Harta, Cinta, dan Mahar Emas yang Orangtuamu Minta (Bab 3 - 5)

0
0
Deskripsi

Upaya Adam untuk mendapatkan bantuan mahar 

Bab 3: Wak Yun

Meninggalkan rumah Pak Wa Junaidi, Adam memacu kembali motor matik menuju rumah Pak Wa Razali. Pria yang dinilai Adam punya perilaku yang baik itu mungkin juga sedang ada di rumahnya, duduk berdua dengan istri serta cucunya. 

Harap Adam terus menggema hingga ke langit. Seribu do’a dia panjatkan di dalam hati begitu mendapati rumah Pak Wa Razali terbuka pintunya. Sudah pasti, Pak Wa Razali atau minimal sang istri ada di dalam sana. 

Adam mendorong motornya hingga ke halaman, melepas helem dan menenteng lagi tas kerja menuju teras rumah Pak Wa Razali. Berbeda dengan saat mendatangi Pak Wa Junaidi, Wa Yun—istri Pak Wa Razali menyambutnya ramah. 

Air muka dari wanita yang berusia akhir empat puluhan itu terlihat bahagia, menyebabkan debar-debar penuh harap terpancar di paras Adam saat ini. Pemuda itu ikut tersenyum ramah saat Wak Yun memberinya kesempatan untuk berbicara dengan Pak Wa Razali. Adik dari ayahnya itu sedang duduk di meja makan, menikmati makan siangnya yang mewah hasil masakan dari Wak Yun sendiri. 

“Kamu datang, Dam!” sapa Pak Wa Razali, kemudian dia menyuap sesendok penuh nasi kuning dan suwiran ayam sambal yang harum. “Kamu kenapa, sih?” imbuh Pak Wa Razali lagi. 

Baru saja hendak berkata, Adam malah diterpa masalah kedua. Tatapan Pak Wa Razali saat ini serupa elang padanya; penuh kebencian dan rasa tidak suka. Menawarkan duduk di meja saja tidak dilakukan olehnya. Pak Wa Razali berubah total dibanding apa yang bisa diingat oleh Adam setelah pertemuan terakhir mereka di rumah Toke Sofyan. 

“Kamu benar-benar bikin malu!” hardiknya. 

Pak Wa Razali melempar garpu dan sendok, menyebabkan bunyi berdenting nan keras hingga Wak Yun terkejut. Wak Yun yang sibuk membereskan dapurnya yang cantik menolehkan wajah, menatap Adam yang berdiri dengan wajah sayu dan punggung suaminya. 

“Pak Wa kan sudah bilang, jangan memaksakan kehendak! Kamu sulit dikasih tahu!” Pak Wa Razali terus menghardik. Ucapannya membuat Adam membuka ingatan hari itu, saat mereka bertiga pulang dari rumah Toke Sofyan. 

Saat itu, Pak Wa Razali memang semarah ini, dia menentang keinginan Adam untuk melanjutkan upaya melamar Azizah meski sudah dihina dan dicaci Toke Sofyan. Tidak hanya sampai di situ, Pak Wa Razali juga tidak menyukai gagasan Adam yang baru didengarnya dari Pak Wa Junaidi beberapa menit sebelum Adam tiba di rumahnya. 

“Kamu mau minjam emas di rumahnya Junaidi?” seloroh Pak Wa Razali. Setelahnya, dia meneguk air putih dari gelas sloki yang baru saja dibawakan istrinya. 

Pak Wa Razali mendengkus beberapa kali. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan cara Adam mengambil keputusan. “Kamu itu sudah dibutakan oleh cinta, sampai mahar seratus mayam saja mau kamu usahakan! Sekarang, Junaidi marah-marah sama Pak Wa. Dia menuduh Pak Wa yang memberimu saran untuk meminjam emas di tokonya.”

“Yah? Yang tenang ...,” imbuh Wak Yun. 

Wanita berjilbab hijau pupus itu mengusap pundak suaminya. Berharap, jika Pak Wa Razali mau melunakkan suara dan berhenti membentak Adam. 

“Tenang bagaimana, Mak? Apa Mamak tahu, kemarin Ayah bertemu Toke Sofyan di pasar, dia lantang menghina keluarga kita yang nekad melamar Azizah. Seratus mayam itu, dua ratus juta, Mak. Dari pada melamar mending Ayah beli mobil sekalian.”

“Ya, Mamak tahu, tapi kan yang mau menikah itu, Adam ... bukan anak kita.”

“Ini perandaian, Mak. Kalau untuk anak sendiri saja Ayah enggak mau usahakan, apa lagi untuk anaknya orang lain!” sambung Pak Wa Razali. 

Adam tercengang mendengar begitu tajamnya kalimat dari pria di depannya ini. Tubuhnya seketika bergetar bagaikan disengat oleh listrik. Dia yang berharap bisa mendapatkan bantuan atau setidaknya jalan keluar, terus-menerus dihadapkan dengan kenyataan nan pahit. 

“Tidak masuk akal! Sudah gila!” Pak Wa Razali terus menyentak suaranya. 

Dia berdehem sekali dengan keras, lalu meninggalkan kursi tempatnya makan tanpa menghabiskan makan siang. Baru beberapa langkah, Pak Wa Razali berbalik badan, dia menunjuk ke arah Adam yang menatapnya nanar. “Awas kalau sekali lagi kamu minta bantuan Pak Wa buat melamar Azizah, Dam. Pak Wa sendiri yang akan buat kamu sadar kalau kamu itu memang tidak tahu diri!” 

Setelahnya, hanya terdengar bunyi berdebam dari pintu yang dibanting Pak Wa Razali. Pria itu menyisakan kekagetan yang luar biasa di dalam hati istrinya, dan juga rasa sakit di batin Adam. 

Pemuda yang berusaha mendapatkan kebahagiaan itu, menelan air liur. Hatinya berdenyut perih di dalam dada, pun jantungnya berdetak terlalu cepat. 

Matanya kian berembun, apa lagi saat Wak Yun mendekati dirinya. Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari balik saku gamis, kemudian menyisipkannya ke dalam genggaman tangan Adam yang  terasa dingin. 

“Wak minta maaf karena tidak bisa membantumu, Dam. Kamu anak baik, seperti kedua orangtuamu. Wak minta maaf karena dunia ini begitu kejam sama kamu. Wak minta maaf karena suami Uwak juga kejam sama kamu. Maafkan kami, karena untuk pertama kali kamu datang meminta bantuan, kami tidak bisa membantu.” Suara Wak Yun mulai bergetar. 

Adam menggeleng lemah, bibirnya yang sebenarnya bergetar dipaksakan olehnya untuk tersenyum. Bagi Adam, nasib yang menerpa dirinya itu bukan salah siapapun. Memang kenyataannya begini, dia dilahirkan dan ditinggalkan di dunia ini atas nama takdir Ilahi. 

“Jangan minta maaf, Wak.”

“Ini, ambil, Dam. Ini uang julo-julo (arisan) Uwak yang diantarkan tadi. Pakai buat kebutuhan lamaran kamu. Adanya lima juta, setidaknya sudah dapat dua mayam lagi,” sambung Wak Yun. 

Air mata yang berombak di kelopaknya terus menabrak batas, kemudian terjun di pipinya yang mulai keriput. Apa yang dialami Adam membuat Wak Yun terus mengingat akan anak laki-laki bungsunya yang sedang belajar di ibu kota. Di dalam hatinya yang luas, Wak Yun ingin memberikan yang terbaik pula untuk Adam, namun kemampuannya hanya sebatas ujung jari Pak Wa Razali. 

“Tidak usah, Wak. Simpan saja untuk nikahan anak Uwak nantinya. Adam pamit, ya?” ujarnya seraya mendorong gulungan uang yang disodorkan Wak Yun. 

Ekspresi Wak Yun berubah pucat. Dia segera memaksa Adam agar menerima pemberiannya dengan memasukkan gulungan itu ke dalam tas kerja Adam. “Ambil, Wak marah kalau nolak, Dam. Jangan tolak niat baik Uwak. Uangnya tidak usah kamu ganti. Uang ini Pak Wa tidak tahu, jadi jangan dipikirkan lagi.”

“Tidak, terima kasih banyak untuk niat baik Wak Yun. Adam pulang dulu, Wak ....”

Adam memberi senyuman tipis untuk Wak Yun. Dia menarik lembut tangan wanita itu, lalu mengecup punggungnya seperti yang selalu dilakukan pada almarhumah ibunya. 

Air matanya yang sedari tadi terus bergelombang, terjejak di punggung tangan Wak Yun. Terlihat oleh Wak Yun, yang menyebabkan wanita itu menangis seketika. “Ya Allah, nasibmu ....” 

Wak Yun segera berlalu, dia berlari kecil menuju dapur. Wak Yun terlihat sibuk, dia mengeluarkan rantangan dua susunnya dari lemari gantung, kemudian buru-buru mengisi dengan nasi kuning serta ayam suwir sambal hingga penuh. 

“Ini, bawa pulang untuk makan siang, Dam. Kamu tidak perlu masak. Kamu harus terus berjuang, Dam. Datangi orang lain yang bisa kamu mintai pertolongan, Wak percaya tidak semua orang hatinya keras, Dam,” ujar Wak Yun. 

Usai berkata seperti itu, Wak Yun mendorong punggung Adam. Dia memaksa Adam untuk segera meninggalkan rumahnya sebelum Pak Wa Razali keluar. Hatinya cemas, jika suaminya yang keras kepala itu juga tidak mengizinkan Adam untuk membawa pulang makanan dari rumah ini meski hanya secuil. 

Terpaksa, Adam menerima. Wak Yun segera menarik pintu depan rumahnya tanpa berkata apapun lagi pada Adam. Membuat Adam tidak kuasa menahan sedih di dalam hatinya yang terus berdenyut sakit. 

“Ya Allah, Ya Rabb ...,” rintih Adam. Dia mengangkat wajahnya yang rupawan, menatap semburat matahari siang yang terik di pucuk langit sana. 

Matanya mendadak perih, sinar yang terlalu terang menyiksa mata Adam. “Bantu hamba, Ya Allah. Bantulah, dan berikan jalan yang terbaik untuk hamba ...,” ibanya, membiarkan air mata mengalir hingga ke garis rahang. 

Namun Adam memutuskan untuk bertahan, dia menyimpan rantang dari Wak Yun di bagasi motor, kemudian mulai menyusun rencana di dalam kepala agar bisa menjemput Azizahnya. 

Bab 4: Murid Gesit

“Pak? Ngitungin duit orang itu perlu ya, Pak?” Salah satu siswi yang diajari Adam berseru dari arah belakang. Dia melirik sekali lagi brosur dari salah satu kampus yang didapatkannya beberapa hari lalu. 

Pertanyaan itu membuat Adam seketika menengadahkan wajah.  Dia yang sedari tadi sibuk memeriksa buku PR para siswa dikejutkan dengan pertanyaan mendadak. 

Adam memicingkan matanya yang lelah, semalaman menghubungi ke sana ke mari demi secuil pertolongan membuat fisiknya lemah. Tetapi demi mengemban tugas yang mulia walau dengan bayaran kecil, Adam bertahan sekuat tenaga. 

“Pak? Malah ngehayal lagi!” tegur siswi itu. 

Gadis muda dengan gigi gingsul yang manis terus menautkan pandangannya pada Adam. Lalu, saat netra keduanya bertemu, Adam segera berdehem. Hatinya terusik ketika bibir merah muda muridnya tersenyum padanya, dalam arti yang diterjemahkan Adam secara berbeda. Risih dan merasa bersalah, Adam tidak bisa menjauh dari dua kata itu. 

“Naya, tolong antarkan buku-buku ini ke kantor Bapak, ya? Letakkan di atas meja karena Bapak harus pulang.” Adam mengelak. 

Dia tidak menyempatkan diri untuk berpikir mengenai jawaban yang ditanyakan oleh Naya. Ternyata, hal itu menyebabkan kericuhan di dalam seisi kelas. Remaja-remaja dengan rentang usia tujuh belas sampai delapan belas tahun itu berseru, mengolok-olok dan mengejek Naya. 

“Cinta ditolak, dukun bertindak, Nay!”

“Naya, go Naya, go! Dikit lagi, Naya! Pak Adam bakalan jadi milik kamu, tapi di alam mimpi ... hahaha!” Gelegar tawa mengusik Adam. 

Pemuda itu memang sudah menyadari akan hal ini. Walau seringkali bersikap dingin di kelas, Adam tetap memperhatikan murid-muridnya. Dari tiga puluh murid kelas 12-A yang diajarnya, hanya Naya yang selalu bersikap berbeda. 

Gadis muda itu terlalu sering menatapnya, juga kerap kali berwajah malu-malu saat tatapan keduanya beradu. Lebih dari itu, Naya pun tidak sungkan-sungkan mengajukan diri untuk membantu di saat murid yang lain berpura-pura tidak mendengar dirinya. 

Merasa bertanggungjawab untuk Naya, Adam berbalik arah. Dia yang baru saja meninggalkan dua langkah meja kerjanya, memutuskan untuk memukul permukaan meja dengan telapak tangan hingga hening tercipta. 

Tidak ada lagi suara-suara sumbang yang sedari tadi mengekori langkahnya. Selain, cara pandang Naya padanya yang belum juga berubah. 

“Hormati saya, jika masih ingin diajar oleh saya. Mengerti?!” Gaung suara Adam terdengar.

Pemuda itu menekan permukaan meja hingga deretan urat nadinya tercetak di balik kulitnya yang bersih. “Jangan mengejek Naya lagi, karena di kelas ini hanya dia yang mau membantu guru honorer seperti saya. Walau pelajaran yang saya emban terdengar remeh untuk kalian, tapi saya juga punya kuasa untuk memberikan nilai atas sikap kalian!” imbuh Adam lagi. 

Parahnya, hal itu malah membuat wajah Naya bersemi. Senyum gadis muda itu merekah lebih lebar, hingga gigi gingsulnya yang manis terlihat pada Adam. 

Lekas Adam menolehkan wajah, panik serta takut menyerang. Belum lagi, saat Naya mulai bangkit dari kursinya, membenarkan rok span yang sedikit naik ke pinggul dan juga jilbab yang disampirnya ke dua bahu. 

“Naya, tolong ikuti aturan berpakaian di sekolah ini!” Adam berganti sisi, dia terpaksa menegur Naya yang terus berjalan ke arahnya tanpa rasa risih. 

“Aku mau ngambil bukunya, Pak! Diantar ke kantor, kan?” ujar Naya masih mempertahankan senyum. 

“Kamu pakai lipstik, Naya?” Suara Adam tiba-tiba meninggi. Kilatan di bibir Naya serupa dengan yang dilihatnya pada Azizah saat mereka masih kuliah dulu. “Bapak bisa laporkan kamu ke guru BK.”

“Pak, Bapak kudet, ya? Ini namanya lip balm. Kalau enggak dipakai, nanti bibirku jadi kering, kena matahari, terus hitam, berdarah. Repot tahu, Pak?” omel Naya yang membuat kepala Adam berdenyut luar biasa keras. 

Tidak hilang akal, Adam mencoba mengingatkan jati diri Naya. “Bersikaplah seperti gadis Aceh yang sebenarnya, Nay!” 

“Tapi, Pak ....” Naya memutar bola matanya. “Aku bukan asli Aceh, tuh! Nenek asli ....” 

“Kalau begitu, bersikaplah seperti seorang perempuan yang seharusnya, Naya.” Adam mengusaikan ucapannya pada Naya. 

Sebersit sesal bersarang di dalam hati. Niat untuk menolong Naya yang sering menjadi bulan-bulanan temannya, berakhir dengan dirinya yang dipermalukan oleh Naya. 

Seharusnya, gadis muda itu tahu jika Adam sedang menyelamatkan wajahnya, bukannya malah ikut mencoreng wajah Adam sampai pemuda itu kehabisan kata-kata. 

Adam terus mengambil langkah lebar menuju parkiran motornya, namun dari arah belakang Naya berlari sembari memeluk gunungan buku tulis yang dititipkan Adam. Wajahnya mulai memerah, kulit putih susunya terbakar matahari siang saat melintasi lapangan mengejar Adam. 

“Pak?” panggil Naya. 

Adam menghening. Dia mulai memusatkan perhatiannya dengan layar gawai begitu tiba di dekat motor miliknya. Sederet pesan penuh makna menghunjam jantungnya yang selalu berdetak lemah. Adam bagaikan ditampar kenyataan nan pahit saat ini. 

Jemarinya bergetar saat hendak menggeser bait demi bait yang terus bermunculan di layar gawainya. Kedua manik mata Adam yang selalu berbinar menjadi redup, hatinya bagaikan dicincang, melihat fakta yang tersaji di depan mata. 

“Abang mohon, tunggu sebentar, Zizah,” desah Adam sembari memejamkan mata untuk sesaat. Entah mengapa, semuanya memberat dalam hitungan detik.  

Pesan dari Azizah menjadikan Adam lupa dengan kehadiran Naya. Gadis bertubuh dewasa untuk seukuran anak SMA itu mulai bertindak agresif. Rasa penasarannya membuat dia gelap mata hingga memilih mengintip hal apa yang membuat Adam begitu gelisah. 

Segesit apapun Naya, Adam jauh lebih cekatan. Dia lebih dulu mematikan layar gawai, lalu menyisipkannya kembali ke dalam tas kerja. 

“Pelit banget, Pak?” gerutu Naya, lengkap dengan bibir yang mengerucut manja. 

“Antarkan bukunya ke kantor Bapak, Nay. Bukan ke parkiran!”

“Yeh, si Bapak. Aku kan mau ngobrol sesuatu sama Bapak.”

“Besok kita mengobrol lagi, di kelas!” putus Adam tanpa memberi kesempatan untuk Naya.

Dia mulai menaiki motor, memakai helem, jaket serta sarung tangan. Benaknya terus berkata agar dia lebih berusaha. Adam ingat, di dalam tas kerjanya, gulungan uang pemberian Wak Yun masih tersimpan, setidaknya dengan tambahan itu, jumlah mahar yang disyaratkan Toke Sofyan bisa perlahan-lahan dia penuhi. Serta di dalam hatinya yang terdalam, Adam mengharapkan agar Azizah mau menanti. 

“Bapak duluan, Naya,” pamitnya. 

“Tahu deh!”

--


 

Bab 5: Mahar Emas

Motor Adam meluncur cepat, keluar dari Jalan Darussalam menuju Jalan Gudang. Hatinya kini begitu menggebu dengan semangat membara meski terik  matahari memayungi perjalannnya. 

Di kepala Adam terus terbayangkan, dua mayam selanjutnya yang akan segera berpindah tangan. Artinya, selangkah lebih dekat menuju Azizahnya yang begitu didamba. 

Adam menghentikan laju motor, dia memarkir kuda besinya yang mulai tua dan membiarkan tukang parkir mengambil alih. Langkahnya kian tegas menuju sebuah toko emas dengan lambang bintang. Pria bertubuh kurus dengan jam tangan kekuningan menyambut kehadiran Adam. 

“Toke, dua mayam!” tegas Adam seraya menunjuk deretan cincin di dalam etalase. Hatinya berdebar hebat tatkala melihat deretas emas dalam berbagai ukuran. “Sungguh bagi para Toke Emas, menyanggupi mahar seratus mayam adalah hal yang mudah,” pikirnya. 

Dua pembeli di sebelah Adam ikut mencuri pehatiannya. Mereka memborong dalam jumlah yang sangat besar. Dua gelang tebal dan seuntai kalung nan berat. Pandangan Adam tidak bisa teralihkan dari perhiasan-perhiasan yang begitu diinginkannya itu, hingga tanpa disadari Adam penjual berucap padanya, “Ini, Bang. Dua mayam!” 

Sebutir cincin mungil nan tipis disodorkan ke arah Adam. Hati pemuda itu mencelos, melihat bagaimana jauhnya jarak yang tercipta antara kenyataan dan hayalan. 

“Ini semua enam puluh mayam, Toke?” Wanita di sebelah Adam berseru. Dia sibuk mencoba dua lingkar gelang emasnya yang berat, pun seuntai kalung untuk wanita yang lebih muda. Sesekali gemerincing emas yang beradu terdengar oleh telinga Adam. 

“Beutoi, Bu. (Benar, Bu). Beli banyak bisalah dikurang. Harga langganan!” sambung pria itu. 

“Kalau belinya sedikit enggak bisa, Toke. Hana pat tacok laba! (Hampir tidak ada untungnya).”

“Toke, tolong dibungkuskan, ya?” ujar Adam. Dia sadar, ucapan dari wanita di sebelahnya adalah untuk dirinya. “Ini, uangnya, Toke! Tidak masalah kalau tidak dapat potongan. Setidaknya aku tidak mengusik orang yang tidak kukenal!” Adam bersungut kemudian. 

Dia menerima kwitansi yang telah diisi oleh Toke, mengabaikan wajah merengut dari pembeli di sebelahnya. Setelahnya, dia menuliskan nama selaku penerima barang, dengan ditatap oleh Toke tanpa kedip. 

“Jadi, kamu Si Adam?” serunya tiba-tiba. Dia menarik kwitansi dari tangan Adam, kemudian merobeknya menjadi dua bagian. “Beli di tempat lain saja, sana!” 

“Loh, Toke? Apa-apaan ini?” kilah Adam tersinggung. Tubuhnya mendadak panas dingin. 

“Toko ini juga dibantu Toke Sofyan, jadi kami tidak menjual barang ke orang yang dimusuhi Toke Sofyan. Silahkan cari toko emas lain yang tidak berurusan sama Toke Sofyan, Bang.”

“Urusannya sama aku apa, Toke?”

“Tidak usah banyak bicara, Bang. Pergi saja! Kami tidak mau berurusan sama Toke Sofyan. Bisa-bisa hancur bisnis ini.”

Adam menghela napas, dia mengulurkan tangan di atas etalase dengan lemah. Uang yang sudah diberikannya pun dikembalikan Sang Toke begitu saja. Membuat Adam terpukul cukup dalam, hingga dia melangkah menjauh dari toko, diiringi kikikan kecil dari wanita di sebelahnya. 

“Bang, lon bi nasihat saboh! (Aku beri satu nasihat).” Toke berseru. “Kasus Abang saat ini, artinya Abang ditolak Toke Sofyan. Tidak usah memaksakan diri, karena Toke Sofyan sendiri yang mengumbar ke seluruh pemilik toko emas di sini, kalau Abang sanggupi mahar putrinya, maka akan dia naikkan dua kali lipat. Mau cari dimana enam ratus gram, Bang? Mundur saja, perempuan bukan satu di dunia ini.” 

Adam melipat bibirnya, panas hati menyerang seketika. Ingin berkelit dari ucapan pria itu, sebenarnya Adam pun mengetahui hal ini. Tetapi dia memaksa, demi Azizah yang begitu dia cinta. 

“Heh ... belum kapok juga!” 

Adam mencoba menolehkan wajah, dekat dengan etalase toko emas tempatnya berdiri tadi, Toke Sofyan sudah bersandar di sana. Dia memandang ke arah Adam, disertai sunggingan senyum di bibirnya. 

“Masih tidak sadar diri!”

“Anda benar, Toke!” sahut Adam, sadar jika pria itu sudah memerhatikannya sejak tadi.

Lelah diam, membuat Adam memutuskan untuk membela diri. “Aku tidak tahu diri. Tapi Anda lupa kalau soal jodoh itu urusan Yang Di Atas.”

“Heh, kamu juga jangan lupa, kalau Azizah itu putriku. Kalau bukan aku yang menikahkan, sampai mati pun Azizah tidak akan mau.”

“Jika Allah sudah berkehendak, Anda akan merestui kami. Anda juga akan menikahkan kami, Toke,” balas Adam. 

Adam segera menuruni anak tangga, menuju motornya yang sudah menanti di bawah terik matahari. Semangat Adam berkobar lebih hebat, kehadiran Toke Sofyan barusan membuat dirinya ingin berjuang lebih keras dan membuktikan jika dirinya berhak untuk menikahi Azizah. 



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Harta, Cinta, dan Mahar Emas yang Orangtuamu Minta (Bab 6-7)
0
0
Kisah ini akan cukup memilukan ya, jadi setiap babnya siap-siap tissu. Kalau suka, jangan lupa tinggalkan love dan share ke teman-teman … cerita ini sering terjadi di sekitar kita, atau mungkin terjadi pada kita sendiri.Bab 6: Pesan dari AzizahBab 7: Janji Bertemu
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan