Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku (Bab 1, 2 dan 3)

0
0
Deskripsi

Aku menyadari jika mertua dan suamiku hanya menginginkan harta. Inilah awalnya di mana semuanya berubah ….

Bab 1: Aku Sudah Tahu Semuanya

“Gini loh, gini, Nita! Masa kerjaan begini saja kamu enggak becus? Mana masakan satu pun belum ada yang mateng. Aduh, punya mantu kok lemot banget, ya?” omel Ibu Mertua pagi itu. 

Bukan! Bukan aku yang diomeli, sebab saat ini aku hanya duduk santai di kursi yang berlawanan dengan wanita kurus bernama Nita itu. Tidak ada satu tumpuk sayur pun di depanku, apalagi pisau serta talenan untuk memotong sayur. 

Kedua tanganku bersih, jauh dari bau bawang apalagi amis ikan. Kuku-kukuku juga berkilauan, karena tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah selama menjadi menantu ibu mertua. 

Tapi berbeda dengan Nita, wanita kurus yang sudah lebih dulu menginjakkan kaki di rumah ini, diperlakukan layaknya pembantu. Lihat saja, bagaimana lelahnya dia sejak pagi, mencuci piring, menyapu kemudian memasak. Namun, tidak pernah sekalipun kata-kata keluhan meluncur bebas dari bibirnya yang tipis. 

“Nita ... ini gimana ini? Ikannya kamu cuci kok masih ada darahnya? Buta, ya?” lanjut ibu mertua seraya menerawang bagian perut ikan bandeng. 

Wanita berusia enam puluh tahunan yang rambutnya telah memutih sebagian, dengan gaya boob serta setelannya yang selalu sama itu tidak henti-hentinya memarahi Nita. Sakitnya, Nita tetap tidak membantah. Diturutinya semua perintah ibu mertua dengan sukarela. 

“Biar Gina aja, Bu?!” tawarku. Kasihan juga jika Nita yang terus bekerja. 

“Eh ... eh, nggak usah, Gin! Kamu duduk aja di situ, ya? Nanti Teguh pulang kamu masih cantik dan wangi.” 

Berbeda bukan respons ibu mertua? Hal itulah yang membuatku muak berpijak di rumah ini. Padahal, bukan aku yang tersiksa, bukan aku juga yang ditindas ibu mertua. Namun, aku tidak tega, jika wanita sebaik Nita akan terus bekerja keras di bawah telapak kaki ibu mertua.

“Kita sewa pembantu saja, Bu?!” tawarku lagi. 

Ibu mertua terlihat melotot. Mungkin, khawatir jika menyewa pembantu, maka uang yang berkumpul di rekeningnya akan berkurang. 

“Aku yang bayar, Bu,” lanjutku santai. 

Sudah tahu benar karakter dari wanita ini, sebab itulah, aku tidak akan ambil pusing lagi. Rencana menyewa seorang pembantu di rumah bukanlah untuk ibu mertua, melainkan semata-mata hanya untuk Nita, mengurangi bebannya di rumah terkutuk ini. 

“Nggak usah, Gin! Kamu kan sudah banyak transfer Ibu uang. Kalau kamu keluar uang lagi, Ibu jadi enggak enak. Mending, uangnya kamu kasih Ibu saja, hehe.”

“Aku sudah transfer Ibu bulan ini, kok. Dua juta setengah ya, Bu?” sahutku santai. 

Aku mulai melirik ke arah Nita, wanita yang masih menundukkan wajah, menatap talenan yang kosong. Mungkin, Nita malu denganku, atau juga malu dengan nasibnya sendiri.

“Loh, kok?” Ibu mertua mendekat. Tidak terima dengan jumlah yang aku berikan. 

“Maaf Bu ... mulai sekarang aku kasih dua juta setengah saja. Enggak lima juta lagi. Bukan kewajibanku nafkahin ibu dan rumah ini, tapi kewajibannya Bang Teguh dan Bang Willy— suaminya Nita,” tegasku pada ibu mertua. 

Mendengar ucapanku barusan, wajah ibu mertua berubah pucat. Terlihat olehku juga, bagaimana ibu mertua mengepal tangan, mungkin ingin melayangkan satu bogem mentah ke arahku, sama seperti yang selama ini dia lakukan pada Nita. 

Tapi aku, tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Akan kulindungi Nita sebagaimana aku melindungi diriku sendiri. Wanita itu, tidak boleh lagi terluka lebih dari ini.

“Uang dua juta setengahnya lagi, akan kuberikan sebagai gaji pembantu di rumah ini, Bu. Aku akan mencari pekerja, biar Nita dan aku bisa berleha-leha. Lagipula, kami itu menantu di rumah ini, bukannya pembantu, bukan juga gudang uang buat ibu,” tegasku lagi. 

Aku beranjak dari duduk, memutari meja makan yang juga dibeli dari uang pemberianku. “Bangun kamu, Nit!” 

“Mbak ... ini belum selesai, nanti ....”

“Bangun saja, Nit. Hari ini, biar kita makan pesan antar. Kamu pilih mau makan apa! Mbak yang akan bayar.” 

Segera, aku menarik tangan Nita, menyeret paksa wanita ringkih itu hingga terseok-seok mengikuti. Tidak lagi kuperdulikan ibu mertua yang sibuk mengomel-ngomel di sana, di dapur yang masih berantakan. 

“Hei ... mantu durhaka kamu, Nita!” Malah Nita yang kena maki. 

——

Kutepis sementara kekesalan terhadap ibu mertua. Hal paling penting saat ini adalah, menyusun strategi agar Nita bisa diperlakukan sama denganku, serta ibu mertua yang berhenti menggerogoti uang-uangku. 

“Mbak ... jangan begini?” protes Nita. Meski sebuah protes sekalipun, suara Nita begitu lemah. Tidak ada setitik tenaga pun terdengar dari ucapannya itu.

Ya ampun, Nita! Kenapa nasibmu buruk begini?

“Mbak, besok-besok ibu akan lebih kejam sama aku. Mbak jangan tentang ibu demi aku. Aku ikhlas, Mbak.” 

“Ikhlas?” Aku memekik cukup keras. Tidak perduli jika ibu mertua mendengarnya. Kamarku dan Bang Teguh, cukup dekat dengan dapur dimana ibu mertua berada.

“Aku senang, Mbak. Asal bisa sama Bang Willy di sini, aku sudah senang.”

“Nita! Kamu ini kenapa, sih? Kenapa membiarkan orang lain menginjak-nginjak dirimu, hah?”

“Karena ....” Nita berhenti berbicara. Dia menatap lantai kamarku dengan sorot matanya yang sedih. 

“Nita enggak punya uang milyaran kayak Mbak Gina,” lanjutnya yang membuat batinku tertekan. 

“Gina ... Gin? Bukan pintunya?” Kudengar ibu mertua menggedor-gedor pintu kamarku. 

Pembicaraanku dengan Nita sejenak terhenti. Wanita itu terlihat bingung, seperti panik hingga melirik sana sini.

“Kenapa, Nit? Jangan takut, ada Mbak di sini.”

“Mbak temui ibu, jangan bilang-bilang kalau Nita masuk ke sini. Ibu enggak izinin soalnya,” jelas Nita seraya bergerak menuju kamar mandi dalam. 

Ditutupnya rapat-rapat pintu kamar mandi, lalu memutuskan untuk bersembunyi di sana. Nyess hatiku melihat bagaimana Nita ketakutan setiap kali melihat ibu mertua. 

“Gina? Kamu di dalam, kan?” 

Kuabaikan Nita sementara demi menghadapi ibu mertua yang kejam itu. Perlahan, aku menekan knop pintu meski rasa dongkol bersarang. Lalu dibaliknya, ibu mertua menyembul datang dengan sesuatu di tangannya. 

Paket! Ya itu pasti paket. Ibu mertua pasti baru selesai membeli sesuatu dari toko online.

“Gin ... em, ini paketnya. Kamu pegang uang enggak? Lima ratus ribu saja, Gina. Ini COD, Ibu enggak pegang uang sama sekali. Mas kurirnya nungguin di depan.” Taktik baru ibu untuk menggerogotiku. 

Sudah bukan kali pertama ibu mertua belanja COD, lalu memintaku untuk membayarnya dengan sejuta alasan dan jurus yang sudah dia persiapkan. Padahal, jelas-jelas jika di dompetnya selalu tersedia uang hingga jutaan jumlahnya. Memang dasarnya, ibu mertua hanya mau barang gratisan. 

“Maaf, Bu ... enggak ada. Habis!” jawabku dingin.

“Loh, masa sih? Kan uangmu banyak, Gin.”

“Iya, banyak tapi di rekening, Bu. Aku enggak megang uang cash lagi. Semua serba debit.”

“Terus ini gimana, Gin?”

“Coba Ibu cek di dompet Ibu, kali aja keselip tuh lima ratus ribu. Bisa buat bayar CODnya.”

Wajah ibu mertua kembali memerah. Baru sesaat lalu, dirinya naik pitam karena aku yang menentangnya dan membela Nita. Sekarang, naik lagi berkat penolakanku membayar belanjaan ibu mertua. 

“Sudah dulu, Bu? Aku mau ke gudang. Oh iya, Nita juga kuajak. Urusan makan siang dan malam, nanti aku pesankan sekalian,” ujarku terakhir kali pada ibu mertua. 

 

— Bersambung 

Follow aku di: @bemine_3897

 

 

Bab 2: Masa Laluku

“Jadi ini gudangnya, Mbak Gini?” Nita menatap takjub bangunan tiga lantai yang telah menjadi sarang uangku selama ini. 

Bangunan luas yang kubeli dari hasil menabung, penjaja barang dagangan selama bertahun-tahun, hingga merambati bisnis online tujuh tahun lalu itu, berdiri megah di depan kami berdua. Dijejeri oleh beberapa motor yang merupakan milik para pekerja. Serta satu unit mobil berjenis Range Rover yang bersembunyi di bagasi. 

Khusus kendaraan besi yang besar itu, adalah milikku sendiri. Aku sengaja menyimpannya di gudang agar ibu mertua tidak tahu tentang hal ini. Bukannya bersikap pelit, tetapi satu unit mobil berjenis Jazz yang kubawa pulang, lebih sering dipakai ibu mertua dibandingkan olehku sendiri. Digunakannya untuk pamer kesana kemari, jika dirinya telah berhasil mencapai puncak kejayaan dalam hidupnya. 

Tidak apa-apa jika aku dianggap pelit sekalipun. Nyatanya, selama dua tahun menikahi Bang Teguh, aku telah menggelontorkan uang dalam jumlah tidak sedikit semenjak mereka tahu aku adalah pebisnis online yang mahsyur. 

Omset perbulan dari tiga toko e-commerce yang kumiliki mencapai satu milyar, dan bisa bertambah saat musim-musim tertentu. Namun semua hal ini tidak kudapatkan dengan satu jentikan jari. Melainkan hasil dari memerah keringat hingga sedikit terlambat menikah. 

Aku hanyalah gadis desa, tamatan SMP yang saat itu tidak mampu melanjutkan sekolah karena terkendala biaya. Jangankan sekolah, membeli baju, sepatu atau buku, bisa makan setiap hari saja sudah syukur rasanya. 

Dilahirkan sebagai anak pertama dengan delapan bersaudara yang dempet-dempet jarak kelahirannya, membuatku terpaksa mundur banyak. Membiarkan cita-citaku sebagai seorang guru terbang bersama angin di musim panas. Tersapu badai di musim hujan. 

Perih, sakit semua bercampur aduk saat kulihat teman-teman seumuranku berangkat sekolah bersama-sama dengan baju putih abu-abu yang megah. Mereka memakai sepatu hitam yang bagus, tas punggung yang juga keren. Sedangkan aku, duduk di pinggiran toko, menjajakan donat berselimut gula buatan ibu. 

Tidak lama berjualan donat, aku ditawarkan untuk bekerja oleh pemilik toko dimana aku menumpang. Pria paruh baya yang kukira hidup sebatang kara itu, memberiku pekerjaan sebagai penjaga toko, karena dirinya sudah tidak lagi mampu melakukannya seorang diri

Jangan tanya bagaimana riangnya aku saat itu. Tidak hanya berjingkrak-jingkrak, mengangguk pada penawaran menakjubkan yang kudapatkan, aku juga membungkuk berulang kali pada pria yang biasa dipanggil Kakek Tua oleh pelanggannya itu. 

Beranjak dari situlah, aku belajar bagaimana mengelola sebuah toko kelontong. Menghapal berbagai harga barang, baik harga grosiran atau eceran. Tidak jarang, banyak pembeli yang mencoba nakal saat Kakek Tua sedang keluar, namun aku dengan sigap mengeluarkan buku catatan harga yang telah dibuat oleh Kakek Tua dan membuat pembeli itu bungkam. 

Tiga tahun lamanya, aku menghabiskan usia sekolah SMA di toko kelontong yang lapuk. Lalu, bermodalkan tabungan yang sedikit itu, aku mencoba peruntungan sendiri dengan membuka kios di sudut pasar. Bukannya mengkhianati Kakek Tua yang sudah baik hati, melainkan aku dipaksa keluar dari sana, karena toko kelontong miliknya ingin ditutup.

Aku masih ingat ucapan Kakek Tua sore itu sebelum kami berpisah, menurutnya aku akan sukses di masa depan nanti selama, aku mau berusaha dengan keras dan mudah menolong, dari situlah dunia akan berpihak padaku. Sebagai hadiah perpisahan, barang-barang milik Kakek Tua dipindahkan ke kiosku. 

Selama empat tahun itu, aku berjuang merangkak dari bawah. Sesekali dibantu oleh adik-adikku, namun kerap kali aku berjuang sendirian. Mereka tidak boleh bolos sekolah, apalagi sampai putus sekolah. Untuk alasan itulah, aku mengelola sendiri kios hingga membesar menjadi sebuah toko. 

Tahun kedelapan, saat aku berusia dua puluh dua tahun, dari salah seorang pembeli yang mengomel-ngomel karena barang di toko lebih mahal daripada barang di toko online, aku yang penasaran, mulai mencari tahu tentang hal itu. 

Bagaimana caranya berjualan dengan harga murah, memangkas biaya sewa yang terlalu mahal serta menggapai lebih banyak pembeli. Aku tahu teori ini darimana? Dari buku adikku yang kuliah di jurusan manajemen bisnis. Aku yang menyekolahkannya? Syukurnya, dia dapat beasiswa.

Peranku pada mereka hanya sampai tamat SMA, karena keuntungan di toko kelontong juga tidak seberapa. Sebab itulah, aku putar otak, mencari keuntungan yang lebih banyak namun dengan jalan yang halal. 

Saat itu, aku berkenalan dengan toko online buatan anak negeri di tahun 2012. Berbekal kemampuan yang buruk dalam menggunakan teknologi, aku kembali merangkak dari bawah, menjajakan barang-barang di sana. Satu hari, dua hari, tiga hari hingga terasa ingin menyerah saja, sebab pesanan tidak kunjung tiba. 

Lalu, aku melakukan sedikit inovasi setelah mengintip lagi buku-buku kuliah adikku sendiri. Memperbaiki deskripsi barang, tampilan toko online hingga memperbarui gambar dengan yang lebih jernih. 

Tidak butuh berminggu-minggu, dengan izin Allah pesanan datang satu persatu. Awalnya terlihat mudah untuk ditangani, namun semakin hari aku semakin kewalahan menghadapi. 

Di sinilah, aku mengangkat karyawan pertama, Bu Iyem namanya. Wanita berstatus janda yang ditinggalkan oleh suaminya demi wanita lain. Dengan beliaulah, aku berlari mengejar mimpiku. Hingga saat ini, aku punya tiga toko online di tiga platform berbeda dengan total pengikut mencapai lima juta.

Semua kegiatan bisnis itu, berputar di bangunan tiga lantai yang luas ini. Dimana lantai pertama merupakan gudang dan ruang pengemasan. Lantai dua adalah kantorku sendiri dan ruang admin, sedang lantai tiga gudang tambahan untuk barang-barang tertentu serta dua kamar untuk karyawan lelaki yang tinggal di sini. 

“Kapan ya, Nita bisa kayak gini?”

Anganku segera terbelah saat kudengar Nita bergumam lagi. Wanita bertubuh kurus dengan wajah pucat itu masih menatap bangunan tiga lantaiku.

“Masuk, Nita? Lihat-lihat gudang,” tawarku yang segera disambut bahagia olehnya. 

Baru satu langkah berjalan, ponsel gadis itu berdering. Iya, ponsel bukannya gawai keren yang selama ini dimiliki oleh kebanyakan orang. Di tahun 2018, sangat sulit menemukan seseorang yang masih bertahan dengan ponsel itu. 

Telepon Nita adalah telepon seluler keluaran lama, yang masih menggunakan tombol untuk dioperasikan dan bukannya layar penuh yang sebesar nampan. Nyess lagi hatiku melihat nasib wanita itu. Padahal, hidupku di masa lalu juga tidak ubahnya dengan Nita. 

“Ibu, Mbak?!” desahnya yang beriring dengan wajah sayu. 

“Nita pulang ya, Mbak? Takutnya nanti ibu laporan sama Bang WIlly,” lanjutnya lagi. 

“Tidak perlu takut. Kalau suamimu nanya kamu kemana, bilang saja pergi sama Mbak, Nita. Lagipula, suamimu laki-laki baik, tidak akan mikir aneh-aneh sama kamu,” ingatku. Memang benar, karakter dari Bang Willy adalah lelaki penyayang nan lembun. Berbanding terbalik dengan ibu mertu yang kasar dan kejam.

“Mbak tahu sifat ibu, kan? Mending kita pulang saja ya, Mbak? Lain kali kita lihat gudangnya Mbak lagi,” pintanya memelas. 

Melihatnya begitu, aku menjadi iba. Kuanggukkan kepala meski terasa berat jika harus kembali ke rumah itu sebelum Bang Teguh atau Bang Willy kembali. Ibu mertua akan tetap bertindak kejam sebelum kedua putranya datang. 

 

Bersambung ....

Follow igku, yuk? Di @Bemine_97


 

Bab 3: Permintaan Bang Teguh

“Baru pulang kamu?!” hardik ibu mertua tepat setelah Nita menginjak lantai rumah. 

Aku yang baru memarkirkan mobil di garasi, menghela napas dalam-dalam. Entah bagaimana caranya menyelamatkan Nita dari kekangan ibu mertua, jika dirinya saja tidak mau berusaha lepas darinya. 

“Enak ya ... dibelain Gina?! Kamu deketin Gina sekarang biar kecipratan kaya, gitu?” Lagi ... ibu mertua tanpa henti mencibir. Bukan! Lebih tepatnya menghina. Suaranya menggema jelas hingga ke teras rumah. Entah apa kata tetangga setiap mendengar keruhnya suasana rumah ini. Raungan tanpa henti dari ibu mertua seolah menjadi melodi yang akan terus berputar. 

Kulangkahkan kaki, menyusul Nita agar ibu mertua sedikit melunak padanya. Namun, kutemukan sesuatu yang mencengangkan saat ini. 

Pria yang kunikahi dua tahun lalu itu, sudah duduk santai di sofa, menikmati makanan yang kupesan melalui ojek online. Sedang ibu mertua, masih saja melanjutkan marah-marahnya. 

“Itu istrimu, Guh!” Ibu Mertua ikut menyorotiku. Tatapannya jadi sinis dan berani, berbeda jauh dengan saat pagi tadi.

“Bang ... cepet banget pulangnya? Ini masih siang. Memangnya Bang Teguh enggak kerja?” tanyaku pada suamiku itu— pria yang masih sibuk mengunyah paha ayam bakar dengan ganasnya bak kelaparan. 

Aku mendekati Bang Teguh setelah memberi isyarat pada Nita agar beranjak ke kamar. Kurasa, sakitnya hati Nita saat ini berkat hardikan ibu mertua tidak perlu bertambah. Wanita itu sebaiknya kuselamatkan lebih dulu, sebelum air matanya tumpah ruah dengan caci-maki berikutnya. 

“Bang? Aku nanyain loh!” protesku pada Bang Teguh. 

“Kamu ini, Gin! Tunggu sebentar, suamimu sedang makan!” Ibu mertua menyahut. 

Entah kenapa, kuperhatikan jika wanita tua ini seringkali begitu berani di depan Bang Teguh. Bahkan tidak segan-segan menghardik diriku. 

“Gin ... Abang mau bicara sama kamu,” ujar Bang Teguh. Paha ayam yang sedari tadi dia gerogoti tulangnya mulai terlepas dari tangan. 

Bang Teguh menarik secarik tisu dari box, kemudian menyeka sudut-sudut bibirnya yang berlepotan bumbu dan minyak. Sebenarnya, aku mencelos hati saat melihat dua dari lima porsi ayam bakar nasi uduk itu kandas diterjang Bang Teguh. Menyisakan nasi tok dengan sayur timun serta gorengan tempe. Syukurnya, aku sempat memesan beberapa potong ayam goreng tepung dari toko langgananku, jadinya dua bungkus itu masih bisa terselematkan. 

“Bicara langsung di depan Ibu, Guh!” sela ibu mertua lagi. 

Dua anak-beranak ini jadi semakin mencurigakan. Seolah-olah mereka baru saja menyusun rencana untuk menyakiti diriku seperti yang dilakukan ibu mertua serta anaknya dari siaran tivi ikan terbang. Semoga saja, nasib-nasib mengenaskan itu tidak menimpa diriku.

“Oke, Bu.” Bang Teguh patuh. 

Diliriknya kembali aku yang berdiri di depannya dengan wajah tersenyum puas. Padahal, pertanyaanku tentang dirinya yang pulang kerja jauh sebelum waktunya belum dijawab. 

“Gini loh, Gin ... itu, temen Abang lagi cari orang buat beli tanah kebun bosnya. Harganya dua em, kamu minat, enggak?” Bang Teguh nyengir setelah memberitahuku maksud dari hatinya. 

Dua em? Aku sendiri tersentak saat mendengar nilai dari harga tanah yang ditawarkan Bang Teguh. Tabunganku bisa terkuras hingga setengahnya jika benar-benar membeli tanah itu. Aku menggeram, ternyata ini tujuan suamiku dan ibu mertuanya. Pantas Bang Teguh segera pulang meski masih siang. 

“Tidak, Bang!” Aku menekan kalimatku. “Baru bulan lalu kita beli tanah, masa beli lagi? Harganya juga tiga kali yang kemarin.”

“Itu kan tanah buat kamu, atas nama kamu, Gin. Yang ini, atas nama suamimu,” sambut ibu mertua yang membuat batinku mendadak nyeri. 

“Apa maksudnya, Bu? Kenapa aku harus beli tanah buat Bang Teguh? Memangnya ....”

“Abang juga pengen kayak temen Abang, Gin. Dia punya tanah luas buat dipake berkebun. Terus hasil kebunnya dia jual dan sekarang dia jadi pengusaha sukses. Gimana tuh? Ngiler, kan?” Bang Teguh senyam-senyum, mungkin membayangkan hamparan kebun hijau di dalam tanah luas yang harganya masih tidak masuk di kepalaku. 

Memang ini kota besar. Tetapi, tetap saja aku keberatan. Membeli tanah senilai milyaran dan atas nama Bang Teguh? Enak saja mereka!

“Maaf, Bang. Aku enggak mau. Kita enggak perlu beli tanah lagi. Yang lama juga enggak pernah digarap. Cuma dibiarkan terlantar!”

“Itu luasnya kurang, Gin! Yang ini ....”

“Tidak, Bang. Abang ini, jangankan berkebun, kerja saja suka bolos. Memangnya ... kerja apa sih, Bang? Memangnya ... ada ya kantor yang ngizinin pegawainya keluar masuk begitu?” sindirku. 

Sebenarnya, aku tidak tega berperilaku begini. Namun, kelakuan Bang Teguh hari ini semakin menjadi-jadi. Dengan wajah tanpa dosanya, dia pulang lalu memintaku membelikannya tanah. Padahal, nafkahnya untukku saja sering terlewatkan. 

“Kamu ini, Gin! Jangan begitu sama suamimu! Dosa kamu!”

“Bu ... aku berdosa? Terus kalau ibu dan Bang Teguh meras aku kayak gini, apa itu nggak dosa? Aku kerja banting tulang siang sampai malam itu demi keluargaku di kampung. Bukan cuma buat kalian di sini. Lagian, Bu ... urusanku di sini sebagai mantu, bukan sebagai tulang punggung. Sudah cukup aku jadi donatur di sini.” Aku mendengkus dengan sorot mata yang menyala-nyala lalu ngacir sejauh mungkin hingga ke kamar kami. 

Sempat kudengar ibu mertua yang ngomel-ngomel pada Bang Teguh soal aku yang terus menentang dirinya, enggan memberinya uang. Lalu, diungkitnya perihal aku yang juga menolak membayar COD-nya. Yah ... aku sudah terbiasa dengan ibu mertua yang senang menyudutkan mantunya. Soal wanita tua itu, aku masih bisa tahan. Tapi, jika sudah menjalar hingga ke Bang Teguh, aku tidak terima. 

Mereka berdua, tidak boleh kubiarkan menghisapku lebih jauh dari ini! 

 

Bersambung ...

@bemine_3897

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku (Bab 4, 5 dan 6)
0
0
Permintaan yang tidak masuk akal dari suami dan mertua ….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan