Scandal With You (Bab 57, 58)

9
1
Deskripsi

Selamat membaca dan semoga suka 

Bab 57

"Selena?" Gumam Runa pelan setelah berhasil menemukan kembali kata-katanya.  

Ia masih terpaku di tempatnya berdiri sambil terus memperhatikan Selena. Tiba-tiba otaknya menjadi kosong, Runa berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sekarang. Hingga lamunannya buyar, saat mendengar suara yang cukup keras berasal dari Vina. 

"Mau apa lo kesini?" tanya Vina tanpa basa-basi, ia sudah tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya setiap melihat Selena.

"Vin." Runa menahan lengan Vina sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau Vina berbuat kasar kepada Selena, apalagi melihat keadaan Selena yang cukup kacau. Sebagian hati kecil Runa merasa tidak tega.

"Ada apa Sel kamu kesini?" tanya Runa kepada Selena.

Selena lalu berdiri dan berjalan kearah Runa.

"Dimana Arkan?" tanya Selena sambil menahan tangis. Runa bisa melihat kesedihan yang terpancar dari mata Selena.

Runa menghela napasnya pelan untuk membuang rasa gelisah di hatinya.

"Arkan kerja sekarang, ada urusan apa kamu cari dia. Kalau ada yang mau kamu sampaikan, bilang aja sama aku." Sahut Runa.

"Aku kesini, mau meminta pertanggung jawaban dari Arkan." Dengan leher tercekat, Selena menjelaskan maksud kedatangannya kemari. 

Runa mengernyitkan dahinya bingung, "Pertanggung jawaban? Pertanggung jawaban apa yang kamu maksud?"

Selena membuka tasnya dengan cepat untuk mencari sesuatu, begitu mendapatkan apa yang ia mau. Ia langsung melemparkannya kearah Runa.

Runa terlonjak kaget saat sesuatu mengenai bahunya. Ia berjongkok untuk mengambil benda yang Selena lempar tadi. Runa memperhatikan benda pipih itu dengan seksama. Bukankah ini testpack?

"Kamu hamil?" tanya Runa dengan terbata saat melihat dua garis di testpack yang Selena lempar.

"Aku hamil anak Arkan." Selena menekankan setiap kata yang ia ucapkan, dengan air mata yang sudah turun membasahi pipinya.

Bukannya kaget, Runa malah tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Kamu mabuk ya? Atau sedang bermimpi sekarang? Bangun Sel, sekarang udah siang." Runa mengembalikan testpack-nya lagi ke tangan Selena.

Bukannya menerima testpack dari tangan Runa, Selena malah tertunduk sambil menangis.

Runa menatap Vina untuk bertanya keadaan Selena, tapi Vina juga tidak tahu. Ia hanya bisa mengedikkan bahunya sebagi jawaban.

"Sel." Panggil Runa pelan karena mulai khawatir.

Melihat Selena sekarang, membuat Runa jadi meragukan kebohongan Selena meskipun sangat mustahil.

"Kamu beneran hamil?" tanya Runa sepelan mungkin.

"Untuk apa aku berbohong?" Selena mendongakkan wajahnya agar bisa melihat Runa.

"Jangan percaya Run, Selena mulai nggak waras sekarang. Kita masuk aja ya." Vina memegang bahu Runa dan mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah, tapi Runa menahannya. Ia masih belum selesai bicara dengan Selena.

"Bentar Vin." Tolak Runa.

Vina menghela napasnya kasar, sudah tidak bisa lagi bersabar dengan Selena.

"Lo mending sekarang pulang, karena gue nggak percaya sama semua omongan lo." Vina mendekat kearah Selena dan menarik tangannya agar segera pergi dari sini.

"Gue yakin respon kalian akan seperti ini, sekalipun gue udah bicara yang sebenarnya." Selena langsung menghempaskan tangan Vina dengan kasar.

"Kebenaran? Lo berani testpack sekarang?" Tantang Vina.

"Untuk ke dokter kandungan pun gue juga berani," jawab Selena dengan yakin.

Kepala Runa menjadi pening mendengar perdebataan Vina dan Selena yang tidak menemukan ujungnya.

"Gini ya Sel, kalau kamu hamil itu mungkin saja. Aku nggak pernah tahu kehidupan kamu dan aku juga nggak peduli sebenarnya. Tapi Arkan? Bagaimana bisa kamu bilang itu anak Arkan?" Runa mulai memakai logikanya kali ini. Menurutnya apa yang dikatakan Selena tidak mungkin terjadi.

"Jogja."

Hanya mendengar nama kota itu disebut Runa langsung terpaku, tiba-tiba saja dadanya berdetak dua kali lebih cepat.

Selena tersenyum remeh, "Aku rasa kamu ingat."

"Tahu kenapa Arkan pulang telat dari apa yang ia janjikan?" tanya Selena.

Melihat Runa hanya diam, Selena pun melanjutkan.

"Karena aku adalah alasan Arkan pulang terlambat saat itu. Kita mabuk dan bermalam bersama di kamar hotel."

Runa langsung mencari pegangan untuk menopang tubuhnya. Kepalanya rasanya ingin pecah. Kejadian sebulan lalu seperti berputar di otaknya. Jadi ini alasan Arkan pulang terlambat pada saat itu. Dan hal ini juga jawaban dari sikap aneh yang Arkan tunjukkan belakangan ini. Kenapa pria itu tidak pernah cerita jika bertemu Selena saat di Jogja. Baru memikirkannya saja dada Runa sudah terasa sesak sekarang.

***

Runa hanya bisa memperhatikan Vina dan Selena yang ada di hadapannya. Berkali-kali  memikirkannya, Runa tetap merasa apa yang dikatakan Selena tidak mungkin.

Tapi ada satu hal yang mengganjal, yaitu Selena tahu kepergian Arkan ke Jogja. Bagaimana bisa perempuan itu tahu dengan detail, sedangkan Runa tidak pernah membicarakannya di manapun termasuk di media sosialnya. 

Untuk memastikannya, Runa tidak mau buru-buru menghubungi Arkan. Ia ingin memastikan kehamilan Selena terlebih dahulu, ia sampai meminta Vina untuk membelikan testpack di apotek. 

"Siniin tas lo. Gue udah beli banyak testpack, lo coba semua." Vina mengambil tas Selena terlebih dahulu lalu menyerahkan bungkusan testpack di tangannya. 

Tanpa banyak kata, Selena mengambil apa yang Vina beri. Ia langsung masuk kedalam kamar mandi tamu yang tidak begitu jauh dari tempat Runa duduk di meja makan. 

"Lo nggak usah terlalu memikirkan hal ini ya." Vina berdiri di samping Runa dan mengusap punggung tangannya untuk menenangkan sahabatnya itu. 

Tapi Runa masih tidak bisa tenang, sebelum tahu hasilnya. Ia hanya bisa berharap, semoga semua ini bukanlah kenyataan. 

Setelah menunggu hampir lima belas menit, Runa melihat Selena keluar dari kamar mandi. Vina pun berjalan medekatinya dan mengambil testpack yang Selena pegang. 

Runa bisa melihat wajah terkejut Vina, lalu dengan perlahan Vina melihat kearahnya dengan wajah pucat. Tanpa bertanya pun, Runa sudah tahu jawabannya. Ia segera berdiri untuk menuju kamar. 

"Run, mau kemana?" 

Panggilan dari Vina ia abaikan, Runa sudah tidak bisa berpikir jernih sekarang. Hanya satu yang ingin ia lakukan, yaitu menghubungi Arkan. 

Runa mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Ia segera mencari nama Arkan dan menghubunginya. Runa menghela napasnya panjang sebelum menempelkan ponselnya ke telinga.

Tak menunggu waktu lama, panggilannya langsung diangkat oleh Arkan. 

"Ya sayang? Kamu udah selesai makan buburnya?" 

Tanpa menjawab basa-basi dari Arkan, Runa langsung berkata...

"Ada Selena di rumah." 

Hening. 

Seketika suasana menjadi hening. Baik Arkan dan Runa tidak ada yang membuka suara sama sekali. Runa begitu gugup menunggu respon Arkan. 

"Aku pulang sekarang." 

Runa menatap ponselnya tidak percaya setelah panggilannya diputus begitu saja oleh Arkan. Ia tersenyum pilu. Bahkan Arkan tidak terlihat kaget, pria itu seperti tahu jika hal ini akan terjadi. 

Runa membanting ponselnya dengan asal di ranjang, ia lalu mendudukkan dirinya di sana. Runa menutupi wajahnya dengan kedua tangan. 

Runa merasakan rasa sesak dan sakit di dadanya yang begitu hebat. Saking sakitnya, Runa sampai tidak bisa menangis. Ia memukul-mukul dadanya sedikit keras untuk menghilangkan rasa sesak sambil berharap agar Arkan segera datang. 

Tuhan apa yang sudah terjadi? 

***

Runa langsung mengangkat wajahnya begitu mendengar suara pagar terbuka dan mobil yang memasuki halaman rumah. Dengan cepat Runa berdiri untuk menyambut kedatangan Arkan, begitu pula dengan Arkan yang secepat kilat turun dari mobil. 

Entah kenapa baru melihat wajah Arkan, Runa sudah ingin menangis. Ia ingin menumpahkan semuanya kepada Arkan agar perasaannya bisa sedikit membaik. 

"Run, kamu gapapa kan?" tanya Arkan saat sudah berdiri di depan Runa. Arkan memegang pundak Runa dan menatap wajah wanita itu dengan lekat karena begitu khawatir. 

Runa merasakan tenggorokannya tercekat, ia tidak bisa membuka mulutnya untuk mengatakan apapun. 

"Run, kamu gapapa?" tanya Arkan sekali lagi. 

"Arkan," panggil Runa akhirnya setelah berhasil mengumpulkan semua kekuatannya. Ia merasa pandangannya sudah kabur karena air mata yang menggenang di pelupuk matanya. 

"Ya sayang? Kamu gapapa kan?" Arkan benar-benar tidak bisa melihat kondisi Runa seperti ini. 

"Apa yang Selena bilang salah kan? Semuanya bohong kan?" Satu air mata menetes di pipi Runa. Dengan cepat Arkan menghapus air mata itu. 

"Kita masuk ya. Aku jelasin semuanya ke kamu." Arkan menarik tubuh Runa untuk masuk. Tapi Runa menolak, ia hanya mau Arkan bilang jika ini semua hanya salah paham.

"Please, bilang sama aku kalau ini semua nggak bener. Bilang sekarang Arkan." Runa mencengkram jas Arkan meminta pria itu segera menjawabnya. 

"Run, kita masuk dulu sekarang." 

Runa menggelengkan kepalanya, air matanya sudah keluar dengan deras tanpa bisa ia cegah. 

"Jawab dulu pertanyaan aku. Bilang kalau semua ini salah." Runa sampai mengguncang tubuh Arkan dengan kencang untuk meminta jawaban. Tapi yang dilakukan Arkan hanya diam sambil terus menatap Runa. 

"Selena bilang kalian mabuk saat di Jogja lalu kalian bermalam bersama, itu bohong kan?" tanya Runa dengan terbata-bata karena menangis. 

"Dia tadi datang sambil bawa testpack dan bilang kalau sedang hamil anak kamu, Selena bohong kan?" tanya Runa lagi. 

Arkan merasa jantungnya berhenti berdetak sekarang. Ia begitu terkejut mendengar ucapan Runa. Apa benar ketakutannya selama ini akhirnya terjadi? Mimpi buruk yang selalu ia takutkan akhirnya datang juga? 

Arkan tidak tahu harus berbuat apa sekarang, ia hanya bisa terpaku setelah mendengar ucapan Runa. 

"JAWAB ARKAN!" 

Arkan kembali tersadar saat mendengar teriakan Runa, wanita itu sudah histeris sekarang. 

"Bilang kalau ini semua salah. Selena nggak mungkin hamil anak kamu kan? Dia nggak bermalam di Jogja sama kamu kan?" Mohon Runa masih memegang jas Arkan. 

Arkan hanya diam menatap Runa yang sudah menangis sesegukan. Wajah wanita itu sudah merah padam sekarang. 

"ARKAN! JAWAB AKU!" Teriak Runa karena tidak puas melihat respon Arkan. 

Arkan memejamkan matanya, sebelum kembali menatap Runa dan berbisik pelan. 

"Maafkan aku Run." 

"Apa?" tanya Runa, ia takut jika salah dengar. 

"Maafin aku." Ulang Arkan sambil menundukkan wajahnya penuh penyesalan. 

Runa langsung melepaskan cengkramannya di jas Arkan. Ia mundur selangkah untuk menjauh dari pria itu. 

Tangisnya yang sekuat tenaga ia tahan akhirnya pecah juga. Runa menangis dengan sangat keras, siapa pun yang mendengarnya pasti bisa merasakan bagaimana sakit yang Runa rasakan sekarang. 

Runa terduduk di lantai karena tak kuat menopang tubuhnya. Harapannya pupus sudah. Ia sangat berharap Arkan akan membantah semua ucapannya tadi, pria itu juga akan memeluknya dan menenangkannya sambil berkata jika semua ini salah. 

Tapi nyatanya bukan itu yang Runa dapat. Ia malah mendengar kata maaf keluar dari mulut Arkan dengan wajah penuh penyesalan. Bukankah artinya Arkan mengakui itu semua? Semua yang dikatakan Selena memang benar terjadi?

Runa menahan isakannya agar tidak semakin keras. Ia lalu menatap Arkan dan mengatakan hal yang sangat menyakitkan untuk dirinya. 

"Bagaimana bisa kamu menghamili perempuan lain, di saat istrimu sendiri sedang hamil?" 

***

Bab 58

Runa mengerjap-ngerjapkan matanya sebentar sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Pandangannya langsung tertuju pada langit-langit kamar. Mengapa ia bisa disini? Apakah yang ia alami tadi hanya mimpi buruk?

"Kamu udah bangun sayang?"

Runa melirik Arkan yang berjalan mendekatinya. Sepertinya ini semua bukan mimpi. Terbukti, ia yang merasakan kembali nyeri di hatinya begitu melihat wajah Arkan. Bahkan ia juga merasa jijik saat mendengar Arkan memanggilnya sayang. Jika biasanya ia merasa senang dan berdebar saat mendengar panggilan itu, tapi tidak dengan kali ini. Semuanya sudah berbeda sekarang.

Runa jadi ingat kenapa ia bisa berakhir di sini. Ternyata ia tadi sempat pingsan setelah menangis cukup lama dan puas memaki-maki Arkan.

Runa perlahan mencoba bangun dari posisi tidurnya. Ia sudah tidak mau lagi berada di kamar ini berdua dengan Arkan. Atau lebih tepatnya ia sudah tidak mau tinggal dengan pria itu.

"Kamu mau kemana Run? Kamu baru aja bangun lho." Arkan memegang lengan Runa untuk membantunya bangun, tapi Runa langsung menepisnya. Arkan yang tahu itu berusaha sabar, ia hanya bisa menuruti kemauan Runa.

"Minum dulu ya, kamu banyak menangis tadi. Nanti kamu bisa dehidrasi." Arkan menyodorkan segelas air kearah Runa.

Runa mendekatkan tangannya kearah gelas itu. Tapi bukannya mengambil ia malah menepisnya dengan kasar dan...

Prang!!

Gelas itu jatuh ke lantai dan pecah menjadi berkeping-keping. Suara pecahannya terdengar begitu keras dan memekakkan telinga.

Arkan hanya bisa melongo melihat kejadian itu, ia tidak menyangka Runa akan melakukan ini.

"Run." Panggil Arkan pelan sambil menatap Runa tidak percaya.

Tapi Runa sudah benar-benar tidak peduli. Dengan susah payah, ia turun dari ranjang dan berjalan kearah pintu kamar.

"Kamu mau kemana?" tanya Arkan memegang lengan Runa.

Runa hanya menatap lengannya yang di pegang oleh Arkan dengan tajam. Tahu apa arti tatapan Runa, Arkan akhirnya menyerah. Ia melepaskan cekalannya sambil mengangkat kedua tangan.

"Okay, aku nggak akan sentuh kamu lagi..." Belum selesai Arkan bicara, Runa lebih dulu menyelanya.

"Bagus, kalau kamu sadar diri. Aku nggak sudi kamu sentuh-sentuh lagi," ujar Runa sambil melihat kearah lain ia tidak mau menatap wajah Arkan.

Arkan menghela napasnya pelan, sulit bicara dengan Runa sekarang mengingat Runa yang masih marah dengannya.

"Kamu mau kemana?" tanya Arkan lagi.

"Bukan urusan kamu, minggir!" Runa meminta Arkan agar tidak menghalangi jalannya yang ingin keluar dari kamar.

"Aku nggak akan pergi sebelum kamu jawab pertanyaanku."

Runa memejamkan matanya sejenak. Kepalanya yang sudah pusing kini bertambah berat karena harus berdebat dengan Arkan.

"Apa menurutmu aku masih bisa tinggal dengan suami yang tega mengkhianati aku?" tanya Runa dengan berani sambil menunjukkan kilatan marah di matanya.

"Run aku..."

"Minggir!" ujar Runa, ia sudah malas berdebat dengan Arkan. Ia bahkan tidak mau mendengarkan penjelasan pria itu karena semua sudah jelas menurutnya.

"Kalau kamu nggak mau dengerin penjelasan aku sekarang, gapapa Run. Tapi aku mohon jangan pergi dari sini, apalagi dengan kondisi kamu yang sedang hamil. Kalau kamu nggak mau tinggal sama aku, biar aku yang keluar dari rumah ini." Tegas Arkan.

Runa kembali mengalihkan pandangannya, sama sekali tidak mau menatap Arkan.

Melihat Runa diam saja, Arkan menganggap wanita itu setuju dengan ucapannya. Dengan perlahan, ia mendekat kearah Runa, ingin mencium kening wanita itu. Tapi Runa sengaja mundur selangkah untuk menghindari Arkan. Arkan tentu saja kecewa, tapi rasanya ia memang pantas mendapatkannya. Sebagai gantinya, ia hanya mengusap rambut Runa sambil berkata.

"Aku panggil Vina untuk temani kamu."

Setelah mendengar pintu tertutup, Runa langsung mendudukkan tubuhnya di sofa. Ia menyandarkan kepalanya sambil mengusap air matanya yang sudah menetes. Lagi-lagi ia menangis. Runa sudah tidak tahu bagaimana harus menjalani hidup kedepannya. 

***

"Run makan dulu yuk." Entah sudah berapa kali Vina berusaha membujuk Runa untuk makan. Tapi yang dilakukan sahabatnya itu hanya menangis sambil berbaring di ranjang. 

"Gue tahu lo sedih, tapi inget ada bayi di perut lo yang harus lo perhatiin juga. Lo nggak mau kan dia kenapa-napa?" Bujuk Vina sekali lagi. 

"Gimana gue nggak sedih kalau Arkan tega melakukan itu ke gue," ujar Runa lirih. 

Vina berusaha mencerna ucapan Runa karena tidak begitu jelas mendengarnya, mengingat Runa menutupi wajahnya dengan guling. 

Runa akhirnya menyingkirkan guling yang menutupi wajahnya. Dan terlihatlah wajah sembab Runa dengan air mata yang belum mengering di pipinya. Keadaannya begitu kacau sekarang. 

"Nggak ada berita aneh-aneh di media?" tanya Runa sambil mengusap wajahnya, rasanya ia sudah lelah menangis. 

"Sejauh ini belum ada." 

Runa menggigit bibirnya, ia penasaran akan satu hal. 

"Arkan mana? Dia nggak cerita apa-apa ke lo?" Runa memberanikan diri untuk bertanya. 

Vina menghela napasnya kasar, sejujurnya ia juga kecewa dengan Arkan sekarang. 

"Dia pergi setelah nitipin lo ke gue. Waktu gue tanya apa yang sebenarnya terjadi, dia cuma minta maaf." 

Runa merasakan dadanya semakin sesak mendengar itu. Rasa kecewanya terhadap Arkan semakin terasa sekarang. 

"Kalau minta maaf, itu berarti semuanya benar kan?" Lirih Runa lebih kepada dirinya sendiri. Yang paling mengganggunya adalah kehamilan Selena, bagaimana cara Arkan bertanggung jawab soal itu? Haruskah mereka....

Runa langsung menggelengkan kepalanya, baru membayangkannya saja ia sudah tidak sanggup.

"Run, apapun yang terjadi sekarang. Lo harus tetap fokus sama bayi di kandungan lo. Sebesar apapun masalahnya, pasti nanti ada jalan keluarnya." 

Runa melirik perutnya yang terlihat sedikit membuncit. Ia mengusapnya pelan untuk memberikan kekuatan tersendiri untuknya. Satu-satunya hal yang masih membuat Runa bertahan adalah bayinya. Jika hubungannya dengan Arkan berakhir, ia masih mempunyai bayi dalam kandungannya sebagai salah satu harapan terakhirnya. 

***

Runa baru keluar kamar keesokan harinya, saat hari sudah hampir sore. Lidahnya terasa pahit, ia ingin memakan yoghurt yang mungkin akan terasa menyegarkan. 

Vina sedang mandi sekarang. Jika tidak, Runa yakin sahabatnya itu yang akan mengambilkan apa yang ia mau. Tapi Runa tidak mau merepotkannya, Vina sudah sangat sabar mengurusnya dari kemarin. 

Runa melihat isi kulkas cukup lama, ia bingung ingin memakan yoghurt rasa apa. 

Mendapat pelukan secara tiba-tiba di pinggangnya membuat Runa terpaku. Ia sudah tahu siapa pelakunya meskipun tidak melihatnya. Dari aroma tubuhnya sudah tercium jika orang itu adalah Arkan. 

"I miss you." Bisik Arkan pelan sambil menghirup rambut Runa dalam-dalam. 

Bukannya senang, Runa malah kembali merasakan sesak. Dengan cepat, ia memberontak agar Arkan melepaskan pelukannya.

"Sebentar aja." Mohon Arkan. 

Tapi tidak berhasil, Runa terus menggerakkan tubuhnya menolak pelukan Arkan. 

Ia membalikkan badan untuk menatap Arkan dengan tajam. Berbanding terbalik dengan tatapan Arkan yang terlihat sayu. Sangat terlihat jika pria itu kelelahan dan kurang tidur. 

"Run." Panggil Arkan pelan. 

Runa kembali membalikkan badan untuk meneruskan apa yang ia lakukan tadi. Setelah mendapat yoghurt yang ia mau, Runa langsung berbalik. Ia ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Arkan. 

Saat melewati Arkan, lengannya langsung di tahan oleh pria itu. 

"Kamu boleh marah sama aku. Tapi, kamu jangan pernah tinggalin aku ya. Aku janji akan menyelesaikan semuanya secepat mungkin." Mohon Arkan. 

"Bagaimana cara kamu menyelesaikannya, jika permasalahannya sudah serunyam ini?" tanya Runa. 

"Aku akan melakukan apapun Run, agar kita bisa kembali seperti dulu lagi." Janji Arkan. 

Runa menatap Arkan dengan menyelidik. 

"Apapun?" tanya Runa untuk mastikan. 

"Lalu bagaimana nasib anak kamu yang ada di perut Selena? Apa jangan-jangan.." Membayangkannya saja sudah membuat Runa bergidik ngeri. 

"Demi Tuhan Arkan, bayi itu sama sekali nggak bersalah. Dia ada karena ulah bejat kamu." Runa sudah meninggikan nada suaranya. 

"Terus aku harus gimana Run? Aku cinta sama kamu dan aku nggak mau pisah sama kamu. Apa kamu memang sangat ingin pisah sama aku. Lalu aku akan tanggung jawab dengan Selena?" 

Plakk! 

Runa menampar pipi Arkan dengan sangat keras. Di matanya sekarang, Arkan jauh lebih brengsek. Ia tidak menyangka pria itu akan memikirkan hal keji seperti itu. 

"Run." Arkan memegang pipinya dengan tidak percaya. Ini kedua kalinya, Runa menamparnya. Tamparan Runa dulu tidak begitu terasa. Tapi kali ini Arkan merasakan pipinya memanas, tamparan Runa benar-benar keras kali ini. 

"Kamu pantas mendapatkan ini sejak kemarin asal kamu tahu," jawab Runa dengan tenggorokan tercekat. Wajahnya sudah memerah menahan tangis, bahkan urat di lehernya sampai terlihat karena Runa sekuat tenaga menahan marahnya. 

"Dan satu lagi, kalau kamu cinta sama aku dan nggak mau pisah sama aku seperti apa yang kamu bilang. Seharusnya, kamu nggak melakukan itu saat di Jogja kemarin." 

Setelah mengatakan itu, Runa langsung berlalu dari hadapan Arkan. Ia mengusap pipinya dengan kasar karena lagi-lagi air mata sialan itu turun tanpa bisa Runa cegah. 

Panggilan dari Arkan pun sudah tidak ia hiraukan lagi. Yang ingin ia lakukan sekarang hanya mengunci diri di kamar dan menangis sejadi-jadinya. 

Lagi-lagi Arkan membuatnya menangis. Entah sampai kapan Runa bisa bertahan dengan keadaan seperti ini. Tidak menutup kemungkinan, Arkan akan terus menyakitinya lagi kedepannya. 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Scandal With You (Bab 59, 60)
9
0
Selamat membaca dan semoga suka ๐Ÿ–ค
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan