Membalas Hinaan Keluarga (Bab 3 dan bab 4)

0
0
Deskripsi

Karena suamiku bukan keturunan Said, kami dihina, terlebih karena dia berasal dari keluarga sederhana.

Aku bertekad membalas hinaan ini dengan kesuksesan suamiku. Tapi, perlahan-lahan rahasia terbuka.

Benarkah mamak dan ayah membenciku? Atau ini hanya .... 

Bab 3 Membalas Hinaan Keluarga

 

Dua jam. Dua jam lamanya aku mengitari pasar di Kota Lhokseumawe dengan menyeret suamiku ke sana-ke mari. 

 

Pria itu masih tidak mengerti kenapa aku memghabiskan begitu banyak uang untuk bahan makanan. Bahkan, kami sudah memborong saat di mal tadi. 

 

“Dek, buat apa ini semua? Siapa yang habiskan?” tanyanya sembari membantuku mengangkat belanjaan yang tidak berkesudahan ke atas sebuah becak motor. 

 

Sudah kuniatkan di dalam hati untuk membalas sakit hati ini pada keluarga. Mereka bahkan mencela suami dan anak-anakku yang tidak bersalah demi memuaskan nafsu duniawinya semata. 

 

“Dek, jawab Abang?” tuntut Bang Andi tanpa berhenti membantu. 

 

Hampir saja aku menangis di tempat umum mengingat semua perlakuan kasar yang kuterima demi menikahi pria baik hati ini. Apa yang salah darinya? Bukankah masa depan setiap orang tidak ada yang tahu? 

 

Bang Andi terdiam sejenak. Dia melihatku yang sibuk menahan tangis meski kami sedang berbelanja sekalipun. 

 

Barulah, pria itu berujar lembut, “Abang tidak akan tanya lagi kalau begitu. Lakukan saja apa yang bisa membuat hati Adek membaik.” 

 

Setelahnya, Bang Andi mengeluarkan gawai. Dia membuka aplikasi m-banking yang sebenarnya kutahu sandinya. Selama menikah, pria ini sangat transparan, termasuk jika ada perempuan yang datang ke dalam hidupnya setelah dia seperti sekarang. 

 

“Abang sudah kirimkan lagi uang untuk Adek, pakailah. Kalau kurang, sekalian ini kartu ATM Abang,” paparnya kembali. 

 

Bang Andi menyerahkan satu kartu yang paling jarang dia gunakan hingga masih terlihat sangat baru serta mengkilap. Kartu itu adalah salah satu kartu yang dia pakai untuk menimbun semua penghasilan yang didapat olehnya selama ini. Lalu saat sudah mencapai titik tertentu, dia akan mencairkannya untuk menambah aset atau menambah modal. 

 

Kuhela napas, aku tahu Bang Andi sangat baik, lantas kenapa kebaikannya tidak bisa dilihat oleh orang lain? Bahkan setelah tahu kedatangan kami tidak ditunggu atau disambut, tidak diberi ruangan untuk beristirahat meski hanya sebuah gudang yang sudah dibersihkan, Bang Andi tidak marah. Malah dia mencari solusi lain agar tidak mengganggu anggota keluargaku. 

 

“Terima kasih, Bang,” ucapku padanya. 

 

Sungguh, hati ini menghangat kembali. Aku tidak mengerti kenapa pria sebaik dia diperlakukan dengan kasar seperti ini. Padahal, sudah delapan tahun. Tentu saja akan ada banyak perubahan dalam hidup. Terlebih, Bang Andi adalah pria pekerja keras yang tidak tahu caranya mundur. 

 

“Sama-sama, Dek.” 

 

--

 

Satu jam perjalanan dengan becak, kami tiba di rumah kembali. Aku menyewa dua becak untuk membawa seluruh barang-barang belanjaanku dengan Bang Andi. 

 

Kenapa harus pakai becak? Sebab, saat hendak berbelanja tadi, aku berpapasan dengan Bang Zainul di garasi. Dia sedang merokok, hanya melihat kehadiran kami di sana tanpa bertanya ke mana langkah akan kami bawa. 

 

Bang Andi juga sudah menyewa mobil dari teman kuliahnya dulu, alangkah tidak sopan jika dibatalkan di tengah jalan. Suamiku juga tidak akan bersedia melakukannya.

 

Bang Zainul punya mobil pembelian mamak dan ayah karena dia adalah anak laki-laki satu-satunya, tapi itu juga tidak ditawarkannya untuk Bang Andi. Sekarang, ada baiknya kubalas sedikit agar semua orang tahu jika suamiku bukanlah sosok yang hina seperti ucapan mereka. 

 

“Pak, turunkan semuanya di sini!” Aku berseru dengan suara nyaring. 

 

Hari ini lebaran, sulit sekali mencari toko yang masih buka. Untung saja ada beberapa grosir yang melayani dan mall yang tetap menerima pengunjung. Jika tidak, maka entah bagaimana caraku membalas hinaan dari keluarga. 

 

“Iya, Buk. Siap!” jawab salah satu supir becak. 

 

Aku dan Bang Andi turun di halaman rumah. Pria itu bergegas membantu menurunkan seluruh barang yang kami borong di kota tadi dan membawanya masuk ke dalam rumah. 

 

“Pak, susun di sini saja dulu, nanti kami bereskan sendiri!” Aku memberi titah lagi. 

 

Kuboyong satu pak cokelat kesukaan anak-anakku, harganya cukup lumayan. Jika dibandingkan dengan kehidupan di awal pernikahan, maka mustahil untukku membelikan mereka. 

 

Syukurlah, nasib telah berubah. Kehidupan berganti dengan cepat. Siapa yang paling bekerja keras dan tulus akan menuai kebaikan dan kesuksesan. 

 

“Mama?” sapa Bahagia melihatku masuk ke dalam rumah. 

 

Dia tergopoh-gopoh berlari dari dapur hingga pegangan Bunda Aida padanya terlepas. Bahagia menghambur ke arahku, menubruk kedua kaki sampai kotak cokelat itu jatuh. Isinya berhamburan, menyebar ke seluruh lantai. 

 

Seketika suasana menjadi panas. Keluarga yang sedari tadi sibuk Ha Ha – Hi Hi di ruang tamu berpaling ke arah kami. 

 

Mereka terkejut melihat puluhan batang cokelat mahal itu berjatuhan. Anak-anakku yang menyusul dari belakang langsung mengumpulkan satu per satu bersama-sama. Sedang Bahagia berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya. 

 

Di antara kericuhan itu, ada Said Lana yang ikut. Putra dari Bang Zainul juga mengutip cokelat yang kubeli untuk anak-anakku. 

 

Awalnya, aku tidak menegur karena hanya cokelat. Tapi, putraku Bahagia tidak terima miliknya diambil oleh orang lain. 

 

Bahagia langsung mendorong Said Lana dan merebut semua miliknya. Dia berseru jika itu adalah pembelian dariku untuknya. 

 

“Mama!” pekik Said Lana. Anak kecil itu mengadu pada perempuan yang baru saja muncul ke ruang depan. 

 

Dia menggendong anak bungsunya, lalu memerhatikan keadaan. Cokelat berhamburan di lantai dan puluhan kardus berisi makanan dan bahan masakan datang tanpa henti. Begitu pula yang dilakukan mamak serta keluarganya. 

 

“Astaga, apa ini semua?” seru Syarifah Humaira. “Minta sini!” 

 

“Enggak!” Anakku̶ Bahagia menolak dengan tegas. “Orang jahat enggak boleh ngambil makanannya Mama dan Papa. Kamu bilang kalau aku enggak boleh makan yang di rumah.” 

 

“Ih, ngeselin. Sudah numpang masih banyak omong,” omelnya pada Bahagia. 

 

“Jangan sembarang mencela anakku, Humaira. Kami tidak numpang di sini, kalian suruh kami beli bahan makanan kalau ingin makan, ini sudah kubelikan, sekalian untuk kalian hajatan dan tujuh bulananmu nanti!” balasku dengan emosi yang mencabik-cabik kesabaran. 

 

Bang Andi masuk dengan kardus terakhir. Pria itu paham jika aku sedang ingin membalas sakit hati pada keluarga, hingga dia bergerak lembut, menjemput keempat anak kami dan membawa mereka keluar dari rumah. 

 

“Kita ke mall sebentar lagi, ya? Papa sudah sewa mobil,” ujar Bang Andi. “Kita tunggu mobilnya diantarkan teman Papa, baru kita ke kota sama-sama.” 

 

Bahagia terlonjak, kakak-kakaknya berseru girang. 

 

“Alah, banyak gaya sekali kalian. Pakai acara borong-borong begini!” cela Kak Suci. “Ngutang lagi, ya? Nanti siapa yang bayar kalau kalian balik ke Jakarta?” 

 

Mendengar ocehannya, aku mengumbar smirk. Lalu, tas kecil yang tersilang di badan kubuka. Di dalamnya ada beberapa struk pembayaran debit dan tunai dari banyak toko serta mall. Kulempar ke lantai, tepat di ujung kaki Kak Suci. 

 

“Ini, lunas semuanya. Jangan takut lagi kami akan makan dari duitmu,” balasku. 

 

Mamak merunduk pelan, dia memungut semua struk itu dan membacanya satu per satu. Manik matanya yang semula sayu seketika melebar hampir melompat. Mamak menutup mulutnya yang membuka. Dia menyerahkan lembaran mungil di tangannya untuk Kak Suci dan berbisik sesuatu. 

 

“Mana mungkin!” seru perempuan itu. 

 

Dia menurunkan anak bungsunya demi mengambil struk yang aku lemparkan. Seketika bola matanya membesar kembali. 

 

“Satu juta, satu juta lima ratus, tujuh ratus lima puluh, lima ratus, satu juta seratus, delapan ratus dua puluh, satu juta tujuh ratus!” 

 

“Lunas semuanya, Kak. Jangan khawatir, kami tidak akan menyusahkan kalian selama di sini,” ujarku lagi. 

 

 

Bab 4 Membalas Hinaan Keluarga

 

Air mata mengalir dan buru-buru kuhapus usai berkata demikian pada Kak Suci. Haruskah begini dengan keluarga sendiri? Anak-anak terluka dan suamiku dipermalukan, tidak mungkin aku hanya diam saja dan menonton seperti patung. 

 

Manusia ada batasnya. Delapan tahun di perantauan kami diabaikan. Pernikahan Bang Zainul kami tidak dikabari, tahu-tahu Bang Zainul posting foto acara resepsi. 

 

Sungguh, hatiku remuk tidak terkira. Kami hanya merantau, bukannya mati, tapi diperlakukan seperti sudah musnah dari muka bumi.  

 

“Tidak percaya Mamak, sejak dulu kalian berdua hidupnya susah, masa tiba-tiba bisa belanja habis-habisan begini? Keluarganya Andi juga miskin, dapat duit dari mana kalian?” balas mamak lagi. 

 

Mamak merebut struk dari tangan Kak Suci lalu mencabik-cabiknya dengan kejam. Setelah itu, dilemparkannya ke lantai serupa dengan yang aku lakukan sesaat lalu. 

 

“Jangan ada yang makan pembelian Dewi dan suaminya!” Mamak menyerukan perang. “Jangan ada yang makan, Mamak tidak rela kalian makan dari duit mereka berdua. Bisa jadi itu duit haram.” 

 

“Astagfirullah, Mamak!” Aku meratap. Tega sekali beliau menghina kami sampai seperti ini. 

 

Perseteruan itu berlanjut, mengundang banyak mata dan telinga untuk melihat. Ayah yang sibuk dengan ayamnya saja sampai datang ke depan, memantau serta mempelajari segala yang sedang terjadi. 

 

Sorot mata ayah memendar cepat, menyoroti setiap kardus yang kubawa dari kota. Beberapa batang coklat masih berhamburan di lantai, Syarifah Humaira sendiri ciut di sudut. Meski demikian, sempat kulihat ujung jari kakinya menggeser satu batang cokelat dan disembunyikannya ke saku. 

 

“Sudah, Wi. Selama ini, jangan banyak tingkah kalian. Duduk dan diam, setelah itu kembali ke Jakarta.” Mamak memberi keputusan. 

 

“Astagfirullah, Kak. Insap, apa pantas ngomong begitu ke anak sendiri?” Bunda Aida berseru lantang. 

 

Dia beranjak ke depan mamak dan diriku, menjadi penengah di antara perdebatan yang tiada akhir ini. Sedangkan aku berusaha menguatkan diri, menahan tangis dan perihnya dada agar bisa terus melawan dan membalas hinaan yang tidak berkesudahan ini. 

 

Andai ... andai bukan karena permintaan Bang Andi, aku tidak akan pulang ke rumah ini. Jika bukan karena bujuk rayunya kalau kami akan diterima dengan baik di sini, sungguh aku lebih senang tinggal di Jakarta bersama anak-anak saja. 

 

“Mereka baru pulang setelah delapan tahun. Tolonglah, kalian pakai otak kalian sekali saja,” cecar Bunda Aida lagi. 

 

“Bun, kenapa Bunda jadi banyak bicara dan membela Kak Dewi, sih?” sahut Humaira. “Bunda sudah dikasih apa sama mereka? Apa Bunda lupa kalau mereka sendiri yang menerima keputusan mamak dan ayah waktu itu?” 

 

“Maksudmu soal pernikahanku dengan Bang Andi?” 

 

“Apa lagi?” Syarifah Humaira memutar bola mata. 

 

“Mamak sudah bilang jangan nikahi dia, ayah juga tidak setuju. Kenapa kamu paksa kami terima dia? Lihat anak-anakmu, tidak ada keturunan Said di dalam nama mereka.” Mamak menunjuk keempat anakku yang menunggu di garasi. 

 

Di sana, kulihat Bang Andi menarik napas sampai pundaknya terangkat. Pastilah hatinya kacau luar biasa. 

 

“Dia jodohku, Mak. Apa menurut Mamak di dunia ini semua orang akan berjodoh sesuai dengan kemauan kita?” elakku lagi. 

 

“Jangan banyak bicara, sudah kamu nikahi dia, terima saja akibatnya. Kalian pulang kami tidak pernah suruh, sudah di sini banyak gaya, pakai acara beli-beli makanan segala. Ngutang dari mana kalian? Keluarganya saja miskin sampai tidak bisa makan!” 

 

“Sudah, cukup!” sahutku. 

 

“Berhenti membahas hal ini, Ayah tidak mau dengar lagi.” Kemudian, ayah bersuara dari tempatnya. 

 

Dia memandangi kami semua satu per satu dengan tatapan yang tajam dan menyayat. Sontak saja seluruh keluarga terpukul mundur, termasuk mamak dan Kak Suci. Bang Zainul juga tidak berani bersuara meski dia adalah seorang pria. 

 

Hanya satu kata itu saja, lalu ayah berbalik arah. Dia beranjak menuju halaman belakang seperti sebelumnya. 

 

Tidak ada lagi yang berbicara, tidak ada lagi yang mendebat. Mamak bergerak memerintah agar kami semua bubar. 

 

“Sudah, bubar atau pulang semuanya. Lebarannya sudah dulu, besok saja dilanjut lagi.”

 

Celaan dan cebikan kasar mengudara, meski demikian kuabaikan itu semua demi menemui anak-anak dan suamiku di garasi. Mereka berdiri seperti tidak punya apa-apa di dunia ini, padahal Bang Andi adalah pria pebisnis yang sangat dihormati di Jakarta. 

 

Melihat mereka, rasa sakitku menggelegar. Aku mendekati Bang Andi, berbisik padanya dengan sangat lembut, “Abang ... besok kita ke rumah mamak dan saudara Abang, malamnya kita balik saja ke Jakarta.” 

 

Bang Andi terdiam mendengarku. Matanya bergetar dan bibirnya berkedut. Sepertinya dia masih ingin lebih lama di sini. 

 

“Dek, kalau kita langsung pergi begitu saja, kapan hubungan kita dengan keluargamu membaik? Bertahanlah sebentar lagi, pasti ada jalan keluarganya,” ucap Bang Andi. 

 

Hatiku mencelos, sungguh tidak setuju dengan pola pikirnya yang sangat sederhana dan penuh kebaikan itu. Ingin sekali kutegur dia, membuka pikiran dan matanya jika keluarga di sini tidak ada yang memperlakukan dirinya dengan baik. 

 

“Mau tidur berapa lama di ruang tamu, Bang?” 

 

“Kita sewa rumah sebelah, Dek. Biar ....” 

 

“Assalamualaikum, Andi ... Dewi?” 

 

Aku lekas menoleh saat mendengar sapaan serentak itu. Alangkah terkejutnya diri ini melihat empat sosok sudah berdiri di halaman rumah sembari memandangi kami. 

 

Mereka tersenyum, sangat bahagia. Sedang Bang Andi menatapnya dengan deraian air mata.

 

“Mak ... Bapak?” serunya sembari beranjak buru-buru. “Kalian datang tanpa bilang.”

 

Ayah dan mamak mertuaku tiba-tiba muncul di rumah ini. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Membalas Hinaan Keluarga (bab 5 dan bab 6)
0
0
Karena suamiku bukan keturunan Said, kami dihina, terlebih karena dia berasal dari keluarga sederhana.Aku bertekad membalas hinaan ini dengan kesuksesan suamiku. Tapi, perlahan-lahan rahasia terbuka.Benarkah mamak dan ayah membenciku? Atau ini hanya ....
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan