Bab 6. Skenario Sinetron

31
1
Deskripsi

Kamu sering meminta maaf kepada orang lain, hanya untuk mempertahankan sebuah hubungan. Tapi, pernahkah kamu meminta maaf kepada dirimu sendiri?—Oriza Sativia.

Kehidupan adalah novel fiksi dengan plot twist di setiap bagian—Geofani Sandhya.

Langit biru terang adalah hal yang paling jarang untuk dilihat di Jakarta. Apalagi jika langit tersebut ditambah awan-awan yang bergerak seperti kapas. Rasanya, sesuatu yang sulit sekali untuk ditemui.

Dan memang, hari ini seperti Jakarta biasanya, langit nampak berwarna putih cenderung keabu-abuan. Bukan pertanda mendung, tapi memang begitulah sekiranya penampakan langit kota Jakarta. Sang ibukota yang selalu saja ramai.

"Makasih, Pak," ujar Riza sambil melangkah keluar dari mobil grab yang sudah membawanya dari rumah menuju sebuah café di daerah Kemang, Anomali.

Hari minggu ini, Riza ingin menghabiskan waktu dengan duduk membaca buku di tempat tersebut, salah satu hal yang sering ia lakukan semenjak Laras dan Alia sudah tidak ada lagi di Jakarta adalah duduk menyendiri di café. Apalagi, ditambah beberapa hari yang lalu abah memilih untuk balik ke Wonosobo dan Riza jadi sendirian di Jakarta.

Setelah membayar dan berjalan tertatih dengan bantuan tongkat, ingatan Riza jadi melayang ke tahun-tahun kemarin. Ketika masih ada Alia dan Laras, semuanya terasa sangat menyenangkan dan jujur ia sangat merindukan dua sahabatnya itu.

Benar-benar rindu.

Walaupun di antara mereka, Riza yang paling jarang bicara dan lebih suka mendengarkan. Sebenarnya, ia sangat sayang terhadap dua orang itu. Sang dokter yang penuh guyonan receh dan si dosen yang mulutnya lebih suka dibuat bicara hal-hal pedas.

Ketika memasuki café, aroma khas kopi yang menusuk memenuhi indra penciuman Riza. Ah, salah satu hal yang paling ia sukai adalah aroma seperti ini.

Riza tersenyum ketika ia dibantu pelayan perempuan untuk menuju tempat di bagian paling sudut, salah satu spot terbaik di Anomali.

Setelah memesan kopi Toraja hangat. Riza segera mengeluarkan bukunya untuk ia mulai membaca.

The Time Traveler's Wife, sebuah novel karya Audrey Niffenegger yang menceritakan kisah antara Clare dan Henry. Ini adalah kali kedua Riza membaca novel tersebut, karena rindu makanya ia baca ulang.

Riza terus hanyut dalam buku yang ia genggam. Bahkan pesanannya yang datang, baru ia sesap satu kali. Tak kala ia merasa beberapa orang berhenti tepat di dekat tempat duduknya, Riza sontak menoleh.

Wajah Riza berubah pias ketika melihat salah satu di antara tiga orang tersebut.

"Bel, bukannya ini perempuan yang sama laki lo?"

Jakarta memang sempit, tapi rasanya bertemu dengan perempuan yang selalu menjadi mimpi buruk Riza setiap hari, berada di daftar terakhir yang ingin Riza lakukan.

Riza mengatur napas berusaha tenang, manik matanya bertemu dengan Belinda yang sedang menatapnya dengan tampang datar.

"Bel," panggil temannya yang lain.

Belinda membuang napas legah. "Udah kita pergi aja dari sini," ajaknya.

Dua temannya yang sama sekali tidak Riza ketahui itu menahan Belinda yang sudah siap untuk memutar arah. Sedangkan Riza masih setia duduk di tempatnya, meskipun ada perasaan was-was yang menyergap di hatinya, bukan apa-apa, selama beberapa bulan ini ia sudah berusaha untuk tidak terlibat lagi ke dalam hubungan Belinda dan Bian.

"Kenapa sih lo masih hidup aja?" ujaran kebencian itu diucapkan oleh salah satu teman Belinda yang tadi pertama kali melihatnya.

Riza tidak mengubris, lagipula ia tidak mau bertengkar. Makanya karena takut urusan ini makin panjang, Riza bergegas memasukkan kembali bukunya ke dalam tas, mengambil tongkatnya, dan bersiap ingin pergi.

Riza tidak ingin, adegan perpeloncoan khas sinetron kembali terjadi di dalam hidupnya.

Cukup beberapa bulan yang lalu.

Masih berusaha tidak peduli, tongkat yang selalu membantu Riza sudah ia tegakkan dan Riza sudah siap berlalu dari tempat tersebut. Apalagi ketika melihat orang-orang yangberada di café mulai melihat ke arah mereka.

Dua langkah Riza melewati Belinda dan teman-temannya. Langkahnya langsung dihalangi oleh teman Belinda yang lain.

Riza punya stok sabar cukup banyak, jadi ia memilih untuk mengambil arah lain.

Baru saja ia berbalik, teman Belinda yang lain langsung menghalang langkahnya.

Riza membuang napas dan tetap berusaha untuk diam, ia berbalik arah lagi dan temanBelinda langsung memblokir jalannya. Begitu niat, hingga mereka benar-benar menghimpit Belinda.

"Kalian mau apa sih?" Riza bersuara, ia sama sekali tidak niat untuk mencari keributan. Di saat itu, matanya melirik Belinda yang hanya diam di tempat, tidak melakukan apapun selain mengawasi apa yang kedua temannya lakukan.

"Mau apa lo bilang?" sahut teman Belinda. "Lo nggak ingat sudah buat apa ke teman gue?"

Riza memejamkan mata sejenak, berusaha tenang.

"Gini nih kalau hidup jadi pelakor, udah ahil banget masang muka tembok," sembur yang lain. Dia bahkan menunjuk-nunjuk wajah Riza. "Masih untung ya, teman kita nggak perpanjang urusan dan lo masih bisa hidup tenang."

"Tenang?" Riza mendecih di dalam hati. Sejak kapan hidupnya tenang?

"Gue nggak ada urusan lagi sama kalian, jadi gue mohon, kalian minggir," kata Riza tegas. Ia kembali melirik Belinda yang masih tetap diam.

Salah satu teman Belinda mendengus, tangannya mengambil gelas kopi Toraja yang baru diminum Riza secuil. Dan tanpa menunggu, isi gelas kopi itu langsung teman Belinda tumpahkan tepat di atas kepala Riza.

Riza terpaku, tubuhnya mematung tidak berbuat apa-apa.

"Lo beruntung karena yang lo hadapi adalah Belinda. Dia cukup baik buat ngelepasin lo, tapi jelas ... lo nggak akan bisa lepas dari kita," ujar teman Belinda lainnya.

Riza sama sekali tidak peduli siapa dua orang itu, yang ingin Riza lakukan sekarang hanyalah segera pergi dari tempat itu. Ia tidak ingin adegan sinetron murahan seperti ini terus menerus diperpanjang, ia benar-benar menyumpah serapah nasibnya siang ini.

Dengan wajah yang sudah basah dan lengket, Riza berjalan meninggalkan Belinda dan kedua temannya yang masih kurang puas dengan apa yang mereka lakukan.

Sesaat sebelum Riza pergi, ia menahan langkahnya tepat di sebelah Belinda. Riza menoleh ke arah Belinda yang sedang menatap lurus ke depan.

"Lakuin apapun yang pengin lo lakuin, Mbak. Asal itu bikin lo senang," kata Riza sebelum berlalu.

Jujur, Riza sangat malu karena kita hampir semua orang di café sedang menatap ke arahnya. Dari semua tatapan itu, Riza dapat memilah bahwa hampir sebagian orang menatapnya jijik—mungkin dikarenakan ucapan teman Belinda yang mengatakan bahwa dia adalah perusak rumah tangga orang, sebagian lagi menatapnya iba, dan sisanya terlihat kurang puas... mungkin mereka adalah bagian dari orang-orang yang suka akan keributan.

Riza berlalu.

-Happy Medium-

Geo : Iya sabar, bentar lagi gue nyampe kok. Ini udah di depan.

Pandangan Geo menunduk ke arah layar handphone, masih fokus membalas pesan dari orang yang sedang menunggunya di tempat janjian.

Hingga saking fokusnya, tubuh Geo menabrak sesuatu yang membuatnya langsung menegok.

Untuk sekian detik, manik mata Geo terpaku. Tak lama setelah sadar, Geo mengumpat pelan, 
"Oh shit, Jakarta memang benaran harus segera pindah ibukota. Masa dikit-dikit ketemu mulu."

Ya tepat di hadapan Geo, orang yang baru saja ia tabrak adalah orang yang sama dengan yang pernah beradu debat dengannya di Muara Angke.

Pandangan kaget juga terlihat dari wajah perempuan yang berada di hadapan Geo tersebut. Ia mengerjap dua kali untuk memastikan bahwa untuk kali ketiga, mereka bertemu lagi.

Riza ikut mengumpat kesialannya hari ini.

Geo bicara duluan, "Pertama kali, lo basah kuyup gara-gara kehujanan. Kedua kali, lo basah kuyup gara-gara jatuh kecemplung. Kali ketiga ketemu, lo basah lagi ... dan yang ini bukan gara-gara gue ya."

Riza tidak membalas, ia ingin segera berlalu dari lelaki di hadapanya ini.

Terakhir mereka bertemu, mereka habiskan dengan berdebat. Tapi untuk kali ini, Riza sedang malas untuk adu mulut. Apalagi dengan penampilan seperti ini.

"Lo aquarius ya? Atau turunan mermaid, sampe tiap kali ketemu pasti basah mulu kayak gini," kata Geo lagi.

Riza masih belum bicara. Ia malah mulai melangkah sambil mengambil handphone-nya di dalam tas. Mood-nya hari ini sudah sangat buruk, cukup baginya untuk menjalani kehidupan sinetron seperti sekarang.

"Eh Mbak," panggil Geo.

