TFJ: BAB 01 - 05

27
0
Deskripsi

• BAB 01 •

Dentuman electronic music disco dari salah stu kelab malam ternama di ibu kota terdengar memekakan indra pendengaran. Aroma alkohol serta keringat bercampur menjadi satu dalam ruangan luas yang menampung banyaknya pengunjung. Sorakan dan goyangan para hedonis begitu menikmati setiap dentuman musik.

Saat itu sudah larut ketika kendaraan roda empat dari brand kelas dunia berhenti dan terparkir di depan kelab. Kaki jenjang nan mulus milik seorang gadis perlahan keluar dan menginjak bumi. Rambut...

• BAB 01 •

Dentuman electronic music disco dari salah stu kelab malam ternama di ibu kota terdengar memekakan indra pendengaran. Aroma alkohol serta keringat bercampur menjadi satu dalam ruangan luas yang menampung banyaknya pengunjung. Sorakan dan goyangan para hedonis begitu menikmati setiap dentuman musik.

Saat itu sudah larut ketika kendaraan roda empat dari brand kelas dunia berhenti dan terparkir di depan kelab. Kaki jenjang nan mulus milik seorang gadis perlahan keluar dan menginjak bumi. Rambut panjang hitam miliknya tergerai bebas di punggung. Dengan busana yang begitu ketat berhasil menampilkan setiap inci lekuk tubuhnya yang indah. Dia melenggang masuk tempat hiburan tersebut dengan lagak bak model papan atas.

Adalah Lalisa Arthamevie, putri tunggal pemilik brand hotel terbesar di Indonesia. Langkahnya yang elegan dan sorot mata cokelat yang tajam jujur saja dia berkharisma. Auranya menampar setiap orang yang ada di sana. Bahkan siapa pun berani bertaruh tak sedikit pria yang akan segera mengejarnya dengan sebuket bunga mahal atau memberikan mobil mewah untuknya. Tapi, percayalah Lalisa saat ini tak menginginkan itu semua.

Setelah pemandangan tadi siang, sang pacar- maksudnya mantan kekasihnya kepergok berselingkuh dengan temannya sendiri, rasanya seluruh dunia Lalisa runtuh detik itu juga. Tiga tahun merajut kasih dengan banyaknya impian masa depan bahkan dirinya yang mutlak sempurna untuk para pria nyatanya tak mampu membuat sang mantan hanya setia untuknya.

Brengsek!

Entah sudah berapa banyak makian, cacian, hinaan yang dia lontarkan. Tapi, pria itu benar-benar bajingan. Apa yang kurang dari dirinya? Tidak ada! Lalisa adalah definisi absolut dari perfect girl. Dan masih ada pria yang tidak bersyukur memilikinya?

"Dasar miskin, jelek, dekil," oceh Lalisa setelah dirinya duduk pada bangku bar dan membanting mini bag celine keluaran terbaru ke atas meja.

Bartender pria yang adalah teman masa kuliah S1-nya saat masih berada di USA itu hanya tertawa melihat Lalisa mengeluarkan kekesalannya. Tak menampik, laki-laki ini tau apa yang terjadi dengannya, perihal Lalisa telah lebih dulu mengamuk dalam ruang obrolan mereka.

"Kan gue udah bilang, putusin aja dia. Lo ngeyel sih. Dia baik, Bry, care sama gue, selalu ada buat gue. Mampus lo." Bryan adalah nama bartender tampan itu.

Lalisa melirik dengan ekor matanya. "Diem lo! Siapa juga tau dia bakal selingkuh," tutur Lalisa lalu setengah berteriak. "Bodoh banget gue anjing." Dia benar-benar galau saat ini.

"Udah lah santai aja. Lo tetep stunning malam ini. Nggak keliatan kalo abis nangis."

"Gue nggak nangis. Foundation gue mahal."

Bryan melipat bibirnya menahan gejolak tawa yang hampir keluar. Sembari mengobrol dalam dentuman musik yang keras, tangan Bryan tak diam. Dia meracik minuman khusus untuk temannya yang sedang patah hati ini. Walau dalam keadaan perasaannya yang kacau, kecantikan Lalisa sama sekali tak berkurang.

"Nih minum dulu ..." Dia menyodorkan gelas pada Lalisa. "Gue ngelayani yang lain dulu. Atau lo mau gue telfon Soya datang nemenin?"

"Nggak usah. Ntar yang ada gue diketawain."

"Ya bagus dong. Biar lo sadar pilihan lo selama ini emang salah."

"Bacot!"

Bryan tertawa dan sedikit memajukan wajahnya untuk berbisik pada Lalisa, "Tapi, Lis kata nyokap gue anak perawan kalau lagi galau nggak boleh ke night club sendirian ..." Dahi Lalisa berkerut bingung. "... ntar dikawinin gadun."

"Anjing!"

Beberapa menit berada di sana tak mengelak banyak pasang mata tertuju pada Lalisa. Dan tak sedikit pria-pria datang mendekat hanya sekedar untuk berkenalan, tapi Lalisa mengusir mereka dengan kasar hingga dirinya mulai jengah dan hendak beranjak dari sana. Tapi, saat si gadis hendak meninggalkan tempat duduknya seorang pria dengan kemeja putih tak rapi, dua kancing yang sengaja dibuka tiba-tiba duduk di sebelahnya dan memesan minum.

Sejenak atensi Lalisa mengarah pada pria tersebut. Aroma parfum si pria tercium harum di indra penciumannya walau tak minim aroma bercampur di sana. Suara pria itu terdengar berat. Bibirnya merah dan kulitnya putih. Lengannya bertato dan sebelah alisnya ditindik. Pria ini nampak jelas memiliki usia yang terpaut jauh darinya. Seharusnya sudah menikah, tapi dari pengamatan Lalisa, tak ada cincin yang melingkar di jari manisnya, hanya satu cincin putih yang melingkar di telunjuknya. Apa dia pria single? Bahkan hanya meneguk isi gelas whiskey itu saja pria ini terlihat begitu seksi.

Oh crap. Lalisa menggelengkan kepalanya. Apa yang dia pikirkan? Seharusnya dia sedang patah hati, bukan malah terpesona dengan pria asing di sebelahnya ini.

"Dengarlah, manis, penciptaan dan evolusi benar-benar bisa seiring."

Lalisa mengerjap. "Lo ngomong apa?"

Pandangan si pria berputar dan memandangnya. Obsidian milik sang pria terpantul dalam retinanya. Wow, dia ini pria tampan dan mapan, tapi juga terlihat bajingan. Wajahnya itu tidak bisa menipu. Bahkan wajah mantan kekasih Lalisa jauh di bawah pria ini. Dia begitu dominan.

"Kamu sendiri?"

"Hah?"

Pria itu menarik senyumnya dan itu membuat Lalisa membulatkan matanya. Apa boleh ada pria rupawan seperti ini? Si pria kemudian memesan minuman lain dan memberikannya pada Lalisa. Bryan hanya tersenyum tipis dari kejauhan ketika melihat interaksi mereka.

"Jeka ..." Dia mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Lalisa. "Nama saya Jeka Jeon. Siapa namamu, manis? Atau aku memanggilmu manis saja? Kamu sangat menarik."

Lalisa mendecih. Benar kan? Pria seperti ini, jika tidak brengsek ya bajingan. Sama saja.

"Gue nggak nanya," gumam Lalisa.

"Kamu sedang galau ya?" Lalisa memutar bola matanya. "Saya lihat kamu tidak tertarik dengan pria-pria yang mendekatimu sejak tadi."

"Lo merhatiin gue?"

Si pria mengangguk. "Sejak kamu masuk."

"Ngomongnya lo gue aja kali, saya kamu kek mana ... aneh."

Pria itu tertawa kecil. Tawanya saja begitu menarik. Pasti Tuhan sedang berbahagia ketika menciptakannya.

"Saya lebih suka berbicara seperti ini dengan kamu. Siapa namamu? Kamu belum menjawab pertanyaan saya."

Lalisa memberikan smirk. Entah setan apa yang menyambanginya saat ini. Lalisa justru mendekatkan wajahnya dan meletakkan satu tangan pada paha pria itu. "Kalo gue kasih tau, kita bakal ngapain?"

Tatapan penuh arti tersampaikan pada Jeka dengan baik. Seakan adalah kode untuknya ketika Lalisa beranjak. Jeka meneguk isi gelasnya hingga habis dan mengikuti Lalisa.

Gadis itu membawanya pada lorong sepi dari keramaian. Tak menahan gejolak yang mulai berkoar Jeka merengkuh pinggang Lalisa, menghimpitnya pada dinding dan menciumnya. Pegerakan yang cepat mengejutkan Lalisa. Dia berusaha keras mengimbangi permainan bibir dan lidah yang menerobosnya.

Tangan mungil Lalisa menahan dada bidang Jeka yang semakin menghimpitnya. Terbakar gairah hingga berlomba-lomba menghirup oksigen ketika aduan bibir mereka berakhir.

"Wow ... ingin melanjutkan, baby?"

"Di sini?" Lalisa tertawa kecil, tapi benar-benar menggoda.

"No, in my place."
 

 

• BAB 02 •

Langit malam penuh bintang, suhu AC yang menyapu dingin pada permukaan kulit serta desahan dan kecupan yang saling bersahutan bak musik pengiring saat itu. Suasana sepi, hanya ada mereka berdua membuat gairah masing-masing bergelojak lebih panas dari sebelumnya.

Percayalah tegukan alkohol tadi tak membuat si pria Jeka Jeon mabuk, melainkan Lalisa lah yang mulai melayang. Bahkan setiap sentuhan dan kecupan yang dia terima membuat desahannya terdengar lebih seksi.

Jeka samar-samar mengangkat wajahnya, memandang wajah memerah Lalisa. Mata gadis itu terpejam. Dengan gerakan cepat dia menanggalkan kemejanya dan perlahan melepas pertahanan Lalisa. Dia memang belum mengetahui nama gadis ini, tapi demi Tuhan entah mengapa wajah Lalisa ini benar-benar menarik dan memberi kesan berarti bagi Jeka sendiri.

"Boleh saya tau namamu?" Jeka berbisik sembari mengecup leher jenjang Lalisa.

Lalisa tertawa kecil. Kepalanya mulai pusing dan dia tak menghindar dari setiap sentuhan dan belaian Jeka, walau sedikit geli dia rasakan. Oh astaga apa memang senikmat ini? Setengah sadar pun Lalisa tak ingin berakhir. Mengabaikan semua pertahanan yang selama ini dia jaga, Lalisa malah jatuh pada pria asing yang dia temui di kelab malam.

"Lalisa ..." lirihnya.

"So, Lalisa ... tapi aku lebih suka memanggilmu dengan sebutan baby."

Lalisa mengeluarkan decak tawa. "I'm not your baby."

"I like you."

"Oh God, stop talking and just fuck me, daddy."

Mendengar ucapan Lalisa itu mengalun begitu indah di telinga Jeka. Dia mengangkat sedikit tubuhnya, menempatkan dirinya di antara sela paha Lalisa. Ini tidak seperti biasanya, rasanya kali ini dia lah yang begitu agresif dan menginginkan gadis ini. Lalisa muda, dan benar-benar menarik bahkan bibirnya begitu manis, memabukkan dan mungkin sebentar lagi akan membuatnya candu. 

Posisinya siap sudah untuk menubruk liang surgawi milik gadis itu. Tapi, baru saja mengetuk pintu Jeka merasakan sesuatu yang lain. Dia mendecih dan memandang Lalisa dengan sangat serius, tapi juga heran. Di zaman ini, apa masih ada gadis perawan berkeliaran di kelab malam hingga larut? Apa dia baru saja mendapatkan jackpot?

Damn. Jeka merunduk dan mencium Lalisa sekali lagi.

"What? Just do it!"

"Darimana saja kamu?"

"Hah?"

"You are virgin," gumam Jeka.

Lalisa mengangguk pelan. "Hm, si brengsek itu selingkuh, padahal gue mau ngasih ke dia pas umur gue udah 25 tahun," kata Lalisa dalam setengah sadar.

"Kamu mau saya mengakhirinya?"

"No ..." Lalisa menahan pergerakan Jeka yang hendak mengangkat tubuhnya. "Jangan. Lakukan saja. Nggak ada artinya juga kan."

"Kamu yakin?"

Lalisa mengangguk dengan dua bola matanya terbuka lebar. "Yakin."

"Okay ..." Dia merunduk dan mengecup dahi Lalisa. "Ini akan sakit, tapi bertahan sebentar, saya akan melakukannya dengan lembut."

"Lakukan saja ..."

Jeka mencium bibir Lalisa bersamaan dengan dia mendorong tubuhnya perlahan menerobos selaput darah milik gadis itu. Merobeknya hingga meninggalkan bercak pada seprai putih.

Erangan kesakitan dari belah bibir Lalisa terdengar, merasa tak tega Jeka menghentikan sejenak gerakannya. "I'm sorry."

"Stop minta maaf, lakukan saja."

Jeka mengusap pipi Lalisa dengan lembut dan dalam sekali hentak saja dia berhasil membenamkan seluruh miliknya pada Lalisa ditutup dengan ringisan gadis itu. Jeka tersenyum dan malam percintaan mereka terjadi seperti apa yang diinginkan oleh Lalisa sendiri.

• • •

Sinar mentari menelusuk masuk dari jendela kamar apartemen yang tak tertutup rapat. Lalisa sedikit bergerak dan perlahan membuka matanya ketika menyadari sebuah tangan besar memeluk dirinya dengan erat. Aroma sisa percintaan masih tercium di sekitarnya. Tapi, menyadari kejadian semalam Lalisa spontan melihat ke bawah, dirinya tanpa busana dan hanya tertutup selimut tebal.

"Shit." Dia melakukannya? Dengan pria asing di sebelahnya ini? First time-nya dia?

Lalisa memejamkan mata dan mengumpati dirinya sendiri.

Perlahan dia memindahkan tangan pria itu dari atasnya dengan hati-hati. Setelah berhasil, Lalisa langsung saja memungut pakaiannya yang bertebaran di mana-mana.

Dia segera berbusana, berkemas dan beranjak dari sana sebelum pria itu bangun. Oh sial, apa yang dia lakukan? Bodoh? Tapi, tidak ... semalam itu menyenangkan.

Lalisa meninggalkan apartemen pria itu tanpa memedulikan riasan wajahnya. Dia bergerak cepat melewati koridor menuju lift, tapi tak sengaja dia bertabrakan dengan seorang anak laki-laki yang berlawanan arah dengannya.

"Sorry, gue buru-buru," kata Lalisa.

"Punya mata nggak?" Anak laki-laki itu berucap ketus dan membuat Lalisa menjadi kesal.

"Eh bocah sialan, gue udah minta maaf."

"Nyenye ..." ledeknya dan berjalan pergi meninggalkan Lalisa.

"Eee kutu kupret!" teriak Lalisa, tapi tak diacuhkan. "Dasar anak jaman sekarang pada nggak tau sopan-santun. Bapaknya kagak ngajarin apa ya? Setan kecil! Ketemu lagi gue sentil lobang idung lo!"

• • •

Bunyi seseorang memasukan sandi pembuka pintu dan getaran pintu terbuka kemudian menutup sama sekali tak menganggu tidur lelap Jeka. Bahkan ketika putranya membuka pintu kamar dengan kasar dan menghembuskan napas resah pun Jeka tak menyadarinya.

Anak? Ya, tentu. Persetan dengan cincin pernikahan, Jeka memang telah memiliki anak. Dua putra dari pernikahan sebelumnya.  Dan  anak laki-laki yang berderap mendekat ke arah tempat tidur lalu berkata, "Dad, bangun woi! Bangun! Cewek lo nyariin dari malem, kagak mau pulang dari rumah. Ganggu ketentraman Axel. DAD!"

Axellion Jeon, berusia 17 tahun. Anak laki-laki tampan, tinggi dengan tatapan tajam dan senyum yang memabukkan ini adalah putra pertama Jeka Jeon.

"Dad!" Dia mengguncang tubuh sang ayah. Jeka bergerak dan berpindah posisi hingga membuat si Axelion bisa melihat sesuatu yang benar-benar membuatnya terkejut bukan main. "Ieuhhhhh ..." Dia menjerit bak anak perempuan.

"Axellion!" Jeritan Axellion yang nyaring berhasil membangunkan sang ayah.

"Cewek mana lagi? Kenapa ada darahnya?" Tiba-tiba dia terdiam saat pandangan Jeka mengarah padanya. Axellion yang akrab dipanggil Axel itu menutup mulut dengan tangannya sendiri. Dia teringat pada perempuan yang bertabrakan dengannya di koridor tadi. "Dad ..." Axel menunjuk noda darah kemudian menunjuk ayahnya. "Daebak ... kelaz banget bapak gue."

"Keluar nggak!" Pandangan Jeka tegas dan menitah. Dia juga baru menyadari Lalisa tidak lagi berada di sana.

"Bentar dulu ..." Axel mengeluarkan ponselnya dan langsung mengambil gambar sang ayah yang hanya terbalut selimut. "Waktunya ghibah sama Alex," katanya dan segera meninggalkan kamar Jeka.

Tapi, Axel kembali sejenak dan berkata. "Urusin cewek daddy tuh. Bikin rusuh di rumah. Lain kali jangan ajak ke rumah. Itu tempat Axel dan Alex, nggak boleh ada perempuan lain di sana ..." Axel menjeda sejenak ucapannya. "... cuma mommy."

Jeka hanya mendengar ucapan putranya dan mengusap wajahnya. Ah, dia melupakan perempuan itu. Tapi, menit berikutnya dia tersenyum manis, kembali mengingat kejadian semalam. Ah, Lalisa begitu manis. Bahkan alunan suaranya yang memanggil Jeka dengan sebutan daddy terus saja terbayang di kepalanya.

"Lalisa hm ... no you are my baby."

 

• BAB 03 •

Lalisa keluar dari taksi online yang mengantarnya kembali pulang ke rumahnya keluarganya. Bodohnya dia malah meninggalkan mobilnya di kelab.

Dengan menenteng heels serta mini bag-nya Lalisa berderap memasuki kediaman mewahnya. Percayalah Lalisa Arthamevie adalah anak tunggal kaya raya. Keluarganya adalah pemilik brand hotel terbesar di Indonesia. Sejak kecil hidupnya telah bergelimang harta, tak seujung kuku pun Lalisa merasa susah. Dia bak putri mahkota kerajaan yang hidup di dunia modern. Paras yang sempurna dan kehidupan yang sejahtera, seakan Tuhan memperlakukan Lalisa dengan sangat spesial.

Tapi ... semewah dan sesempurna apa pun kehidupan Lalisa, sebenarnya ada satu hal yang menyakitinya selama ini. Terlepas dari sang mantan kekasih yang selingkuh, melainkan keberadaan keluarganya. Terlalu mengejar harta duniawi, Lalisa merasa orangtuanya hanya melahirkannya begitu saja tanpa memberi perhatian lebih atau sehari saja ada untuknya. Seakan hanya untuk melengkapi aturan dunia.

Lalisa menghela napas berat. Lagi dan lagi pemandangan menyebalkan dia lihat. Tak ada seorang pun di rumah. Hanya tampak pramuwisma yang sedang membersihkan meja makan.

"Mama sama papa ke mana?" Lalisa berderap mendekat pada pramuwisma tersebut sembari bertanya.

Sang pramuwisma mengangkat wajahnya dan sedikit syok dengan penampilan. "Astaga, non," ucapnya kemudian mendekat pada Lalisa. "Non, darimana saja? Kenapa baru pulang? Ini juga, kenapa kacau kayak gini?" Si wanita pramuwisma mendekatkan hidungnya dan mengendus Lalisa. "Non, mabuk lagi? Astaga, non, kalo Tuan dan Nyonya tau bisa dimarahin lagi nonnya."

"Apa sih ... Gue nggak mabok. Ketumpahan minuman doang semalam," elak Lalisa.

"Jangan bohong, non. Saya teh tau kalo non bohong. Non, tidur di mana semalam?"

Lalisa menarik napasnya. Dia diam sejenak. Tak mungkin mengatakan dia menginap di apartemen pria asing yang dia temui di kelab semalam dan berakhir di ranjang, kan? Dia sudah gila jika mengatakannya.

"Di tempat Soya," ucap Lalisa memelas.

"Yang bener?"

"Iye ah. Banyak tanya," keluh Lalisa dengan wajah tak senang. "Mama dan papa ke mana?"

"Barusan pergi, non."

"Ke mana?"

"Katanya ada urusan kerjaan di luar kota, tapi saya juga kurang tau, non, tepatnya ke mana?"

"Hari minggu mereka masih kerja?"

Sang pramuwisma hanya diam.

Decakan kesal terlontar pelan dari belah bibir Lalisa. Dia menghentak kecil kakinya dan melenggang pergi menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ah, bukankah dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Tidak ada tempat untuknya mengadu dan bersandar hm. Benar-benar tidak ada. Kaya raya dan dia merasa hidupnya hampa tiada arti.

• • •

Anak laki-laki yang berusia sekitar 15 tahun itu mengernyit tak senang ketika memandang wanita dewasa berambut dark blonde dengan paras khas wanita campuran Eropa - Asia berbaring tak sopan di sofa ruang tengah kediamannya, seakan rumah itu miliknya.

"Tante mending pulang deh. Ngapain di sini? Ini bukan rumah, tante," oceh anak laki-laki tersebut.

Alexandro Jeon. Jika yang berada di apartemen Jeka adalah putra pertamanya, maka anak laki-laki bermata bulat dan berwarna cokelat gelap serta berambut hitam, berkulit putih dengan garis wajah yang mirip dengan Axellion ini adalah putra kedua Jeka.

Dia benar-benar kesal dengan tinkah wanita yang menjadi pacar ayahnya ini. Laras nama wanita itu. Wanita menyebalkan yang bersikap seolah-olah akan menjadi ibu sambungnya. Huh, mimpi negeri antah barantah. Alexandro yang lebih senang disapa Alex itu bersumpah tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Hei, anak kecil, mending lo masuk kamar deh, gue bakal nunggu bokap lo sampe pulang. Gue ada urusan."

"Ck ..." Alex berdecak sembari batinnya berharap Axel cepat kembali. Tapi, sepertinya Alex menurut ucapan wanita itu, karena dia segera berbalik hendak menuju kamarnya.

Tapi, detik selanjutnya suara Laras kembali terdengar, mencegat langkah Alex. "Lo harus inget anak kecil, gue sebentar lagi jadi ibu sambung lo. Belajar buat suka sama gue, oke?"

Alex memandang dengan sorot tak senang. Rahangnya mengeras persis ayahnya, jika mulai memuncak rasa kekesalannya. "Tetap lah bermimpi, Laras!" tandasnya dan beranjak dari sana.

"Anak kurang ajar emang! Gue nikah sama bapak lo, gue kirim lo ke panti asuhan!"

• • •

Keringat yang menempel serta aroma alkohol bahkan bekas percintaan masih melekat pada tubuh Lalisa, oleh sebab itu dia berinisiatif untuk mandi. Merendam tubuhnya di bathtub, berlama-lama di dalam sana sembari lagi pikirannya melayang mengingat pemandangan sialan yang menghancurkan hatinya. Ah, tak menampik dia mencintai mantan kekasihnya itu, dan tak menampik jika sekarang dia menangis.

Bayangkan saja kau merajut kasih bertahun-tahun dengan penuh kesetiaan dan kesetiaanmu serta kepercayaanmu dihancurkan begitu saja dengan alasan dia tidak merasa nyaman bersamamu selama ini. Jadi, apa untuk apa hubungan pacaran mereka selama ini? Berdiri di atas landasan kebohongan semata huh.

Lalisa menarik napas. Sebenarnya dia bisa menghancurkan pria bajingan itu dalam sekali gerak, mengingat kekayaan yang dia miliki dan si pria itu hanya seorang karyawan biasa, tapi Lalisa tak ingin melakukannya. Walau kejahatan mutlak terpatri dalam pikirannya, tetap dia tak merealisasikannya.

Lama berendam dengan mata terpejam Lalisa menyadari sedikit perih pada organ intimnya. Ah sial, kejadian itu ... Lalisa membuka matanya. Tangannya bergerak menyusuri setiap detail tubuhnya, seakan mengikuti alur yang sama yang pria itu lakukan padanya.

"Jeon Jeka?" Lalisa tersenyum miring. Di sela-sela patah hatinya, Tuhan malah mengirimkan seorang pria asing untuk melakukan one night stand dengannya. First time ticket-nya telah terpakai. Oh shit, seharusnya Lalisa menyesal, tapi dia justru nampak biasa saja. Dan malah sesekali terlihat merona mengingat setiap detail yang pria itu berikan.

"You're soo sexy, da- WHAT DID I SAY?" Lalisa terbelalak saat hampir mengeluarkan desahan dan menyadari tangannya berada di depan pusat tubuhnya. "Gezz, dia siapa sih ... kenapa gue kebayang dia mulu?"

Lalisa menggeleng. "Sadar, Lalisa, sadar. Dia cuma cowok asing yang lo temui di night club, jangan aneh-aneh deh. Laki orang kan bahaya."

Atensi Lalisa beralih pada dering ponselnya di wastafel. Dia bangkit keluar dari bathtub dan melihat siapa yang meneleponnya. Ah, sahabatnya Soya. Lalisa menjawab panggilan masuk tersebut.

"Kenapa?" Tanpa salam atau sapaan Lalisa bersuara mendahului sang penelepon.

"Astaga, Lalisa ... salam dulu kek." Suara deep seorang perempuan mengoceh dari seberang.

"Iye, salam. Kenapa nelfon? Lo ganggu aja."

"Di mana lo? Nonton yuk."

"Nggak ah. Gue males keluar."

"Gue ke rumah lo ya. Gue tau lo galau. Ntar gue temenin nangis deh."

"Bacot lo babi!"

Tawa lantang terdengar dari sahabatnya. "Astaga, Lalisa, nggak untung nangisin cowok nggak guna kayak gitu. Mending kita have fun aja yuk."

"Mending lo diem terus ke sini deh. Ada pengakuan yang harus lo denger."

• • •

Axel dan Alex, dua kakak-beradik itu berada di lantai dua sembari menguping pedebatan yang terjadi di antara ayah mereka dan kekasih sang ayah. Bukan hal baru bagi mereka, dan bukan hal yang baru juga mendengar ocehan wanita menyebalkan itu yang mengatakan sang ayah memiliki wanita lain. Dan yeah, setelah cerai mati memang ayah mereka berubah.

Duda playboy adalah julukan dari kedua anaknya sendiri.

Si sulung Axel menarik napas dan menyikut pelan lengan adiknya. "Tebak bokap lo ke mana semalam?"

"Palingan sama perempuan," lirih Alex.

"Ketebak banget ya?"

Alex mendecih. "Kan udah jadi kebiasaan. Kapan daddy tinggalin si Laras sih? Dia nyebelin."

"Dek ..." Alex bergumam menjawab panggilan sang kakak. "Kalo daddy nikah lagi, lo mau?"

"Ya gimana ya, daddy nggak mungkin sendiri terus kan. Daddy juga belum tua-tua amat, daripada gonta-ganti cewek terus mending nyari satu yang serius buat dinikahin. Gue juga pengen ngerasain punya ibu, kak."

"Punya ibu tiri itu nggak enak. Mereka nggak mungkin sayang sama kita, paling cuma sayang lakinya doang. Lo nggak liat banyak cerita ibu sambung yang jahat sama anak tirinya?"

"Kan bilangin daddy nyari yang baik. Jangan kek modelan Laras lah."

"Tapi, lo mau posisi mommy digantiin di rumah ini?"

Mendengar ucapan sang kakak, Alex sejenak terdiam. Dia memalingkan wajah menatap Axel dengan pandangan yang sedikit sulit ditelaah. Alex kemudian menarik napasnya. "Gue aja cuma bisa liat wajah mommy di foto," katanya dengan tersenyum kecil.

Yeah, benar ... ibu mereka meninggal tiga bulan setelah melahirkan Alex.

"Sorry, dek."

"Kak, gue kadang iri sama temen-temen yang orang tuanya masih lengkap. Gue iri sama mereka yang punya ibu. Katanya bisa berbagi apa aja sama ibu, bisa dibuatin bekal, diajak curhat, pokoknya banyak. Dimanjain dan sebagainya. Lo tau sendiri daddy sibuk sama kerjaan dan perempuan-perempuannya."

Axel menarik napas berat. "Ada gue, Alex. Gue bisa jadi ibu juga ayah buat lo. Gue udah bilang berapa kali sih, gue bakal ngelakuin apa aja buat lo. Jangan masang muka sedih, gue nggak suka!"

Alex tersenyum tipis. "Diri lo aja nggak bisa lo urus, sok-sokan mau jadi bonyok buat gue," katanya lalu tertawa melihat muka kesal sang kakak.

Axel mendorong kepala adiknya. "Ngerusak suasana doang bisanya."

 

• BAB 04 •

Cermin yang menghadap ke arah sofa jendela yang kini diduduki oleh Lalisa dan Soyaa menampilkan jelas ekspresi terkejut sahabat Lalisa ini. Tatapannya tak percaya, kedua tangannya menutup mulut seakan memberikan reaksi dia kehabisan akal dan rangkaian kalimat secara bersamaan. Seolah-olah mulutnya beku dan bahkan dia mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Lalisa bahwa itu adalah sebuah kebenaran.

"Gue udah ngelakuin itu ..." Lalisa masih sibuk berbicara, tanpa memedulikan respon Soyaa yang sudah hampir meledak bak orang gila. "... sama cowok asing gila. Tapi, Soy, foreplay dia wenak tenan. Dia pro banget pasti. Mana badannya keker, anjit perfect banget. Soy, lo kalo liat fix lo suka. Nggak bakal nyesel lo cinta satu malam sama dia."

"Benta ... bentar!" Soyaa menutup mulut Lalisa dengan telapak tangannya. Yeah, memang dia tidak meragukan sebaris kalimat terakhir yang dilontarkan Lalisa. Secara perempuan itu baru pertama kali melakukannya, tentu dia akan merasakan nikmat tiada tara. Tapi, bukan itu sebenarnya yang diherankan oleh Soyaa, melainkan Lalisa menceritakan pengalaman ONS-nya itu dengan penuh semangat, tak seperti seseorang yang sebenarnya tengah patah hatinya.

"Lo sebenarnya sedih kagak sih putus dari si bajingan itu?"

Kening Lalisa berkerut. "Sedih sih, cuma ketemu cowok itu semalem, gue nggak jadi sedih. Lagian gue terlalu ketje buat nangisin dia. Ya, kalo selingkuhannya sekelas Kendall Jenner, gue pasti bundir, tapi lo tau sendiri siapa ..."

Soyaa tertawa. "Astaga kenapa nggak dari dulu aja sih lo pisah sama dia. Sekarang gimana, lega?"

Lalisa mengangguk. "Lega, soalnya ngewe sama cogan semalem. Ah anjing. Kebayang mulu."

"Apanya? Muka dia?"

"Enaknya ..."

"Sat ... Jadi lo udah kagak perawan nih?" Lalisa bergumam sembari tangannya membuka pesan masuk di ponselnya. "Menang lotre tuh laki-laki. Dapet virgin lo. Lo nggak nyesel gitu? Masalahnya dia cuma temen cinta semalam loh, Lis."

Lalisa menarik napas berat. "Nyesel sih dikit, tapi enaknya itu loh ... gede ... jadi pengen lagi."

Soyaa menepuk dahi Lalisa dengan keras. "Otak tuh dipake. Kalo dia pacar orang, suami orang gimana?"

"Iya juga ya ..."

"Namanya siapa? Lo tanya nggak?" Soyaa bertanya dengan nada suara yang mulai turun.

"Dia ngasih tau sih," kata Lisa sedikit memelas. "Jeka Jeon. Lo tau nggak?" Soyaa menggeleng. "Dia tuh mustahil banget kalo cuma karyawan kantoran atau pegawai bank. Penampilannya dia itu kek bos-bos muda gitu. Yang jadi jodohnya beruntung banget pasti."

"Dih udah mikir sampe jodoh. Udah deh lupain partner ONS lo itu. Sekarang mending lo ganti baju kita cari makan, gue laper. Cepet! Nggak heran cuma elo anak orang kaya yang bego."

• • •

2 hari kemudian ...

Pagi yang cerah, kicau burung begitu sendu, tapi tidak dengan kediaman Jeon. Alexandro berlari mengejar sang  kakak sesaat setelah Axelion menendang bokongnya. Layaknya kakak beradik, keduanya akan selalu mengusili satu sama lain setiap harinya.

Jeka yang sudah duduk di ruang makan hanya menggeleng melihat kelakuan kedua putranya. Tapi, detik kemudian dia tersenyum saat Axel menarik dan memeluk Alex erat sembari mengacak rambut adiknya, tingkah yang bagi Jeka seakan melihat itu adalah cara Axel menunjukkan kasih sayangnya.

Terlepas dari prahara dirinya yang suka berganti-ganti perempuan, tapi sebenarnya ada secercah harap dari dirinya untuk mencari pasangan. Bukan tanpa alasan, tapi Jeka menyadari betul Axel dan Alex membutuhkan sosok ibu, mengingat mereka kehilangan ibu mereka di usia yang masih sangat kecil.

"Hei ..." tegur Jeka tegas. Namun, tersirat kelembutan di sana. "Duduk dan sarapan. Cepat atau kalian akan terlambat."

"Mau balapan ke sekolah nggak?" Axel bertanya pada adiknya.

Alex mengangguk dan hendak menjawab, "Bo—" Tapi, belum selesai, Jeka malah memotong lebih dulu.

"Mau izin berkendara daddy  cabut?"

Axel seketika saja memutar bola matanya. "Parah banget sih."

Sementara Alex mencuri-curi senyum bak anak kecil di samping tubuh sang kakak yang lebih tinggi darinya.

Menit berlalu saat mereka hendak meninggalkan meja makan, Alex bertanya pada sang ayah. "Dad, ehm ... daddy nggak bakal nikah sama tante Laras kan?"

Jeka yang menunduk sembari memainkan ponsel sontak mengangkat pandangan dan menatap putra bungsunya. Tiba-tiba sekali Alex menyinggung hal-hal seperti itu. Padahal biasanya si bungsu ini selalu mengabaikan tentang urusan percintaan ayahnya, berbeda dengan Axel yang selalu mengoceh dan berkomentar pedas.

"Ya nggak bakal lah. Iya kan, dad?" Axel menimpali.

Jeka mengangguk setelah menggeleng dari lamunan singkatnya. "Enggak. Daddy nggak nikahin dia."

"Bagus deh kalo gitu. Aku nggak suka sama tante Laras," ucap Alex memelan. Jeka menampilkan senyum ramahnya. "Daddy, nggak ada keinginan buat nikah gitu? Tapi, jangan sama tante Laras."

Axel yang sedang meneguk susunya seketika saja batuk dan mengeluarkan sedikit susu yang tertelan olehnya. Dia memandang adiknya dengan terheran lalu kemudian pada sang ayah. Crap. Apa Alex serius? Mereka tidak pernah membicarakan hal seperti ini sebelumnya. Tidak, lebih tepatnya Alex tidak pernah bertanya atau meminta.

Jeka tertawa. "Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"

"Aku pengen punya ibu."

Dan seketika suasana hening, bahkan pelayan wanita yang berada di pantry pun tiba-tiba berdiri mematung.

Entah apa yang harus dilakukan Jeka, pria itu tak bisa menjawab ucapan sang anak. Dia berdeham pelan. "Udah jam tujuh lewat, kalian ke sekolah jangan sampai telat."

• • •

Lalisa melangkah menuruni anak tangga di rumahnya sembari bertelepon dengan seseorang. Dia terlihat buru-buru meninggalkan kediamannya.

"Ya sabar dong, cok. Ini gue otw, setan. Lo juga nggak ngabarin dari jauh-jauh hari. Udah gini baru maksa, nuntut gue ini itu. Kalo bukan karena lo sahabat gue, gue ogah bantuin. Pake jasa gue mahal ya asal lo tau."

Seseorang yang bertelepon dengan Lalisa tak lain adalah Soyaa itu tertawa dan membalas tuturan Lalisa. "Model karbitan mending lo ke sini cepetan."

"Iya sabar ya anjeng. Bikin orang emosi mulu tiap pagi. Udah ya bye, gue mau jalan muach."

"Najis!"

Panggilan dimatikan.

 

• BAB 05 •

Berlagak di depan bak seorang model profesional nyatanya bagi Soyaa Lalisa tetaplah model karbitan untuknya. Bagaimana tidak, perempuan itu mengaku seorang model hanya karena dia senang dipotret. Memang sedikit lain sahabatnya ini.

"Gue laper ..." keluh Lalisa setelah semua aktifitas bantuan tiba-tiba selesai dia lakukan.

"Udah liat hasilnya?"

Lalisa mengangguk. "Udah. Perfect, gue gitu ... bilangin ke dia ya kalo butuh model lagi, kontak gue aja."

Soyaa memutar bola matanya. "Udah deh. Ini tuh karena kepepet doang, makanya gue nelfon lo. Model yang sebenarnya tiba-tiba sakit."

"Soy, apa salahnya sih lo ngedukung sahabat lo?"

Soyaa memberikan senyum miring dan berjalan mendahului Lalisa kemudian masuk mobil sahabatnya itu tanpa sungkan. Lalisa hanya bisa melihat kelakuan Soyaa dengan sedikit bengah, karena tak ada yang bisa dia lakukan selain ikut masuk mobil.

"Makan di mana nih kita?" tanya Soyaa sembari memutar musik.

"Tempat biasa aja gimana?" Lalisa memberi ide, tapi Soyaa menggelengkan kepalanya.

"Gue lagi pengen suasana baru," katanya. "Lo juga butuh suasana baru. Tempat itu bisa-bisa bikin lo inget lagi kenangan sama mantan bajingan lo itu."

"Elah setan ..." omel Lalisa lalu menjalankan mobilnya.

"Gimana ke swisskybar aja," saran Jisoo masih sibuk mencari musik yang tepat untuknya.

"Boleh deh."

• • •

Pulpen iPad-nya bergerak santai di atas tabletnya sembari mendengar obrolan rekan-rekan yang tengah duduk semeja dengannya. Yeah, dia si tampan dan perkasa, duda playboy, Jeka Jeon. Sembari makan siang juga tetap memantau pekerjaan yang tak habis, Jeka juga harus mengatasi perihal masalah putra sulungnya, yang lagi-lagi membolos sekolah.

Jeka memberi kode pada asistennya dan berucap, "Pergi dan urus Axellion. Katakan sama tuh anak, aku akan menarik semua fasilitasnya."

Sang asisten mengangguk dan beranjak dari sana.

Melihat ekspresi Jeka yang seakan menahan kesal, salah satu rekan yang bisa dikatakan teman baiknya langsung saja berkata, "Anak lo lagi?" Dan berhasil mendapatkan seluruh atensi dua orang lain yang duduk di sana.

Jeka mendecih. "Nggak tau gue mau ngurus dia kayak gimana."

Satu-satunya perempuan yang duduk di sana tertawa. "Tandanya elu udah harus nyari ibu buat mereka, Jek."

Jeka hanya menggeleng tak acuh. Bukan baru sekali dia mendengar ungkapan-ungkapan seperti itu dari teman-temannya, tapi sudah kesekian kali. Tapi, dia selalu tak mengacuhkan.

Bukan, bukan karena dia merasa berkuasa dan tak membutuhkan pasangan. Siapa bilang? Jeka sangat membutuhkan pasangan. Seseorang yang bisa berbagi suka - duka dengannya, menemaninya hingga masa tua. Hanya satu wanita bukan banyak wanita di sisinya. Dan dia hanya belum menemukan yang tepat.

Bahkan tuturan rekannya ini seakan kontras dengan ucapan putra bungsunya tadi pagi. Jeka menyadari banyak hal. Belasan tahun membesarkan dua putranya seorang diri, dia pasti tau bahwa sosok seorang ibu begitu penting dalam kehidupan Axel dan Alex. Tapi, permasalahan lain yang timbul adalah tak ada perempuan yang bisa dekat dengan kedua anaknya. Contohnya saja Laras yang hingga kini bak musuh besar Alex.

"Lo seriusin Laras, Jek?" Rekan wanita bertanya lagi, menyadarkan Jeka dari lamunan.

"Perang dunia kalo Jeka nikahin Laras." Rekan pria Jeka yang lain bersuara. Dia teman masa SMA Jeka hingga sekarang, Marvin.

Jeka smirk. "Gue emang rencana nyari ibu pengganti buat Axel dan Alex, tapi bukan Laras. Dia nggak akur sama anak-anak gue."

"Kalo gitu tinggalin lah. Lo ngejalin hubungan sama dia makin lama dia makin berharap sama lo. Lo cinta sama dia?" Marvin bertanya.

Lagi, sudut bibir Jeka menyunggingkan senyum kecilnya. Dia ragu untuk menjawab. Perihal itu banyak orang yang memang tau Jeka dekat dengan Laras bahkan kedekatan itu sudah terjalin selama satu tahun belakangan, walau Jeka sendiri tidak benar-benar berdiri setia dengan Laras, tapi mungkin bisa dikatakan Laras adalah wanita yang memang paling dekat dengannya.

Baru saja hendak menjawab tuturan temannya, mulut Jeka mengatup rapat saat melihat sosok perempuan cantik dengan poni yang khas tampak begitu indah dipandang berderap memasuki restoran bersama seorang perempuan lain. Oh tentu dia mengenal perempuan berponi itu. Jeka smirk saat menyadari perempuan itu bertemu pandang sejenak dengannya.

Lalisa ... apa Jeka mengingat namanya? Tentu saja, teman cinta satu malamnya yang begitu berkesan. Perlahan tangannya meraih gelas minuman dan meneguknya pelan-pelan tanpa memindahkan pandangannya dari Lalisa.

Jeka tau Lalisa mungkin salah tingkah atau terkejut karena melihatnya. Tapi, demi Tuhan perilaku itu menggemaskan, sebab seakan berusaha menyembunyikan dirinya dari pandangan Jeka.

"Lo kenapa sih?" Soyaa mulai terusik dengan tingkah Lalisa yang menarik tangannya dan meminta mereka pergi dari sana padahal sang pelayan telah mengantar mereka pada meja yang diinginkan.

"Pindah aja yuk," bujuk Lalisa bak anak kecil.

"Nggak. Malu-maluin lo. Duduk, jangan kayak anak kecil, malu diliatin!"

"Soy, itu ..." Lalisa melirih berusaha melarikan diri dari tatapan Jeka. "... cowok itu ..."

"Cowok apa? Pesen cepet, ditungguin anjir." Soyaa mengeluh, tapi sebenarnya tak benar-benar peduli dengan Lalisa yang hampir meleleh mendapatkan sorot tatapan Jeka padanya. Soyaa malah asik memilih apa yang ingin dia makan.

"Soy ..." Lalisa menarik-narik tangan Soyaa. Mulai panik dan menutup setengah wajahnya dengan buku menu. "... cowok itu ... yang tidur sama gue ..." Tuturan Lalisa perlahan dan membuat Soyaa memutar bola matanya dengan malas. "... ada di sini."

"MANA?!" Seketika saja Soyaa memutar pandangannya dan mencari hingga menemukan sosok Jeka yang mengarahkan pandangannya pada mereka. Pipi Soya berkembang, sudut bibirnya tertarik. Demi apa pun yang dikatakan Lalisa memang benar, sosok Jeka Jeon ini memang terpahat sempurna. Darimana saja dia hingga tidak melihat pria itu duduk di sana?

"Soy ..."

"Damn girl ..." Soyaa memalingkan kembali pandangannya pada Lalisa. "He's hot. Sekarang gue percaya kenapa lo kebayang dia mulu. Ganteng banget woi."

Ekspresi Lalisa berubah kala mendengar ucapan terpesona Soyaa. Dia menurunkan buku menu dari depan wajahnya. "Oi, punya gue."

Soyaa memelas. "Iye tau," gumamnya lalu kemudian tertawa setelah menyadari Jeka bangkit dari tempat duduknya. "Gue tau kita bukan anak SMA lagi, so good luck, bitch." Bukan tanpa alasan kenapa Soyaa tiba-tiba berdiri dan pindah tempat duduk. Dia tau Jeka hendak menemui Lalisa.

"Soy ... Soyaa ... mau ke mana?"

"Hei ..." Sapaan itu datang bersamaan dengan perginya Soyaa. Dan Lalisa tau suara siapa itu.

Ragu-ragu, tapi ingin, Lalisa perlahan mengangkat pandangannya. Tatapan mata mereka bertemu. Demi semesta, Jeka tampak lebih gagah dalam balutan setelan formal, dan seakan membenarkan tebakan Lalisa bahwa pria ini adalah seorang bos-bos muda.

"Boleh saya duduk?"

Lalisa menampilkan senyum manisnya yang terlihat gugup, tidak tau harus bersikap seperti apa. "Silakan," katanya. Oh Lord, malam itu dia mabuk, dan percaya lah itu setengah dari alter ego-nya.

"Saya mencarimu," ungkap Jeka saat bokongnya mendarat di kursi. "Kamu pergi tanpa mengatakan sesuatu pada saya." Jeka tersenyum, tak sadar Lalisa sedang menahan kegugupannya.

Begini rasanya ketika dia benar-benar sedang sadar. Aura Jeka benar-benar dominan dan bahkan mampu membuatnya merinding hanya dengan mendengar suaranya saja. Ditambah obsidian itu memantul tajam dalam maniknya.

"I'm sorry, tapi kita hanya teman cinta satu malam saja," balas Lalisa pelan, tapi Jeka mendengarnya.

Jeka menarik sudut bibirnya. "I'm your first. Dan saya tidak menganggapnya one night stand."

"What?" Ekspresi Lalisa berubah mendengar ucapan Jeka.

Pria itu menyodorkan ponselnya pada Lalisa. "Berikan nomor kamu pada saya. Saya ingin mengenal kamu."

"Bisa nggak ngomongnya jangan saya - kamu ... aneh tau ..."

Jeka hanya tersenyum kecil. "Kamu masih muda, hm."

"Ya kan lo juga," ucap Lalisa. Tidak menjual mahal, dia memberikan nomor ponselnya.

"Dua minggu lagi saya akan mendatangi kamu," kata Jeka sembari memasukan ponselnya ke dalam saku. Entah, apa yang dia pikirkan saat itu, tapi percayalah sejak pertemuan pertamanya dengan Lalisa, dia tidak akan pernah bisa melupakan wajah perempuan manis yang menjadikan dirinya bak pemenang malam itu.

"Buat apa?"

"Jika kamu hamil, kamu harus jadi istri saya."

"Lo gila ya?"

"Kita melakukannya tanpa pengaman."

"Anjing!" teriak Lalisa terkejut hingga membuat semua orang yang ada di sana menoleh padanya.

Dia baru menyadarinya ...

 

BERSAMBUNG

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya TJF: BAB 06 - 10
18
0
• BAB 06  •Ucapan Jeka terngiang terus menerus bak kaset rusak di kepala Lalisa. Dia ini bodoh atau hodob. Tidak, tidak ... laki-laki itu yang sengaja melakukannya, yeah dia pasti sengaja.Geezz itu pengalaman pertama Lalisa, dan saat itu posisinya dia setengah mabuk dan ditabrak kenikmatan, bagaimana dia bisa menyadarinya selain menikmati segalanya saat itu.Aaarrghhh ... Lalisa menjatuhkan dirinya sendiri ke atas tempat tidur king size miliknya yang tertutup seprai kuning muda kontras dengan nuansa white gold kamarnya. Nggak, nggak gue nggak bakal hamil. Dia cuma ngelantur. Lalisa bermonolog dengan dirinya sendiri. Tapi, kemudian dia menyadari bagaimana proses hingga terjadinya kehamilan.Lalisa menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tampan sih, hot, seksi ... Jeka itu memang sempurna di mata Lalisa, tapi tidak seperti ini ... maksudnya dia masih muda untuk menikah, dan dia belum benar-benar mengenal Jeka. Persetan dengan mapan, Jeka itu sudah sangat mapan tak ada celah untuk menolaknya to be honest.Hanya saja Lalisa belum siap.Perkara one night stand dia tidak pernah membayangkan secepat ini seseorang mengajaknya menikah. Bahkan dengan cara yang sangat tidak biasa. Jika kamu hamil, kamu harus jadi istri saya. Semudah itu? Karena itu ... seakan tersusun rapi. Tapi, tolong lah Lalisa hanya syok dan tak habis pikir garis takdir begitu dramatis.Silahkan dibuka untuk membaca hingga BAB 10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan