
Selamat membaca, semoga kalian suka 🤎
PB - 46
Rania mengerang kesal sambil menatap langit-langit kamarnya. Usahanya untuk tidur sejak satu jam yang lalu gagal karena otaknya tidak bisa berhenti berpikir. Ia tentu saja merasa gugup karena besok Radeva akan mengajaknya bertemu dengan kedua orang tua pria itu. Meskipun sering bertemu dengan Bu Diana dan Pak Surya, tapi tetap saja Rania merasa berbeda karena ia datang sebagai kekasih Radeva bukan sebagai sekretaris seperti biasanya.
Rania meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Sekarang sudah pukul dua belas lebih, tapi sepertinya ia membutuhkan teman untuk bercerita. Setelah berpikir selama beberapa saat, ia memutuskan untuk menghubungi Kira dan semoga saja sahabatnya itu belum tidur.
Rania Anindya
Kir.
Kiraaa.
Kirana Larasatii.
Kirana Larasati
Apaan dah, malam-malam berisik banget 🙄
Rania Anindya
Ga bisa tidur.
Pengen cerita :(
Rania tersenyum saat Kira tidak membalas pesannya, sahabatnya itu langsung menghubunginya melalui panggilan video.
"Kenapa? Lagi ada masalah apa sekarang?" tanya Kira diujung sana yang sudah berada di bawah selimut sama sepertinya.
"Gue besok mau diajak Deva ketemu orang tuanya."
"Oh ya? Bagus dong!"
"Tapi tetep aja gue masih agak takut Kir." Keresahan terlihat jelas pada wajah Rania.
"Itu wajar nggak sih, gue juga sempat takut waktu pertama kali diajak ketemu orang tuanya Bang Juna. Kayaknya semua cewek pasti ngerasain hal yang sama deh."
"Mmmm." Gumam Rania. "Deva bilang sih orang tuanya udah merestui kita, tapi gue kayak masih belum percaya gitu."
"Sebelum nyusul lo ke kampung Deva sempat nemuin orang tuanya, gue rasa sih dia nggak bohong ya," ujar Kira.
"Dia ada cerita ke lo nggak apa aja yang mau diomongin sama orang tuanya?" tanya Rania penasaran karena saat ia bertanya kepada Radeva sendiri, pria itu tampak enggan untuk menjawab.
Kira menggeleng. "Gue belum ketemu sama Deva lagi semenjak itu. Kenapa nggak lo tanya sendiri ke dia?"
"Lo kayak nggak tahu Deva aja. Dia cuma jawab 'Saya hanya mengatakan apa yang harus dikatakan'." Rania mengulang jawaban Radeva saat itu.
Kira tergelak saat mendengarnya. "Udah, nggak usah terlalu dipikirin. Lebih baik lo sekarang tidur supaya mata lo nggak kelihatan kayak mata panda besok. Lo harus tampil cantik kan di depan camer?"
Rania hanya mencibir jawaban Kira, sebelum akhirnya menyudahi panggilan video mereka. Ia kembali menaruh ponselnya pada nakas. Berbicara dengan Kira tidak membantu banyak karena sahabatnya tidak memberikan saran apa-apa. Tapi perasaan Rania sekarang jauh lebih tenang dari pada sebelumnya. Ia berusaha mengatur napasnya dan menghilangkan segala pikiran buruk yang masih berseliweran di kepalanya sebelum akhirnya mulai memejamkan mata dan tertidur.
***
Rania pikir ketika Radeva menjemputnya siang ini, ia akan langsung dibawa menuju rumah orang tuanya. Tapi ternyata dugaannya salah, pria itu bilang akan ke rumah orang tuanya nanti sore. Jadi, siang ini mereka akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan terlebih dahulu.
Satu lagi keinginan Rania yang berhasil Radeva wujudkan. Kali ini pria itu mengajaknya kencan di Jakarta Aquarium.
"Bapak kok bisa tahu saya sudah ingin kesini sejak lama?" tanya Rania sambil menatap aquarium di hadapannya dengan banyaknya ikan yang berada di dalam sana.
Radeva melirik Rania di sampingnya. Wajah gadis itu terkena sorot lampu dengan cahayanya yang berwarna biru, meskipun begitu tetap tidak menyurutkan kecantikan yang terpancar dari wajahnya. Kembali pada pertanyaan Rania tadi, Radeva hanya mengedikkan bahunya. "Saya hanya menebak kamu akan suka jika diajak kesini." Ia tahu gadis itu lebih suka diajak kencan ke tempat-tempat seperti ini dari pada ia ajak berbelanja.
Melihat Rania tersenyum dengan matanya yang berbinar-binar antusias membuat Radeva ikut merasa senang. Dengan perlahan ia melangkah mundur dan mengambil foto gadis itu secara diam-diam.
"Sayang." Panggil Radeva saat merasa cukup memotret bagian belakang tubuh Rania, ia juga ingin mengambil foto cantik gadis itu dari depan. Dan benar saja, panggilannya barusan berhasil membuat gadis itu berbalik dengan senyumnya yang tersipu malu. Cantik sekali Rania di matanya sekarang. Radeva tidak ingin mensia-siakan momen itu, dengan segera ia memotretnya.
"Bapak udah, saya malu." Rania sudah kehabisan gaya dan merasa sedikit malu meskipun hatinya juga cukup berbedar mendapati senyum Radeva yang terlihat begitu memujanya. “Bagus nggak hasilnya?" tanya Rania berusaha mengusir rasa gugupnya.
"Bagus dong, cantik banget kamu di sini." Radeva memberikan ponselnya, membiarkan Rania melihat semua hasil bidikannya.
"Bapak jago motret juga." Puji Rania karena hasil jepretan Radeva tidak ada yang gagal menurutnya.
"Itu karena orang yang saya foto sangat cantik."
Rania hanya mencibir jawaban Radeva, tangannya terus menggeser layar ponsel pria itu hingga akhirnya ia tertegun saat menyadari sesuatu. Ia sudah selesai melihat semua fotonya saat berada di aquarium, tapi saat terus menggeser layar ponsel Radeva ia masih menemukan foto-fotonya berada di sana. Ada fotonya ketika di kantor dan terlihat sangat fokus bekerja, ada lagi saat ia di Taman Safari bahkan Rania juga melihat fotonya ketika ia menemani pria itu perjalanan bisnis.
"Bapak?" Panggil Rania sambil menatap pria itu yang terlihat begitu santai di sampingnya.
Radeva hanya menaikkan alisnya untuk menjawab pertanyaan Rania.
"Ini semua apa?"
"Foto-fotomu kan?"
Rania menipiskan bibirnya saat mendengar jawaban pria itu. "Iya saya tahu, tapi kenapa Bapak melakukannya."
Radeva mengedikkan bahunya. "Saya hanya suka saja saat melihat kamu begitu fokus atau menikmati apapun yang kamu kerjakan." Karena semua foto yang ia ambil kebanyakan menunjukkan bagian punggung atau sisi samping gadis itu.
"Makasih ya Pak," ujar Rania dengan tulus.
"Makasih untuk?" Radeva terlihat heran karena Rania tiba-tiba berterimakasih kepadanya.
"Saya hanya ingin berterimakasih kepada Bapak." Rania mengedikkan bahunya. Ia merasa harus berterimakasih kepada Radeva untuk banyak hal. Pria itu yang menyukainya, memperjuangkannya dan memahami segala perasaan rumitnya. Jika tidak benar-benar mencintainya dan juga sabar, mana mungkin Radeva mau bertahan sejauh ini dengannya.
Radeva tidak bertanya lebih jauh, ia membiarkan saja Rania merasakan apapun yang mungkin sedang dirasakannya sekarang. Ia menarik tangan gadis itu dan menepuk-nepuknya pelan. "Sudah?" tanya Radeva.
"Sudah apa?"
"Sudah puas belum berkelilingnya? Atau masih mau di sini dulu?"
"Saya rasa sudah cukup Pak." Sahut Rania sambil mengembalikan ponsel Radeva. Sepertinya sudah cukup acara kencan mereka hari ini. Mereka sudah menghabiskan banyak waktu di Jakarta Aquarium dan Rania sudah merasa puas berada di sini.
"Udah siap ketemu sama Mama dan Papa?" tanya Radeva dengan senyum menggoda. Jangan dikira ia tidak tahu jika Rania sedang gugup, maka dari itu ia sengaja membawa gadis itu berjalan-jalan terlebih dahulu dan tidak langsung mengajaknya menemui orang tuanya.
"Yuk." Rania sudah siap. Lagi pula apa yang ia lakukan sekarang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang Radeva lakukan kemarin ketika menyusulnya ke kampung. Perjuangan pria itu jelas lebih besar dari apa yang ia lakukan sekarang. Kini giliran Rania yang membuktikan keseriusannya kepada Radeva.
"Nggak perlu terlalu gugup, kamu kan sudah sering bertemu mereka." Radeva menggenggam tangan Rania dan mengajaknya keluar dari area aquarium menuju mobilnya terparkir.
"Saya cuma sedikit takut dan kepikiran, itu hal yang wajar kan?"
Radeva membenarkan, tapi... "Saya berani yakin mereka nggak akan menyakiti kamu dengan ucapan atau tindakan mereka, ada saya yang akan melindungi kamu. Kamu hanya perlu bersikap layaknya kamu yang biasanya karena kamu yang apa adanya itu udah luar biasa banget." Ia tidak bermaksud berlebihan tapi memang seperti itu kenyataannya. Radeva tahu orang tuanya sudah terkesan dengan Rania, hanya saja mereka enggan mengakuinya.
***
Rania sudah duduk bersebelahan bersama Radeva di ruang tamu rumah orang tua pria itu. Ini bukan pertama kalinya Rania datang ke sini, tapi tentu saja sebelumnya ia hanya datang untuk urusan pekerjaan.
Tidak banyak yang berubah semenjak terakhir kali Rania kesini, semua tata letak perabotannya masih sama begitu juga dengan lukisan dan foto yang terpajang di dinding. Rumah ini memiliki dua lantai dan terlihat begitu luas, meskipun begitu kesan hangat terlihat jelas pada rumah ini. Rania yakin ini semua berkat bu Diana yang begitu pintar menjaga suasana rumah agar tidak terkesan dingin karena hanya ditinggali berdua bersama suaminya dan beberapa asisten rumah tangga tentu saja.
"Gimana kabar keluarga di kampung?" Suara bariton Surya menyapa Rania dengan penuh perhatian.
Rania tengah menyesap tehnya ketika Pak Surya bertanya, hingga membuatnya buru-buru menaruh kembali cangkir yang ia pegang. Wajah Rania mendongak dan tersenyum menatap Pak Surya. "Semua keluarga di kampung baik Pak."
Pak Surya masih terlihat sama seperti pertama kali Rania melihatnya. Tubuhnya tinggi besar, raut wajahnya sedikit kaku didukung dengan kumis dan jenggot tipis yang ada di wajahnya. Tapi di beberapa kesempatan Pak Surya bisa terlihat ramah seperti sekarang hingga membuat perasaan Rania sedikit menghangat. Ia sudah tidak setakut dan segugup tadi karena Bu Diana dan Pak Surya menyambutnya dengan begitu baik persis seperti apa yang Radeva katakan.
"Jangan panggil Pak, saya sedang menyambut pacar anak saya sekarang. Panggil saya Om."
Rania sempat tertegun selama beberapa saat, sebelum akhirnya senyumnya mengembang semakin lebar setelah bisa mencerna dengan baik maksud ucapan Pak Surya.
"Iya Om." Ulang Rania setelahnya.
Entah seperti apa wajahnya terlihat sekarang, yang jelas Rania merasa begitu bahagia. Perasaannya juga terasa membuncah dan sulit untuk dikendalikan. Rania hanya mampu melirik Radeva di sampingnya dan sepertinya pria itu tahu apa yang sedang dirasakannya sekarang hingga membuatnya membalas senyuman Rania sambil mengusap rambutnya pelan untuk ikut meluapkan rasa bahagianya.
***
Rania tengah membantu Bu Diana yang sedang menyiapkan buah sebagai pencuci mulut setelah mereka berempat selesai makan malam. Setelah mencuci buah yang sudah disiapkan, Rania menghampiri Bu Diana agar buahnya bisa segera dipotong.
"Mau pudding nggak Ran?" tanya Diana saat menyadari Rania sudah berdiri di sampingnya.
"Boleh Tante." Rania masih merasa aneh karena harus mengubah panggilannya kepada Bu Diana dan Pak Surya, tapi mau bagaimana lagi ini semua permintaan mereka. Jadi, mau tidak mau ia hanya bisa menurutinya.
"Orang dua itu nggak terlalu suka manis, kalau ada makanan seperti ini pasti Tante sendiri yang menghabiskan. Kalau ada kamu kan Tante jadi ada temannya."
Rania tersenyum menanggapi ucapan Bu Diana, sedikit banyak ia tahu jika sifat Radeva sangat mirip dengan Pak Surya.
"Kerupuk yang kamu bawakan kemarin itu enak Ran, rasanya gurih banget."
"Oh ya Tan?" Rania memang sempat membelikan Bu Diana oleh-oleh kerupuk puli sebelum kembali ke Jakarta. Hanya saja ia masih belum berani menemuinya secara langsung saat itu hingga membuatnya menitipkan oleh-olehnya kepada Radeva. Jika tahu Bu Diana dan Pak Surya suka, Rania pasti akan membelikannya lagi nanti ketika pulang kampung.
"Maaf ya, kalau sikap kami kemarin sempat membuat kamu ragu sama Deva."
Rania dengan cepat menggeleng, permasalahan utamanya dengan Radeva bukan soal itu. Jika mereka belum mendapat restu tapi pria itu masih mau bersamanya, ia tidak akan ragu. Tapi jika Radeva ingin kembali bersama Laura, Rania tentu saja akan langsung mundur karena bukan ia yang pria itu mau.
"Saya ragu dengan Deva bukan soal itu kok Tan," ujar Rania tidak ingin membuat Bu Diana merasa bersalah.
"Karena Laura ya?"
Rania meringis malu karena ketahuan, tapi mau tidak mau ia harus tetap mengiyakan.
"Kalau soal itu kamu nggak perlu takut Ran. Karena sudah memilih kamu, Deva jelas nggak akan tertarik dengan perempuan manapun termasuk mantannya."
Rania percaya akan hal itu, Radeva sudah mengatakan dan membuktikannya. Jadi, seharusnya sudah tidak ada hal apapun yang membuatnya ragu dengan pria itu.
"Oh iya, kalau soal Kimberly apa kamu sudah tahu." Diana hanya takut Rania salah paham lagi, sebelum hal itu terjadi lebih baik ia jelaskan sebelum terlambat.
"Saya baru aja tahu Tan, beberapa hari lalu Deva jelasin."
"Anak itu memang benar-benar ya." Diana menggelengkan kepalanya mengingat semua tingkah Radeva. "Nggak ada takut-takutnya bikin kamu salah paham lagi. Kamu ngambek aja harusnya Ran, biar dia kebingungan sendiri kayak kemarin."
Rania melepaskan kekeh pelan, tentu saja ia tidak tega untuk mengerjai Radeva. Sudah cukup ia membuat pria itu kebingungan kemarin karena enggan membalas pesan dan mengangkat panggilannya. Tapi di satu sisi Rania senang, beberapa kali ia sempat berbicara dengan Bu Diana seperti sekarang dan tentu saja yang menjadi bahan pembicaraan mereka adalah Radeva.
Rania pernah kelepasan mengatai pria itu di depan Bu Diana akibat terlalu kesal, bukannya marah wanita itu malah ikut merasa kesal karena sudah paham dengan tabiat putranya. Meskipun jelas pembahasan mereka sekarang jauh berbeda dengan sebelumnya dan Rania tidak akan bisa mengatai pria itu lagi di depan Bu Diana.
Rania sedikit heran saat Bu Diana tiba-tiba menarik tangannya dan menepuk-nepuknya pelan. Ia mendongak menatap wanita itu sekaligus menunggu penjelasannya.
"Tante berharap kamu bahagia Ran," ujar Diana terlihat begitu tulus ketika mengatakannya. "Tante sangat berharap kamu bahagia bersama Deva untuk waktu-waktu selanjutnya."
***
Jangan lupa tinggalin love dan komennya 🤎
Udahan aja nggak sih cerita ini, apa lagi yang kalian mau dari merekaa 😭
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
