekat, akan kubakar kau dengan pukulan panasku ini!” 

Aku mengancam.

“Lancang!” teriak seseorang dari regu kiri yang kemudian menjerit saat terkena lemparan Tapak dewa tingkat satuku, “Argh! Panas! Panaaas ….”

Sementara semua yang menyaksikan peristiwa itu seketika tahu bahwa kata-kataku bukan ancaman kosong serta jadi lebih waspada dan serentak menodongkan senjata mereka.

“Bagus! Takut kan kalian sekarang,” kataku yang kembali pasang kuda-kuda.

Namun, dia yang tadi mengatakan ingin bernegosiasi juga kukuh dengan ucapannya. “Bisakah kita mulai berdiskusi, Pemilik Rumah Lelang?” 

Hem, pinggir jurang begini pilihan apa yang kupunya. “Baiklah, katakan apa maumu?”

“Hahaha!” Dia tertawa kencang sebelum berkata dengan tangan terbuka, “Pemilik Rumah Lelang, bergabunglah dengan perkumpulan beladiri kami.”

Mencurigakan, aku yakin ada maksud lain dari ajakannya.

“Oh. Kuhargai tawaran barusan, tapi maaf, aku sudah menjadi murid dari sekolah bela diri sekarang. Jadi diriku tidak mungkin langsung menyetujui ajakanmu tanpa bicara kepada guruku terlebih dahulu,” kataku sambil memberikan isyarat bahu.

Namun, sepertinya jawabanku tak membuatnya puas. “Pemilik Rumah Lelang, Anda salah mengartikan. Ucapanku tadi bukanlah sebuah ajakan, melainkan perintah—”

Sudah kuduga. 

Cih! Terserah.” Kupasang lagi kuda-kuda, bersiap memapak pukulannya. “Kalimatku tadi juga bukan jawaban, aku tidak peduli padamu.”

“Hahaha!” Dia terbahak. “Kalian semua dengar. Orang ini tidak peduli kepadaku, hahaha.”

Aku jengkel dengan caranya bersikap.

“Hahaha … hah-ha … ha-ha ….” Apalagi ketika ia tertawa sampai bengek. “Biar kuperjelas sesuatu,” ucapnya kini mendadak serius, “aku adalah Ketua Perkumpulan Beladiri Benua Timur.”

Euu? Aku bingung, hanya bisa diam melihat tingkahnya.

“Hah? Kenapa …, apakah Ketua Perkumpulan Beladiri Benua Timur tidak berarti apa-apa untukmu? Begitukah, Pemilik Rumah Lelang? Katakan sesuatu, jawab aku.” 

Ya, kalau begitu. Sebenarnya ….

“Terus terang saja, kalau tidak ada hal lain lagi yang kau inginkan dariku tolong bubarkan mereka,” kataku, menunjuk dua kelompok di kanan dan kirinya pakai dagu.

Akan tetapi, entah apa isi kepalanya setelah mendengar jawabanku kala itu, tapi mukanya adalah wajah yang tak mau kulihat lagi seumur hidup.

Dengan raut kaku dia bilang, “Aku tidak berniat membuang-buang waktu denganmu ….” Kemudian melakukan bukaan buat jurus yang ia sebut, “Tarian Naga Laut Timur!”

Aku tidak tahu akan semegah apa dampak dari jurus ini, tetapi melihat orang-orang sekitar mengambil jarak seketika namanya disebut sepertinya ia bukan kaleng-kaleng.

Maka, ketika persipan tuk melepas gelombang pukulan Tarian Naga Laut Timur itu selesai, aku pun mengambil setengah langkah ke belakang dan melakukan bukaan untuk Pukulan Naga tingkat tiga.

“Haha, rupanya kau cukup bernyali!” pujinya sesaat sebelum melempar gelombang energi yang sudah tampak seperti naga biru lagi mengamuk—menerjangku.

Kubalas, “Bacooot!”

Menyambut gelombang berat yang ia lemparkan, hawa panas menyerupai seekor naga melompat dari tanganku, Roaaar!

Duar! Pukulan kami beradu di udara.

“Semua, berlindung!” Orang-orang segera menjauh, berusaha menghindari angin ledakan dari pukulan kami. “Cepat munduuur ….”

Meski tekanan udara di depan satu sama lain makin berat, tapi kami sama-sama tidak mau mengalah. Dua naga yang dirinya dan diriku lepas saling melilit dan membentur berkali-kali, menghasilkan suara menggelegar disertai angin ledakan—keras dan kencang.

***

Setelah sehari semalam mengubrak-abrik seluruh isi Perpustakaan Pendiri, jenuh dan bosan kini menghampiriku. Selain jumlah bukunya lebih sedikit ketimbang perpustakaan utama di padepokan, tebal halamannya pun tipis-tipis dan cuma berisi metode ‘rahasia’ sirkulasi chi—sama sekali gak kubutuhkan.

‘Aku menyesal datang ke sini.’

Bahkan setelah menggunakan Mata Perak buat menyisir—berharap, siapa tahu saja ada—rahasia tersembunyi di balik dinding dengan lantai tempat ini, tetap gak ada apa pun yang menarik. Jadi pada malam keduaku di Perpustakaan Pendiri, kuputuskan tuk rehat sejenak dan berjalan di luar demi menghirup udara segar.

Namun, ‘Kutarik kembali ucapanku soal menyesal sudah datang kemari.’

Sebab dalam balutan sejuknya cahaya rembulan pada malam itu, gemilang pancaran aura ‘Harta Karun Perguruan Telapak Besi’ membangunkan mata perakku ketika tidak sengaja terlihat sewaktu diriku membuka pintu.

‘Pantas gak ketemu-temu pas di dalam,’ pikirku seketika, ‘rupanya pusaka yang kucari-cari itu bukan terpahat dalam lembaran buku ….’  

Menakjubkan.

Melalui ukiran di pintu besi seberang pekarangan perpustakaan, rentetan pola serangan serta pertahanan mengalir bak menari dalam sorotan Mata Perak, melantunkan bait-bait yang seketika berubah menjadi gerakan dalam kepalaku.

Menampilkan rangkaian manipulasi energi berbentuk tendangan juga pukulan yang entah bagaimana spontan kusebut ….

“Pamungkas Seni Langkah Besi.”

*** 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Tanah Para Naga
Selanjutnya TPN - Elang dan Domba
1
0
Tanah Para Naga Bagian 3: Elang dan Domba
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan