Scandal With You (Bab 47, 48)

10
0
Deskripsi

Selamat membaca dan semoga suka 🖤

Bab 47

Runa berdiri di depan teras rumah. Ia sedang menyambut kedatangan Mama mertuanya. Sesuai janjinya kemarin, Mama Leni akan berkunjung ke rumah hari ini. Runa cukup senang bisa bertemu dengan Mama mertuanya, hal itu bisa sedikit melupakan rasa sedihnya akibat permasalahannya dengan Arkan.

"Mama," panggil Runa saat melihat Mama Leni berjalan menghampirinya. 

"Runa kangen sama Mama." Runa memeluk Mama Leni sedikit erat. Mama Leni pun membalas pelukannya sambil memberikan usapan di punggungnya.

Memiliki mertua sebaik ini membuat Runa sangat bersyukur. Ketakutannya akan mertua jahat tidak terjadi karena Mama Leni sangat baik. Bahkan Mamanya sendiri pun tidak sebaik ini kepadanya.

"Kamu jangan terlalu sibuk makanya, biar kita bisa sering-sering keluar untuk belanja atau cuma sekedar bersantai di cafe."

Runa tertawa mendengar ucapan Mama Leni yang cukup gaul, jiwanya memang masih seperti anak muda.

"Iya, kalau Runa udah nggak sibuk nanti kita jalan ya Ma." Runa melepaskan pelukannya agar bisa menatap Mama Leni.

"Awas ya kalau bohong," ujar Leni bersungguh-sungguh.

"Iya Mam." Janji Runa.

"Kamu habis pulang kerja ya ini?" tanya Leni heran melihat penampilan Runa yang sedikit berbeda dari biasanya.

"Iya Mam, Runa baru sampai."

"Mama nggak ganggu kamu kan?" tanya Leni menyelidik.

"Nggak dong Ma. Ayo masuk Ma, Runa punya teh chamomile baru. Rasanya enak banget dan Mama wajib cobain."

Runa mengajak Mama Leni masuk ke dalam rumah.

"Duduk dulu ya Ma, Runa minta tolong mbak Santi buat siapin." Runa beranjak ke dapur dan meninggalkan Mama Leni di ruang tamu.

Tidak membutuhkan waktu lama, Runa sudah kembali membawa minuman dan beberapa camilan dibantu Mbak Santi.

"Eh Santi, udah lama nggak ketemu ya. Gimana kerja di sini enak nggak?" Sapa Mama Leni kepada Mbak Santi.

"Iya Bu, saya suka sekali kerja disini," jawab Mbak Santi malu-malu.

"Dulu Run, Mama tahu kalau Arkan ketahuan di hotel sama kamu ya dari Mbak Santi. Dia yang paling heboh waktu kasih tahu Mama. Terus waktu Mama bilang kamu akan menikah sama Arkan, dia lebih heboh lagi dan setiap hari tanya kapan bisa ketemu kamu. Karna Arkan minta ART buat rumah kalian, jadi Mama kirim mbak Santi aja." Jelas Leni sambil menggelengkan kepalanya mengingat tingkah Santi dulu.

Runa meringis malu mengingat kejadian dulu saat ia tertangkap basah keluar dari hotel bersama Arkan. Sungguh itu adalah kejadian yang sangat memalukan.

"Beneran seperti itu Ma?" tanya Runa sambil melirik Mbak Santi yang terlihat semakin malu karena rahasianya sudah terbongkar.

"Iya, tanya sendiri tuh sama orangnya."

Runa menepuk pelan pundak Mbak Santi, "Mbak Santi memang baik kok Ma, pekerjaannya juga bagus. Runa suka." Jujur Runa.

"Aduh ada yang besar kepala nanti Run." Goda Mama Leni melirik Santi.

Mereka bertiga akhirnya tertawa, sebelum akhirnya mbak Santi kembali kerja dan Runa mulai mengobrol serius dengan Mama Leni.

***

Runa menaruh cangkirnya di meja setelah menyesap tehnya. Runa melihat Mama Leni yang masih asyik memakan cake yang ia belikan tadi. Ia ikut senang karena mertuanya suka dengan apa yang ia siapkan. 

"Kamu makan juga dong Run, jangan lihatin Mama aja." Leni menyuruh Runa ikut makan. 

"Iya Ma, ini Runa mau makan. Oh iya, katanya ada hal penting yang mau Mama bicarakan?" tanya Runa mengingatkan. 

"Mama sampai lupa Run. Mama bawakan kamu gaun, kamu coba ya gaunnya. Suka nggak kira-kira?" Leni memberikan paper bag besar yang ia bawa kepada Runa. 

Runa menerima paper bag itu dengan tidak percaya, "Astaga, Mama nggak perlu repot-repot bawakan ini." 

"Sama sekali nggak repot. Kamu menantu Mama satu-satunya. Dari dulu Mama selalu ingin melakukan ini dan baru bisa terwujud sekarang itu karena kamu." 

Runa sangat terharu mendengar ucapan Mama Leni, "Makasih ya Ma, Runa seneng banget punya Mama mertua sebaik Mama." 

"Udah jangan mellow gitu, buruan kamu buka dan coba." 

Runa segera mengeluarkan kotak dari dalam paper bag. Ia langsung terkesima melihat gaun yang ada di dalamnya. 

"Cantik sekali Ma," ujar Runa melihat gaun berwarna burgundy itu dengan model v-neck dan belahan kaki di depan yang cukup tinggi mencapai setengah pahanya. 

"Bagus kan. Mama sengaja minta tolong Vivi buatkan ini khusus untuk kamu." 

Runa ingat dengan tante Vivi. Saat itu ia pernah main ke butiknya bersama Mama Leni dan Arkan.

"Jangan lupa ya nanti dipakai buat hari Minggu."

"Hari Minggu?" tanya Runa bingung. Seingatnya tidak ada acara apa-apa pada hari Minggu nanti.

"Iya hari Minggu nanti. Di acara ulang tahun stasiun televisi."

"Oh iya Ma, Runa kira ada acara lain."

Runa memaksakan senyumnya sambil menyembunyikan wajahnya ke samping agar tidak terlihat oleh Mama Leni. Ia tidak tahu jika Minggu nanti adalah perayaan ulang tahun stasiun televisi. Ia sangat bodoh sampai tidak tahu acara sepenting itu. Kenapa Arkan juga tidak memberitahunya? Atau pria itu sengaja, karena mereka masih marahan sekarang.

"Mama kira kamu lupa."

"Enggak dong Ma, Runa nggak mungkin lupa...." Tapi Runa malah nggak tahu Ma. Runa melanjutkan ucapannya dalam hati. Ia jadi merasa tidak enak karena sudah berbohong kepada Mama Leni.

"Mama seneng banget akhirnya Arkan nggak datang sendirian lagi. Ia sudah punya kamu sebagai istrinya." Leni mengusap lengan Runa dengan sayang.

Mendengar ucapan Mama Leni membuat Runa jadi penasaran. Mengorek informasi sedikit tentang Arkan sepertinya tidak ada salahnya sekarang.

"Emang Arkan nggak pernah punya pacar ya Ma?" tanya Runa takut-takut.

"Entahlah. Dia pernah sesekali dekat sama perempuan. Tapi hubungannya seperti nggak serius dan nggak pernah bertahan lama. Mama sendiri juga nggak begitu tahu karena Arkan sangat tertutup orangnya," jelas Leni dengan tatapan menerawang mengingat tingkah Arkan.

"Ehmm gitu ya Ma."

"Kamu nggak perlu khawatir ya, kan kamu sudah jadi istri Arkan sekarang. Mama yakin, kamu sangat spesial untuk dia. Mama belum pernah melihat Arkan semanis ini memperlakukan wanita, biasanya anak itu selalu cuek."

Hati Runa terasa menghangat mendengar ucapan Mama Leni. Benarkah ia sangat spesial di mata Arkan?

***

Runa melamun sambil menatap keluar jendela. Suara hujan terdengar semakin deras dan sepertinya tidak akan reda dalam waktu dekat. Ia menatap jam di ponselnya. Sudah pukul sembilan malam dan Arkan belum pulang juga. Tidak biasanya pria itu pulang larut seperti ini. 

Runa semakin tidak tenang di tempatnya duduk, ia sampai menunggu Arkan di ruang tamu saking khawatirnya. Ia tadi sudah mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa karena gelisah memikirkan Arkan. 

Ia takut terjadi sesuatu kepada Arkan. Atau jangan-jangan pria itu sedang terjebak banjir karena hujan tidak berhenti sejak tadi sore. Runa menggelengkan kepalanya dan berusaha menghapus pikiran negatif dari kepalanya.  

"Lo belum tidur Run." 

Runa terperanjat kaget saat mendengar suara Vina.  

"Bisa nggak sih jangan ngagetin orang, udah malem ini." Kesal Runa.  

"Sorry." Vina mengedikkan bahunya santai, "Justru gue yang harusnya takut. Gue tadi cuma mastiin lo beneran Runa atau bukan." Vina menunjuk baju tidur yang di pakai Runa. 

Runa menatap baju tidur yang di pakainya. Benar apa kata Vina, jika di pikir-pikir penampilannya sedikit menyeramkan. Ia memakai baju tidur putih sambil duduk sendirian di ruang tamu. Memikirkannya saja sudah membuatnya merinding.

"Sialan lo, jadi takut kan gue. Temenin gue pokoknya." 

"Dasar cemen." Vina menghempaskan tubuhnya ke sofa tidak jauh dari Runa sambil memainkan ponselnya. 

"Vin." 

"Hmm?" 

"Apa gue udah keterlaluan ya sama Arkan?" tanya Runa sambil memainkan tangannya. 

"Sebenernya kalian kenapa sih. Bukannya soal Kenzo nggak ada masalah ya?" tanya Vina heran. 

"Emang bukan soal Kenzo." 

"Terus masalahnya apa? Gimana gue tahu lo keterlaluan atau enggak kalau gue nggak tahu ceritanya." 

Runa menatap Vina serius. Haruskan ia menceritakan masalahnya? Tapi jika tidak, Runa bingung harus meminta pendapat siapa lagi. Runa menghela napasnya pelan, ia memutuskan untuk menceritakan saja pertengkarannya dengan Arkan malam itu. Ia menceritakannya dengan detail. Tanpa ada yang ia tutup-tutupi. 

"Waktu Arkan marah, gue jawab gitu." Jelas Runa mengakhiri ceritanya. 

"Lo serius bilang gitu?" tanya Vina tidak habis pikir. 

"Iya." Sahut Runa mengiyakan.  

"Bodoh! Bisa-bisanya lo bilang nggak butuh dan nggak pernah nyuruh Arkan buat perhatian sama lo." 

"Gue udah keterlaluan ya?" 

"Banget. Nggak heran kalau Arkan marah." 

Runa menghempaskan tubuhnya dengan lemas ke sofa, "Terus gue harus gimana sekarang?" 

"Arkan beneran nepatin omongannya kan, buat nggak ganggu lo lagi?" 

Runa menganggukkan wajahnya dengan melas. Hal itu yang paling membuatnya sedih. Ia kira ucapan Arkan hanya gertakan semata. 

"Yaudah, lo harus minta maaf. Mau ngapain lagi emang," jawab Vina. 

Runa ingin meminta maaf tapi ia merasa gengsi. Ia juga kesal karena Arkan tidak menepati janjinya untuk mendukung kariernya. 

"Lo sih aneh-aneh pakai bilang kayak gitu." 

"Gue juga kesel Vin. Gue capek setelah seharian kerja eh pulangnya malah diajak berantem." 

"Karena udah tahu sekarang kalau Arkan marah kayak gimana. Hal ini lo buat pelajaran. Jangan sampai kedepannya lo mengulang hal yang sama dan lo juga harus bisa jaga ucapan." 

"Iya." Runa hanya bisa pasrah menerima omelan dari Vina. 

Suara pagar terbuka dan mobil yang memasuki halaman rumah membuat Runa dan Vina saling bertatapan. 

"Itu bukannya Arkan ya?" Tebak Vina lebih dulu. 

"Bener Vin, lo buruan masuk ke kamar sana." 

Vina memakai sandalnya dengan tergesa-gesa dan secepat kilat menaiki tangga untuk kembali ke kamarnya. 

***

Runa berdiri dan merapikan baju tidurnya. Ia membuka tirai jendela agar bisa melihat Arkan dengan jelas. Runa mengurungkan niatnya untuk membawakan Arkan payung, karena ia melihat Arkan sudah keluar dari mobilnya sambil berlari menuju rumah. Runa kembali ke tempat duduknya semula dengan tenang dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. 

"Kamu sudah pulang?" 

Runa bisa melihat wajah terkejut Arkan saat melihatnya, tapi detik berikutnya pria itu kembali memasang wajah datarnya. 

"Sini aku bawain." Runa menghampiri Arkan dan mengambil alih tas kerja beserta jas di tangannya. 

"Basah semua Arkan, kemeja kamu juga basah." Runa mengusap bahu Arkan. 

"Kok pulangnya malem banget?" tanya Runa berharap Arkan tidak akan mengabaikannya kali ini. 

"Iya, ada rapat tadi." 

"Kamu udah makan?" Runa mengekori Arkan yang berjalan memasuki kamar. 

"Udah." 

"Mau mandi sekarang?" 

"Iya." 

"Yaudah, aku siapin baju kamu ya. Mandinya pakai air hangat aja," ujar Runa mengingatkan. 

Runa menaruh baju santai Arkan diatas ranjang. Ia memperhatikan pria itu yang sibuk membuka kemeja dan celana panjangnya. 

"Kok kamu nggak bilang kalau hari Minggu nanti ada perayaan ulang tahun stasiun televisi?"

"Kamu sibuk."

Runa menghela napasnya pelan, "Sesibuk-sibuknya, aku masih bisa dengerin cerita kamu Arkan."

"Kan kamu sendiri yang bilang kalau nggak butuh dan minta aku supaya nggak perlu capek-capek perhatian ke kamu."

Skakmat!

Ia kalah telak karena Arkan membalikkan ucapannya dengan sangat tepat.

"Aku tahu, aku salah udah mengatakan hal bodoh itu. Aku minta maaf Arkan."

Tapi terlambat, Arkan sudah masuk ke dalam kamar mandi dan mengabaikannya. Runa mengusap wajahnya dengan kasar. Perasaannya begitu campur aduk sekarang dan ia bingung harus menghadapi Arkan dengan cara apa lagi.

***

Bab 48

Runa menatap cermin dengan fokus sambil memasang antingnya. Ia kini sudah siap untuk menemani Arkan ke acara ulang tahun stasiun televisinya.

"Lo nggak pakai kalung?" tanya Vina mengingatkan.

"Oh iya lupa."

Runa menatap deretan kalung miliknya yang berjejer rapi.

"Pakai yang ini gimana Vin?" Runa menunjukkan kalung dengan liontin berbentuk bulat yang cukup simpel.

"Boleh. Pakai yang sederhana aja karena gaun lo udah kelihatan mencolok."

"Tolong pasangin."

Vina berdiri di belakang Runa dan memakaikan kalung untuknya.

"Harusnya Arkan yang pasangin. Kenapa jadi gue sih." Kesal Vina.

"Lo kan tahu Arkan masih marah."

"Makanya minta maaf."

"Udah, tapi nggak di gubris."

"Usaha terus dong. Jangan nyerah." Vina takut kemarahan Arkan yang semakin berlarut-larut bisa merusak hubungan rumah tangga Runa. Ia tidak mau hal itu sampai terjadi.

"Iya, gue minta maaf lagi nanti."

Runa merapikan bagian bawah gaunnya. Rambutnya ia biarkan terurai dengan membuat sedikit ikal di bagian ujungnya. Runa membawa clutch berwarna emas yang senada dengan warna heels-nya.

"Gimana penampilan gue?" Runa berputar menghadap Vina.

"Perfect!" Komentar Vina, "Udah cocok banget lo jadi nyonya Arion."

"Iya dong, siapa lagi kalau bukan Runa." Runa mengibaskan rambutnya dengan sombong.

"Buruan keluar dan temui Arkan." Vina mendorong pelan punggung Runa, agar segera keluar dari kamar.

"Gue gugup Vin." Cicit Runa.

"Nggak ada kata gugup dalam kamus hidup Runa." Vina terus saja mendorong Runa tanpa belas kasihan, membuat si empunya berdecak kesal karena sebal terus di dorong-dorong oleh Vina. 

***

Runa diam memperhatikan Arkan yang duduk di ruang tamu. Pria itu sibuk memainkan ponselnya sampai tidak menyadari kehadirannya. Runa berjalan mendekat kearah Arkan. Ia berdiri tepat di depan pria itu agar Arkan bisa melihatnya. 

Saat Arkan menatapnya, Runa langsung tersenyum. Tapi senyumnya seketika menghilang, saat Arkan menatap tidak suka kearahnya. Runa jadi was-was karena tatapan Arkan yang sedikit menyeramkan.

"Nggak ada gaun lain selain ini?" tanya Arkan. 

"Kenapa? Gaun ini bagus kok." tanya Runa heran. Setahunya tidak ada yang aneh dengan gaun yang ia kenakan. 

"Ganti Run." Pinta Arkan. 

"Mama yang minta aku pakai gaun ini untuk acara malam ini. Kalau nggak aku pakai, aku takut Mama akan tersinggung." 

"Mama?" Heran Arkan. Kapan Mamanya datang menemui Runa. 

"Iya, Mama yang kasih aku gaun ini dan Mama juga yang kasih tahu kalau perayaan ulang tahun perusahaan akan diadakan malam ini," ujar Runa menggebu-gebu sambil meluapkan kekesalannya kepada Arkan karena tidak diberitahu perihal acara malam ini. 

Arkan berdecak kesal, kenapa juga Mamanya memberi Runa gaun seperti ini. Arkan tidak menyukainya. Gaun itu memiliki belahan sampai ke tengah paha Runa dan Arkan tidak suka jika kaki jenjang Runa harus terekspos.  

"Yasudah, ayo berangkat." Arkan berdiri dan langsung berjalan ke luar begitu saja tanpa menunggu Runa. Membuat Runa hanya bisa menghela napas pasrah karena lagi-lagi diabaikan oleh Arkan. 

***

Runa menatap hotel bintang lima yang menjulang tinggi di hadapannya. Meskipun ini bukan pertama kalinya ia datang ke acara seperti ini, Runa tetap saja gugup karena ia datang sebagai istri Arkan bukan sebagai Runa yang dikenal sebagai aktris. Runa menautkan kedua jarinya sambil menarik napas dalam-dalam untuk menghilangkan rasa gugupnya. 

Arkan keluar dari mobil begitu tiba di lobby. Ia menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas valet untuk memarkirkan mobilnya. Arkan membukakan pintu untuk Runa dan membantunya untuk turun. 

Runa segera menerima uluran tangan dari Arkan. Mereka berjalan menuju ballroom hotel dengan Arkan yang terus menggenggam tangannya. 

"Jangan gugup, bersikaplah biasa saja layaknya kamu menghadiri acara penting yang sering kamu datangi," ujar Arkan tanpa menatapnya. 

Runa menatap Arkan tidak enak. Apakah sangat terlihat jika ia sedang gugup sekarang?

"Iya Arkan," jawab Runa akhirnya. Ia harus yakin jika semua akan baik-baik saja, karena Arkan ada di sisinya. Dan ia percaya kepada pria itu, sekalipun Arkan masih marah kepadanya.

***

Begitu tiba di depan ballroom sudah ada fotografer yang memotret mereka. Runa memberikan senyum terbaiknya sambil menghadap kamera begitu juga dengan Arkan yang dengan sigap langsung memeluk pinggang Runa. Mereka tetap harus terlihat romantis seolah tidak terjadi apa-apa meskipun nyatanya tidak seperti itu.

Setelah itu mereka mulai memasuki ballroom. Runa bisa melihat begitu banyak tamu yang hadir. Kadang Runa masih tidak menyangka bisa menjadi bagian dari keluarga Arkan. Ada sedikit rasa bangga dalam dirinya, meskipun rasa gugup juga mendominasi.

Runa terus mengekori Arkan yang menyapa kenalannya. Ia bisa melihat sisi lain dari Arkan sekarang. Dimana pria itu selalu tersenyum dan bicara dengan ramah. Tidak lupa, Arkan juga mengenalkannya kepada semua kolega bisnisnya. Runa merasa menjadi wanita yang spesial karena Arkan selalu melibatkannya dalam hal seperti ini. Lagi-lagi perasaan bersalah menghampiri Runa, ia sangat menyesali kebodohannya kemarin. 

"Run." Remasan di pinggangnya dan panggilan dari Arkan membuyarkan lamunan Runa. Ia menatap Arkan untuk meminta penjelasan, pria itu memberi isyarat dengan melirik samping kanannya. Karena sibuk dengan pikirannya sendiri, Runa sampai tidak sadar jika Arkan sudah mengenalkannya lagi ke rekan bisnisnya. 

"Ini Om William Run, salah satu teman baik Papa," ujar Arkan. 

"Salam kenal Om, saya Runa." Runa langsung bisa membawa diri dengan bersikap ramah sambil menjabat tangan Om William. 

"Senang bisa bertemu langsung dengan kamu. Selamat ya atas pernikahan kalian," ujar William membalas jabatan tangan Runa. 

Mereka lalu mengobrol sebentar untuk berbasa-basi. Hingga akhirnya Mama Leni datang menghampiri Runa dan mengajaknya untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain. 

"Kamu ikut Mama sebentar ya. Biar Arkan sama Papanya ngobrol dulu dengan yang lain." 

"I.. iya Ma." Runa hanya bisa pasrah saat Mama Leni menarik tangannya. Ia menatap Arkan untuk berpamitan, pria itu hanya menganggukkan wajahnya sebagai respon. 

Runa menghela napasnya pelan. Ini adalah part yang paling membuatnya malas. Dimana ia harus bertemu dengan teman Mama Leni sambil berbasa-basi menanggapi semua ucapan teman mertuanya. 

Begitu sampai ia langsung tersenyum kepada teman Mama Leni yang menatapnya dengan penasaran. Mama Leni langsung mengenalkannya kepada semua temannya. Runa ikut memperkenalkan diri dengan sopan, meskipun ia tidak begitu ingat dengan nama-nama yang disebutkan oleh Mama Leni tadi. 

"Kamu ingat dengan Vivi kan?" tanya Mama Leni. 

"Iya Ma Runa ingat." Ia pernah sekali mengunjungi butik tante Vivi waktu itu. 

"Persis seperti bayangan tante saat kamu memakai gaunnya." Puji tante Vivi kearahnya. 

"Makasih tante." Runa juga ingat jika gaun yang ia pakai sekarang merupakan buatan tante Vivi. 

"Nggak nyangka ya kalau Leni bisa punya menantu artis." Sahut salah satu teman Mama Leni yang Runa sudah lupa namanya.

"Iya, aku juga nggak nyangka kalau Arkan....." Dan berlanjutlah pembicaraan Mama Leni dan teman-temannya. Runa berusaha terlihat antusias dengan pembicaraan mereka, meskipun nyatanya tidak sama sekali. 

Ia beberapa kali melirik Arkan dan berharap agar pria itu segera menyelamatkannya, tapi sepertinya hal itu tidak terjadi karena Arkan terlihat sibuk dengan Papanya. 

"Kamu bisa minum Run?" Runa kembali fokus kepada Mama Leni. Ia melihat seorang waiter berdiri di hadapannya sambil membawa senampan minuman. 

Runa berpikir sejenak, ia sudah lama tidak minum, tapi tidak enak rasanya jika menolak tawaran Mama Leni. 

"Bisa Ma," jawab Runa akhirnya. 

Ia menerima wine dari waiter dan menyesapnya sedikit. Rasa pahit dan panas langsung menjalar ke tenggorokannya. Tapi Runa berusaha menahannya. Lama-kelamaan rasanya biasa saja, Runa bisa menikmati minumannya hingga menghabiskan satu gelas. Saat mengambil gelas kedua dan akan meminumnya, seseorang menahan tangannya hingga membuat Runa terkejut. 

"Kamu udah minum banyak dari tadi," ujar Arkan yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Pria itu mengambil gelas di tangannya dan menaruhnya diatas meja.

Wajah Runa tiba-tiba bersemu merah. Apakah Arkan dari tadi memperhatikannya hingga pria itu tahu jika ia sudah minum banyak? Ternyata Arkan masih peduli kepadanya meskipun tidak mau menunjukkannya secara terang-terangan. 

"Ayo duduk." Arkan mengajak Runa duduk di kursi yang sama dengan kedua orang tuanya karena acara sebentar lagi akan di mulai. 

***

Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Keadaan rumah pun juga terlihat sepi. Mereka baru saja sampai rumah setelah dari acara perayaan ulang tahun perusahaan. 

Runa berjalan pelan di belakang Arkan. Lagi-lagi sikap Arkan kembali dingin kepadanya. Padahal saat acara tadi, pria itu sudah bersikap manis kepadanya. Saat memberikan kata sambutan tadi, Arkan juga sempat mengucapkan terima kasih kepadanya sambil tersenyum dengan sangat manis. Runa sudah senang karena mengira Arkan sudah tidak marah, tapi ternyata tidak. Arkan masih marah, sikapnya tadi hanya untuk menutupi dan menunjukkan bahwa rumah tangga mereka baik-baik saja.

Runa menutup pintu kamarnya perlahan. Ia memperhatikan Arkan yang sedang melepas jas dan dasinya. Jika tidak bicara malam ini, mungkin tidak akan ada kesempatan lagi bagi Runa untuk meminta maaf kepada Arkan. 

Tanpa ragu, Runa berjalan mendekati Arkan dan memeluk pinggang pria itu dari belakang dengan erat. 

"Kamu ngapain?" Arkan yang sempat terpaku akhirnya menemukan kembali kesadarannya. Ia berusaha melepaskan pelukan Runa yang begitu erat di pinggangnya. 

"Aku minta maaf Arkan," ucap Runa pelan. 

"Iya, lepasin dulu." 

"Nggak mau, aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu maafin aku," ujar Runa.

Ia melirik Arkan sekilas untuk melihat ekspresi pria itu. Tapi seperti biasa wajah Arkan terlihat datar. 

"Aku nggak suka lihat tatapan datar dan suara kamu yang dingin. Dan yang paling penting, aku nggak mau kamu cuekin aku dan nggak perhatian lagi ke aku." Runa sudah mengatakan semuanya berharap penjelasannya mampu membuat Arkan luluh. 

"Katanya kamu nggak butuh? Kan aku cuma ikutin perkataan kamu." 

Runa mengerucutkan bibirnya. Tidak suka jika Arkan terus mengungkit ucapannya malam itu. 

"Kamu tahu kan ucapanku malam itu nggak serius. Aku bahkan nggak sadar udah mengatakan hal sebodoh itu. Maafin aku ya." Mohon Runa sekali lagi.

"Jadi kamu maunya gimana?" tanya Arkan. 

"Aku mau kamu kembali seperti Arkan yang aku kenal. Dimana kamu selalu perhatian ke aku, bawelin aku kalau telat makan dan suka mengingatkan aku supaya nggak kecapekan. Aku mau kamu yang dulu," jawab Runa sungguh-sungguh. 

Arkan menghela napasnya pelan seperti mengeluarkan beban berat yang selama ini ia tahan. Ia melepaskan pelukan Runa di pinggangnya dan membalikkan badan agar bisa menatap wanita itu dengan jelas. Ia membungkukkan badannya lalu menaruh kedua tanggannya di pundak Runa. 

"Run." Panggil Arkan pelan, "Aku mau hubungan kita timbal balik. Aku nggak mau, cuma aku yang berjuang untuk hubungan ini. Aku maunya, kita sama-sama berjuang." 

Runa seperti tersihir saat mendengar ucapan Arkan. Ia semakin merasa bersalah karena menganggap hubungan mereka adalah hal yang sepele. 

"Maafin aku Arkan. Aku akan berusaha lebih baik untuk kedepannya." Hanya itu yang bisa Runa katakan. 

Arkan tersenyum mendengar ucapan Runa. Ia menegakkan kembali tubuhnya lalu membawa tubuh wanita itu dalam dekapan hangatnya. 

Tanpa ragu Runa membalas pelukan Arkan dengan sangat erat. Ia menyusupkan wajahnya ke dada Arkan sambil menghirup aroma pria itu dalam-dalam. Rasanya sudah lama mereka tidak berpelukan dan Runa sangat merindukannya. Ia merindukan semua yang ada pada diri Arkan. 

"Aku tersinggung tahu denger ucapan kamu malam itu." Jujur Arkan sambil memberikan usapan pada rambut Runa.  

"Ehmm..." Rengek Runa karena merasa bersalah. "Maafin aku ya suami. Aku janji akan berubah lebih baik lagi demi hubungan kita." 

"Iya, jangan diulang. Aku nggak suka kamu ngomong seperti kemarin." 

"Iya, cukup sekali aja aku bodoh. Aku nggak akan mengulanginya lagi." 

Runa bersungguh-sungguh saat mengatakan itu. Ia tidak mau mengecewakan Arkan yang sudah mau memaafkannya dan memberikan kesempatan kepadanya. 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Scandal With You (Bab 49, 50)
10
0
Selamat membaca dan semoga suka 🖤
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan