
Ayahku dinyatakan hilang tanpa jejak. Akupun bergegas mencarinya. Hasil penelusuranku ternyata ayah bukan diculik orang pedalaman. Bukan juga dibawa mahluk gaib. Namun, ada sesuatu di sana. Entitas purba yang lebih tua dari peradaban manusia.
Setahun lalu, Maret 2024, ayahku hilang di tengah belantara hutan Kalimantan. Ia lenyap tanpa bekas bersama kernetnya, amang Udin. Mobil ayah ditemukan terparkir miring di pinggir sungai. Anehnya, muatannya utuh. Tak ada barang hilang, tidak pula adanya tanda-tanda bekas kecelakaan.
Hanya jejak kaki aneh yang mengarah ke hulu sungai. Ke arah riam.
Awal informasi terkait hilangnya ayah kuterima dari ibu. Malam itu, selepas sholat Isya, ponselku berdering. Suara ibu terdengar di seberang, panik dan bercampur isak. Ucapannya terputus-putus, napasnya berat, seperti orang baru selesai berlari jauh.
"Abahum nihau namput uluh. Barake buli," ujar ibu dengan napas berat.
Aku terdiam. Bingung. Lalu meminta ibu mengulang.
“Abahmu diculik orang,” ucapnya dengan suara parau. “Cepat pulang!”
Aku mulai panik. Ayah diculik? Siapa yang menculik?
Kupastikan sekali lagi, ternyata ibu tak salah bicara.
Terbata-bata ibu bercerita. Katanya, ayah berangkat tiga hari lalu dari kota PC, sebuah kota kecil di pedalaman Kalteng, menuju wilayah kecamatan di hulu riam. Ia ditemani Udin—tetangga kami yang sudah lima tahun terakhir jadi kernet tetap.
Mereka berangkat sehabis sholat Jumat. Sejak itu, tak ada kabar berita. Dua hari dua malam keberadaan mereka tak diketahui. Hilang di tengah belantara.
“Abahmu sama Udin belum pulang. Pasti diculik orang.” Ibu lagi-lagi menangis. “Cuman mobilnya ditemukan di pinggir sungai.”
Aku tercekat. Berusaha mencerna kabar yang ibu sampaikan. Jujur saja pikiranku tak tenang. Berbagai pikiran buruk berdatangan begitu saja. Aku tahu betul medan kerja ayah. Ia terbiasa membawa barang muatan di wilayah pedalaman Kalimantan yang masih berupa hutan rimba perawan. Hanya bisa dilalui mobil 4WD. Jalannya memang sulit dilalui. Hanya berupa tanah liat dengan hutan rimba di kiri dan kanan. Jika hujan sebentar saja, maka jalan itu akan berubah jadi lumpur.
Di tengah rimba sana, sudah tak terhitung berapa pedagang sayur yang ditemukan tewas dan harta bendanya dijarah oleh begal atau perampok. Mayat mereka baru ditemukan berminggu-minggu hingga berbulan kemudian. Tak utuh. Menjadi tengkorak dan dimangsa hewan liar.
Bisa jadi ayahku adalah korban berikutnya.
Muatan ayah bukan sekedar sayur atau duit receh, tapi barang dengan nilai yang sangat besar. Biasanya sembako, BBM, atau peralatan untuk perusahaan di wilayah hulu. Kadang logistik untuk perangkat kecamatan atau desa.
“Ayahmu sama Udin harusnya pulang sabtu malam,” ujar ibu menahan isak.
“Tapi..tapi…dua malam mereka gak ada kabar berita. Lalu tadi siang….”
Ibu meraung-raung di seberang sana. Histeris.
Kutenangkan ibu. Kuminta ia menatur napas, supaya kalimatnya menjadi jelas terdengar. Perlu waktu. Ibu mulai stabil. Perlahan, kronologis hilangnya ayah bisa kurunut dengan jelas.
Kata ibu, di balik kalimatnya yang bercampur tangis, ayah dan amang Udin membawa muatan untuk perusahaan logging di wilayah hulu Barito. Dekat perbatasan Kaltim. Menurut perhitungan, seharusnya ayah kembali selambatnya sabtu malam.
Namun, hingga minggu pagi, ayah tak kunjung pulang. Ibu karuan saja khawatir. Nomor ayah tak bisa dihubungi. Begitu juga nomor amang Udin. Awalnya ibu hanya mengira perkara sinyal dan berharap ayah selekasnya pulang. Siang berganti sore, ayah tetap tak ada kabar. Minggu malam, ibu benar-benar gelisah. Kawan-kawan ayah sesama sopir angkutan dihubungi, tapi tak seorangpun tahu.
Lalu pada senin siang, kabar buruk itu datang. Mobil Hilux milik ayah ditemukan tergeletak di pinggir sungai. Ditemukan pertama kali oleh amang Atak yang kebetulan membawa muatan ke daerah atas. Ke daerah hulu Barito.
Anehnya, muatan mobil ayah masih utuh. Sedangkan ayah dan amang Udin seolah lenyap begitu saja. Begitu mendapat sinyal di wilayah kecamatan, amang Atak lekas-lekas mengabari ibu.
“Kau harus pulang. Cari ayahmu. Ibu takut kenapa-kenapa. Mungkin diculik orang pedalaman untuk disembelih.” Ibu mulai meracau.
Telpon terputus.
Sesaat berselang, notif WA berbunyi. Sebuah foto masuk.
Gambar mobil Hilux ayah terparkir miring di pinggir sungai.
Aku menatap foto itu lekat-lekat, semua tampak normal. Tak ada jejak perlawanan. Tidak ada gores, tidak ada sisa benturan, tidak ada tanda tergesa. Tidak ada pula tanda-tanda kekerasan apalagi perampokan.
Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?
Kenapa ayah dan amang Udin tak pulang berhari-hari.
Tak mungkin ayah pergi begitu saja meninggalkan mobil kesayangannya. Aku yakin ada hal buruk yang menimpa mereka. Apa mungkin mereka benar-benar diculik orang pedalaman untuk ritual pengorbanan?
Aku menepis pikiran buruk itu. Setahuku, ritual mengerikan itu sudah lama dihapus sejak lebih dari 100 tahun lalu. Namun, ada selentingan bahwa beberapa suku di hulu sana masih mempraktikan ritual mengerikan itu secara diam-diam.
Aku menggeleng. Tidak. Aku yakin itu cuma rumor. Aku harus mencari jawaban sendiri. Aku harus mudik ke hulu Barito.
*****
Aku berangkat dari Palangkaraya menuju kota kelahiran sebelum adzan subuh berkumandang. Motor honda ADV 160ku melaju dengan kecepatan tinggi menembus kabut. Jalan trans Kalimantan lengang dan sepi, hanya ada satu dua pengendara yang lewat serta orang-orang yang berangkat sholat subuh.
Sesekali aku merasa melayang seperti terbang di udara. Hampir saja aku celaka karena menabrak lubang yang cukup dalam. Motor melompat, terhentak-hentak tapi masih bisa kukendalikan. Pikiranku berkecamuk, rengekan ibu yang menangis sepanjang malam membuatku tak tenang.
Anak yang belum berumur 40 hari serta istri terpaksa kutinggalkan dalam keadaan mendadak. Istriku, Jannah, lekas setuju. Kujanjikan aku pergi paling lama seminggu. Atau paling tidak, hingga ayahku ditemukan.
Suatu keberuntungan, boss memahamiku. Aku mengajukan ijin mendadak sebagai montir di bengkel khusus truk miliknya karena keadaan darurat.
Saat ini, tak ada yang penting kecuali menemukan ayah yang hilang tanpa jejak.
Aku menempuh perjalanan selama kurang lebih tujuh jam, melewati jalan beraspal diapit pohon-pohon tinggi menjulang. Jalanan berkelok-kelok penuh tikungan tajam serta tanjakan dan turunan yang curam. Aspal berganti tanah liat, matahari semakin tinggi serta debu musim kemarau beterbangan. Sesudah menyeberangi fery dan melewati beberapa desa, aku akhirnya tiba di rumah sekitar pukul 10.00 wib.
Di rumah kulihat sudah banyak orang berkumpul. Ibu menyambutku dengan air mata berurai. Kedua adikku, Dilla dan Mira, mata mereka sembab.
“Kita akan ada selamatan. Meminta doa agar ayahmu cepat ditemukan,” seru ibu. Matanya tampak membengkak.
Aku hanya mengangguk, lalu mulai menggali keterangan terkait kabar hilangnya ayah dan amang Udin. Tidak ada informasi baru, kecuali TRC BPBD setempat yang telah berangkat sejak kemaren siang.
“Sudah lapor polisi?” tanyaku.
Raut wajah ibu mendadak berubah. Ia terlihat kesal.
“Aku disuruh mudik ke hulu sana. Katanya hilangnya ayahmu masuk wilayah polsek sana. Metei munu!”
Aku hanya diam.
Sejak mobilnya ditemukan, sudah 24 jam ayah dinyatakan hilang. Aku tak membuang waktu. Kukabari istri bahwa aku akan segera berangkat menuju TKP hilangnya ayah.
“Aku pergi bersama Jaya, setelah makan,” ujarku di telepon.
“Inggih, kak. Hati-hatilah,” sahut istriku.
Jaya adalah sepupuku. Umur kami masih sepantaran. Ia drop out dari kampus karena keseringan naik gunung. Sekarang ia merintis channel petualangan di youtube. Bahkan, beberapa kali ia jadi guide pendaki tersohor untuk naik gunung Bondang dan beberapa gunung lainnya di kalimantan.
Sesingkat waktu, aku dan Jaya sudah mengendarai motor trail KLX miliknya. Ia berada di depan karena lebih menguasai medan sedangkan aku membonceng. Sejak melanjutkan SMK di ibukota propinsi, aku memang jarang pulang. Apalagi setelah menikah setahun lalu.
Motor melaju bak dikejar setan. Awalnya melintasi jalan cor-coran semen yang menghubungkan beberapa desa. Jalannya menanjak dan menurun melitasi perbukitan. Sesudah itu, hanya ada tanah kuning sepanjang jalan. Jalan yang biasa dilewati truk-truk pengangkut kayu. Beberapa kali pula kami melewati jembatan darurat yang hanya berupa kayu log besar yang disusun sedemikian rupa.
Pukul 16.00 sore, kami tiba di TKP. Ada tiga mobil BPBD terparkir di pinggir jalan. Ada tenda posko darurat yang dibangun di pinggir sungai. Juga ada beberapa petugas Polisi dan TNI. Beberapa orang warga lokal tampak bergerombol. Sedangkan mobil Hilux ayah, masih terparkir di tempatnya. Persis seperti foto yang dikirimkan ibu.
Sesudah memarkir motor, kami langsung mendekat. Setelah mengetahui aku anak korban yang hilang, seorang komandan regu langsung menghampiriku. Namanya pak Muhtar. Kebetulan beliau mengenal ayahku. Kota kelahiranku adalah kota kecil, jadi sebagian besar penduduk asli saling mengenal. Hanya pendatang yang mungkin asing dan tak saling kenal.
“Kami sudah melakukan pencarian sejak kemaren sore sampai jam 9 malam, tapi tak ada tanda-tanda ayahmu dan Udin. Pencarian dihentikan karena terlalu beresiko saat malam. Tadi pagi kami sudah melakukan pencarian ke arah hulu hingga sore ini. Namun…”
Pak Muhtar menutup kalimatnya. Diam. Tapi aku paham maksudnya.
“Kau bawa kunci cadangan?”
Aku menangguk. Pak Muhtar lantas mengajakku dan Jaya menuju mobil ayah. Kuperhatikan, mobil Hilux itu terlihat baik-baik saja, hanya bodinya sedikit kotor terkena debu dan tanah. Tak ada bekas rem mendadak, tak ada bekas perlawanan. Tidak ada tanda-tanda dirampok. Tak ada darah. Hanya ada bekas telapak sepatu di sisi pintu supir, kemudian menghilang ke arah sungai.
“Setidaknya bukan pembegalan. Namun, jejak kaki mereka mengarah ke sana sebelum hilang di sungai.” Pak Muhtar menunjuk ke arah hulu sungai yang sepi.
Mataku mengikuti arah tangannya, hanya ada pepohonan dan hutan yang sepi. Namun, sewaktu melihat barisan batu-batu besar, aku melihat…darah.
“Pak, darah apa itu?”
“Oh… tadi pagi ada orang kampung melakukan ritual. Ada lempar beras kuning juga. Katanya untuk meminta ayahmu dipulangkan. Ada dusun dekat sini. Sekitar dua kilometer.”
“Terus, hasilnya?”
Pak Muhtar menggeleng. “Entahlah…hanya takhayul orang kampung. Aku tidak percaya begituan. Sekarang coba kau buka pintu mobil, periksa bagian dalam.”
Ada nada ganjil di suaranya. Aku tahu Pak Muhtar menyembunyikan sesuatu. Namun tak ada waktu untuk menggubris. Aku membuka pintu mobil, seketika tercium aroma aneh. Bukan bau bangkai, bukan juga bau solar. Seperti bau karat besi. Aku membuka pintu lebih lebar. Bau itu semakin tajam, menusuk hidung, meskipun tidak ada noda atau cairan aneh. Hanya bau. Yang tak bisa dijelaskan.
“Jaya… kamu mencium bau aneh ini?” bisikku.
Jaya mengangguk pelan. “Kayak… bau besi. Tapi bukan karat biasa.”
Aku tercenung hingga suara Pak Muhtar mengagetkanku.
Aku memeriksa bagian dalam. Semua normal. Ada beberapa botol air mineral dan camilan. Ada kotak rokok yang tersisa beberapa batang. Juga ada jimat berupa akar kayu yang tergantung di spion dalam.
“Mesin mati. Gigi netral,” celetukku.
“Coba nyalakan.”
Mobil segera meraung-raung. Semua tak ada yang ganjil. Kumundurkan mobil. Lancar. Mobil kini di posisi badan jalan. Mesin kemudian kumatikan.
“Dashcam?” Pak Muhtar sudah berdiri di samping jendela bersama Jaya.
Aku mencabut dashcam dari dudukannya. Sesaat berselang, kami lantas menonton rekamannya. Layar kecil itu menampilkan detik-detik akhir pada malam sewaktu ayah dan amang Udin menghilang.
Mobil melaju di jalan tanah liat, lampu menyorot ke depan, suara ayah terdengar samar.
“Kita isi solar bentar lagi. Aku juga mau ngopi.”
Kemudian suara amang Udin tertawa.
“Pian handak ngopi? Tahan aja dulu. Dekat lagi ada dusun.”
Mobil berbelok pelan. Jalan makin sempit. Kamera terguncang saat melewati batu. Lalu... suara lain. Seperti dengkuran. Mungkin suara mesin? Atau… sesuatu yang lain?
“Kada enak aku, Mang. Kayak ada yang ngikut...”
“Udah, kada usah ngomong gitu, Din!”
Senyap.
Lalu, tiba-tiba layar goyah. Terdengar suara benturan keras, seperti sesuatu menghantam sisi mobil. Kamera menangkap kilatan putih. Kabut. Seberkas cahaya aneh seperti mata... atau lampu?
Kemudian jeritan.
Jeritan Udin, panjang dan parau, lalu berhenti seketika, seolah dicabut dari lehernya sendiri.
Gambar menghitam. Rekaman habis.
Aku terhenyak lalu menatap sekeliling. Tak seorang pun orang bicara. Semua bungkam.
Sungai masih mengalir, tenang dan dalam.
Dan di balik riam yang deras itu, terasa seperti... ada sesuatu yang menunggu.
…bersambung…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