Riza tidak peduli. Kali ini, langkahnya yang dibantu tongkat bergerak untuk segera keluar dari café. Ia ingin segera pulang, rencananya hari mendadak buyar semua.

"Hei." Geo memanggil lagi.

Namun Riza tidak mengubris dan terus melangkah dengan gerakan cepat, sampai di depan café, seolah ditakdirkan untuk tidak terlibat urusan panjang dengan lelaki yang selalu saja berada dalam moment sialnya itu, sebuah taksi melaju.

Riza segera menyetop taksi tersebut, masuk ke dalamnya. Dan mengembuskan napas legah.

Ia benci hari ini.

Sedangkan Geo yang kehilangan jejak Riza, menatap berlalunya taksi tersebut dengan pandangan heran. Ya, dia tahu sih kalau perempuan itu tidak menyukainya, tapi tidak perlulah sampai langsung ngibrit seperti sedang melihat hantu.

Toh Geo memanggil karena bermaksud baik.

"Niat gue kan cuma balikin dompet dia," kata Geo, pandangannya turun ke arah dompet bewarna hitam yang sedang ia genggam. Dompet itu tidak sengaja jatuh dari tas perempuan air itu. Karena Geo tadi sempat membalas chat di handphone-nya, ia jadi terlambat untuk mengejar perempuan itu.

Geo mengembuskan napas pelan. Bersamaan dengan itu, handphone-nya berdering yang langsung diangkat oleh Geo.

"Iya-iya bentar udah di depan, cerewet amat sih. Mentang-mentang udah tua," sambut Geo segera.

-Happy Medium-

"Oriza Sativia."

Nama itu kembali disebut oleh Geo setelah ia membuka dompet tersebut. Selain duit sekitar tiga ratus ribuan, tampaknya dompet tersebut berisi banyak kartu penting milik perempuan dengan nama mirip nama latin Padi.

KTP, tiga buah kartu debit, SIM, STNK, NPWP, banyaklah pokoknya.

"Cuma beda dua tahun, lebay banget minta dipanggil Mbak," ujar Geo sambil menatap foto di KTP yang sedang ia pegang tersebut.

Sebenarnya Geo sudah penasaran sejak tadi semenjak menemukan dompet tersebut, tapi sayangnya dompet itu baru ia geledah setelah pulang ke rumah.

"Balikin nggak ... balikin nggak ... balikin nggak." Geo terus menimbang, harus ia apakan dompet tersebut.

Sebenarnya, Geo tadi sudah berminat untuk menitipkan saja dompet itu di café. Cuma entah mengapa ada bisikan lain yang mengatakan bahwa ia saja yang pegang dompet itu, alhasil dompet itu masih dibawa Geo sampai pulang ke rumah.

Geo sudah selesai menggeledah isi dompet tersebut, katakanlah ia kepo. Tapi jujur, ia tidak tahu apa-apa mengenai si pemilik dompet, jadi gimana tindakan dia selanjutnya kalau ia saja tidak tahu perempuan itu siapa. Makanya, dia inisiatif membedah isi dompet tersebut.

"Kementerian kelautan dan perikanan," baca Geo.

Tangannya menaikkan lagi kartu tanda pengenal yang ia temukan di dompet Oriza-Oriza itu Geo baru tahu bahwa perempuan itu bekerja di sana.

"Ada dua opsi cara balikin nih dompet, pertama ke rumah dia, kedua ke kantor dia." Geo menimbang sendiri. "Mendingan mana ya?"

Geo tidak tahu apa yang sekarang sedang merasuki dirinya, kenapa mendadak ia ingin lagi bertemu dengan Oriza. Mengingat sudah tiga kali mereka tidak sengaja bertemu dan kali ini malah pakai adegan dompet tertinggal.

"Sinteron banget sih hidup gue," ketus Geo. Lantas, ia membereskan dompet tersebut. Meskipun matanya sekali lagi melirik foto Oriza yang terpampang di id card. Dengan baju batik, rambut yang digerai, perempuan itu dibidik kamera dengan senyum tipis. Untuk sekian menit, Geo bertahan memandangnya.

"Mbak Oriza ya, menarik."

Geo masih memusatkan pikirannya pada tiga kejadian yang mempertemukannya dengan Oriza.

Saat pikirannya masih di sana, pintu kamarnya diketuk dua kali. Belum juga Geo menjawab, pintu tersebut dibuka sedikit, seorang perempuan menyembul dari balik sana.

"Geo Oppa, kok lama banget sih. Kita jadikan makan malamnya?"

Geo langsung menyembunyikan dompet itu dibalik bantalnya, ia bergegas bangkit dan tersenyum lebar kepada perempuan itu.

"Jadi kok, ayo-ayo," sambut Geo.

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 7. Datang dan Datang lagi
31
0
Ada yang selalu mengusik, sekalipun aku tidak pernah berusaha untuk mengusiknya ... masa lalu —Oriza Sativia.Beberapa harapan yang kita buat sengaja Tuhan patahkan, bukan tanpa sebab, semua itu dilakukan agar kita berhenti untuk terus memaksakan—Geofani Sandaya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan