
Alice tersentak. Sebelah kakinya melangkah mundur, hendak bersiap untuk lari ketika mendengar laki-laki itu mengucapkan namanya. Terlambat, gerakannya mampu terbaca oleh netra cokelat itu. Laki-laki bebadan tegap itu mengunci pergerakan Alice dengan menarik lengan gadis itu ke arahnya.
"Jangan pergi," lirihnya. "Aku sudah lama mencarimu."
"K-kau siapa?" Alice berucap setengah gemetar.
BAB 04
Alice teringat akan kehidupan yang dia jalani sebagai budak Jeykha dalam beberapa bulan ini. Gadis yang tidak memiliki kedua orang tua itu tengah menatap nanar pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Dia kasihan pada dirinya sendiri. Tatapan yang selalu memancarkan kesedihan hingga ketakutan di dalamnya membuat Alice benci akan dirinya. Ah, andai waktu bisa diputar kembali. Andai saja waktu itu dia tidak perlu berambisi memperjuangkan beasiswa untuk kuliah di Adler, dia pasti akan baik-baik saja tanpa harus berurusan dengan anak pemilik kampus itu.
Atensinya jatuh pada tengkuknya, ada bercak biru keunguan di sana. Jejak kepemilikan Jeykha. Andai saja menjadi budak laki-laki tampan itu dibayar, Alice akan sangat bersedia melakukannya. Jujur saja saat ini Alice memang membutuhkan uang. Genap sudah sepuluh tahun semenjak kecelakaan tragis yang berhasil merenggut nyawa kedua orang tuanya, memaksa Alice harus tinggal bersama adik dari ibunya.
Tante Veronika yang akrab dipanggil Veron oleh Alice itu hanya hidup seorang diri, tidak bersuami. Veronika bekerja sebagai seorang pelayan cafe tiap harinya. Namun, ia begitu menyayangi Alice. Dengan penghasilan seadanya Veronika berusaha untuk tetap membiayai kebutuhan gadis kecilnya itu. Alice begitu mencintai Veronika. Baginya, Veronika adalah tante terhebat dan satu-satunya keluarga yang dia miliki saat ini.
"Alice?" Seruan Veronika dari luar berhasil menyentaknya dari alam khayal.
Oh astaga, batinnya.
Dengan sigap dan tetap tenang gadis itu menarik napas, kemudian menghembuskannya sebelum membawa dirinya keluar. Dia berusaha menutupi jejak Jeykha atas dirinya dengan kerah kemejanya. Berdiam diri di kamar mandi saat pagi hari nyatanya sangat membuang waktu. Dia terlambat. Bukan tentang jam kuliahnya, tapi tentang Jeykha yang akan memaki dirinya di depan umum jika dia belum tiba di parkiran sebelum pemuda itu datang.
"Ada apa, honey?" Veronika bertanya, ketika melihat keponakannya itu dengan buru-buru memakai sepatunya.
"Aku sudah terlambat, Veron," jawab Alice tanpa mengalihkan perhatiannya dari ikatan tali sepatu.
"Bekalmu," ujar Veronika seraya memberikan kantong berisi makan siang untuk Alice. Veronika selalu menyiapkan bekal untuk Alice tiap paginya sebelum pergi bekerja. Hal itu sudah dia lakukannya sejak gadis itu berada di bangku menengah pertama.
Sedikit mengibaskan rambut ke belakang, Alice langsung menerima bekal makan siangnya itu dan melesat pergi selepas menciumi pipi sang tante.
"Bye, Veron.”
Veronika hanya bisa menarik napas yang dalam sembari memandangi punggung gadis kecilnya itu yang berlari menuju halte bis. Tuhan menyertaimu, gadis pemberani, batinnya.
Alice menghentak kakinya di tanah sembari melipat kedua tangannya di dada. Dia memasang atensi serius ke arah datangnya bus. Hampir 20 menit dia menunggu di bushaltestelle, namun tak ada bus ke arah kampusnya yang lewat. Bukannya tidak ada, tapi bus yang ditunggunya sudah lewat sejak tadi.
Dengan perasaan khawatir yang menggebu-gebu Alice beranjak dari tempatnya, namun baru beberapa langkah menjauh dari tempat pemberhentian bus, Alice dikejutkan dengan deru mesin mobil yang tiba-tiba berhenti di belakangnya. Dia menoleh. Manik matanya bertemupandang dengan iris seorang laki-laki yang berada di dalam mobil dan tengah tersenyum padanya. Laki-laki itu keluar, kemudian berjalan mendekat ke arahnya.
Alice tertegun. Wajah laki-laki itu tidak asing di ingatannya. Rasanya dia pernah bertemu dengan laki-laki itu, tapi siapa?
Dengan setelan jas kantor nan berkelas, laki-laki itu sangat tampan bak titisan para dewa mitologi. Pemilik rahang tegas, hidung yang berdiri tegak dan tinggi, iris cokelat yang tegas namun penuh kelembutan itu tersenyum padanya. "Hallo, Alice," sapanya.
Alice tersentak. Sebelah kakinya melangkah mundur, hendak bersiap untuk lari ketika mendengar laki-laki itu mengucapkan namanya. Terlambat, gerakannya mampu terbaca oleh netra cokelat itu. Laki-laki bebadan tegap itu mengunci pergerakan Alice dengan menarik lengan gadis itu ke arahnya.
"Jangan pergi," lirihnya. "Aku sudah lama mencarimu."
"K-kau siapa?" Alice berucap setengah gemetar.
"Kau melupakanku?" Mata laki-laki itu membulat. "Ach ja, kita hanya bertemu sekali." Laki-laki itu tertawa kecil dan melepas pegangannya pada Alice, kemudian mengulurkan tangannya di depan gadis itu. "Aku Valey, kau ingat?" Alice mengernyitkan dahi, hanya menatap hambar laki-laki di hadapannya. "Yang hampir menabrakmu?" Valey berucap dengan nada bertanya.
"Oh, kau ..." gumamnya.
Valey tersenyum melihat gelagat kaku dan gugup dari Alice. "Kau takut? Apa aku menakutimu?"
Alice hanya menggeleng pelan, "Aku harus pergi."
"Tunggu sebentar." Valey menghentikan langkah gadis itu. "Biar ku antar."
"Tidak. Tidak perlu. Aku masih bisa jalan kaki."
"Dan bisa kupastikan absen perkuliahanmu tidak terisi hari ini." Alice bergeming dan membuat Valey semakin mendekat padanya dan langsung menariknya untuk masuk ke mobil. "Kau pikir berjalan kaki ke kampusmu hanya lima menit? Jangan bodoh. Aku tau kau terlambat."
×××
Rahangnya mengetat, tangannya mengepal erat, emosinya mencapai puncak sudah ketika obsidian yang kejam itu menangkap sosok seorang gadis yang baru saja turun dari mobil ferrari keluaran terbaru yang dia sangat tau milik siapa itu. Brengsek, umpatnya.
Jeykha hanya berdiri dan menatap langkah gadis tanpa dosa itu berjalan menuju pintu utama gedung kampus. Sampah, pikirnya. Jeykha dibuat geram oleh gadis itu hanya dalam sekali tatap, lalu tanpa menunggu lebih lama langkah tegas dan lebarnya berderap pergi.
Napasnya memburu. Obsidiannya semakin menajam dan menusuk hingga telapak tangannya berhasil menarik rambut panjang gadis di depannya. "Sudah kukatakan untuk tidak melakukan kesalahan lagi!"
Gadis itu menjerit di koridor. Sakit, sungguh itu menyakitkan. Cengkeraman Jeykha yang menarik rambut panjangnya itu begitu keras dan kasar. "Jeykha, maafkan aku." Seribu permohonan maaf yang keluar dari mulutnya tidak akan mampu meluluhkan kekejaman hati sang dominan.
Jeykha mendorong tubuh gadis itu ke dinding, menarik lebih kuat rambut gadis itu hingga dia mendongak. "Aku benci gadis murahan seperti dirimu." Jeykha tidak peduli akan banyaknya pasang mata yang menatapnya kaget, melainkan dia merasa hebat karena mendapat banyak perhatian ketika tengah menyiksa strata rendah, seperti gadis yang tengah diimpitnya ini.
"Maafkan aku." Ucapan yang tepat seperti lirihan itu terlontar, berharap sang dominan akan luluh dan melepas cengkeramannya.
Benar. Jeykha melepas cengkeramannya dari rambut gadis itu dan memutar tubuhnya agar saling berhadapan. Mungkin cengkeraman kasar pada setiap sisi dari keseluruhan tubuh gadis itu adalah hal biasa bagi Jeykha. Dia menikmati setiap jeritan gadis yang berstrata rendah ini.
Dengan kasar Jeykha melingkari tangannya yang kukuh itu di pinggang Alice dan menariknya. "Kau tau kesalahanmu?"
Alice mengangguk, "Iya, Jeykha."
Jeykha tersenyum hambar, menatap hazzle kecokelatan yang penuh ketakutan itu."Bersiaplah untuk menerima hukumanmu, gadis nakal. Dan jangan mencoba untuk lari, karena aku tidak mengizinkannya." Jeykha melepas lingkaran tangannya dan memberikan dengan kasar tas punggungnya pada Alice seperti biasanya, kemudian berderap pergi meninggalkan gadis itu yang tengah berusaha membendung air matanya.
Rasa malu menjalar seketika dalam setiap desah napasnya. Tatapan-tatapan sinis dan penuh hina itu kembali dia dapatkan. Berusaha tegar di saat fisik hingga psikisnya terluka itu sulit. Alice hanya mampu menghela napasnya dan membawa pijakannya bergerak pergi dari tempat itu, dengan tetap menebalkan wajahnya dari rasa malu.
×××
×××
BAB 05
Alice membawa langkahnya menelusuri koridor kampus dengan terburu-buru. Adrenalinnya memacu, memberikan peluh di kulit putihnya. Jeykha sudah menunggu di ujung koridor sejak tadi seraya pemuda itu bersandar dan sedikit mendongak. Badannya begitu tegap nan kekar.
Alice melangkah lebih cepat untuk menemui pemuda itu. Dia takut, jika Jeykha lelah menunggu dan menghardiknya saat itu juga. Pemuda itu membawa obsidiannya menatap datar, namun tajam pada langkah Alice yang mendekat.
Alice menghela dan menghembuskan napasnya. "Maaf sudah membuatmu menunggu," lirih gadis itu seraya memanjatkan doa agar pemuda di hadapannya ini tidak memakinya.
"Aku benci menunggu. Tidak bisakah kau menahan kencingmu itu, hah?" hardik Jeykha tidak mau tau dengan keadaan Alice.
"Maaf," lirihnya lagi sembari menunduk.
Jeykha menggertakan giginya dan menarik gadis itu pergi. Cengkeraman pada gadis itu tidak pernah lembut, selalu saja kasar dan membuat Alice meringis ketika di paksa masuk ke dalam mobil pemuda itu. Namun, sebelum pintu mobil dibanting oleh sang empunya, Jeykha menarik dagu gadis itu dan menatapnya tajam, kemudian tersenyum penuh hinaan. "Jangan lagi buat aku marah, Alice."
"Maaf."
"Aku benci morfemmu." Jeykha menghempas kasar dagu Alice dan menutup pintu mobilnya.
Di dalam mobil, Alice mengatup dengan rapat mulutnya, hanya terdengar deru napasnya yang memburu. Mobil sport mengkilat itu membelah jalanan dengan kecepatan yang kali ini berada di bawah 100 mph. Jeykha membawanya lagi ke rumah mewah itu. Jujur saja, tidak pernah sedetik pun dari hidup Alice tenang ketika berada di bawah kekuasaan sang dominan yang penuh akan traktat tak berdamai ini. Aura kejantanan yang sarat akan kecaman begitu mendominasi ruang geraknya.
Dan lagi, Jeykha menyeret gadis itu tak berperasaan. Jeykha seakan buta jika tangan yang tengah ditariknya ini milik seorang gadis berparas elok nan gemulai. Hazzle kecokelatan itu tak lelah menatap langkahnya yang membentur lantai dari dalam rumah mewah modern itu.
Sebelum langkah keduanya menaiki anak tangga menuju lantai atas, Alice tiba-tiba saja berhenti dan membuat Jeykha menatap maut padanya. Laki-laki itu sangat tidak suka dengan tingkah bodoh dari gadis yang tengah diseretnya ini. Bukannya ingin menguji kemarahan sang dominan, tapi Alice tidak ingin kejadian kemarin yang dilakukan Jeykha kembali terjadi. Dirinya sadar akan label yang ada pada dirinya, tapi jika sampai harus menjadi budak pemuda itu di ranjang, Alice memilih untuk bunuh diri daripada menyerahkan harga dirinya dengan cuma-cuma pada seseorang yang hanya bisa menatapnya penuh hinaan.
"Apa yang kau lakukan?" Kalimat itu begitu mudah dan santai keluar dari mulut Jeykha. Namun, ketika indra pendengaran menerima gelombang bunyi itu, maka hanya ada kesan menusuk darinya.
"Jeykha ..." Alice memberanikan diri untuk menyusun kalimat yang baik dalam otaknya sebelum mengeluarkannya pada pemuda kaya di hadapannya ini. "Apa yang ingin kau lakukan kali ini padaku? Ku mohon jangan lakukan itu. Aku tau, aku ini budakmu, tapi aku bukan pemuas nafsumu."
Jeykha mencengkeram rahang Alice dan sedikit mengangkatnya, membuat gadis itu meringis seketika. "Jangan pernah membantahku!"
"Jeykha, aku tidak mengerti mengapa kau begitu membenciku."
Cengkeraman itu semakin keras. "Karena aku tidak menyukai manusia kelas rendahan seperti dirimu."
"Awh ..." Alice memekik pelan. "Sakit, Jeykha."
"Sakit?" Jeykha mengulangi ucapan gadis itu dengan nada bertanya dan membuat Alice mengangguk pelan. Jeykha menyeringai ketika gadis itu berusaha menahan liquid bening yang hampir menetes keluar. Baginya, setiap tetes air mata yang berhasil lolos dari pelupuk orang yang ditindasnya adalah reward yang perlu dia banggakan. Bengis memang, tapi Jeykha bangga akan dirinya. Sosok arogan nan sentimen itu benar-benar berbeda.
Di usia Jeykha yang sebentar lagi menginjak 21 tahun, wajar jika dia memiliki pergaulan yang bebas dan mendominasi sektor pergaulannya. Dengan harta melimpah, tanpa kasih sayang, pantaskah seorang seperti Jeykha memiliki karakter seperti itu? Sebagian besar orang yang mengenal keluarga Adler tau betul, jika hubungan antara kakak beradik pewaris Adler Company Group itu tidak baik. Karakter Jeykha yang sejak dulu tidak mau kalah dari Valey, membuat sang sulung harus mengalah dan membiarkan adiknya mendapatkan apa yang dia inginkan.
Jeykha tak mengindahkan rontaan Alice yang tidak ingin diseret masuk ke dalam kamar bernuansa maskulin itu. Gadis itu tersudutkan, ketika telapak tangan yang kukuh itu menghempasnya ke atas tempat tidur. Alice segera membalikan posisi tubuhnya dan beringsut mundur, namun terlambat, kedua kaki Jeykha berhasil mengunci pergerakannya dengan salah satu lututnya yang menyentuh kasur.
"Jeykha, kumohon." Lirihan itu terdengar bergetar.
Jeykha hanya menatap dan tersenyum hambar pada submissive di bawahnya. Dia melirik ke arah nakas dan mengambil tali yang entah kapan sudah berada di sana. "Kau tau?" Jeykha berucap dingin. "Aku tidak suka, jika ada orang lain menyentuh milikku." Jeykha menarik dengan kasar kedua tangan gadis itu dan mengikatnya di kedua sisi dari kepala tempat tidur.
"Jeykha, apa yang kau lakukan?" tanya Alice khawatir. Entah apa yang dilakukan pemuda itu padanya, tapi perlakuan ini sangatlah asing. Kedua tangannya diikat di kedua sisi tempat tidur, dengan posisi Jeykha masih berada di atasnya. Aura mencekam benar-benar merasuk dalam dirinya.
Alice menjerit keras dengan spontan ketika rambutnya ditarik kasar oleh Jeykha, membuatnya mendongak dan menatap obsidian yang menusuk itu tepat di atas wajahnya. "Jangan pernah memberikan akses untuk orang lain mendekatimu, sialan, jika kau melakukannya akan ada perang besar antara aku dan dia. Kau mengerti?"
"Apa maksudmu?" Alice bertanya bingung. Dia tidak paham dengan kalimat yang keluar dari mulut pemuda di atasnya ini. Memberikan akses untuk siapa? Dia bahkan tidak ingat jika memiliki kekasih atau teman dekat.
Jeykha tersenyum hambar dan memangkas jarak di antara mereka. Pemuda itu mengambil bibir Alice hanya dalam sekali raupan. Lagi-lagi, Alice hanya bisa terbelalak, tangan yang kemarin dapat memukuli dada Jeykha kini tak dapat lagi dia gunakan. Gadis itu hanya bisa meronta di bawah sang dominan tanpa ada gubrisan.
Jeykha melepas pagutannya dan menatap manik indah gadis di bawahnya. "Kau manis sekali." Terdengar seperti rayuan, namun menyakitkan layaknya hinaan bagi Alice. Jeykha bergerak turun dari atas tubuh gadis itu. "Aku akan segera kembali," ucapnya dan mengelus pipi Alice. "Jangan lukai dirimu sendiri."
Selepas pemuda itu pergi bersamaan dengan menutupnya daun pintu kamar, Alice membanting keras kedua kakinya seakan menendang udara, meluapkan kekesalannya. Dia berusaha menarik kedua tangannya, namun percuma saja hasil lilitan tali di kedua pergelangan tangannya sangat erat dan sulit dia lepaskan dengan hanya menarik-nariknya saja.
×××
Bunyi pantofel terdengar beradu dengan lantai keramik di sepanjang koridor menuju ruang kerjanya yang terletak di lantai kedua paling atas dari menara yang tegap berdiri di pusat kota dengan label Rich Company itu. Sorot matanya menelusuri setiap sudut koridor hingga mencapai pintu utama ruang kerjanya yang bercorak putih dan berdaun dua itu.
"Tuan." Seruan sekretaris laki-laki itu berhasil menghentikan derap langkahnya. Dia menoleh. "Tuan Jeykha sudah menunggu Anda."
"Di mana dia?" Wanita dengan usia sekitar 30 tahun itu menunjuk ruangan bos-nya. "Danke."
Langkahnya kembali memecah lantai kantor hingga telapak tangannya mendorong pintu berdaun dua itu. Netra laki-laki pemilik ruangan menyapu seluruh sudut ruangannya hingga dia tersadar akan hadirnya seseorang yang tengah duduk di kursi kebesarannya dengan menghadap pada jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan kota yang ramai.
Laki-laki itu menarik napas dan berjalan mendekat pada meja kerja yang tertera jelas nama Valey Adler di sana. "Jeykha," ucapnya tenang. Terkaannya untuk apa adiknya datang menemuinya nihil. Laki-laki itu tidak tau maksud dan tujuan Jeykha datang padanya, kecuali dia sendiri yang menanyakannya.
Kursi itu memutar dan mengahadap padanya serta menampilkan sosok adiknya yang tengah duduk berpangku kaki dengan mengetuk pelan tangan kursi itu. Jeykha tersenyum hambar, namun tersirat jelas kekesalan dari balik wajahnya yang kejam. Kedua kakak beradik itu memang berbeda jauh. Valey terkesan lembut dan bijak. Auranya pun sangat jauh dari mencekam dan kejam. Siapa pun dapat merasakan betapa lembut si sulung Adler ini.
"Kau tau mengapa aku ke mari?" tanya Jeykha tenang. Valey menggeleng. "Jauhi Alice!"
Titah tak berdamai itu terlontar keluar dari bibir merah gelap pemuda yang kini berdiri tegap dan sempurna di hadapan Valey. Tinggi sang adik tanpa sadar telah menyamai sang kakak, alhasil obsidian mengkilat tak berhati itu mampu menusuk dengan tajam dan dalam bola mata cokelat gelap milik si sulung. Jeykha menyeringai, ketika mendapatkan kilat kejut jelas dari balik manik sang kakak. "Alice?"
"Alice Emerald, gadis yang kau antar kemarin adalah budakku, Tuan Valey. Dan kutegaskan padamu, jauhi dia!"
Rahang laki-laki itu mengetat , ketika mendengar kata budak terlontar begitu jelas penuh penekanan dari mulut adiknya. "Apa kau sudah gila, Jeykha?"
"Gila? Apa perlu kuberitahu morfem itu adalah nama tengahku?" Jeykha tertawa hambar tanpa makna.
"Kau tidak bisa menjadikan gadis itu budakmu." Valey berucap tegas.
"Kau tidak punya hak dalam hidupku. Siapa pun yang menjadi budakku adalah milikku. Carilah milikmu sendiri, Herr. Jauhi Alice!"
"Kau mencintainya?" Valey mencekal langkah adiknya dengan ucapan yang sama sekali tak berbobot bagi Jeykha.
"Aku tidak sepertimu yang menyukai strata rendahan. Gadis itu sebatas budakku, dan tak akan lebih."
"Jika kau hanya akan menyakitinya, berikan dia padaku, karena aku menyukainya," ujar Valey dan berhasil membuat Jeykha meraih kerah kemeja laki-laki itu dengan kasar.
"Sudah kukatakan jangan sentuh milikku, dan jangan pernah berimajinasi kau bisa memilikinya!" Tatapannya tak berdamai dengan sang kakak. Jeykha menghempas cengkeraman atas kerah Valey. Laki-laki 24 tahun itu tampak tenang menghadapi sang adik yang temperamental.
Kilatan tanda akan mulainya perang saudara memperebutkan seorang gadis sepertinya telah ditunjukan dengan jelas oleh Jeykha dan diterima dengan baik oleh sang kakak. Valey hanya tidak habis pikir, gadis yang dicarinya dan hampir membuatnya gila setahun ini adalah budak Jeykha.
Seakan ditabrak oleh meteor yang meremukan setiap relung hatinya. Sungguh kata budak yang dilabelkan oleh Jeykha pada gadis pujaannya benar-benar membuatnya lemah detik itu juga. Tumpuannya bergetar. Valey memegang sisi meja dan menunduk. Dia tak bisa membiarkan Alice berada dalam kekuasaan Jeykha yang kejam. Dia tau betul, sang adik bagaikan titisan iblis yang tak punya belas kasihan. Dia tau seperti apa Jeykha memperlakukan setiap gadisnya.
Valey menggeram dan menepis benda apa pun yang berada di depannya hingga terhempas berhamburan di lantai. "Sial!" Amarahnya membeludak ketika mengingat kembali wajah polos nan manis itu. Alice seakan menjadi candu bagi netra Valey yang ingin menatapnya lagi.
Jika sosok Valey yang selalu mengalah pada sang adik atas keinginannya yang terlampau ambisi, kali ini Valey tak bisa berdamai dengan keinginannya yang besar untuk memiliki Alice. Untuk pertama kalinya Valey siap bersaing dengan sang adik.
×××
Jeykha sedikit memicingkan mata, ketika melihat tubuh Alice yang tertidur dengan ikatan tangannya. Dia bergerak mendekat pada tubuh gadis itu. Perlahan namun pasti, lilitan yang diciptakannya dilepas dari kedua tangan gadis itu. Alice sedikit bergerak ketika tulang pipinya disentuh oleh Jeykha, tapi tak membuat gadis itu terbangun.
Jeykha tersenyum ketika melihat wajah damai dengan penuh takut itu tertidur nyenyak di sampingnya. Alih-alih ingin membangunkannya dan melakukan hal kejam, Jeykha lebih memilih membiarkan gadis itu menelusuri lebih jauh alam mimpinya.
Jeykha merengkuh pinggang Alice dan memeluknya dari belakang, membenamkan wajahnya pada tengkuk gadis itu tanpa membuatnya terbangun. Dia tersenyum ketika netranya melihat karya yang dibuat pada leher gadis itu. Bercak merah keunguan yang menjadi tanda kepemilikan atas gadis itu.
Hingga detik ini, Jeykha juga tidak paham mengapa harus Alice yang ditandainya sebagai budak. Bukan hanya atas dasar kebencian akan kelas rendah, namun ada sesuatu yang berhasil memikatnya ketika menatap sang pemilik hazzle kecokelatan itu. Ambisi akan memiliki, tanpa belas kasihan dan cinta sepertinya mendarah daging dalam diri si bungsu Adler ini. Kejam dan selalu tenang, serta berani akan selalu melekat pada diri pemuda itu. Namun, percaya atau tidak bongkahan es yang membeku dan dingin akan meleleh ketika terpapar sinar matahari yang menghangatkan.
But, entahlah ...
Dia berbeda dari yang terlihat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
