Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku (Bab 4, 5 dan 6)

0
0
Deskripsi

Permintaan yang tidak masuk akal dari suami dan mertua ….

Bab 4: Drama di Meja

Setelah menolak permintaan Bang Teguh untuk membeli tanah seharga 2 Milyar itu, ibu mertua mulai menatapku dengan sorot mata penuh kebencian seperti yang selama ini diberikannya pada Nita. Tidak cukup sampai di situ, intonasi bicara ibu mertua berubah drastis, penuh cibiran dan ketidaksukaan.

Aku yang merasakan dengan jelas perubahan itu hanya bisa berpura-pura acuh. Karena, aku yakin benar jika semua yang dilakukan ibu mertua, hanya untuk menekanku, agar segera menyetujui keinginan putranya, membeli tanah dengan harga yang fantastis lalu mengganti namanya atas nama Bang Teguh. Sudah sinting hidup ini! Entah kenapa dulu, kuterima lamaran pria ini. 

“Gin!” Seruan dari suara Bang Teguh memanggil namaku. 

Hampir saja, aku duduk bengong di meja makan. Makanan yang sudah kuambil hanya tercampur aduk di piring. Tidak sesuap pun masuk ke dalam tenggorokan, apalagi jatuh ke lambung yang sudah daritadi meronta minta bagian. 

“Enggak usah dipanggil, Guh! Istrimu sudah dewasa. Kalau nggak mau makan ya sudah! Dia duitnya banyak, kali saja mau makan yang enak-enak sendirian,” cibir ibu mertua lengkap dengan sudut bibirnya yang naik sebelah. 

“Kamu kenapa lagi, sih?” Bang Teguh menegurku lagi. Suaranya terdengar keras, meski sebenarnya dia berusaha menahan. 

“Kamu enggak suka menu masakan ibu?” Bang Teguh melirik piringku yang kacau. Nasi dan lauk yang tercampur aduk itu membuang jauh-jauh selera makan siapapun. 

Aku hanya tersenyum, lalu menatap balas ibu mertua yang masih menunggui responku. “Masakan ibu ya, Bang?” 

“Iya ... ibu yang masak, kan?” Bang Teguh ikut-ikutan melirik ibu mertua. 

Wajah garang yang sedari tadi ditunjukkan wanita itu mendadak suram. Sedangkan Nita, yang jelas-jelas selalu menjadi budak di rumah ini, meneguk paksa sesuap nasi yang baru masuk ke tenggorokan. 

“Sejak kapan ibu rajin masak, Bang? Setahuku, cuma Nita yang masakannya enak begini,” sindirku lagi. Meski tanpa mencicipinya sekalipun, bisa kutebak jika menu-menu lezat yang terhampar di meja adalah hasil keringat Nita dari pagi hingga sore. Lalu, kenapa dengan teganya, ibu mertua mengaku-ngaku jika ini adalah usahanya?

Nita semakin sayu saja, tubuhnya terlihat bergetar berkat ucapanku. Padahal, respon seperti itulah yang kuharapkan dari ibu mertua. 

“Masakan ibu memang enak kok, Gin. Kamu setiap hari makannya dimasakin ibu kok ngomongnya gitu? Kamu nyakitin perasaann ibu. Itu artinya, kamu nyakitin perasaanku juga!” serang Bang Teguh. 

“Loh, Bang!”

“Memang begini kelakuan istrimu, Guh! Ibu minta dibayarin COD lima puluh ribu aja, dia nolak, Guh! Istrimu sudah semakin sombong semenjak bisnisnya tambah maju. Sebentar lagi, kita bisa diinjak-injak olehnya!” cela ibu mertua lagi yang sukses membuat hatiku memanas. 

“Gina?!”

Aku mencebik saat Bang Teguh menoleh ke arahku setelah mendengar segala tuduhan tidak berdasar itu. “Lima puluh ribu, Bang?”

“Hanya lima puluh ribu kamu keberatan, Gin?”

“Bang ... terserah saja, ya? Aku sudah selesai makan,” sahutku tanpa berusaha memperpanjang perdebatan di meja. 

Entah kapan rumah ini bisa tenang, jika sikap dari ibu mertua dan Bang Teguh selalu sama. Menyalah-nyalahkan mantun atau istrinya dan dengan teganya memfitnah demi menguntungkan diri sendiri. 

“Bu ... aku ingin keluar dari rumah ini!” ucapku sebelum pergi dari meja. 

Sontak saja, Bang Teguh ikut tersentak kaget. Ditahannya lenganku yang mengepal keras berkat emosi yang tanpa henti menyalak. Bagiku, ini sudah keterlaluan dan aku tidak lagi bisa tahan. 

“Kita pindah ke kontrakan saja, Bang! Kamu juga, Gin ... pindah saja ke rumah kontrakan sama Willy!” hasutku pada kedua pasangan suami istri yang tetap diam menyimak. 

“Kamu apa-apaan ini, Gin?! Kenapa malah ngehasut Nita!” Segera ibu mertua protes dengan ucapanku. 

“Maaf saja, Bu ... kurasa sudah cukup Nita menjadi budak tak berarti di rumah ini. Sudah waktunya dia bebas dan menjalani kehidupannya dengan layak. Kamu juga Willy, jangan mau dibodoh-bodohin ibu terus. Istrimu jadi budak di sini kamu tidak tahu!”

“Gin ... kamu keterlaluan, Gina! Kamu asal-asalan nuduh ibu. Abang tidak akan keluar dari rumah ini dan meninggalkan ibu sendirian.” 

Hah ... hatiku mencelos lagi. Inilah penyebabnya kenapa kami belum bisa tinggal di rumah sendiri. Bang Teguh akan selalu berada di sisi ibunya dan menganaktirikan perasaan istrinya. 

Terpaksa, aku tersenyum walau terasa getir. Sudah dua tahun lamanya, hidup dengan perasaan yang selalu disembelih ibu mertua, dan kini ikut dicincang oleh Bang Teguh— suamiku sendiri. 

Merasa tidak tahan, dengan lantang aku berucap pada mereka yang ada di sana, “Kalau begitu, aku saja yang keluar dari rumah ini!”

Setelahnya, aku segera menghembus napas dengan keras agar aroma menusuk dari minyak angin yang dipakai ibu mertua tidak lagi merasuk ke hidung. Lalu, dengan langkah yang sengaja kusentak, aku segera beranjak menuju kamar, tidak perduli dengan panggilan beruntun dari Bang Teguh ataupun Nita. 

Pintu almari yang belum lama ini berganti itu, kubuka dengan keras hingga bunyi berderak terdengar. Baju-baju yang terlipat rapi di dalamnya, segera kutarik keluar dari sana. Lalu, menyusunnya asal di dalam satu koper besar. 

Belum selesai mengisi koper, Bang Teguh datang dari ruang makan dengan wajah yang pucat. Dia menunjuk koper dan diriku. Bola matanya membulat, mungkin kaget atau mungkin saja marah, aku tidak perduli. Sakit hatiku saja, dia acuh. 

“Kamu mau kemana, Gin? Ibu pingsan, Gin!” serunya. Lalu, sayup-sayu kudengar Nita yang menangis dan Bang Willy yang panik. 

“Kemarikan kunci mobilmu, Gin! Abang mau bawa ibu ke rumah sakit. Apa mobil juga enggak mau kamu pinjamkan lagi?” sindir Bang Teguh. 

Tangannya terulur, menunggu dengan kesal agar benda mungil berujung lancip itu segera kuberikan. Walau belum memastikan apa yang sedang menimpa ibu mertua saat ini kenyataan atau kebohongan, kuberikan kunci mobil itu pada Bang Teguh, lalu dia segera berlari keluar.

Batinku terasa nyeri begitu Bang Teguh menghilang, di saat aku mencoba untuk pergi dan memperjuangkan perasaanku, Bang Teguh seakan tidak perduli. Di pikirannya, hanya ada ibu dan ibu. Entah dimana posisiku sampai dia dengan mudahnya mempercayaii setiap tuduhan tanpa bukti dari ibu mertua. 

Saat kudengar deru dari mesin mobil, kuusap wajah yang menghangat marah, kemudian bangkit dari tepian ranjang. Memastikan apa yang sebenarnya terjadi di luar sana adalah sebuah keharusan untuk saat ini. Ibu mertua, mungkin saja sedang berpura-pura. 

 

—Bersambung ...

Follow Ig: @bemine_3897


 

Bab 5: Ibu Mertua Dirawat

Pagi ini, setelah memeriksa gudang dan pesanan pembeli, aku menyegerakan diri melangkah menuju rumah sakit tempat dimana mertuaku dirawat. Menggunakan jasa ojek online, aku menumpang hingga tiba di gedung bertingkat megah yang dipilih ibu mertua sebagai tempatnya berobat. 

Sejenak, aku menghela napas kala melihat bagaimana bagusya bangunan ini. Rumah Sakit Budiantara namanya. Salah satu perusahaan jasa yang menawarkan fasilitas mewah dan berkelas, tentunya dengan harga yang tidak ramah di kantong. 

Aku bergegas menuju ruang tempat di mana ibu mertua dirawat, tentunya sesudah membelikannya sekeranjang besar buah-buahan bagus dan segar dari toko buah yang berjalan beberapa meter dari rumah sakit. Aku tidak mau dianggap menantu celit dan kikir, hanya karena menghadiahinya buah-buahan dalam jumlah terbatas. Lagipula, Bang Teguh juga yang akan menikmatinya nanti. 

Baru langkah pertama memasuki lantai dasar, aroma menusuk dari alkohol dan obat-obatan menyeruak di rongga hidung. Termasuk juga, pemandangan yang mampu membuat bulu kuduk meremang, saat melihat sosok terbaring kaku di ruang IGD yang berdinding kaca bening. 

Aku melewati ruangan dengan dengan langkah terburu-buru. Kemudian, mendekati meja resepsionis. Salah satu dari dua suster yang sedang bertugas menatapku sejenak, lalu bertanya dengan sopan, “Mau jenguk siapa, Mbak?”

“Mertua saya, Sus. Semalam masuk ke sini.”

“Namanya siapa, Mbak? Biar saya carikan.”

“Erna, namanya Bu Erna. Datang bersama putranya,” jelasku yakin seyakin-yakinnya. 

Bang Teguh sudah memberiku alamat rumah sakit ini, maka sangat tidak mungkin ibu mertua dirawat di rumah sakit yang lain. Mendengarku menyebut nama ibu mertua, suster berwajah bulat itu segera mengecek daftar pasien rawat inap dari komputernya, lalu sejurus kemudian menemuiku dengan informasi yang kubutuhkan. “VIP lima lantai dua, Mbak.”

Darahku sedikit berdesir saat mendengar ruangan yang disebut suster. Ah, baiklah apa urusannya denganku ibu mertua dirawat di ruangan seperti apa. Lagipula, kedua putranya yang akan menanggung semua biaya perawatan. 

“Makasih ya, Sus!” pamitku terakhir kali, lalu beranjak segera menuju lift yang untungnya masih terbuka.

Tidak perlu waktu lama, aku berhasil menemukan ruang VIP lima di lantai kedua seperti yang disebutkan suster di lantar dasar tadi. Aku mengintip sedetik dari jendela kaca yang terhalang gorden, berharap jika ruangan yang terdengar riuh dari luar bukanlah ruang ibu mertua. 

Bagaimana mungkin gelak tawa yang menggelegar dan mengusik ketenangan itu berasal dari ibu mertua yang sedang sakit? Aku berulangkali mengucap istigfar, berharap jika pikiran buruk yang menguasaiku saat ini hanyalah tiupan serta hasutan dari setan belaka. 

Aku menekan knop pintu, lalu mendorongnya pelan agar tidak menimbulkan suara. Sedikit melongok ke dalam, seketika bola mata ini terasa hampir melompat dari sarang. Ibu mertua duduk santai sambil bersandar di dashboard mobil, di tangannya dia menggenggam garpu yang ditusukkan potongan buah pir, dan di pangkuannya terdapat sepiring penuh buah-buahan yang sudah dipotong dan dikupas. 

Ibu mertua tertawa menggelegar, saat teman-temannya yang berkunjung berbicara kepadanya, menggosipkan tentang bagaimana mewahnya rumah sakit yang saat ini dikunjungi, serta tentang buah mahal yang sedang dinikmati. Turun ke bawah, di lantai yang dingin karena sofa satu-satunya yang diberikan rumah sakit sudah penuh diisi oleh dua wanita bertumbuh bulat seperti ibu mertua, ada Nita yang duduk bak pekerja rumah tangga. Gadis itu dengan sabar menguliti apel dan pir yang sepertinya buah tangan dari dua wanita tersebut. 

“Jadi, enak dong, Bu ... punya mantu tajir. Uh, rumah sakit aja dibayarin semahal ini. Pasti dia sayang banget sama Bu Erna.” Salah satu wanita yang kukenal sebagai Bu Husna berbicara lagi, tentunya tanpa berhenti menggigit dan mengunyah buah yang dihidangkan Nita. 

“Iya, dong ... Bu. Itu, Bu ... Teguh mau beli tanah, buat kebun. Harganya dua em ...,” obral ibu mertua lagi dengan bangganya. “Nanti, tanahnya mau dikasih ke saya, Bu. Enakkan Bu, punya mantu tajir. Hehehe ....”

“Wah, dua em, Bu? Itu duit semua?”

Ibu mertua mengangguk bangga. “Iya, Teguh itu duitnya banyak. Istrinya kaya raya, pinter kan anak saya nyari bini? Kalau yang modelan begini sih ....” Kali ini, ibu mertua melirik Nita yang duduk diam di bawah. 

Tanpa melakukan apapun, tetap saja Nita kena sembur dan hina. 

“Ya, bilang ke Willy, Bu ... cari lagi yang baru, harus yang kayak Gina. Kan lumayan banget Bu. Apalagi, si Willy mukanya ganteng, banyak yang demen.” Bu Inah menyambar tepat setelah ibu mertua selesai. 

Ketiganya kembali menertawai Nita, sesekali membandingkannya denganku atau dengan mantu-mantu mereka yang bekerja di kantor. Tidak jarang, kudengar ibu mertua mengiyakan saran-saran dari temannya untuk meminta Bang Willy menikah lagi. 

“Kalau enggak, Teguh juga bisa tuh nikah lagi, hehe ....” Bu Husna terkikik. Sepiring pir dan apel yang dipotong Nita ludes olehnya. Aku masih belum beranjak sama sekali dan balik pintu, ada banyak hal yang bisa kudengar, meski sebagiannya memilukan.

“Loh, kan memang sudah dua, Bu ....” Bu Inah menjawab. 

“Hush! Jangan keras-keras, nanti ada yang laporan,” ingat ibu mertua. 

Aku yang mendengar dengan jelas hal itu merasa bagaikan disengat. Apa maksud ibu mertua dan kedua temannya? Bang Teguh menikah lagi?

 “Loh, kapan Bu Husna?”

“Ah, si Ibu. Itu, Bu ... yang di ....”

Aku tidak sempat mendengar Bu Husna hingga selesai, karena Bang Teguh lebih dulu datang dan menarik gagang pintu hingga berdentum. “Kapan kamu sampai, Gin?” tanyanya dengan wajah yang memucat. Sepertinya, Bang Teguh berusaha menyembunyikan sesuatu.

“Abang nikah lagi?” Aku segera menginterogasi. 

“Kamu ngawur. Nikah lagi? Satu saja sudah bikin pusing,” elaknya. “Sudah, cepat masuk! Kamu telat jenguk ibu. Harusnya datang agak pagi, biar bisa bantu-bantu ibu bersih-bersih.”

“Bang, jawab dulu! Aku masih ngomong.”

“Gina ... kamu denger apa sih dari ibu-ibu tukang gosip itu?” Bang Teguh menegurku dengan keras. Terlihat, beberapa suster dan kerabat dari pasien melirik ke arah kami yang berdebat di ambang pintu.

“Aku denger sendiri kalau kata Bu Husna kamu nikah lagi, dan ibu mertua sendiri yang ....”

“Itu cuma halunya kamu aja, Gin! Ini semua biar kamu nggak perlu beliin aku tanah dua em itu, kan? Kamu segininya, ya Gin! Aku suamimu, kepala rumah tangga. Kok tega ya kamu ngefitnah aku sampai begini!” Bang Teguh menunjuk dirinya dengan sorot matanya yang bergetar. 

Semakin aku bersikeras, maka semakin keras pulalah balasan jawaban dari Bang Teguh. Pria itu tidak mau mengakui tuduhan yang kudengar langsung dari tiga wanita di dalam. 

“Sudah, aku mau ketemu ibu. Kamu masuk atau nunggu di sini, terserah saja, Gin!” Bang Teguh mendorong kembali pintu yang baru saja ditutupnya. Pria itu mengabaikanku yang masih berusaha memahami kejadian membingungkan saat ini. 

“Mbak ... masuk, yuk?” Nita datang mendekat, seraya memanggilku dengan suaranya yang pelan dan lemah. Kulihat, gadis itu menyimpan iba di pelupuk matanya, mungkin sadar jika aku mendengar semua gosip miring yang dilakukan ibu mertua.

“Tidak, Nit ... bawa masuk ini. Aku harus pergi sebentar. Ada sesuatu yang belum selesai,” ujarku pada Nita. 

Kuserahkan sekeranjang buah nan mahal itu agar bisa memuaskan rasa haus ibu mertua, lalu bergegas pergi dari sana dengan hati yang membara. Ada banyak hal yang kini harus kusibak sendiri. Perjuanganku di rumah ini tidak hanya tentang Nita, keserakahan ibu mertua dan Bang Teguh, tetapi juga kabar angin soal pengkhianatannya terhadapku. 


 

 

Bab 6: Bukti Pengkhianatan

Aku segera kembali ke rumah Bang Teguh dengan menyewa ojek yang mangkal di dekat rumah sakit meski kusadari beberapa kali ponsel berdering nyaring, mendendangkan panggilan dari suamiku sendiri. Mungkin, pria itu tidak menyangka jika aku benar-benar akan menentang dirinya dan memilih pulang dibandingkan menemui ibu mertua yang sibuk berpura-pura sakit. 

Begitu tiba di depan pagar, ojek yang telah menempuh jarak cukup jauh untukku itu meminta tebusan mencapai lima puluh ribu. Aku sedikit mengernyit awalnya, lalu mengeluarkan uang seratus ribu yang berjubel di dalam dompet dan memberikannya padanya.

Terlihat dia yang mulai merogoh kantong jaket serta sakut celana. “Enggak ada kembaliannya, Mbak. Uang pas aja. Si Mbak pelanggan pertama,” pintanya santun. 

Aku mengulas senyum, kembalian sebesar itu memang tidak lagi terasa banyak sejak Rabbi memberi harta yang berlimpah. “Buat Bapak aja kembaliannya. Semoga bermanfaat.” Lantas, aku segera mendorong berat pagar agar bisa masuk ke halaman yang pagi ini bak diterjang badai. Tentu saja karena Nita belum menyapunya yang selalu diguguri dedaunan dan sibuk menjadi perawat ibu mertua di rumah sakit. 

Baru saja hendak naik ke teras, kulihat pintu depan terbuka lebar dan motor Bang Willy terparkir di garasi. Syukurlah, setidaknya aku tidak perlu mampir ke rumah tetangga meminta kunci titipan ke sana. Bukannya tidak ramah dengan jiran, akan tetapi mereka lebih senang menginterogasiku lebih dulu sebagai upah atas jasanya.

Kuputuskan untuk menunggu sejenak di teras, karena masuk ke dalam rumah di saat hanya ada Bang Willy membuatku gundah, takutnya ada tetangga yang usil dan mengumbar gosip antara aku dan adik iparku. 

Cukup lama berdiam di sana, pria dengan paras yang lebih rupawan dari Bang Teguh keluar dengan pakaian yang rapi serta rambut super klimis. Mendapatiku sedang duduk diam di teras, Bang Willy menyapa dengan senyum, lalu segera beranjak mendekati motor matik miliknya. 

Tidak ada satu kalimat pun terucap, apalagi basa basi seperti yang selalu dilakukan Bang Teguh pada Nita, Bang Willy hampir tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Baginya, aku seperti tidak terlihat, bagai angin lalu yang tidak perlu dirisaukan keberadaannya. 

