Bagian Tujuh (Dilaras Sekarayu)

10
0
Deskripsi

Bagian ini gratis. Namun mohon dukungannya dengan memberi vote dan komentar 

SUDAH satu minggu setelah kepulanganku ke Jakarta, bertepatan satu minggu juga berpisah dengan Wira. Satu minggu yang lalu, empat jam setelah Wira datang ke kamar hotelku. Dia pergi ke Pekanbaru, mengambil flight subuh. Panggilan dari atasan, membuat dia tidak bisa menolak, sudah kewajibannya sebagai abdi negara. Siap ditempatkan di mana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apa saja.

Lusanya, aku menyusul pulang ke Jakarta. Meskipun dalam kalender akademik dinyatakan libur. Sebagai seorang dosen, kadang kalau aku harus siap merelakan jadwal kosong. Ah, ini berkebalikan dengan apa yang sudah aku katakan beberapa waktu lalu.

Yah, kadang ada tugas yang sewaktu-waktu memanggilku, seperti bimbingan mahasiswa, seminar karya ilmiah atau bahkan riset penelitan.

Setelah hampir satu minggu berada di Bogor. Mengurusi ini-itu tentang perkuliahan, malam tadi aku kembali ke Jakarta. Lanjut siang ini, aku ingin meliburkan diriku sejenak dari rutinitasku yang padat.

Keliling Grand Indonesia, tampaknya adalah pilihan paling tepat.Selain keliling Grand Indonesia untuk merehatkan diri, tujuanku ke sini juga untuk bertemu dengan seseorang. Ya, Juna!

Sejak kejadian di Bali, kami memang intens saling menghubungi. Tidak dua puluh empat jam sih seperti yang dilakukan anak jaman sekarang, tapi minimal kami menyempatkan diri untuk berbagi cerita yang kami lakukan hari tersebut.

How was your day? Gimana kesibukannya hari ini? Penelitiannya lancar atau Jun, Bangka gimana?

Sejak pulang dari Bali, Juna langsung terbang ke Bangka. Katanya, dia sedang ada proyek di Mangrove Leguk Bulan, salah satu wisata hutan mangrove teranyadi tahun ini. Mangrove itu dibangun di Muntok, Bangka Barat. Jaraknya sekitar dua jam dari Pangkal Pinang.

Tadi malam, dia kembali ke Jakarta, ada proyek lagi. Aku tidak tahu proyek macam apa yang dia kerjakan.

Juna paling hanya bilang. “Mudah. Nggak jauh-jauh dari hal berbau hutan.”

Nah, berhubung hari ini dia sedang kosong dan aku sudah berada di Jakarta. Kami menyempatkan bertemu.

Aku melirik ponsel, sudah satu jam berlalu sejak jadwal janjian kami. Chat-ku belum dibalas oleh Juna, masih centang satu. Menelepon juga percuma karena pasti calling bukan ringing. Aku bingung di mana Juna sekarang, apa dia melupakan janjian kami atau tidak. Sedikit demi sedikit, aku memupus harapanku untuk tidak terlalu berharap kepadanya. Untuk mengalihkan rasa kecewa itu, aku memilih untuk masuk ke dalam Ranch Market yang berada di East Mall Grand Indonesia.

Tanganku sudah mendorong troli yang tadi aku ambil. Di balik genggaman itu, ponselku terselip. Siapa tahu selama berbelanja Juna menghubungiku.

Mataku menjelajahi rak demi rak bahan-bahan memasak yang berada di supermarket tersebut. Beberapa kali, aku berhenti untuk mengamati bahan, lantas memasukkannya ke dalam troli.

Hampir lima belas menit aku berkeliling supermarket dan selama lima belas menit itu juga, belum ada tanda-tanda balasan dari Juna. Pada akhirnya, aku memilih untuk bersikap santai dan menikmati kegiatan berbelanjaku. Bagaimanapun juga, aku mengerti bahwa Juna bukanlah lelaki pengangguran yang bisa kuajak kapan pun yang kumau.

Ngomong-ngomong, selain pulang karena urusan penelitian dan bimbingan mahasiswa. Alasanku cepat pulang ke Jakarta adalah Alia, sahabatku itu bercerai dengan suaminya. Aku tidak tahu pasti apa yang membuat mereka bercerai, kadang aku tidak habis pikir mengapa dua orang yang saling mencintai itu terlalu memenangkan ego masing-masing.

Entah, kadang kita terlalu mengampangkan hubungan dua orang, menganggap bahwa masalah seseorang bisa dengan mudah diselesaikan lewat kata-kata mutiara ataupun nasihat yang kita berikan. Padahal sebenarnya tidak.

Pikiranku dipenuhi oleh cerita sahabatku hingga aku tidak menyadari bahwa troli yang aku dorong baru saja menabrak troli seseorang.

Aku mengangkat kepala, bersiap untuk meminta maaf. Pandangan mataku bertemu dengan orang tersebut. Mataku sempat membulat. Sama halnya seperti orang yang tidak sengaja kutabrak. Hanya beberapa detik, aku terkejut karena selanjutnya aku menyungingkan senyum lebar dan mencium tangan orang tersebut.

“Tante,” sapaku.

Orang yang baru aja kucium tangannya adalah Tante Dinar, wanita yang sepuluh tahun lalu mengatakan akan mencari menantu seorang dokter, tapi satu bulan kemarin revisi syarat biro jodoh dan ujung-ujungnya balik ke aku.

Kebetulan luar biasa bertemu dengan mamanya Wira di sini. “Sendirian aja, Tante?” Basa-basi aku bertanya.

“Iya, nih, Ras. Mama sendirian aja.”

Wah! Mama, Gengs. Garis bawahi coba. Tante Dinar agak gemas saat melihatku, apalagi saat sadar bahwa tadi aku memanggilnya masih saja dengan sebutan Tante.

“Ras, kan, Mama sudah bilang. Panggilnya Mama, jangan panggil tante.”

Sama seperti Bunda yang sepakat menyuruh Wira memanggilnya dengan panggilan yang sama seperti panggilanku, Bunda. Nah, mamanya Wira ini juga menyuruhku untuk memanggilnya dengan sebutan Mama.

Aigoo! Kayak bener-bener bakalan nikah aja aku tuh sama si semprul Wira Sableng.

“Iya, Ma,” kataku sedikit canggung.

“Nah, gitu, dong,” sambar Tante Dinar bangga. Dia bahkan mengusap- puncak kepalaku. “Laras sendirian juga?”

Nggak, dong Tante. Aku tuh sama calon aku ... sebenarnya.

“Iya, Ma.” Mulutku malah berdusta.

“Wah, kebetulan. Ke rumah mama aja, ya, balik ini? Gimana? Mama mau masak nih, sekalian kamu ikut belajar masak. Mama mau masak masakan kesukaan Wira. Bekal penting itu tuh sebagai calon istrinya Wira.”

Bentar-bentar, arah toilet di mana, sih? Kok, aku mual sendiri, ya. Aku hanya cengar-cengir saja, bingung mau menanggapinya bagaimana.

“Mau, ya? Nanti urusan Bunda kamu, gampang. Entar Mama yang izinin, oke-oke?” Gila, ya. Mama Dinar eh maksudnya Tante Dinar ini. Sifatnya memang luar biasa seperti Bunda saja, kalau sudah maunya, mana bisa ditentang.

“Tapi, Tante ....” Ayo, dong, Ras. Ayo, bilang. Tolak, tolak, tolak. Aku menarik napas dalam-dalam. “Laras ada ketemuan sama seseorang.”

Yes, akhirnya.

Jawabanku sempat membuat Tante Dinar terkejut. Dan, sial, aku jadi tidak enak sudah mengecewakan orang tua. On the way kena ceramah Bunda, nih, pulang ke rumah.

“Ketemuan sama siapa, Ras?” Belum juga aku menjawab, Tante Dinar melanjutkan.

“Perempuan, kan?” Mati aku!

Tante Dinar menunggu jawabanku, otakku mendadak teringat wajah menyeramkan Bunda di rumah. Bisa habis aku, kalau Bunda tahu. Dibuat lemper diriku ini sama emak sendiri.

Aku tidak menjawab sampai dua detik. Seketika, Tante Dinar sudah dapat menyimpulkan sendiri.

“Wira tahu, nggak? Kasian dia kalau tahu kamu begini.” Ya, elah ... ini kenapa aku kayak ketangkap sedang berselingkuh, sih.

Aku tersenyum tidak enak. Gimana, ya, bohong nggak apalah. Ya, kali, pakek nama Elang aja biar gampang. Minimal nggak jadi lemper, deh, aku pulang ke rumah, dadar gulung saja.

“Ketemuannya sama Elang, Ma. Itu, Ma, sepupu Laras yang kebetulan anak bimbingan Laras juga, ngajak revisiannya di Grand Indonesia.” Mohon maaf banget, 

Ya Allah, hamba berbohong.

“Oh, Elang anaknya Jihan, ya?”

Aku mengangguk cepat.

“Oh, kalau itu mudah, suruh Elang revisian di rumah mama aja.”

Lah, kok? Gini ... loh, jadi.

“Tapi, Tan ....” Ucapanku terputus saat aku melihat layar ponselku hidup. Aku

menghela napas panjang, membalik ponsel, kemudian tersenyum tipis. “Oke, deh, Ma. Kebetulan Elang nggak jadi datang juga.”

-Pull String-

Tubuhku rasanya pegal-pegal karena baru saja aku selesai memasak.

Jelas, gini-gini aku dapat tanda centang dan nilai A untuk urusan menantu idaman yang pintar masak. Meskipun sempat adu pendapat dengan Tante Dinar yang ingin membantu, akhirnya wanita berhijab panjang itu memilih untuk menyerah dan duduk santai di kursi dekat kitchen set sesekali memberi arahan. Kayak Master Chef gitu jatuhnya.

Aku jelas tidak keberatan, alih-alih menganggapnya calon mertua tukang suruh. Eh, bentar ... kok, aku ngomong mertua, sih? Aduh, ketularan Tante Dinar, nih.

Setelah menaruh semua masakan di meja makan dan duduk beristirahat, aku baru sadar bahwa rumah Tante Dinar sangatlah sepi. Hanya terdengar bunyi arus air saja dari miniatur air terjun yang berada di ruang tengah.

Aku masih terbengong-bengong dengan sepinya rumah Tante Dinar, hingga suara Tante Dinar datang dari arah belakang.

“Ginilah, Ras, nasib Mama kalau lagi di Jakarta. Semua anak dan cucu sibuk di daerahnya masing-masing. Mama di sini cuma tinggal sendiri.”

Ya Tuhan, aku jadi tidak enak telah melupakan fakta itu.

“Kenapa Mama nggak ikut Bang Yudis aja di Medan, Mbak Gayatri di Semarang, atau Bang Bima di Bali?”

Tante Dinar tersenyum. Dia duduk di sebelahku, tangannya memegang sebuah tuksedo yang tampaknya pernah kulihat entah di mana.

“Kadang memang Mama ke Medan terus ke Semarang, kalau Bali belum sih. Tapi, yah ... terkadang nggak enak aja ikut anak mantu, Ras. Mama selagi masih sehat, tinggal sendiri nggak apa-apa. Kasian juga kalau mama terus-terusan tinggal sama mereka,” jawab Tante Dinar sederhana.

Aku yang sekarang posisinya adalah seorang anak, jelas tidak akan setuju jika kalimat ini dikatakan oleh bunda. Bagaimanapun juga, sebanyak apa pun hal yang diberikan anak tidak akan pernah cukup menggantikan apa pun yang diberikan orang tua. Aku tidak akan pernah terima kalau Bunda merasa canggung jika harus tinggal denganku.

Gini-gini, meskipun aku adalah lawan mengomelnya bunda. Aku sangat- sangat menyayangi bunda.

“Ras.”

Lamunanku berhenti, Tante Dinar baru saja menepuk bahuku. “Kenapa, Ras?”
Aku menggeleng dan segera memberikan senyum terbaikku. “Mama boleh minta tolong?”

Aku mengangguk. Tante Dinar memberikan tuksedo yang sejak tadi dipeluknya.

“Mama boleh minta tolong ke Laras buat taruh di kamar Wira, ya. Kamarnya ada di atas. Pintu kamar yang ada stiker Spiderman, gantung aja di dalam lemari pakaian dia. Mama soalnya mau bicara sama bibi dulu, boleh Ras?”

Sebenarnya, aku ragu. Jujur saja ... gini-gini aku belum pernah masuk kamar seorang cowok. Apartemen cowok saja batasku hanya ruang tamu. Aku tidak pernah mau menginjakkan kakiku di kamar seorang laki-laki. Bagiku, kamar adalah ruangan paling pribadi dari seseorang. Saat masuk ke dalam kamar laki- laki, itu tandanya aku telah menyentuh hal paling pribadi pada lelaki tersebut.

Belum sempat aku menjawab apa pun, Tante Dinar sudah duluan melimpahkan tuksedo yang sudah dikaitkan pada gantungan baju itu kepadaku. Mau tidak mau aku menerimanya.Tante Dinar melangkah pergi setelah mengucapkan terima kasih kepadaku.

Aku mengembuskan napas dalam dan berdiri untuk menuju ke kamar Wira.

-Pull String-

Aroma kopi menusuk indra penciumanku ketika pintu kamar yang ada tempelan Spiderman itu kubuka. Mataku dengan cepat menjelajahi seisi ruangan lima kali lima meter tersebut, kamar Wira.

Hampir semua barang perabotan didominasi dengan warna biru tua, entah itu seprai tempat tidur, lemari, bahkan juga meja. Di sudut kamarnya, aku dapat melihat ada beberapa barbel dengan ukuran berbeda-beda. Ah! Mungkin itu yang bikin Wira si krempeng berubah jadi Wira si otot.

Sekali lagi, aku mencoba tenang setelah kakiku kembali melangkah untuk benar-benar masuk ke dalam kamar. Kamar Wira sangat rapi, mungkin Tante Dinar setiap hari rutin membersihkannya.

Sorry, ya, Wir. Sumpah nggak maksud gue tuh.”

Setengah berlari, aku melangkah melewati ubin-ubin kamar Wira untuksegera sampai di lemari pakaian yang berada paling sudut, membuka lemari dan menggantungkan hanger tuksedo tersebut.

Aku sudah siap untuk keluar dari kamar, saat ponselku malah berbunyi.

Alhasil, aku berhenti di dekat tempat tidur untuk membuka ponsel. Mataku menangkap nama Juna di layar. Memang, sejak dia memberi kabar bahwa dia tidak bisa menepati janji bertemu karena ada rapat mendadak dengan klien, aku tidak membalas lagi pesannya.

Naghara Prajuna

Ras, i'm so sorry. Gue bener-bener nggak tahu kalau rapatnya dimajuin, padahal gue pikir masih sempat ketemu lo dulu. Sekarang lo di mana? Gue baru aja selesai. Gue susul, ya?

Aku tidak tahu perasaanku saat membaca chat Juna, debar yang biasanya terselip hanya dengan membaca namanya mendadak memudar. Yang kulakukan hanya menarik napas dalam.

Jujur saja, aku kecewa. Seumur-umur aku dekat dengan lelaki, pantang bagiku dikecewakan dengan cara ingkar janji. Terlebih saat aku sudah berada di lokasi. Halo! Seorang Laras dikecewakan? Ini tamparan keras bagiku.

Aku mengangkat kepala sengaja mengulur waktu untuk membalas.

Otakku juga masih menimbang, apa aku harus menolak atau menerima. Karena jujur ... aku sangat berharap dapat bertemu dengan Juna hari ini, setelah hampir seminggu tidak bertemu dengannya. Juna itu sosok lelaki dewasa. Aku dapat menilainya dari sekali memandang, radarinsting perempuan mencari mangsaku sangat kuat.

Juna bukan lelaki yang selalu minta dihubungi, sekali pun dihubungi semua topik yang dibahasnya bermutu, bukan tipe abal-abal kayak cowok butuh belaian.

Dia membahas banyak hal yang kadang kupikir hanya bisa aku temukan pada film-film romansa ataupun novel yang pernah kutulis dan kubaca.

Saat kepalaku terangkat, mataku menangkap sebuah pigura foto yang ditaruh di atas meja. Pigura foto itu seolah-olah menjadi magnet yang membuatku mendekat dan meraihnya. Aku tertegun selama beberapa detik saat melihat diriku berada di dalam pigura foto itu.

Bukan. Ini bukan fotoku seorang. Gila saja kalau pigura itu hanya diriku seorang. Bisa kumaki habis-habisan Wira karena menyimpan fotoku.

Pigura foto itu adalah fotoku, Wira, juga teman-teman yang lain sebelum kami bagi rapor dan naik kelas dua belas. Foto studio yang kami lakukan sebagai cara wali kelas menghabiskan uang kas kelas kami.

Aku terpaku menatap foto kelas tersebut. Wira masih menyimpannya rapi, sedangkan aku sudah lupa—mungkin sudah kubuang saat bersih-bersih kamar. Dibandingkan menyimpan atau mengoleksi foto, aku lebih suka mengoleksi pakaian, sepatu, atau tas.

Di pigura foto itu, aku duduk tepat di sebelah Rani, teman sebangkuku yang sempat menjadi pacar Wira saat itu. Aku yang jadi mak comblang mereka, sedangkan tepat di tengah-tengahku dan Rani, ada Wira yang berdiri di belakang kami dengan senyum lebar yang tampaknya belum pernah kulihat lagi.

Wira yang sekarang sungguh berbeda, dibandingkan tersenyum lebar, dia lebih sering tersenyum meledek.

Lamunanku seolah-olah terbang pada kejadian saat foto ini berlangsung.

“Lo pulang sama siapa, Ras?” Rani melirikku yang sejak tadi hanya berdiri santai sambil minum Okky Jelly Drink yang baru saja aku beli dari tukang penjual minuman keliling. Sore itu, kami baru saja menyelesaikan foto studio bersama.

Aku menatap Rani. “Angkot, Ran. Mas Gatra mendadak ada tugas kuliah.” Kalau gitu, lo pulang bareng Wira aja.”

Lah, kok, gitu?” Aku berjengkit.

Rani cengar-cengir. “Gue dijemput ayah gue.”

Ah, ya! Aku ingat bahwa Rani ini adalah anak tunggal yang dua puluh empat jam dijaga ayahnya. Pacaran saja, Rani diam-diam kalau ketahuan pasti disuruh putus. Wira pernah curhat itu ke aku.

“Duh, Ran. Naik angkot aja, deh,” tolakku langsung. Aku memang dekat dengan Wira. Bahkan sebelum dekat dengan Rani, Wira lebih dekat denganku. Meskipun dibandingkan bicara baik-baik, kami lebih sering bertengkar dan ujung-ujungnya badan Wira habis kucubiti.

Rani merengut tidak terima. “Ayolah, Ras, nggak apa.”

“Nggak, ah.” Aku masih kukuh menolak. Pulang dengan Wira sama saja mendatangkan gosip miring bahwa aku adalah orang ketiga dalam hubungannya dan Rani.

Gini-gini, kadang manusia lebih suka menilai dari apa yang ia lihat. Bukan yang sebenarnya terjadi.

“Ayolah, Ras.”

"Nggak mau, Rani." Aku kembali menolak.

Saat perdebatan itu masih berlanjut, motor vespa Wira yang dinamainya dengan nama Dian. Yang katanya, terinspirasi dari bintang film melejit berkat perannya dalam film besutan Mira Lesmana, Ada Apa dengan Cinta.

“Cie, berdenging nih kuping gue! Tanda ada yang ngomongin. Ketahuan, ya, lo berdua ngomongin gue,” celetuk Wira yang baru saja menghentikan Dian-nya, tepat di hadapanku dan Rani.

“Gini, Wir. Laras pulang sama kamu, ya, Wir?”

Tanggapan Wira mirip dengan tanggapanku tadi.

“Hah? Kok, Laras, sih? Duh, itu banyak kali angkot-angkot. Laras nggak cocok duduk di atas Dian.”

Idih, kayak gue mau aja!” Aku menyahut. Dibandingkan membayangkan duduk boncengan di atas Dian dengan Wira yang mengemudikan, aku lebih suka duduk berhimpit-himpitan di angkot. Panas, bau, nggak masalah! Asal nggak sama Wira Sableng.

Rani mendesah. “Duh, kalian ini! Rumah kamu juga searah sama Laras,” bujuk Rani.

Mohon maaf, searah dari mananya, ya? Rumah aku arah Menteng, sedangkan Wira ... aduh, aku lupa lagi, nih curut tinggal di kolong jembatan mana, sih?

Gak ah, males,” tolak Wira.

Aku mendelik. “Siapa juga yang mau?”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah mobil sedan berhenti di pinggir trotoar. Mobil yang kuyakini adalah mobil milik ayah Rani.

Rani melirikku dan Wira bergantian, lantas dengan langkah terburu-buru dia bicara.“Wir, kalau kamu nggak pulang bareng Laras, serius aku ngambek, nih.” Rani lalu beralih kepadaku. “Dan, kamu, Ras. Kalau kamu nekat naik angkot, aku serius nggak akan nyontekin kamu ulangan Fisika lagi.”

Setengah berlari, Rani menuju mobilnya.

Aku yang masih setia memegang Okky Jelly Drink dan Wira yang masih dengan kedua tangannya yang memegang stang motor, kami menatap Rani yang baru saja melambaikan tangan dari dalam mobil. Tak lupa melempar pelototan galak sebagai tanda bahwa dia tidak main-main atas ucapannya.

Selepas mobil berlalu dari hadapanku dan Wira. Aku baru tersadar dan berdehem pelan.

“Omongan Rani nggak usah didengerin, gue naik angkot aja.”

“Ayo, naik.” Wira mengatakan itu tanpa menoleh kepadaku. Namun, tangannya mengambil helm dengan model tanpa kaca yang alih-alih mirip helm, itu lebih layak jika dijadikan topi tentara mau perang.

“Wir, lo serius amat, sih. Rani nggak bakal marah sama lo. Gue jamin.”

Aku kukuh menolak. Jujur saja, selama ini aku tidak pernah pulang diantar lelaki. Pacaran sih pacaran, tapi jelas karena durasi pacaranku yang selalu singkat, semua mantanku tidak pernah punya kesempatan mengantarku pulang. Tiga hari putus, seminggu putus. Paling lama, nih, tiga minggu. Itu pun sudah enek.

Melihatku tak kunjung mengambil tindakan. Wira memajukan tubuhnya, hingga kini berhadapan lurus denganku. Tanpa mengatakan apa pun dia memakaikan helm tentara itu kepadaku.

Selama itu, aku menahan napas. Baru bisa benar-benar bernapas dan mengambil jeda untuk meneguk air ludah setelah Wira memundurkan tubuhnya sambil membuang pandangannya dariku.

Ayo, buruan!”

Wira menatap lurus ke depan saat mengatakan itu.

Pada akhirnya, setelah membuang wadah Okky Jelly Drink yang sudah habis.

Aku naik ke atas motor Wira. Karena posisinya agak sulit, secara refleks tangankku berpegang pada pundaknya.

Wira membantuku dengan menahan tanganku yang ditaruh di pundaknya.

Setelah berhasil duduk sempurna di atas motornya, Wira berkata kepadaku. Kalimat yang mungkin akan terkenang selama hidupku.

“Makanya Dilaras Sekarayu, kalau cari pacar itu pakai perasaan. Bukan asal, tuh, cowok nembak aja terus lo terima. Ini nih salah satu akibatnya, pulang suatu kegiatan bukannya diantar pacar sendiri, malah diantar pacar teman.”

Aku mengulum senyum, entah karena ucapan Wira yang benar atau karena dua kata di belakang kalimatnya yang begitu menusuk ... pacar teman.

Aku menghela napas panjang. Wajah datarku menggiringi jemariku yang bergerak untuk membalas chat Juna tanpa membacanya terlebih dahulu.

Dilaras Sekarayu

Sorry, Jun, mungkin lain kali.

Aku tidak menyesal setelah berhasil menekan tanda kirim. Juga, tidak menyesal telah melewatkan kesempatan bertemu dengan Juna. Karena alih-alih menyesal otakku, malah memikirkan satu orang.

Satu pertanyaan muncul setelah itu. Kenapa sekarang dibandingkan bertemu dengan Juna, aku malah ingin bertemu dengannya?

Iya, dia, Wiradharma Davendra! Pacar temanku belasan tahun yang lalu.

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bagian Delapan (Dilaras Sekarayu)
7
0
Bagian ini gratis, tapi kamu damat mendukung dengen memberikan komentar dan vote. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan