
Mertuaku datang dari Kota, dia bawa hadiah yang luar biasa untuk anak kesayangannya. Suamiku yang dokter itu senang, sampai aku tersingkirkan. Kuberi pilihan sederhana, sebelum mereka semua kena akibatnya!
Bab 5
Meski harus menahan diri untuk tidak mengamuk dan bersikap rendahan, nyatanya sepanjang perjalananku menuju kandang sapi milik Bang Heri, kedua mata dan pipiku basah. Aku menangis tidak karuan, untungnya helm dengan kaca gelap membantu menyembunyikan ini semua.
Memacu motor tua peninggalan Ayah, aku meluncur hingga sampai di kandang sapi Bang Heri, letaknya persis di ujung sebuah Lorong. Tidak ada rumah di sekitarnya, hanya kandang sapi, serta sebuah gubuk yang ditinggali Bang Heri dengan karyawannya.
Aku memarkirkan motor, lalu masuk. Karyawan Bang Heri menyapa dari kejauhan. Dia sedang sibuk memberi makan para sapi-sapi itu, namun masih sempat memanggil namaku.
“Kak Dell, telat kali hari ini, Kak Del. Bang Heri sampai nyariin tadi!” ocehnya masih tersenyum.
“Iya, Din. Ini … ada pelakor!”
“Hah? Apa … pelopor?” serunya. Wajah Nurdin berubah, dia kebingungan. Pria itu hanya tamatan SD, namun hatinya lebih luas dari lautan. Kepolosannya tidak terbantahkan.
Aku lekas menggelengkan kepala. Nurdin, pria itu mengerti kalau aku tidak mau melanjutkan obrolan kami. Dibiarkannya aku naik ke gubuk, menghampiri Bang Heri yang sedang duduk di teras gubuk itu.
Dia sibuk, sangat sibuk … tumpukan uang yang sudah diikat dengan karet gelang sedang diisinya ke dalam kantong plastik. Seharusnya, itu tugasku. Biasanya juga kulakukan saat datang ke kandang. Bang Heri tidak pernah mengusik keuangan, dia tidak suka dibuat bingung dengan uang-uang.
“Maaf, ya Bang?” lirihku.
Bang Heri tidak menjawab. Aku duduk, mengisi kursi kosong di depannya. Bang Heri memasang wajah masam. Pria itu sudah bersih, rapi dan wangi.
“Biar aku yang setor ke Bank.”
“Tidak perlu, Del. Ini sudah lewat jam operasional, tidak sempat mereka menghitung uang sebanyak ini. Biar besok saja aku antar sendiri. Kamu uruslah permasalahan di rumahmu,” jelas Bang Heri.
Aku terdiam, hatiku bak tersayat. Bang Heri yang selalu ramah, kini lebih sedikit bicaranya. Dia bahkan tidak mengangkat pandangan agar kami bisa bertatapan. Dia terus menunduk, membaca buku catatannya, menghitung pengeluaran dan pemasukan, padahal itu semua tugasku.
“Biar saja, Bang. Aku tidak mau peduli lagi.”
“Kalau begitu ceraikan saja bajingan itu, Del. Kenapa bertahan dengannya? Apa kamu tidak dengar buruknya sikap Nanda di puskesmas? Dia juga ….”
“Tapi, kalau dilepas sekarang, mereka akan terlalu bahagia. Aku dibuatnya menderita selama ini, Bang. Semua janji Bang Nanda dulu pada ayah, semuanya dusta!” aduku padanya sembari mengepalkan tangan.
Bang Heri diam lagi, dia membuka laci, lalu memakai sebuah jam di lengannya. Tahun lalu, jam itu dibelinya dengan harga fantastis karena berhasil menjual begitu banyak sapi, aku diberi bonus, Nurdin dapat motor baru. Padahal terlingat sangat sederhana, makanya tidak ada yang tahu kalau benda mungil itu setara dengan satu ekor lembu miliknya.
“Oh iya, besok ada yang datang mau cek limosin!” ujar Bang Heri.
Aku terkejut mendengar ucapannya. Limosin itu akan laku? Bang Heri mendapatkan anak sapi spesial itu dari kerabat orang tuanya dulu. Sekarang, beratnya saja sudah satu ton lebih.
“I-iya ….”
Seketika hatiku pilu. Apakah Bang Heri akan menjualnya? Memang harganya sudah setara dengan satu inova, tapi Bang Heri sangat menyayanginya.
“Bang ….”
“Tidak apa, Del. Sapi memang harusnya disembelih, biar dia dikurbankan orang-orang yang bersedia membayar di hari raya haji nanti,” jelas Bang Heri.
Namun, kudapati suaranya bergetar. Ini pasti tidak mudah. Sapi itu adalah sisa kenangannya dengan kedua orang tuanya. Sanggupkah dia melepaskannya?
“Del, besok kerja dari pagi saja, aku beri gaji penuh seperti Nurdin. Tidak perlu kamu susah payah menahan diri lagi dengan Nanda. Pria macam itu, jangankan peduli dengan nafkahmu, dirinya saja luntang-lantung!” papar Bang Heri lagi.
“Iya, Bang. Aku memang berniat begitu. Mau kerja di sini, seperti Nurdin.”
Saat itulah, Bang Heri mengangkat wajahnya. Manik matanya yang kelelahan, serta alisnya yang tebal dan pendek itu seolah tersenyum.
“Bagus.”
Pria ini memang tidak rupawan seperti Bang Nanda. Badannya sering bau sapi, berkutat setiap hari dengan puluhan sapi di kandang, berurusan dengan para pedagang siang dan malam, penampilannya saat bekerja sungguh tidak sedap dipandang mata, tapi hatinya … lebih indah dari purnama.
“Kalau gitu, aku mau ikut Nurdin, mau tanya sapi mana yang akan diperlihatkan ke pembeli besok, Bang.”
“Iya, pergilah, Del.”
Aku mengangguk, lalu hendak turun dari gubuk. Perasaanku bercampur aduk, tidak menentu.
“Del?” panggil Bang Heri.
Kutolehkan wajah. Pandangan kami bertemu.
“Harusnya, aku yang datang, Del. Maaf karena tidak punya keberanian itu,” ujar Bang Heri.
Aku tersenyum, tapi hati ini teriris.
“Tidak apa, Bang. Sudah jalanku begini,” lirihku sebelum gegas turun dari gubuk, agar air mata yang tiba-tiba terjun di pipiku tidak terlihat olehnya.
Bab 6
“Del, kamu dari mana saja?”
Baru kulangkahkan kaki ke dalam rumah, suara bariton itu menyambut diriku. Padahal, tubuh ini Lelah bermandikan peluh, aroma sapi juga menempel di baju dan jilbab. Ditambah lagi, tiba-tiba saja Bang Heri kedatangan beberapa pembeli di luar janji, sampai aku telat pulang dan akhirnya makan malam di gubuk.
“Del, kamu ini gimana, sih? Kami belum makan malam!” sambung Perempuan lain yang kini serupa dengan mak lampir.
Jilbabnya entah ke mana, hingga rambut putihnya terbang kemana-mana. Ibu mertuaku berdiri di belakang Bang Nanda, menatapku berang. Sedangkan Santi masih santai di sofa memainkan gawai, lalu Ningsih juga duduk di sebelah gadis muda itu- bak ratu.
“Apanya yang gimana, Bu?” Aku membalas, kuayunkan kedua kaki hingga melewati Santi dan Ningsih.
“Kami belum makan malam gara-gara kamu kerja sampai malam. Masih mau ngelak juga kamu, hah?” seru ibu mertua. Mereka sudah berani membentakku padahal baru beberapa saat di sini. Kutebak, mereka denial dengan kenyataan yang sudah kuutarakan sebelum berangkat kerja tadi.
Beliau mencegahku pergi lebih jauh, mencengkeram lenganku begitu erat. Sakit, tapi gegas aku mengentak tangan hingga Perempuan itu terhuyung.
“Kalau mau makan, minta calon mantu kesayanganmu yang masak, Bu. Aku kan sudah bilang, kuizinkan Bang Nanda nikah, tapi syaratnya aku dibebaskan dari semua urusan rumah tangga dan boleh bekerja sesukaku!”
Wajah Bang Nanda berubah, dia kaget. Ekspresi kesalnya sesaat lalu menghilang begitu saja. Kini, Bang Nanda melihat lantai, menggaruk pelipis. Sepertinya, dia tidak menduga kalau ancamanku benar-benar terjadi.
“Loh, kok malah aku yang disuruh masak, sih?” Ningsih menyahut.
Kulirik Perempuan itu. Rupanya, dia sama gilanya dengan orang-orang di sini. Belum sehari penuh bersama kami, Ningsih sudah berani berpakaian seksi di rumahku. Dasternya sangat pendek, jauh lebih terbuka sampai belahan dadanya terlihat. Sepertinya dia sudah merasa jadi istri Bang Nanda, sampai berani bersikap buruk.
“Iya, kok Ningsih yang harus masak. Itu tugasnya kamu, Del. Kamu itu istrinya Nanda!”
“Sebentar lagi Ningsih juga jadi istrinya Bang Nanda, kan? Kenapa tidak Ibu minta saja dia yang masak, hitung-hitung uji coba jadi mantu, gitu?” ledekku.
“A-aku nggak bisa masak, jadi kamu aja yang masak!” balas Ningsih.
“Oh, gitu? Kalau begitu, perjanjian kita batal? Aku tidak akan setuju dengan pernikahan kalian, lalu kamu bisa pulang dan lupakan mimpimu jadi istri seorang dokter umum bernama Nanda!” paparku sembari melipat kedua tangan di dada.
Ucapanku itu membuat keadaan semakin meruncing. Ibu mertua melirik calon menantunya, kemudian Nanda dan Santi. Kutebak mereka kelaparan sekarang, mungkin masakanku untuk siang juga sudah mereka habiskan.
“Ningsih, masak saja sana! Tunjukkan kalau kamu calon istri terbaik untuk Nanda pada Perempuan setres ini!” seru ibu mertua.
“Hah, I-ibu? A-aku yang masak?”
Aku terkikik geli karena Ningsih panik. Duduknya yang sedari tadi arogan, asal-asalan hingga paha putihnya terlihat telah berubah total. Ningsih melirik Nanda, mungkin meminta pertolongan.
“Hah, sudahlah! Pusing ….” Bang Nanda berseru. Setelahnya, dia masuk ke dalam kamar.
Tinggallah kami di sini, di ruang tamu. Aku benar-benar bahagia melihat keadaan ini, mereka saling melempar tugas, saling memunggungi dan mengabaikan.
“Ya sudah, Bu … aku masuk dulu.”
Obrolan dengan mereka kuakhiri segera. Aku beranjak masuk ke kamar, masih dengan pikiran jernih dan sedikit rasa bahagia karena melihat Ningsih gelagapan. Tentu saja dia tidak akan berani menolak perintah ibu mertua. Kutebak, Ningsih akan berusaha melakukan segala cara agar bisa menikahi Bang Nanda, meski itu berarti akan menyulitkan dirinya sendiri.
Namun, usai mendorong pintu kamar, kudapati hal paling menjijikkan. Bang Nanda berbaring di ranjang, memainkan gawainya dengan santai sembari berkata padaku, “Ibu yang minta, bukan Ningsih. Jadi, tidak perlu protes padanya. Lagi pula, nanti Ningsih juga akan tinggal di sini, biar sekarang saja dia masukkan semua barangnya ke kamar ini.”
“Jadi maksudmu, kalian akan tidur sekamar mulai dari malam ini?” Aku berseru keras, seluruh tubuhku melemah melihat seisi kamar telah berubah hanya dalam beberapa jam.
Meja rias yang biasanya berisi beberapa skinker murah dan kosmetik milikku, kini dipenuhi berbagai macam merek skinker dan kosmetik dari brand mahal, belum lagi lemari dan seisinya yang tidak lagi milikku.
Ya Allah, tega sekali mereka ….
Belum genap satu hari, tapi kelakuan bejat mereka umbar begitu saja. Apakah mereka tidak takut dosa? Tidak khawatirkah mereka dengan hilangnya keberkahan dalam hidup?
Kutatap Bang Nanda, dia pria yang kunikahi dan kubanggakan di depan ayah dulu. Ternyata, sifat aslinya jauh lebih buruk dari yang bisa kubayangkan, begitu juga dengan keluarganya.
“Biar Ningsih tidur di ranjang, aku tidur di lantai saja, Del.”
“Apa?” pekikku.
Ya Allah, suamiku dan keluarganya sudah kehilangan akal. Seketika aku jijik padanya, tubuh ini meremang membayangkan setiap hari yang akan kuhabiskan dengan Bang Nanda. Dia menganggap mudah perzinahan hingga tega mengusirku ke kamar lain agar bisa berduaan dengan Perempuan busuk itu.
“Ini zina, Bang. Kamu berniat kumpul kebo dengan Ningsih, hah?” Aku menujuknya.
Aku berjalan cepat menghampiri Bang Nanda, menarik salah satu bantal lalu menghantam pria itu. Gawai Bang Nanda terlempar, pria itu juga terkejut.
“Del, kenapa kamu begini, sih?”
“Kalau Abang tetap begini, kalian bakal aku laporin ke Kepala Desa!” ancamku dengan tangan yang menunjuk jendela.
Syukurnya, rumahku sangat dekat dengan kepala desa. Dia tinggal di seberang, jadi mudah bagiku untuk melapor ke sana.
“Della?”
“Kamu pilih, Bang!” Telunjukku mengarah padanya. “Dengerin aku atau kalian kulaporkan ke kepala desa?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
