
Tanah Para Naga
Bagian 3: Elang dan Domba
Mwehehe ….
Aku suka.
Selain ukurannya besar, kulitmu yang begitu kenyal saat kuremas ini pasti dipenuhi lemak dan daging, bukan?
“Untuk seekor domba gunung liar, kau terlalu menggoda buat perutku yang keroncongan selama dua hari.”
“Meeaaa.”
“Kenapa? Kau tidak suka kupanggul, Domba?”
“Mbeeaaa.”
Aku mendengarmu.
“Tenang saja. Setelah kita sampai ke sungai atau aliran air kau akan segera kuturunkan, lagi pula aku juga gak tahan sama badan baumu. Kalau bukan gegara Perpustakaan Pendiri tidak punya makanan di puncak gunung sebelah sana …, kau lihat, kan? Yang itu!”
“Mbeeaaa.”
“Mana mau aku berburu di tebing curam kayak tadi.”
“Mbeeaaa.”
“Ngomong-ngomong, kau hebat juga bisa loncat ke sana kemari di tebing severtikal tadi. Aku saja repot harus menyelaraskan chi di kaki supaya bisa mengejarmu, kuku kakimu ini …, iya, yang ini. Huh, benar-benar luar biasa!”
Eh! Itu …? Suara air!
“Kau dengar, kan, Domba? Sebentar lagi kau akan jadi makananku, ayo segera ke sana!”
“Mbeee—”
“Hahaha ….” Aku tahu kau juga bersemangat. “Lihat! Kita sampai … turunlah, Domba!”
Huh …, akhirnya pundakku lebih ringan.
Tadinya, kukira Perpustakaan Pendiri akan menjadi tempat ideal untukku sembunyi. Eh, tahunya malah jadi yang terburuk sejauh ini. Puasa dua hari berturut-turut tanpa minum, bagaimana aku akan bisa bertahan di sana kalau gitu ceritanya.
Untung saja, tadi aku mendengar dan mengikuti suara domba muda menuju ke kawanan mereka. Meski kudu lompat ke tebing di belakang perpustakaan mengerikan itu dulu hasil yang kudapat lumayan, si domba.
Dan. Biar kata blusukan, paling tidak aku hari ini bisa makan.
“Tunggu, ya, Domba. Setelah aku selesai mencuci tangan dan kaki kau akan kusembelih pakai pisau liuk kesayanganku. Jadi sabar sebentar, ikatan kakimu nanti kubuka setelah ini, okay, Domba? Dom—hei!”
Sial! Meleng sebentar, makananku sudah ada yang menyambar.
“Akh! Kenapa aku tidak merasakan kehadirannya? Tunggu kau, Burung Sialan! Kembalikan calon makananku ….”
Arghhh! Kalau dia terbang secepat itu, bagaimana aku mengejarnya?
“Eh? Tunggu dulu!”
Kenapa aku repot-repot mengejar dia yang meluncur di udara, padahal bisa menggunakan cara ini. Hu-uh! Kau akan jadi peluruku.
“Pohon besar, tolong maafkan aku!”
Heuuu! Akar pohon ini kuat mencengkeram tanah, tapi bukan masalah. Masih sanggup kurabut. Aaa ….
“Pohon besar, tolong jatuhkan burung hitam itu buatku.”
Huph! Bobotnya lumayan berat. Satu …, dua ….
“Hei, Burung, terima ini!”
Rasakan lemparanku. Hiyaaat ….
***
Setelah lebih dari sepuluh nafas mengadu serangan jarak jauh, aku dan lawanku kini sama-sama kehabisan tenaga. Akan tetapi, meski tekanan dari gelombang pukulan kami sudah hampir tidak ada, pasukan Aliansi Beladiri Benua Timur masih mematung di posisi mereka.
Padahal dengan lenyapnya debu yang menghalangi pandangan, hasil duelku lawan ketua mereka sangat jelas kelihatan.
Sekian saat berlalu, tidak ada gerakan dari lawanku.
Hem. Apa mereka gerombolan pengecut?
Tidak adakah yang mau memanfaatkan kesempatan untuk meringkusku atau berinisiatif membantu si pemimpin, mumpung kolam manaku belum terisi, kah?
Atau jangan-jangan mereka ini anjing-anjing terlatih? Sebelum orang di depanku memberi perintah, satu pun gak bakal ada yang bergerak.
“Hahaha!”
Eh, kenapa dia tiba-tiba tertawa?
“Tak pernah kusangka akan ada orang yang mampu menghadapi Tarian Naga Laut Timur sebaik dirimu, Pemilik Rumah Lelang,” katanya sebelum tertawa kepayahan, “haha-ha ha-ha—hoek-hoek ….”
Huh, kurasa waktu kami beradu pukulan tadi kepalanya terbentur.
“Hei, Ketua Angin Timur—”
“Aliansi!”
Hem. Dia masih sanggup memekik, rupanya.
“Aku sudah memperkenalkan diri dengan jelas, apa sesusah itu mengingat Perkumpulan Beladiri Benua Timur, hah?”
Hah …, kakiku malah pegal dengar ocehannya.
“Ya-terserah, deh … gak masalah kan kalau aku selonjoran?”
“Apa?!” Matanya melebar. “Kau masih bisa sesantai itu di saat seperti ini?”
“Kenapa? Jangan samakan aku denganmu, ya ….”
Sebelum kalian memakai chi buat mengganti istilah mana, aku sudah duluan mencapai tingkat tertinggi manipulasi energi. Bahkan, kalau saja mendiang Chloe mengizinkan, aku sudah menjadi praktisi Essen terhebat di benua ini.
“Pemilik Rumah Lelang, sampai kapan kau akan mengabaikanku?”
“Entahlah—eh, ya! Ngomong-ngomong, kalian akan berhenti mengejarku, ‘kan?”
“Cih! Semua Dengarkaaan ….”
Ish, kupingku sakit.
“Aku dan Pemilik Rumah Lelang telah sama-sama mencapai batas kami. Semuanya, ikuti perintah! Serbu Pemilik Rumah Lelang, SEKARAAANG!”
Hah? Bodoh! Selama kita bicara barusan, kolam manaku sudah kembali terisi. Jangankan hanya kalian, Mighty Guardian pun sanggup buat kutundukan.
“Hah …, sepertinya aku memang tidak punya pilihan.”
“Hoi-hoi-hoi, apa yang akan kau lakukan? Pemilik Rumah Lelaaang ….”
Cih! Masih tanya. Bukankah kalian punya mata?
“Menurutmu apa, hah?”
Biar kutunjukkan kenapa aku dulu dipanggil monster. Haaa ….
“Semuanya, berhenti! Kembaliii ….”
Terlambat. Makan ini. Tapak Dewa tingkat tiga.
Chiaaat …, Duarrr!
Pada akhirnya jurang inilah satu-satunya jalanku untuk lolos dari mereka ….
***
Hoooi!
“Bisakah Anda jangan berteriak, Tetua?”
Kupingku sakit dengar suaramu dari jarak sedekat ini.
“Sampai kapan kau mau melamun, Bocah? Ketua Perguruan ada di hadapanmu dan kau masih belum menunjukkan sopan santun, kau harus diberi pelajaran ….”
Hah …, drama ini lagi.
Berkaca pinggang begitu takkan membuatku tiba-tiba menghormatimu, tahu. Lebih baik aku berbaring sajalah. Lapar sekali tiga hari tidak mengunyah apa pun ….
“Apa yang kau lakukan? Berani sekali tidur di depan Ketua Sekte, hei—APA?!”
Cih! Kemarin Penjaga Ming, sekarang kau. Kalian sama, orang tua yang hobi mematahkan rotan di tubuhku. Lihat, kan? Kalau sudah begini muka siapa yang memerah ….
“Kau, kenapa melihat padaku?”
Meh. Tak boleh, kah?
“Aku melihat karena punya mata, memangnya Anda,” balasku, lanjut merebah di lantai Perpustakaan Pendiri.
“Begundaaal …!”
Sebenarnya siapa yang tak sopan di sini? Kau menyebut begundal dan memaki di sebelah orang yang lapar ….
“Sabarlah, Tetua Bong!”
Akhirnya, orang penting pun bersuara.
“Mi. Aku tahu kau murid berbakat, tapi tolong perhatikan kita sedang berada di mana ….”
Kita di Perpustakaan Pendiri, Ketua.
“Kyongdok adalah adikku. Meski dia tidak di sini, tolong beri gurumu itu muka.”
Hem. Kalau Anda bilang begitu ….
“Bagus, akhirnya kau bang—”
Swush! Jangan ganggu aku dan Ketua.
“Mi.”
“Tidak apa-apa, Ketua. Murid hanya melempar sedikit chi dingin untuk ‘menyejukkan’ permukaan bibir Tetua Bong yang panas, itu takkan menyakit—tiii ….”
Pak Tua, jangan mengguncang tubuhku!
“Tetua Bong, lepaskan anak itu!”
Hah! Dengar! Ketua Sekte menyuruhmu, cepat lepaskan aku.
“Cih!”
‘Mwehehe.’ Kau takkan bisa macam-macam padaku di depan Ketua, bukan?
“Eh!” Buat apa hembusan napas berat barusan, kenapa tiba-tiba Ketua elus dada. “Ketua, apa terjadi sesuatu?”
Lirikan itu! Oh, rupanya isyarat untuk Tetua Bong. Bagus, lekaslah kau pergi sana, Pak Tua.
“Mi.”
Ya. “Ketua?”
“Sekarang hanya tinggal kita berdua.”
Anda pikir aku buta, ya, Ketua? Meski hawa keberadaan dua orang di balik dinding sebelah sana ditekan mati-matian, pancaran energi mereka tak mungkin lolos dari jangkauan Mata Perak. Cek! Percuma disuruh sembunyi kalau di sekitar ada diriku ….
“Apa kau mendengarku, Mi?”
Oh. “Ketua ….” Masa bodoh apa pun niatmu, tapi sebelum kau bicara lagi aku mau bilang, “Murid lapar ….”
“Eh?”
Jangan memasang wajah terkejut, aku belum selesai.
“Hampir tiga hari ini murid belum makan apa pun di tempat ini, Ketua ….”
“Hahaha!”
Heh, apanya yang lucu? Kenapa kau malah tertawa?
“Kupikir apa yang membuatmu cemberut saat memenuhi panggilanku, rupanya urusan perut. Hahaha ….”
Huh. Sekarang sudah tahu, ‘kan? Mau bagaimana lagi?
“Baiklah, ha ha, baiklah. Mari kendurkan otot-otot mukamu dulu sebelum lanjut bicara. Ini …, ambilah ….”
“Apa ini, Ketua?”
“Buka saja, dan coba keluarkan isinya.”
Meh. Kenapa mukamu macam ingin menertawakanku? Tapi, terserah, deh.
“Eh? Ini!”
“Bagaimana, kau menyukainya?”
Haruskah kau bertanya?
Tentu saja! Siapa yang tak suka dengan Daging Rusa Putih dari Hutan Gorgon? Daging kaya akan endapan mana. Konon, sepotong saja sudah cukup untuk membuat seorang pertapa melewatkan makan selama lima belas hari penuh.
Mwehehe ….
“Ketua, apa aku—eh, Murid! Boleh memakannya?”
“Tentu saja, anggap itu hadiah dariku, makanlah!”
Hehe. Jangan coba-coba kau tarik ucapanmu barusan setelah ini. ‘Aaaa ….’ Semua daging rusa putih gorgon yang manis, masuklah ke mulutku.
“Mi …!”
Terlambat kalau mau menyesal, Ketua. Euk-ah! Aku kenyang.
“Terimakasih, Ketua—”
“Kemarikan!”
Hehe. Kau tidak pernah menyangkanya, bukan? Mau diperiksa dengan cara apapun sudah tidak ada lagi daging rusa putih tersisa di dalam kantong itu.
“Hah …, kau melahap lima potong daging rusa putih sekaligus.”
Aku bahkan bisa makan lebih banyak kalau masih ada, gak usah heran.
“Ketua ….”
***
Selesai diintrogasi terkait caraku meloloskan diri dari Jurang Lembah Giok di perbatasan antara Kolom Lima-Tiga dan Lima-Dua Benua, sekarang diriku malah diminta tuk mengirim sepucuk surat ke negara Jian Seng di Kolom Empat-Satu oleh Ketua.
Huh! Permintaan yang tak boleh kutolak.
Beliau juga tanya, kenapa aku bisa sampai berurusan dengan Aliansi Beladiri Benua Timur, bahkan sampai mencurigaiku punya motif lain atau maksud terselubung saat bergabung dengan Perguruan Telapak Besi.
Padahal, sebenernya yang punya maksud terselubung saat itu adalah dirinya—aku yakin.
Lihat saja kertas di tanganku. Sepucuk surat dengan bulu elang hitam sebagai segel serta telah dibubuhi mantra tahan tempa, cuaca, dan Rajah Sandi Besi Tiga Lapis.
Jujur saja, dia cuma mau menggunakanku. Cek! Makanya setelah mendengar diriku bisa mengimbangi jurus tarian naga laut timurnya Ketua Perkumpulan Beladiri Benua Timur, ia langsung menyuruhku untuk mengantar surat ini dengan imbalan perlindungan penuh di padepokan.
Akh! Dasar, Rubah Tua.
Kenapa tadi tidak langsung bilang saja, “Aku ingin minta tolong.”
Apa susahnya. Kenapa pula harus menanyakan alasanku mendaftar ke Perguruan Telapak Besi bersama Doll dan Roxina setelah menguasai Pukulan Naga dan Tapak Dewa dulu.
Jawabannya sudah jelas buat mempelajari Pukulan Telapak Besi. Apa lagi?
Dan. Jika tidak percaya aku selamat setelah jatuh ke jurang menggunakan Ilmu Kulit Baja, itu urusanmu.
Jadi jangan mengorekku dengan berondongan pertanyaan mengatasnamakan guru. Aku benci mendengar, “Dimi wijih girimi iki birtinyi ipi iti sibinirnyi ….”
Beliau saja tidak pernah menyelidiki asal-usulku, kenapa kau kepo sekali. Arghhh.
Lagi pula hanya karena ilmu kulit bajamu sebagai ketua sekte biasa-biasa bukan berarti orang lain tidak boleh lebih baik, bukan?
Apa pun tuduhan di kepalamu atas keberhasilanku keluar dari kepungan Aliansi Beladiri Benua Timur jawabanku tetap, “Ya, Ilmu Kulit Baja.” Itu, Titik.
Soal rahasiaku yang lain. Jangankan buat memberitahu, menyinggungnya di depanmu saja aku gak sudi. Jadi puaslah hanya dengan Ilmu Kulit Baja, gak bakal keluar jawaban lain dari mulutku soal insiden di Lembah Giok.
“Eh! Itu kan ….” Ada energi hidup yang menipis datang dari arah bukit sana.
Sebaiknya kuperiksa ….
Ini, kan! “DOMBA!”
“Mbeeaaa.”
Ah, hahaha! Calon makan siangku yang sempat digondol elang kini telah kembali.
“Bagaimana kau bisa berada di tempat seperti ini, Domba?”
Biar kubuka ikatan kakimu dulu.
“Haha, kupikir aku akan kehilangan calon makananku.”
“Mbeeaaa.”
Bagus-bagus …, ayo, berdirilah.
“Hei, Domba. Mana burung keparat yang tadi siang mencurimu dariku, hah?”
“Mbeeaa.”
Apa, kau tidak tahu?
Hem. Jika dirimu jatuh di sini berarti burung itu juga seharusanya ….
Hahaha! Rupanya tak perlu merem lama buat menemukanmu, Pencuri.
Ayo. “Domba, mari pukuli maling yang tadi siang menyambarmu.”
“Mbeeeee.”
Ke sebelah sini ….
Eh? Tunggu. “Ini!”
Tekanan kematian yang luar biasa. Hanya melihatnya saja sudah membuatku merinding.
“Hei, Burung Jambret! Sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi kau di bawah situ sekarang, ‘kan?”
Kecuali mengerang dan bertaruh dengan hidup. Mwehehe ….
Tampaknya tenaga burung ini habis gegara dipakai berusaha meloloskan diri dari himpitan pohon di atas tubuhnya, bahkan energi hidup dari inti kristalnya saja sampai berhamburan ke mana-mana. Cek!
“Hoi, Burung. Biarkan aku ‘membantumu’ …, hehe, tadi siang kau ngutil calon makananku, waktunya memilih antara pisau liuk kesukaanku ini atau gada kristal ungu untuk mel—”
Eh, tapi tunggu! Terlalu enteng buat membiarkan burung ini mati cepat.
“Hem. Aku berubah pikiran. Ditindih pohon besar macam ini kau pasti sangat menderita, bukan?”
Hahaha! Bagus pohon besar, kau benar-benar menjatuhkan burung suhe ini. Elusan saja belum cukup untuk membalas jasamu ….
“Baiklah, Burung. Aku punya hal lain yang lebih bagus buat memberimu pelajaran ….”
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