“Kunci pintunya, Gin. Aku mau ke rumah sakit,” pamitnya begitu melihatku melepas sepatu. 

Lalu, deru motornya terdengar menjauh hingga keluar dari pekarangan rumah yang kami tinggali bersama. Menyisakan aku sendirian dan rumah ibu mertua yang sunyi. 

Aku segera menutup pintu, memastikan terkunci rapat seperti yang diperintahkan Bang Willy. Setelahnya, bergerak menuju kamarku dan Bang Teguh demi mencari tahu segala bukti yang memperkuat pernyataan ibu mertua dan mampu menyudutkan Bang Teguh. Kuhempas tas mungil di ranjang, menggulung rambut setinggi mungkin dan melipat lengan kemeja. 

Pencarianku dimulai dari laci meja rias yang jarang kubuka, karena isinya hanya jam tangan milik suamiku dan beberapa ponsel lamanya. Tentu laci kecil itu menjadi sasaran kecurigaan, karena beberapa kali Bang Teguh memintaku menjauh darinya. 

Aku mengobral seluruh isinya di ranjang, mencari dengan telaten sebuah dokumen dengan lambang negara yang bisa membuktikan jika Bang Teguh memang sudah menikah lagi. Nihil, di dalamnya hanya ada beberapa ponsel lama milik Bang Teguh yang semuanya masih berfungsi. 

Lalu, aku berpindah menuju lemari bagiannya, lagi-lagi laci kecil yang terkunci menjadi sasaran. Anehnya, kali ini benda kecil itu menghilang tidak tahu rimbanya. Biasanya digeletakkan Bang Teguh secara asal di bawah pakaian atau terkadang menggantung di sana. 

Kuputuskan untuk mencari kuncinya, karena pasti ada sesuatu yang disembunyikan Bang Teguh hingga dikuncinya begini. Kumulai dengan menyibak setiap pakaian, sudut-sudut lemari hingga dasar lemari yang berongga. Semuanya tidak luput dari pencarian, namun tidak ada satu jejak pun kutemukan.

Aku belum menyerah, jika tidak ada di sini, maka pasti disembunyikan di tempat lain. Maka, investigasiku selanjutnya adalah setiap jaket dan celana jeans milik Bang Teguh yang tidak pernah kusentuh sama sekali. Barang-barang itu selalu dirawatnya seorang diri hingga enggan membiarkanku turun tangan. 

Satu per satu, setiap jaket kulit hingga wol kusibak. Saku-sakunya juga tidak luput dari pencarianku, mengingat Bang Teguh sangat senang menyimpan sesuatu di sana. 

Jaket pertama, kedua hingga kesembilan, aku kelelahan dan hampir putus asa. Tidak ada satu benda pun kutemukan di sana. Apalagi yang menjurus pada bukti jika Bang Teguh telah mengkhianatiku. Di tengah rasa lelah itu, pupil mataku memendar, kutemukan sesuatu yang mencurigakan dari balik jaket kulit hitam lama miliknya. 

Aku mengernyit sebab melihat jaket jeans tertimpa jaket kulit. Bang Teguh tidak akan membiarkan hal ini terjadi karena dia akan mengomel tentang bentuk jaketnya yang bisa rusak dan sebagainya. 

Kurasakan degub jantung yang berjalan lebih cepat saat ini. Dengan tangan yang terulur serta keringat yang bercucur, aku mencoba melepas jaket kulit dari hanger agar leluasa memeriksa jaket jeans di bawahnya. Dan benar saja, sesuatu terlihat janggal di saku benda itu. Bentuknya persegi dan cukup besar jika dibandingkan dengan buku nikah yang sedang aku cari.

“Hp?” Aku mendesis bingung. Jantungku seakan melompat keluar saat menemukan gawai keluaran baru lainnya di saku jeans suamiku. 

Lebih baru daripada milikku dan cukup mahal. Hal yang membuatku bingung adalah Bang Teguh tidak pernah membicarakannya denganku. 

Kutekan tombol power karena yakin jika benda persegi ini dilindunginya dengan sandi dan tidak mungkin bisa mengulik isinya dengan mudah. Dan benar saja, di layar depannya kutemukan foto seorang wanita dengan senyum yang cantik. Wanita itu tersenyum bahagia dengan Bang Teguh sebagai latar belakangnya. 

Hatiku mendadak nyeri, rasanya bagaikan dicabik-cabik. Aku terduduk jatuh ke lantai seraya menggenggam gawai itu. Tangisku mendadak pecah tanpa mampu kutahan. Entah sejak kapan, Bang Teguh sudah mengkhianatiku dan busuknya ibu mertua mengetahui hal itu. 

Gawai milik Bang Teguh bergetar sesaat di dalam genggamanku, layarnya menyala dan notifikasi whatsapp muncul di sana. Dari pesan preview, kulihat nama pengirimnya, “Adinda”. Nyeri kedua segera merambat dengan cepat, menyebabkan lututku ngilu hingga tidak mampu bergerak. 

[Kapan pulang, Abang? Adinda kangen?!]

Aku mengumpat beberapakali saat melihat bagaimana manjanya wanita ini pada Bang Teguh. Jadi inilah alasan kenapa Bang Teguh sudah jarak memberiku nafkah, dan sering keluar malam. Tidak jarang, beralasan sedang dinas atau lembur menggantikan.

Buru-buru aku mengusaikan tangisku saat kudengar pagar terbuka dan beberapa suara saling menyahut di depan sana. Sepertinya, anggota keluarga yang lain pulang tepat setelah kepergianku.

Gawai itu segera kukembalikan ke asalnya, lalu membereskan laci yang isinya berhamburan di ranjang dan seluruh kamar kususun seperti semula. Bang Teguh dan ibu mertua tidak boleh tahu jika rahasia gelap mereka sudah kubongkar sesaat lalu. 

Aku segera beranjak mendekati cermin rias, beberapa tepukan bedak kuberikan agar wajah yang sempat menangisi pengkhianatan Bang Teguh tidak terlihat olehnya. Ada banyak hal yang harus kuungkap sebelum akhirnya menentukan pilihan, apakah bertahan atau berpisah dengan pria yang sudah kuberikan segalanya. 

“Gina?!” Ibu mertua menjerit keras dari luar. 

Wanita itu sepertinya sengaja melakukannya, agar tetangga-tetangga kami yang selalu berpihak padanya menilaiku sebagai menantu yang buruk. Di saat ibu mertua tertatih-tatih pulang dari rumah sakit, aku tidak ada di sana untuk menolongnya. 

Sekali lagi, setelah memastikan seisi kamar aman, aku segera berlari ke teras. Membuka pintu selebar-lebarnya demi menyambut dua orang yang tega menusukku dalam-dalam setelah begitu banyak pengorbanan kuberikan. 

“Kok langsung pulang ya, Bu? Bukannya mau istirahat dulu beberapa hari di sana?” sapaku dengan senyum cerah yang sebenarnya berdarah-darah. Apalagi saat melihat Bang Teguh dengan riangnya memarkir mobilku di garasi, seolah-olah kuda besi itu memang miliknya. 

“Itu, Mbak ... ibu kepengen pulang, katanya rindu rumah. Padahal baru semalam masuknya,” sahut Nita yang kewalahan mengangkat barang-barang bawaan ibu mertua, sedangkan suamiku berleha-leha dan sibuk berdendang ria.

“Oh, begitu ya, Bang? Bukan karena ....” Aku sengaja menahan kalimatku, lalu menatap Bang Teguh yang ikut naik ke teras dengan sebuah senyum penuh isyarat. 

“Karena apa? Kamu ini, ya ... kok curigaan banget sama suamimu!” sambar ibu mertua tiba-tiba dari kursi. Wanita itu menunjuk-nunjuk ke arahku yang hanya berdiri di ambang pintu. 

“Curiga apa ya, Bu? Memangnya ada hal yang harus dicurigai?” Aku tersenyum lagi seraya membantin, “Lanjutkan sandiwaranya, Bu ... sampai aku bisa membuktikan perangai busuk kalian dan membebaskan Nita dari sini.”

Bersambung ….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku (Bab 7, 8 dan 9)
0
0
Perselisihan tanpa akhir ini harus mampu kulewati ….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan