
Hai, (^3^)/
Ini bagian pertama dari cerita si Jo setelah lulus sekolah.
Penghasilan.
Sesuatu yang—buat sebagian orang, tidak semua—digunakan untuk mengukur taraf kesuksesan, kini tengah hilir mudik di kepalanya Jo. Remaja yang belum genap dua puluh tahun serta baru lepas dari pengawasan orang tua ini, sedang menghadapi tantangan pertamanya di tempat asing yang biasa disebut ‘rantau’.
Bukan tidak berpenghasilan. Namun buat Jo sesuatu yang dinamakan sebagai penghasilan itu, setelah dihitung lalu dibayarkan untuk memenuhi kebutuhannya selama beberapa bulan ternyata pas—bahkan kurang. Ditambah dengan masa kontrak yang makin menipis, juga ketidak jelasan statusnya sebagai karyawan lepas apakah akan naik menjadi karyawan tetap setelah masa ini habis, membuat Jo akrab dengan istilah yang dinamakan frustasi.
Dasarnya memanag belum berpengalaman. Ketika melamar untuk posisi pelayan di salah satu restoran terkemuka di kota A tiga bulan lalu, Ia langsung menandatangani seabreg berkas yang disodorkan HRD bermulut manis tanpa menelaah apa isi perjanjiannya terlebih dahulu. Sedikit pujian pada hasil psikotes milik Jo waktu ia melamar rupanya sudah cukup untuk menumpulkan pikirannya, sehingga setelah kenyataan menghantamnya di satu-dua bulan masa kerja baru dia menyesal.
Oke, sebelum lanjut mari kita kenalan dulu. Karakter utama di cerita ini nama panjangnya Antareza Kurulega, orang tua dan orang di sekitarnya memanggil dia dengan sebutan Tejo atau pendeknya Jo. Siswa yang baru lulus SMA dan belum punya pengalaman hidup alias masih naif, boleh dibilang agak cupu kalau kalian ngelihat keluguan dan sikap cinta damainya sebagai sesuatu yang buruk.
Itu aja perkenalannya, yuk lanjut ke cerita.
Buat tahu kenapa si Tejo bisa ada di fase frustasi macem sekarang, yuk balik ke enam bulan sebelumnya pas dia baru lulus dari Sekolah Menengah Atas—SMA.
***
Bulan Juni.
Jo yang telah dinyatakan lulus oleh sekolah dan setengah resmi menjadi alumni, masih suka keluar-masuk halaman sekolah buat sekadar main atau cuci mata sembari menunggu hari pelepasan yang akan diadakan di Gedung Serba Guna (GSG) milik sekolah Juli nanti.
Kepribadiannya yang ramah membuat Jo mudah diterima serta bisa masuk ke mana pun dia mau di sekolah itu, perpustakaan, ruang eskul, kantin, bahkan koridor adik kelas, tak ada satu pun yang menolak kehadirannya Jo.
Satu ruangan kecil di sebelah perpustakaan yang berada tepat di bawah ruang guru adalah tempat ia biasa menhabiskan waktu, entah mengapa tempat yang disebut ruang absensi itu menjadi tongkrongan favoritnya si Tejo. Selain membaca buku-buku dari perpustakaan di sebelahnya, di tempat itu Jo biasa mengobrol bersama guru PKL yang mendapati dirinya tengah senggang—main catur bahkan debat filsafat.
Untuk ukuran anak SMA dalam hal pengetahuan dari buku, logika, serta permainan bahasa dan IQ Jo termasuk berprestasi, sebaliknya ia kikuk di bidang olahraga, musik serta beberapa titik pada kemampuan sosial dan hapalan. Meski dirinya pandai melakukan persuasi, manipulasi, serta lihai dalam prsentasi, seperti kebanyakan murid biasa lainnya dirinya terbukti lemah dalam urusan asmara.
Selama hampir dua belas tahun pengalaman sekolahnya, dia hanya tercatat pernah dua kali punya hubungan dekat dengan lawan jenis serta sekali mengalami cinta pertama. Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama—SMP—tiga tahun lalu, dan di akhir masa SMA seperti saat ini.
Bukan orang lain, sahabat dekatnya saat SMP itu adalah cinta monyetnya waktu dia berada di Taman Kanak-kanak alias TK. Bertemu kembali setelah berpisah enam tahun lamanya, pas kelas dua SMP Jo menyatakan cinta ke sahabatnya yang ternyata juga memiliki perasaan serupa. Walau pada akhirnya kandas lantaran mereka masuk SMA yang berbeda, ditambah keduanya masih terlalu gaptek buat kenal benda pipih yang disebut dengan hape dua tahun kemudian.
Sementara untuk saat ini Jo mungkin tengah merasakan cinta pertama, karena ia berharap hubungan mereka—dia dan pacar—akan berlanjut ke tahap selanjutnya setelah keduanya sama-sama lulus sekolah. Jatuh hati kepada seorang adik kelas saat pandangan pertama, Jo menjadi budak cinta (baca: bucin) dengan menuruti semua permintaan dari junior kesayangannya itu.
Sssttt! Bahkan alasan sebenarnya ia bolak-balik ke sekolah pun tiada lain tiada bukan buat menemui tuan di kisah cintanya kali ini. WKWKWK!!!
Hingga hari perpisahan dan pelepasan alumni yang menjadi tanda sahnya dia menjadi lulusan SMA di bulan berikutnya, Jo masih saja menempatkan bucinannya sebagai prioritas utama. Lupa bahwa acara itu bukan hajatan berdua, dia didampingi doi langsung tancap gas menghabiskan semua pundi-pundi recehnya di Photo Booth, GameZone dan Café terdekat setelah seremonial pembuka selesai.
***
Bulan Agustus, Jo jadi pengannguran. Dia yang gagal masuk ke Perguruan Tinggi pilihannya, tak memiliki alternatif lain karena kepercayaan diri berlebih alias over PD yang dimilikinya membuat dia lupa untuk membuat rencana cadangan jika pilihan pertamanya tidak berhasil.
Yup, alesan lain karena dia terlalu malas plus yang ada di kepalanya cuma si belenggu hati (baca: doi-nya). Kalau kalian tahu hampir tiap malam setelah lulus doi telponan sama ayang-ayangannya, sampai suatu hari bapaknya marah gegara berisik dia gak peduli dan malah ngelawan balik.
Jangan ditiru ya Geng, si Jo bukan contoh baik kali ini.
Puncaknya bulan September Jo dibawa ke luar kota sama ayahnya buat belajar mandiri, ditarik semua fasilitas model hape, uang saku, sama dilarang buat balik ke rumah sebelum dia belajar gimana caranya buat ngehasilin uang sendiri. Alasan utamanya biar si Jo gak terus-terusan ngebucin, gak tega orang tuanya kalau dia tumbuh jadi manusia yang gak guna.
Jo yang memang dasaranya penurut gak banyak protes sama keputusan bapaknya selain buat satu hal—hape.
Dia gak bisa—pake banget—jauh dari benda pipih yang jadi jembatan buat ngelepas rindu sama si Ayang, sambil ‘ngerengek’ Jo nego ke bapaknya biar dapat izin bawa hape. Namun “Gak, pokoknya semua fasilitas termasuk hape bapak tarik. Titik!” Jelas bapaknya.
Karena ketegasan bapaknya itulah Jo dengan berat hati meninggalkan rumah tanpa ditemani sohib pipihnya, bahkan tanpa pamit pada ayang dia berlalu bersama laju mobil bapaknya menjauhi gapura selamat datang di kota Y tempat keluarga mereka tinggal. Sedih di hati berbalut galau pada muka yang murung sambil melamun menatap langit menembus kaca mobil, tak merubah keputusan bapaknya yang tengah anteng menelusuri jalan menuju kota B.
Jo oh Tejo, aku kasihan sih karena namanya orang lagi bucin-bucinnya kan kadang gak rasional. Bisa dimaklum, tapi kalau keterlaluan kayak kamu mah aku tetep di pihak bapak. Meski kelihatan tega dari luar, tapi semua itu buat masa depan kamu.
Jadi sabar ya Jo, gak bakal lama kok.
Sesampainya di kota B Jo dan Bapak langsung istirahat karena lelah tiba ke sana malam hari, mereka langsung merebah di ranjang sesaat setelah pintu kamar dibuka. Sementara koper, tas serta bawaan lain mereka biarkan di tengah rumah setelah menutup garasi dan mengunci pintu depan.
Hari pertama di kota B Jo lalui dengan bosan, seharian dia cuma rebahan melamun sambil mengingat si Ayang. Hari ke-2, ke-3, sampai hari ke-5 keseharian Jo terus saja seperti itu. Sampai di hari ke-6 bapak baru mengajak Jo buat ikut ke restoran miliknya, dia dikenalkan pada seluruh staf dan semua kegiatan serta aturan di sana. Dan hari ke-7 adalah hari pertama Jo mulai bekerja, sebagai helper di restoran milik Bapak.
Meski restoran itu milik bapaknya dia tidak diberi privilage sebagai anak pemilik usaha, dia memulai langkah pertamanya mengumpulkan rupiah sesuai predikatnya yang baru lulusan SMA. Untuk naik ke posisi yang lebih tinggi di sana, ia minimal harus punya pengalaman atau paling tidak sertipikat pendidikan yang lebih tinggi.
Tak hanya buat Jo, kebijakan itu berlaku untuk semua pekerja di sana. Maka tak heran di restoran milik bapaknya Jo tersebut ada karyawan yang meneruskan pendidikan meski sudah berstatus pekerja, selain mereka yang juga sangat berpengalaman—di industri ini dan sejenisnya—tentu saja.
***
Seminggu sibuk pada kegiatan restoran tak membuat Jo lalu mengganti isi hati, dia masih sempat memikirkan ayang yang entah bagaimana kabarnya di sana setelah siang berakhir. Bahkan setelah shalat isya, masih terlantun dari bibirnya nama sang pujaan hati.
Terus terang, pas tahu fakta si Jo sebucin ini aku agak sedikit iba. Pengen kuubah alur naskahnya jadi langsung ketemu seketika—entah gimana jalannya—tapi takut ngerusak cerita, apalagi kan based on true event.
Aku emang tukang ngebual, gak sulit sih bikin itu kejadian—tinggal sat-set-sat-set. Tapi males, geng. Nanti univers-nya si Jo bakal pararel, cerita berikutnya bisa ada kesan rada aneh bahkan cenderung gak nyambung.
Dan cara ngerapihin naskah setelahnya yang repot, masa iya kepalaku kudu ngebul gegara satu hasrat doang. Kasihan si sumber ceritanya juga, kisahnya gak lagi fresh gegara gerayangan tangan aku sebagai penulis amatir.
*(Padahal udah kuubah sedemikian rupa, hehe)
Minggu ke-2 jadi helper di restoran bapak, perawakan Jo mulai agak berubah. Meski mukanya lebih cerah pipinya jadi tirus ditambah kantong mata yang agak gelap, lengannya yang memang gak berotot menjadi makin kering. Dan walau tenaganya cukup, aura loyo mengalir di sekitar Jo.
Bukan tidak memerhatikan, bapak Jo memilih untuk membiarkan anak semata wayangnya mengatasi urusannya sendiri. Beliau ingin Jo sadar dengan kemauannya sendiri, dan dengan membuat anak semata wayangnya itu tahu rasa dari sebuah kerja keras, besar harapan si Bapak pikiran Jo akan terbuka bahwa sebelum mengurus anak orang lain dia perlu merapihkan dirinya sendiri terlebih dahulu.
Good point bapak, lanjutkan.
Namun memang dasar bucinnya gak ketulungan, memasuki minggu ke-3 Jo masih belum belajar apa-apa. Di matanya si bapak masih sangat kejam, tega memisahkan cinta murni milik sang buah hati yang begitu suci. Dan sambil menghitung hari, dia terus memupuk rindu di setiap malam sebelum matanya terlelap.
***
Tiba di minggu ke empat bulan September, Tejo mulai bikin gara-gara.
Dia memukuli pegawai baru ayahnya hingga masuk rumah sakit dan dirawat beberapa hari. Pasalnya sederhana, Jo tersinggung lantaran celetukan si pegawai yang sebenarnya tak ditujukan kepada dirinya. “Dasar bucin cemen, cewek lo aja gak mikirin elu kali, hahaha.” Begita kata-kata yang Jo dengar sebelum tragedi pemukulan di dapur itu terjadi.
Sesaat setelah kalimat sakral itu terdengar, piring, sendok, garpu, dan wajan Jo lempar ke muka dua orang yang tengah berdiri di sudut dapur. Upaya mereka untuk menyelamatkan diri dengan menghindari piring serta sendok kemudian menangkis garpu dan wajan malah membuat Jo makin berutal, dia mengambil spatula lalu melecutkannya sekuat tenaga ke orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Di akhir tragedi, Jo merasa bersalah setelah korbannya buka suara. Bersamaan dengan meluncurnya kata “begitu pak” dari mulut si tujuan asli kalimat sakral yang sebelumnya didengar Jo, seketika itu pula penyesalan menerkam hati dan pikirannya menutup investigasi kecil-kecilan oleh Bapak sebelum dua orang itu diantar naik ambulan.
Malam harinya ….
PLAKKK!!!
Bekas gambar tangan bapak merah di pipi kiri Tejo yang memang mengakui kesalahannya, “Bapak gak pernah ngajarin kamu kayak tadi, belajar dari siapa kamu?” Sebuah pertanyaan yang hanya dijawab bisu oleh dirinya.
Selain kata ‘maaf pak’ tak ada lagi yang keluar dari mulut si Jo malam itu, mukanya tertunduk di ruang tengah karena menyesal bahkan sampai bapak berlalu ke kamar dengan wajah yang merah padam.
***
Besoknya.
Jo bapak larang untuk pergi ke restoran sampai dua orang yang dipukulinya masuk kerja, dia diminta untuk merenungkan kesalahannya sambil membesarkan hati guna menyiapkan diri buat meminta maaf saat waktunya tiba.
Jo oh Tejo, kamu sih bikin gara-gara.
Lagian gak habis pikir juga gegara bucin bisa sampe sebringas itu, cuman salah denger padahal. Aku emang gak punya pengalaman semacam itu soal perempuan, cuma apa iya ada cowok yang sepekat itu kadar bucinnya?
Kalau ngelamun gegara patah hati sih aku sering dengar, tapi kasus modelan si Jo ini aku baru tahu.
Beruntung, tragedi kemarin ngebuka mata si Jo—walau sedikit.
Dia hari ini gak mikirin doi sebrutal sebelumnya, meski rasa rindu masih sangat tapi pikirannya sudah agak stabil. Mengingat kata bapak semalam, “Kamu yakin dia juga di sana mikirin kamu, Jo?” Pikirannya kembali dia pakai.
Buah pikiran serta nilai soal hubungan antara laki-laki dan perempuan yang selama tiga minggu ini bapak coba tanamkan kepada Jo tiap kali ada kesempatan perlahan dia resapi, kalimat-kalimat yang dia anggap angin lalu waktu itu kini dipikirkan baik-baik. Sampai pada satu titik, sanubari Jo menyadari dan menerima semua ajaran bapaknya.
Siangnya.
Karena sudah tiga minggu lebih di lingkungan baru namun belum sepenuhnya beradaftasi, Jo pun menyempatkan diri untuk keluar rumah. Bersama sepeda yang gak tahu asal-usul kisahnya bisa ada di garasi, ia berkeliling menikmati nuansa komplek tempat tinggalnya sembari ditemani angin.
Ketika itu baru Jo tahu bahwa dia tinggal di tempat yang tidak buruk, rumah tetangganya memiliki halaman yang hampir sama luas atau beberapa bahkan lebih dari rumah yang ditempatinya dengan bapak. Jalan yang cukup lebar untuk menampung dua mobil agar bisa saling berpapasan tanpa melambat, serta pekarangan hijau di beberapa titik menambah kesan tempat itu jauh dari kata kumuh atau apa pun yang sejenis.
Cuma satu kurang dari daerah yang ditempatinya itu menurut Jo, yakni suasana sepi pada bangunan yang tampak megah namun sebetulnya kosong. Satu-satunya sumber kebisingan di sana adalah kenalpot kendaraan yang lalu lalang, selain dari pada itu yang terdengar hanya suara angin kencang ketika menabrak baner atau baliho serta derasnya tetesa air ketika membentur atap—jika hujan.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
