Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku (Bab 7 dan 8)

0
0
Deskripsi

Tiba-tiba saja pesan mesra yang selalu dikirimkan sahabatku lewat gawaiku masuk ke hape suamiku sendiri!

Bab 7: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku 

“Check in, Kak!” Aku bertutur pada seorang gadis muda dengan jilbab yang melilit leher. Sepertinya dia baru saja meluruskan kedua kakinya di atas sebuah kurs dan terpaksa harus berdiri.

Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresi ramahnya tidak berubah. Dia mengurai senyum ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menyambut diriku yang datang dengan sebuah koper berukuran sedang saat jam sudah menyentuh angka delapan malam. 

Keputusan aneh yang tiba-tiba aku ambil karena sakit hati dengan Bang Fuad ini akan menggerogoti isi dompet. Bisakah aku berpura-pura kaya hanya untuk satu hari ini saja? 

“Baik, Bu. Cari kamar yang seperti apa, Bu?” balasnya dengan suara yang renyah. 

Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Meski aku yakin ada lelah yang berusaha ditutupinya di balik senyumnya itu. 

“Saya sendiri, double bed saja, biar nyaman.” Aku berujar dingin. Bukan karena membencinya, bukan! Melaikan hati ini panas melihat beberapa pasangan yang begitu mesra juga check in di sebelahku. 

Mereka memperlihatkan bukti nikah, lalu diberikan ruangan yang mereka inginkan. Setelahnya, mereka diantarkan melalui lift yang sudah menunggu oleh hotellier. 

Cemburu? Sepertinya begitu. Seharusnya aku juga bisa merasakan hal indah itu andai Bang Fuad tidak pergi meninggalkan diriku di rumah kerabatnya. 

Jadilah, aku terdampar di sebuah hotel bintang tiga yang berseberangan dengan sebuah SPBU super ramai. Saat aku tiba di sini menumpang sebuah becak motor, SPBU itu dipenuhi puluhan truk dan mobil yang mengantre, sedangkan hotel jauh lebih lengang dan tenang. 

“Baik, Bu. Tunggu sebentar.” 

Aku mengiyakan hanya dengan pergerakan. Tidak ada kata-kata, bukannya sombong tapi hatiku panas luar biasa. 

Apa yang sedang dilakukan oleh Bang Fuad di luar sana setelah meninggalkan diriku begini? Siapa laki-laki yang bersama Ida dan apa hubungan antara mereka berdua? Aku menggigit bibir memikirkannya. 

“Ini, Bu. Kamarnya ada di lantai 3, nomor kamar Ibu 323.” 

Lalu, seorang pria dengan seragam yang rapi serta sarung tangan putih muncul di dekatku. Dia bertanya apakah koper yang ada di sampingku itu milikku? Dan saat aku membenarkan pertanyaannya, dia bergegas mengambil, menaikkannya ke sebuah troli berwarna keemasan yang dialasi karpet merah. 

“Mari, Bu ... saya antarkan.” 

“Baik, terima kasih.” 

Hanya beberapa menit berjalan aku sudah merebahkan diri di sebuah kamar dengan nuansa temaram lampu kekuningan. Kaca jendelanya lebar, dilapisi gorden tebal berwarna coklat dengan motif salur emas. Ada dua kursi kayu yang berhadapan dan meja bulat kecil di tengahnya. 

Berlawanan dengan ranjang luas dan lembut itu, ada sebuah tivi berukuran sedang, kemudian buffet berisi vas-vas kecil dan alat seduh kopi. Tidak lupa pendingin udara dan kulkas mungil. 

“Baiklah, tidak ada salahnya menghabiskan gaji yang aku cari susah payah selama ini,” gumamku sembari memaksakan diri untuk memejamkan kedua mata. 

Semakin gelap, semakin jelas paras Bang Fuad yang tercipta. Lalu, bayang-bayang akan kehadiran Ida yang sedang bersamanya. 

Astagfirullah!” keluhku tanpa henti. Seindah apa pun kamar ini, terasa bagaikan di neraka sebab hatiku tidaklah tenteram. Pikiranku berkelana, membayangkan segala hal buruk yang sedang dilakukan Bang Fuad dan Ida, hingga akhirnya hanya semakin menggores hati. 

Aku memaksakan diri, bermanifestasi, berdoa dan menangis hanya agar kedua mata dan badan lelah, lalu terlelap di ruangan yang bernilai mahal ini. 

--

Pagi kedua menjelang di Lhokseumawe. Aku membuka kedua mata dengan paksa setelah mendengar dering dari gawai. 

Jam tujuh pagi. Untungnya aku tidak melewatkan salat subuh meski habis menangis semalaman karena memikirkan pria itu. 

Hari ini, aku tidak punya rencana apa pun selain kembali ke Banda Aceh sendirian. Tidak perlu mengabari Bang Fuad, tidak perlu mengadu pada Ida, mereka yang memilih memperlakukanku seperti orang asing. 

Usai mandi dan merias diri, aku membereskan kembali pakaian-pakaian dari koper, setelahnya melangkah keluar dari kamar menuju lantai pertama tempat di mana sarapan hotel disediakan. Bukannya tidak ingin langsung pulang, aku hanya ingin mencoba kehidupan mewah yang selama ini sulit kuraih sebelum dan sesudah menikah. 

“MasyaAllah!” Aku berseru begitu tiba di depan pintu kaca yang terletak di sudut hotel. 

Dua pelayan yang berdiri di prasmanan tinggi dan mewah itu menyapa. Mereka meminta kupon yang diberikan bersamaan dengan room card untuk diperiksa. 

“Selamat menikmati hidangan kami, Bu?” ujarnya mempersilakan. 

Aku berjalan, mengambil piring bundar dan mengisinya dengan nasi putih panas. Tidak lupa lauk-lauk yang berbagai jenis kuambil sesendok untuk setiap pilihannya.

Setelahnya, aku mengambil air mineral botol, lalu duduk di sebuah meja yang berbatasan langsung dengan kolam renang hotel. Sunyi dan sepi di sana, tidak ada yang berenang di pagi hari ini. 

Meski terasa menyakitkan, aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum sendirian. Di sisi kiri dan kanan, puluhan pasangan dan keluarga sedang menikmati sarapan mereka, beberapa melihat ke arahku, lalu melempar senyum sapa.

Berulang kali aku menyuap nasi dan sepotong daging, kemudian mendorongnya dengan air. Pahit ... lidahku terasa sangat pahit. 

Apa masakannya yang bermasalah atau memang diriku yang sudah terlalu pasrah? 

“Baiklah, mari kita coba salad buahnya.” Aku berpikir seraya meninggalkan meja. 

Prasmanan buah menggoda mata. Aku mengisi mangkuk berukuran kecil dengan berbagai jenis buah, lalu mengguyurnya dengan saus putih kekuningan. Entah apa ini, tapi sepertinya cukup laris karena jumlahnya berkurang banyak dibanding saus yang lain.

Saat hendak kembali ke meja, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Dia duduk berlawanan, sedang menikmati sarapan paginya dengan sangat tenang. 

“A-apa aku salah meja?” monologku sembari melihat piring sarapan yang masih tergeletak di atasnya. “Tidak! Ini memang piringku. Lantas, siapa pria ini?”

“Maaf, Bang ....” Aku menyapa. Cemas, mungkin saja memang salah meja. 

Kuperhatikan pria berkaos yang memakai celana di bawah lutut, sepatunya berwarna kontras dan penampilannya sangat sederhana. Namun, aroma parfumnya menyebar dengan begitu kuat. 

“Ah, aku salah meja!” yakinku sembari beranjak. 

“Tidak, Kak ... aku yang numpang gabung!” jawabnya yang membuatku berhenti melangkah. 

Kupandangi pria itu. Apa lagi ini? Sebentar, suaranya tidak asing.

“Lupa?” ujarnya. Dia mengangkat wajah, meletakkan sendok dan mengulas senyum ke arahku. “Aku yang semalam, Mbak.” 

Deg! Pria itu? 

Gagal mengontrol keterkejutan, aku bergegas duduk di kursi semula. Tidak mungkin semudah ini bertemu dengan orang yang sama. Di kota ini? Di dunia yang unik ini? Mustahil sekali. 

“Iya, Kak. Apa makanannya dihabiskan?” balasnya melihat keterkejutanku. 

Ya ... tidak mungkin dia asal menyapa. Inikah paras aslinya saat tersinar cahaya? Lumayan ... tampan. 

“Te-terima kasih.” Kutundukkan wajah, ada rasa sesal karena menyia-nyiakan makanan sebanyak itu semalam. 

Dibanding makan, aku memilih tidur dalam genangan air mata. Alhasil, wajah dan pipiku bengkak luar biasa. 

“Sepertinya tidak dimakan, ya? It’s okey, jangan merasa bersalah. Kakak memang seharusnya menjaga jarak dengan orang asing.” 

Aku tersenyum getir. Demi menutupi rasa malu karena segalanya berhasil terbaca olehnya, jemariku refleks mengaduk-aduk salad buah tersebut. Akhirnya, warna merah dari buah naga luntur, membuat seisi mangkuk berubah warna. 

“Tapi, aku bukan orang asing,” sambungnya. “Aku sudah kenal Kak Ayu sejak lama, sayangnya Kak Ayu tidak mengenaliku dengan baik.” 

Deg! Deg! Dia juga menyebutkan namaku.

Kugelengkan kepala. Kekonyolan apa lagi ini? Sejak kapan aku punya kenalan pria kaya begini? Andai iya, seharusnya aku bisa mengingatnya dengan baik, sebab di dalam hidupku yang serba pas-pasan ini, tidak mungkin pria begini terlewatkan begitu saja. 

“Tidak ingat juga?” Dia mulai bermain kata-kata. 

“Maaf, aku minta maaf. Apa benar kita ....” 

“Aku tahu nama Kakak, apa lagi yang harus dibuktikan?” 

“Ba-bagaimana bisa?” 

“Hah!” Pria itu mendengkus. Dia meninggalkan sarapannya dan memilih bersandar di kursi.

Aku hanya bisa memandangi pergerakannya, tanpa sempat peduli dengan lingkungan sekitar saat ini. Sungguh, ini di luar nalar. Apa yang harus aku lakukan?

“Aku suaminya Ida, Kak. Masa lupa?” jawabnya masih dengan senyuman yang terpahat.


 

Bab 8: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

“Meng-meng ....” 

“Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelah pernikahan kalian, tapi seharusnya kamu tidak melupakan wajahku semudah itu!” protesnya lagi. 

Pria itu mengambil posisi nyaman, dia meraih cangkir berukuran sangat kecil di depannya, lalu menyentuh bibir cangkir dan menyesap kopi pahit di dalamnya. Setelahnya, jemari pria itu begitu santun saat meletakkan kembali cangkir. 

“A-aku belum ....”

“Tidak masalah kalau tidak ingat. Aku paham, lagi pula bukan keharusan untuk mengingat semua orang yang kamu temui.”

“Baiklah. Terima kasih.” Lega meski sebenarnya ada rasa bersalah yang tertinggal. 

“Sama-sama, Ayu!” sahutnya kembali. 

Tiba-tiba pria yang mengaku sebagai suami Ida berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kak’. Dia mengubah cara bicaranya padaku begitu cepat setelah berkisah jika dia memiliki hubungan denganku. 

Walau demikian, aku tidak memprotes dan memilih duduk berhadapan dengannya untuk sesaat. Sembari berpikir, kutemukan kekonyolan lain; kami seperti bertukar pasangan saat di kota ini. Aku mencari Bang Fuad yang ‘mungkin’ pergi bersama Ida, dan suaminya mencari Ida yang ‘mungkin’ pergi bersama suamiku. Kemudian, aku dan suami Ida yang sama-sama ditinggalkan bertemu di sebuah hotel.  

“Apa yang kamu lakukan di sini?” paparnya. Dia menyelesaikan suapan terakhir dari sarapan yang disediakan oleh hotel, lalu menyeka kedua sudut mulutnya dengan selembar tisu. 

Aku menggembungkan mulut, mengisi rongga dengan udara hingga terlihat seperti ikan buntal. Alasan sebenarnya, aku tidak yakin bagaimana menjawab pertanyaan dari pria ini. 

“Aku mencari Ida, lebih tepatnya aku sedang mengikuti istriku,” ungkapnya. 

Refleks cepat aku menutup mulut dengan kedua tangan. Sedikit banyak, keterkejutanku pasti sudah terbaca olehnya. 

“Aku rasa, ada banyak hal yang harus kita bicarakan!” sambungnya lagi. 

Saat itulah aku baru memahami satu hal, jika ternyata suami Ida memang sengaja mendekati diriku. Dia muncul saat menemukanku di Lhokseumawe dan mengekori dalam sunyi. 

Bagaimana jika kuungkap semua hal gelap yang disimpan oleh Ida dan fakta-fakta mencengangkan yang kudapatkan dari suamiku? Entah ekspresi apa yang akan ditunjukkan oleh pria ini nantinya. 

Haruskah? Atau sebaiknya aku berpura-pura tidak tahu demi menyelamatkan diri sampai kutemukan semua bukti-bukti? 

“Sepertinya, ada banyak hal yang bisa kutahu darimu.” Kalimat terakhirnya mengudara sebelum pria itu memungut dompet, gawai serta kunci mobil mewahnya dari meja. Lalu, dia memberi kode agar aku mengikutinya pergi bersama, meninggalkan hotel dan mencari tempat untuk berbicara. 

--

Kami pindah ke sebuah warung kopi yang masih sangat sunyi. Jam delapan pagi saat seharusnya aku meninggalkan hotel dan berjalan menuju terminal untuk pulang ke Banda Aceh dengan bus paling pagi. Namun rencana itu berubah drastis usai pertemuanku dengan pria bernama Bayu ini. 

Dia menunjukkan puluhan foto kebersamaannya dengan Ida dan putri mereka, termasuk selfi yang dilakukan oleh Ida di hari pernikahanku dengan Bang Fuad. Barulah saat itu aku mengenali kehadirannya di pernikahanku. 

Suami Ida memakai kacamata hitam serta sebuah masker yang hanya dibuka saat berfoto bersama kami. Di dalam pantulan gambar yang disimpannya itu, dia berdiri di dekat istrinya dengan wajah datar, sedangkan Ida sangat bahagia hingga mencondongkan tubuh ke arah Bang Fuad. 

“Jadi, apa yang kamu lakukan di sini? Mana Fuad?” Pertanyaan Bang Bayu seperti sebuah interogasi. 

Dia tidak banyak mengganti ekspresi dan hanya fokus dengan topik yang dianggapnya penting. Namun, Bang Bayu tidak lupa memesan kopi pahit dan segelas teh hangat untukku sebelum kemudian melanjutkan obrolan yang sempat tertunda di antara kami berdua. 

“Jujur saja, aku sudah membaca banyak keanehan selama ini,” paparnya lagi. 

Aku duduk dengan memilin jemari di atas meja. Tatapanku jatuh pada gelas teh yang mengepulkan sedikit asap, lalu pada koper sedang di sebelah meja. 

Enam jam perjalanan jauhnya dari rumah, lalu di sini aku ditinggalkan sendirian. Sedangkan pria di depanku berangkat sejauh itu untuk mencari Ida. 

“Ida bertemu dengan siapa akhir-akhir ini?” 

Wajahku kian tertunduk. Bibir ini kelu saat ingin mengaku. Tidak mungkin kuumbar pada Bang Bayu jika Ida selama ini telah berselingkuh dengan pria yang sepertinya adalah suamiku. 

“Jawab saja Ayu, jangan khawatir.” 

“Aku tidak tahu apa-apa.” 

“Lalu, apa yang kamu lakukan di sini sendirian? Kalian tidak pernah dinas karena posisi kalian yang kecil di kantor itu, kamu juga tidak mungkin pergi tanpa tujuan seperti ini dan menginap sendirian di hotel!” Bang Bayu terus mendesakku.

Baiklah, mari kita pancing sedikit!

“Kalau aku katakan yang sebenarnya, apa yang akan Abang lakukan? Apa yang akan Abang pilih?” Aku membalas sembari menggertakkan gigi. 

Selama ini, aku berusaha menutupi kebusukan Ida, menjadi jembatan perselingkuhannya dengan pria yang tidak kukenal itu. Seharusnya, aku menekan dan menghentikan Ida agar hal semenakutkan ini tidak pernah terjadi. 

Namun, sisi lain dari hatiku juga mengingatkan untuk tetap berhati-hati. Aku tidak yakin di sisi mana pria ini berdiri. Bisa saja dia hanya ingin mengulik kehidupanku tanpa berniat mengungkapkan kelakuan busuk istrinya. 

Tidak ada yang tahu isi hati seseorang. 

“Aku tidak yakin, karena itulah aku sedang bertanya. Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan di kota ini?” lirihnya kembali dengan sorot mata tajam. 

Pria itu masih mendesak dan sedikit memaksa agar aku menceritakan nasib malang yang terjadi di sini. Meski demikian, aku membuang muka, mengabaikan dirinya dan terus memutar otak agar bisa lepas dari cengkeraman pria ini. 

“Ah, Bang ... aku lupa, aku harus kembali ke Banda Aceh sekarang.” 

“Apa?” Dia berseru. Wajahnya langsung berubah, pria itu kini kesal. 

Begitu aku bangun dari meja, Bang Bayu juga menyusul. Dia terus menatap diriku seolah sedang mengendus kebohongan yang aku rapal di depannya. 

Pria ini sepertinya sangat teliti dan juga licik. Bukan hal mudah untuk mengelabuinya.

“Maaf, Bang. Aku harus ke terminal sekarang juga!” ungkapku lagi. Demi menegaskan maksud, aku juga melirik berulang kali jam tangan yang ada di lengan. Kemudian, bersikap seresah mungkin agar Bang Bayu percaya. “Oh iya, soal kedatanganku ke sini, ini weekend dan bukan hal yang aneh andai aku berjalan-jalan sendirian.” 

“Tsk! Kamu tidak pintar berbohong, beda dengan suamimu itu!” tukas Bang Bayu kembali. Dia menyeringai di depanku. “Aku tahu jika Ida sering menipuku, dia beralasan ini dan itu, membawa-bawa namamu setiap kali akan pergi keluar rumah.” 

“A-apa?” Kali ini, giliranku yang berjengit. 

Ya Allah, hal konyol apa lagi ini? Tidak cukupkah musibah yang engkau berikan terhadapku? 

Di dunia yang kejam ini, aku sendirian mendulang asa. Di dunia yang keras ini, aku sendirian menempa tulang. Ada Ida yang menjadi awan di balik panasnya sinar matahari yang membakar kulit, ada dirinya yang menjadi saksi betapa bahaginya aku memiliki seorang suami. 

Menikahi pria seperti Bang Fuad selalu aku ikhtiarkan sebagai bagian dari kebaikan Allah untukku dan tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah ujian. Menikahi pria seperti Bang Fuad selama ini kuanggap sebagai berkah terindah dan bukanlah sebuah musibah. 

“Jangan terlalu percaya pada mereka, aku khawatir kamu sendirian yang akan terluka!” ucapnya kembali. 

Barulah dia berpamitan padaku. Bang Bayu melenggang pergi begitu saja menuju kasir untuk membayar minuman yang bahkan tidak tersentuh. 

Aku sendirian di belakang, memandang punggung yang entah mengapa terlihat sangat kecewa. Padahal, cara bicara dan ekspresinya begitu tegar meski dia mengaku sudah mengendus kecurangan yang dilakukan oleh Ida selama ini. 

“Pamit dulu, selamat sampai Banda Aceh lagi!” ujarnya sembari mengangkat tangan. 

Kuanggukkan kepala meski sebenarnya masih banyak kegelisahan yang belum terjawab. Tapi, saat ini aku hanya ingin kembali ke rumah dan menyusun sebuah rencana untuk membuat Bang Fuad paham bahwa diriku tidak sebodoh yang dia kira. 

Terakhir kalinya sebelum meninggalkan warkop itu aku melirik gawai. Satu saja ... setidaknya ada satu saja pesan dari Bang Fuad untuk sedikit menetralisir perasaan yang semakin tidak karuan ini. 

“Jahat, kalian memang manusia-manusia jahat!” gumamku sembari meremas benda pipih itu. 

--

Biarlah jika begini maumu

Mari kita merapal maaf terakhir

Sebelum ikatan yang terjalin ini kuurai paksa 

Dan kita akan jadi aku saja.

-@bemine_3897

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku (Bab 9 dan 10)
1
1
Tiba-tiba saja pesan mesra yang selalu dikirimkan sahabatku lewat gawaiku masuk ke hape suamiku sendiri! 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan