Membalas Mertua dan Suamiku (Bab 5 dan 6)

0
0
Deskripsi

Nafkah lima belas ribu sehari? Suamiku gajinya tujuh belas juta sebulan. Benar-benar keterlaluan!

BAB 4: Membalas Mertua dan Suamiku

 

"Dek?" Bang Agam menoleh padaku.

 

Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku.

 

"Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?"

 

"Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam.

 

Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga.

 

Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari.

 

Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah.

 

Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istana yang seharusnya meratukan diriku. Malah sebaliknya, akulah yang jadi babu di sini.

 

"Tsk, aduh ... kepalaku sakit sekali. Ibu khutbah pagi-pagi begini, padahal sarapan saja belum." Aku menyindir.

 

"Kan kamu yang belum masak, Dek? Baru semalam aku beri uang." Bang Agam menyahutku lantang.

 

"Bang, apa enggak malu sama jam di tangan? Sama baju dan sepatu yang mahal itu? Masa belanja dapur cuma lima belas ribu?"

 

Wajah Bang Agam berubah. Dia kesal dengan ucapanku dan hendak menyalak kembali. Namun, ibu mertua menahan agar dirinya tidak memarahiku.

 

"Jangan begitu, Gam. Jangan marahi istrimu, jangan tinggikan suara di depan dia. Kamu harus sabar, ingat bagaimana lelahnya istrimu mengurus rumah ini."

 

"Aduh, Bu ... kenapa enggak Ibu ingatkan juga pada Bang Agam supaya nafkahku diberikan? Pembantu saja digaji, ini istri malah ditelantarkan begini!" sahutku lagi.

 

Keduanya melirik serentak. Bang Agam jelas tersinggung terus kusahut tanpa henti.

 

Pria itu sangat menjunjung tingginharga diri sebagai lelaki. Jika terus dijawab begini, maka emosinya akan melalak tidak terkendali.

 

"Ima?" Ibu mertua menyerukan namaku.

 

Membalasnya, aku tersenyum tenang. Sungguh, hati ini bahagia sekali melihat ekspresi kesal di paras anak-beranak itu.

 

"Iya, Bu. Ada apa Ibu manggil aku? Mau ajak beli emas, atau ...."

 

"Dek?"

 

Bang Agam muntab. Aku yang tidak berhenti menyahut ibu mertua berhasil menyulut emosinya hingga ke ubun-ubun.

 

Dia melangkah cepat menghampiriku. Tatapannya sudah ingin menerkam. Gurat kemarahan terpampang jelas di parasnya yang putih itu.

 

"Berangkat kerja dulu, Bang. Sudah jam berapa ini?" ujarku lagi.

 

Bang Agam mengepal tangan. Dia mengentakkan kaki di lantai, mengerang kesal lalu pergi begitu saja ke luar.

 

Di belakang ibu mertua menyusul. Masih sibuk berteriak soal emas yang ingin dibelinya langsung hari ini. Ibu mertua juga tidak tertarik dengan kondisi Bang Agam yang belum sarapan, atau fakta jika pria itu harus bekerja di pagi hari.

 

Kuulas senyum terakhir kali. Tertera jelas di wajah bahwa aku menertawai nasib Bang Agam hari ini.

 

Tidak perlu lama-lama, keadaan segera aman. Suara senyap bahkan dari arah garasi. Bang Agam beserta ibu mertua sudah pergi dan aku tidak mau peduli bagaimana rencana mereka hari ini.

 

Sebelum aku melaksanakan misi baru, kupastikan kondisi tubuh cukup prima hari ini. Setelahnya, aku mengeluarkan beberapa camilan dari dalam kardus kecil di bawah kolong kasur, makanan yang aku sembunyikan dari Bang Agam dan ibu mertua.

 

Selama ini, mereka menjatah makanku, menjatah minum dan jajan. Bahkan mereka tidak bersedia memberikanku hak serta nafkah, kini akan kubalas satu per satu itu semua sampai di titik di mana Bang Agam sadar kalau dirinya telah salah memperlakukan diriku.

 

Bab 5: Membalas Suami dan Mertuaku

 

 

Hal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.

 

 

 

Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.

 

 

 

“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.

 

 

 

Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.

 

 

 

Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya denganku.

 

 

 

Kami berkejaran dengan waktu, mencoba menemukan celah untuk mendapat rezeki di bawah ribuan titik debu serta panasnya matahari. Saling sapa, bertanya juga mengumbar senyum, seolah tidak ada peluh yang membanjiri tubuh.

 

 

 

“Mbak, udah dapat berapa?” Seorang pria menegurku di lampu merah kota ini.

 

 

 

Aku menoleh ke arahnya. Lalu melambaikan tangan karena mengenal sosok jakung di sebelahku itu.

 

 

 

“Tadi sudah orderan kesepuluh, Bang. Tok cer hari ini!”

 

 

 

“Waduh, aku sudah dapat lima belas. Ini … sekalian bisa tidak tolong diantar ke Perusahaan A&B Start up? Soalnya saya agak kebelet, Mbak.”

 

 

 

Aku mengernyit. Bukan karena kaget mendapat rezeki nomplok secara tiba-tiba. Tapi ….

 

 

 

“A&B?”

 

 

 

“Iya, Mbak. Tolong, ya?” ulangnya.

 

 

 

Tanpa seizinku sekalipun, pria jakung tersebut langsung menyodorkan dua box makanan mahal dari sebuah restoran. Dia juga menitipkan pesan jika orang yang mengorder makanan beraroma memikat itu adalah sosok penting di Perusahaan, bertubuh tegap dan rupawan, memakai kacamata.

 

 

 

Ah … aku ingin sekali menolaknya.

 

 

 

Belum sempat kuutarakan hal tersebut, pria yang kukenal dengan nama ‘Patrio’ itu langsung mengebut saat lampu berganti hijau. Dia meninggalkan deru yang mengejutkan beberapa pengendara motor lain di belakang, serta sekelebat bayangan yang tidak bisa dihindarkan mata.

 

 

 

“Aduh!” keluhku mengudara sembari menenteng plastic di tangan.

 

 

 

Terpaksa, dengan sangat terpaksa aku menurunkan kaca helem, menarik gas lalu meluncur jauh ke sebuah tempat yang disebut dengan A&B Startup. Ada banyak kemungkinan di dunia ini, semoga saja kemungkinan yang kuhindari tidak pernah terjadi.

 

 

 

Aku duduk di ruang tunggu tanpa melepas helem dan masker di wajah. Mata mengitari setiap bagian dari kantor yang modern ini. Bahkan sofa dan lukisan yang ada di dinding juga sangat futuristik. Tidak ada yang akan menyangka jika orang-orang yang bekerja di dalamnya akan berwajah masam seperti beberapa sosok yang baru saja melintas di depanku.

 

 

 

Kuhela napas. Lelah luar biasa.

 

 

 

Mengais rezeki di bawah panasnya matahari, berkejaran dengan sesama pencari nafkah, hingga resiko demi resiko yang harus kuhadapi. Semuanya … semuanya hanya karena suamiku yang bergaji tujuh belas juta itu tidak tahu apa tugasnya.

 

 

 

Ting!

 

 

 

Gawai di tanganku berdenting. Notifikasi dari aplikasi yang menaungi hidupku muncul di layar, membuatku mengulas sebuah senyum karena tulisan yang tertera di dalamnya.

 

 

 

[Saya lagi menuju ke situ, tolong tunggu sebentar.]

 

 

 

“Syukurlah,” seruku sembali memejamkan mata.

 

 

 

Aku bahagia, membayangkan tugas yang mendebarkan ini akan menemui titik akhirnya. Sebab, ada hal yang sangat ingin kuhindari di Perusahaan ini.

 

 

 

“Mas yang ….”

 

 

 

“Loh, Mbak rupanya. Aku kira Mas-Mas!” Seorang pria dengan kacamata tebal mengulas senyum padaku.

 

 

 

Dia mengecek sekali lagi gawainya yang bagus. Aku meneguk ludah, persis dengan milik suamiku. Ternyata, Perusahaan ini memang sangat memanjakan karyawannya.

 

 

 

“Iya, tadi dititip sama temen, Mas. Ini pesanannya, sudah beres semua.” Aku menjelaskan tanpa membuka masker di wajah.

 

 

 

Bahaya sekali andai ada yang mengenali hadirku di tempat ini. Sebab, aku tidak ingin ada yang tahu pekerjaanku, agar segalanya bisa berjalan dengan lancar sesuai rencana di awal.

 

 

 

“Oke, tidak masalah. Ini, Mbak … tips dari saya.”

 

 

 

Tiba-tiba saja pria itu mengulurkan selembar uang berwarna biru. Masih sangat baru, tidak terlihat tanda kejamnya dunia pada lembaran tersebut. Berbeda dengan nominal di bawahnya yang sudah mengecap pahit manisnya kehidupan.

 

 

 

Aku menolak, malu rasanya jika harus menerima tips yang sebenarnya adalah hak rekan kerjaku. Namun, pria itu memaksa.

 

 

 

“Baiklah, terima kasih. Saya terima uangnya. Saya balik dulu, Mas.”

 

 

 

Aku tersenyum terakhir kali. Saat hendak berbalik, hadapku beradu dengan sebuah sosok yang memerhatikan dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan matanya tajam, memicing jelas hingga keningnya yang halus berkerut. Entah sejak kapan dirinya sudah di sana.

 

 

 

“Kenapa, Gam? Serius amat!” Pria di belakangku memanggil rekan kerjanya.

 

 

 

Tidak ada jawaban apa pun. Sunyi menerpa, pria itu masih menelisik diriku dengan tidak sopannya.

 

 

 

Aku tersinggung? Bukan, lebih tepatnya takut dengan tatapan yang tajam itu. Takut andai kedokku yang tertutup rapi selama ini terbongkar hanya karena sebuah pesanan ke Perusahaan ini.

 

 

 

Oh tidak! Aku tidak ingin ini terjadi.

 

 

 

“Kenapa, sih? Gam … balik, Gue laper!” Pria itu menyeru kembali.

 

 

 

Ya, Agam nama pria di hadapanku saat ini. Pria yang seharusnya menjadi suami kebanggaanku sebab bekerja di sebuah perusahaan besar dengan penghasilan fantastis. Nyatanya, kini kami berhadapan begini. Aku sebagai tukang ojol dan dirinya calon pelanggan yang sewaktu-waktu bisa saja membuat pesanan.

 

 

 

“Enggak, Gue agak ….”

 

 

 

Bang Agam memicingkan mata sekali lagi. Dia mencoba menelusuri diriku dengan liar hingga tubuhnya menunduk. Tidak lupa, Bang Agam juga memandangi sepatu lusuh yang kupakai, barang lama yang kubeli saat masih diratukan olehnya.

 

 

 

“Gam, ayolah ….” Pria itu terus menggerutu.

 

 

 

Aku mengatup bibir, jangan sampai deru napas apa lagi suara terdengar olehnya. Bang agam akan langsung mengenali diriku. Jika sudah begitu, maka impianku mencapai kesuksesan tinggal mimpi semata.

 

 

 

“Sebentar, Gue kenal deh sama ….”

 

 

 

“Lo punya kenalan ojol Perempuan? Setahu Gue, ojol Perempuan itu langka!” sahut pria itu lagi.

 

 

 

Meski sudah ditegur sedemikian, Bang Agam bergeming. Dia masih memerhatikan diriku, sedetik … dua detik.

 

 

 

Jujur, aku risih ditatap begitu olehnya. Ditambah, ada rasa khawatir andai kedokku benar-benar terbongkar.

 

 

 

“Maaf, bisa minggir?” tegurku usai mengubah nada bicara menjadi lebih berat.

 

 

 

Efeknya, Bang Agam terkejut. Pria itu melangkah mundur, kemudian melirik dengan ekor mata sebelum bergabung dengan rekan kerjanya.

 

 

 

“Udah, ikut Gue makan!”

 

 

 

“Aneh, Gue yakin pernah lihat tuh orang!” sambut Bang Agam.

 

 

 

Jantungku berpacu lagi. Kutepis gundah, lalu mengayun Langkah agar menjauh darinya. Apa pun itu, aku tidak ingin ketahuan olehnya hari ini.

 

 

 

“Tunggu!” Bang Agam mencegatku.

 

 

 

Aku terhenti, namun tidak berbalik.

 

 

 

Perlahan-lahan, derap langkahnya mendekat. Bang Agam menghampiri diriku yang kini berjarak kurang dari satu meter darinya.

 

 

 

Entah apa lagi yang ingin dilakukan oleh pria itu, aku sendiri tidak tahu. Kenapa dia bisa begitu terusik dengan kehadiran sosok seperti ini.

 

 

 

“Mau keluar, kan?” tanyanya.

 

 

 

Kuanggukkan kepala agar cepat berlalu. Lalu, Bang Agam mengangkat tanganku yang terbungkus sarung tangan, kemudian mengisi genggaman dengan sebuah kotak kecil yang telah kandas isinya.

 

 

 

“Minta sekalian buang.”

 

 

 

Zrash! Bak disambar petir. Bang Agam lekas berbalik dan merangkul temannya.

 

 

 

Sedang diriku hanya bisa menggenggam bungkus beraroma cengkeh itu demi meluapkan kekesalan. Sungguh, tidak kuduga jika suamiku punya sifat sejelek ini bahkan pada orang asing.

 

 

 

Awas saja kamu, Bang. Tunggu pembalasanku.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Membalas Mertua dan Suamiku (Bab 7 dan 8)
0
0
Nafkah lima belas ribu sehari? Suamiku gajinya tujuh belas juta sebulan. Keterlaluan!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan