Possessive Boss - 44

18
1
Deskripsi

Selamat membaca, makasih ya masih mau sabar dan bertahan di cerita ini 🥺🤎

PB - 44

Rania segera tersadar setelah mematung cukup lama. Ia berjalan menghampiri Radeva dan menarik tangan pria itu sedikit menjauh agar lebih leluasa untuk bicara karena sekarang mereka sudah menjadi pusat rasa penasaran dari keluarganya. 

"Bapak ngapain di sini?" tanya Rania heran. 

"Karena kamu nggak pernah mengangkat panggilan dan membalas pesan dari saya." Sahut Radeva dengan enteng. 

Rania hanya mampu memejamkan matanya. Ia tahu Radeva orang yang nekat tapi ia benar-benar tidak menyangka jika pria itu akan bertindak sejauh ini. 

"Saya rasa sinyal di sini tidak terlalu buruk." Radeva mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menunjukkan kepada Rania jika benda persegi itu mampu berfungsi dengan baik. 

Rania memang berbohong soal sinyal yang buruk di kampungnya. Jika untuk menerima telepon atau membalas pesan tentu saja masih bisa. Namun, untuk menggunakan sosial media yang lain mungkin memang agak sedikit lambat. 

"Tapi Bapak nggak perlu sampai kesini kan?" 

Radeva mengedikkan bahunya. "Mau gimana lagi? Hanya ini satu-satunya cara agar saya bisa tahu kondisi kamu." 

Rania menghela napas pelan. Ia sepertinya lupa sedang berhadapan dengan siapa sekarang. Tentu saja ia tidak akan pernah menang melawan pria itu. 

"Rania, ayo cepet sebentar lagi kita mau berangkat." 

Perdebatan mereka harus terhenti karena panggilan dari Emak. Rania bahkan sampai lupa jika rambutnya belum selesai ia rapikan, pasti penampilannya sekarang sangat terlihat konyol di mata Radeva. Tapi Rania tidak begitu peduli. Kehadiran pria itu secara tiba-tiba membuatnya melupakan rasa malunya. 

"Iya Mak, sebentar lagi selesai kok." 

Karena Radeva sudah terlanjur berada di sini, Rania tidak mungkin mengusirnya. Mau tidak mau ia akan memperkenalkan pria itu kepada keluarganya. 

"Mari masuk dulu Pak." Ajak Rania berjalan terlebih dahulu, Radeva mengekori di belakangnya.

Rania berdiri dengan canggung di depan Emak, Mbak Widya, Mbak Sari dan Reva yang terus menatap penasaran kearahnya dan Radeva. 

"Kenalin ini Mas Deva, temen kerja ku di kantor," ujar Rania. Lidahnya terasa kelu memanggil pria itu dengan sebutan Mas, tapi tidak mungkin juga ia memanggil Radeva dengan panggilan Pak. 

"Temen apa temen?" goda Mbak Widya. 

"Saya teman sekaligus pacar Rania." Sahut Radeva sambil menyalami tangan mereka semua. 

"Gitu katanya nggak punya pacar," ucap Mbak Sari yang langsung membuat Rania meringis takut. 

Ia bisa merasakan Radeva meliriknya, tatapan pria itu seperti mengatakan... Jadi kamu tidak mengakui saya sebagai pacar kamu? Hingga membuat Rania langsung mengalihkan tatapannya, tidak berani menatap pria itu lagi. 

"Bukan kayak gitu ah maksud aku kemarin." Sahut Rania beralasan. Entah harus bagaimana ia menghadapi Radeva setelah ini, sepertinya ia sudah berbuat banyak kesalahan yang bisa memancing kemarahan pria itu. 

***

Rania sudah duduk di dalam tenda acara bersebelahan dengan Radeva. Kehadiran pria itu cukup membuat beberapa orang terkejut. Banyak ibu-ibu yang memuji paras tampan Radeva hingga membuat Rania merasa sedikit besar kepala karena secara tidak langsung mereka juga memujinya yang pandai memilih pacar. 

"Nanti mau foto bareng pengantinnya nggak Pak?" bisik Rania saat mereka akan menaiki panggung palaminan untuk menyalami sepasang pengantin yang duduk di sana. 

"Boleh." Radeva menganggukkan wajahnya untuk menyetujui. 

Rania ikut merasakan bahagia saat melihat kakak sepupunya telah menemukan pendamping hidupnya. Karena ia tahu bagaimana lika-liku perjalanan cinta sepupunya hingga bisa menikah seperti sekarang. Meskipun jika boleh jujur, kisah cintanya sendiri jauh lebih mengenaskan dibandingkan dengan apa yang dialami sepupunya. 

Setelah selesai mengambil beberapa foto bersama pengantin, Rania dan Radeva kembali duduk untuk menikmati soto daging yang sudah disediakan. 

"Entah kenapa saya merasa aneh dengan laki-laki itu, dia terus memperhatikan kamu sejak tadi." Bisik Radeva yang sudah menunjukkan raut wajah tidak sukanya. 

Rania tahu yang pria itu maksud adalah Ali. Ia juga sudar jika Ali terus memperhatikan mereka sejak tadi. Jika boleh jujur, kehadiran Radeva sekarang sangat menyelamatkan Rania. Karena pria itu lah ia tidak jadi menumpang pada mobil Ali. Tentu saja ia lebih memilih bersama Radeva dan mengabaikan keberadaan Ali sekarang. 

Rania tidak perlu merasa bersalah atau meminta maaf bukan? Sejak awal memang tidak terjadi apa-apa antara ia dan Ali. Mereka hanya tidak sengaja bertemu beberapa kali dan saling melempar senyum. Hanya sebatas itulah interaksi yang terjadi diantara mereka. Rania juga menekankan jika tidak menyukai pria itu dan selalu menolak setiap kali orang-orang berusaha mendekatkan mereka. Apalagi kehadiran Radeva sekarang yang sudah diketahui keluarganya juga semakin memperjelas jika ia dan Ali memang tidak memiliki harapan. 

"Nggak usah dipedulikan ya Pak, abaikan saja dia." Pinta Rania berharap Radeva menuruti permintaannya. Ia sadar jika kesabaran Radeva hanya setipis tisu ketika menghadapi orang. Tapi kali ini saja, ia berharap pria itu lebih bersabar lagi karena Rania tidak ingin ada masalah. 

Meskipun tampak belum puas, Radeva hanya bisa menuruti permintaan Rania. Karena bagaimanapun ia hanyalah tamu di sini dan sudah sepatutnya untuk menjaga sikap. 

"Omong-omong, saya suka panggilan baru dari kamu. Kenapa memanggil saya Bapak lagi sekarang?" Radeva teringat ketika Rania memanggilnya dengan sebutan Mas tadi. Entah kenapa ia menyukainya dan ingin mendengar Rania memanggilnya seperti itu lagi. 

"Bapak!" Panggil Rania dengan sedikit merajuk, ia malu ketika mengingat memanggil Radeva dengan panggilan Mas. Seharusnya Radeva mengerti bukan jika ia tidak mungkin memanggil pria itu Pak atau Bapak di depan keluarganya. 

***

Acara Ngunduh Mantu telah selesai dilaksanakan, Rania dan keluarganya sudah kembali ke rumah. Cuaca siang ini begitu terik hingga membuat beberapa tetes keringat membasahi kening Rania. Kipas yang menyala tidak terasa dingin sama sekali, malah terasa semakin panas sekarang. 

"Bapak bawa baju ganti nggak?" Rania sudah mengganti baju kondangannya dengan pakaian santai. Ia tidak tega melihat Radeva yang pasti juga kepanasan sekarang. 

"Saya pakai kaus dalam sih." Sahut Radeva. 

"Bapak lepas saja kemeja batiknya, panas banget soalnya." 

"Deva biar istirahat di kamarmu, kamu tidur di kamar Reva dulu," ujar Emak yang masih setia memperhatikan mereka. 

Rania menatap Radeva untuk bertanya, pria itu akhirnya menganggukkan wajahnya untuk menyetujui. Rania membawa pria itu menuju kamarnya yang untung saja tidak terlalu berantakan kali ini. 

"Bapak mau kopi nggak?" Rania menawarkan. 

Radeva yang sedang melepas batiknya melirik Rania sambil menganggukkan wajahnya. "Sudah berapa lama saya nggak minum kopi buatanmu?" Ia sudah merindukan kopi buatan gadis itu. 

Rania mencoba untuk menghitung. "Baru juga empat hari." Cibirnya mendengar jawaban berlebihan pria itu. Sementara Radeva sudah melotot, baginya itu sudah sangat lama.

Ketika kembali ke kamar, ia melihat Radeva tengah bersandar di kepala ranjang sambil memeriksa iPad-nya. Rania menaruh es kopi pada nakas yang berada di samping pria itu. 

"Ada pekerjaan yang harus saya kerjakan Pak?" tanya Rania. 

"Ini iPad kamu." Radeva memberikan iPad yang biasa Rania pakai. 

Rania tersenyum menerima iPad yang disodorkan oleh Radeva. Beberapa hari tidak memegangnya, ia sudah merindukan benda itu. 

"Pekerjaan Bapak di sana gimana?" 

"Sudah saya kerjakan sebagian, sisanya biar Arjuna yang menggantikan saya. Kamu bisa lihat dari jadwal kerja yang sudah kamu buat." 

Rania melihat notes yang ia buat untuk Radeva, ia tersenyum gemas ketika melihat beberapa sudah pria itu ceklis tanda sudah selesai dikerjakan.

"Kamu tolong periksa laporan ini ya." 

"Siap Pak." 

Rania beranjak kearah pintu dan membukanya lebar-lebar agar tidak menimbulkan kecurigaan keluarganya yang lain, sebelum akhirnya duduk di kursi meja riasnya untuk memeriksa laporan yang baru saja pria itu kirim.

Jika sedang bekerja, sudah pasti keadaan akan berubah menjadi hening. Rania fokus menatap layar iPadnya sementara Radeva kini sudah membuka macbook-nya. 

Setelah beberapa saat, Rania telah menyelesaikan pekerjaannya, karena mulai bosan ia meraih ponsel dan AirPods-nya untuk mendengarkan lagu. Ketika lagu yang tengah ia putar hampir berakhir, entah kenapa Rania ingin Radeva mendengarkan lagu ini juga. Lagu itu menjadi favoritnya akhir-akhir ini karena terlalu sering ia putar. 

"Bapak mau mendengarkan lagu yang saya putar nggak?" Rania coba bertanya. 

Meskipun terlihat heran, Radeva hanya bisa mengiyakan. Tidak biasanya Rania menawarkan hal seperti ini kepadanya. 

Rania melepas satu AirPods di telinganya dan memasangkannya kepada Radeva. Ia lalu menekan tombol play agar lagu kembali berputar. 

Radeva diam sambil berusaha mendengar lagu yang Rania putar. Awalnya ia hanya mendengar nadanya saja sebelum kemudian lirik lagunya mulai terdengar. 

🎶 Sesungguhnya aku tak sanggup tanpamu..

Tapi tahukah kamu..

Betapa ku mencintai dirimu? 

Tak sanggup ku melawan hatiku..

Yang s'lalu menginginkanmu..

 

Tolong yakinkan aku..

Perjuangkan atau ku menyerah..

Namun, bila tak bisa bersama..

Lebih baik ku menghilang..

 

Namun, bila tak bisa bersama..

Ku harap kau bahagia..

Tapi Tahukah Kamu? - Dygta feat. Kamasean

Radeva tertegun ketika selesai mendengar lagu yang Rania putar. Ia tidak terlalu mengikuti perkembangan musik dan ini adalah pertama kalinya ia mendengar lagu itu. Tapi entah kenapa, ia seolah tahu apa maksud Rania memintanya mendengarkan lagu itu. Radeva menoleh kearah Rania yang duduk di samping kirinya, dengan perlahan gadis itu mengangkat wajahnya dan ikut menatapnya setelah lagu berakhir.

"Rania!" 

Rania seketika berbalik menatap kearah pintu di belakangnya. Panggilan dari Mbak Sari seperti menyelamatkannya dari rasa gugup yang melanda. 

"Iya mbak, sebentar." Rania segera mematikan lagu yang terdengar berikutnya sambil melepas AirPodsnya dan menarik satunya lagi yang masih terpasang di telinga Radeva. "Saya keluar dulu ya Pak, Mbak Sari memanggil saya." 

Dengan langkah cepat Rania keluar dari kamarnya sambil menghembuskan napas lega. Ia sengaja memutar lagu tadi untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Radeva. Rania merasa sangat pengecut karena tidak berani mengatakannya secara langsung. 

Ia tidak tahu bagaimana respon pria itu sekarang setelah mendengar lagu yang ia putar tadi. Jika Radeva tidak mengerti, biarlah hal itu hanya menjadi sebuah lagu tanpa bisa mengungkapkan bagaimana isi hatinya sekarang. 

***

Sore hari ketika selesai beristirahat dan makan pecel sayur yang dibuatkan oleh Mbak Sari, Rania dan Radeva memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitaran desa. Udara di kampung masih terasa sejuk meskipun mataharinya juga cukup menyengat. Tapi sore ini terasa lebih dingin dari pada tadi siang. 

Hamparan sawah yang menguning di sisi kanannya menarik perhatian Rania. Sepertinya tidak lama lagi padi-padi itu sudah bisa dipanen. 

"Bapak kenapa?" tanya Rania heran melihat Radeva mengusap perutnya sejak tadi. 

"Saya masih merasa kekenyangan." 

Rania terkekeh pelan kala mendengarnya. Ia juga merasa takjub karena Radeva bisa membawa diri dengan baik ketika berhadapan dengan keluarganya. Pria itu sangat ramah dan banyak tersenyum hari ini. Bahkan Radeva tidak berhenti memuji masakan Mbak Sari yang katanya sangat enak hingga membuat Mbak Sari malu mendengar pujian Radeva. 

"Saya senang melihat Bapak makan dengan lahap tadi," jujur Rania.

"Saya sudah lama nggak makan pecel." Radeva sadar hari ini ia makan begitu banyak sampai merasa kekenyangan. 

Mereka berhenti pada sisi jalan yang langsung menghadap sawah. Keduanya berdiri bersisian sambil menikmati tiupan angin yang terasa sejuk setiap kali menerpa wajah mereka. 

"Nggak ada yang mau kamu katakan kepada saya? Saya sadar kamu sedikit berubah belakangan ini," ujar Radeva memulai pembicaraan setelah hening cukup lama. 

Rania menggigit bibirnya, ia melirik Radeva dengan ragu di sampingnya. 

"Rania." Panggil Radeva karena gadis itu tak kunjung mengatakan apapun. "Kenapa nggak bilang kalau kamu sudah tahu soal Laura?" 

"Bapak sendiri sepertinya juga enggan bercerita kepada saya." Rania merasakan getir pada kalimat yang diucapkannya.

"Bukan seperti itu maksud saya Rania—" penjelasan Radeva sudah lebih dulu Rania sela. 

"Pak." Panggil Rania. "Seandainya memang Laura masih penting untuk Bapak dan Bapak ingin kembali bersama dia, Bapak tinggal bilang sama saya. Saya hanya perlu pergi dari hidup Bapak."

Radeva menatap Rania yang terus berucap dengan sembarangan. "Sudah?" tanyanya ketika gadis itu diam. 

"Apanya?" 

"Sudah, segala asumsi kamu tentang saya?" 

Rania merapatkan bibirnya, tiba-tiba saja ia merasa tersudutkan mendengar pertanyaan pria itu. 

"Giliran saya yang menjelaskan kepada kamu sekarang." Pinta Radeva. "Kalau benar apa yang kamu ucapkan tadi, saya jelas nggak akan berada di sini sekarang. Untuk apa saya kesini, kalau bukan demi kamu yang saya tahu sedang salah paham. Sedikit banyak saya tahu sifat kamu Rania.... Jika saya jelaskan Laura sejak awal, ini yang saya takutkan, kamu pergi meninggalkan saya. Dan apa yang saya takutkan benar terjadi bukan?" tanya Radeva. 

"Tapi saya mengaku salah karena sudah menyembunyikan masalah ini dari kamu, harusnya kamu mendengar semuanya langsung dari mulut saya bukan melalui Arjuna. Saya minta maaf untuk itu." 

Rania hanya bisa menatap Radeva dengan matanya yang sudah berkaca-kaca saat mendengar kalimat yang diucapkan pria itu. Sulit sekali mengalihkan pandangannya dari tatap itu. Tatap pria yang tanpa sadar sudah membuatnya jatuh cinta. 

"Rania, dengar." Mohon Radeva sambil meraih kedua tangan Rania dan menggeggamnya. 

Setiap mendengar pria itu memanggil namanya, hal itu selalu berhasil menghasilkan gelenyar aneh pada tubuh Rania. 

"Saya memang mencintai Laura tapi itu di masa lalu, jauh sebelum kamu datang. Sekarang perempuan yang saya cintai adalah kamu. Kamu berhasil menghapus semua rasa yang saya punya kepada Laura. Kamu sudah merampas semuanya sampai habis tak bersisa. Harusnya saya yang menuntut penjelasan dari kamu.... Apa yang sudah kamu lakukan kepada saya? Sampai membuat saya menjadi tergila-gila dan sangat mencintai kamu seperti ini."

Rania sudah meneteskan air matanya, ia menunduk memperhatikan tangannya yang masih berada dalam genggaman Radeva sekaligus menyembunyikan tangisnya. 

"Tapi saya nggak pernah melakukan apa-apa ke Bapak." Lirih Rania. 

Radeva meraih dagu Rania agar menatapnya. Ia menghapus jejak air mata yang tertinggal di pipi gadis itu. "Sudah ya? Semuanya sudah jelas kan sekarang? Apa yang terjadi bukan seperti yang kamu pikirkan." 

Mau tidak mau Rania mengangguk. Sia-sia sudah apa yang ia takutkan beberapa hari ini karena nyatanya Radeva hanya mencintainya. Pria itu sudah melupakan masa lalunya dan tidak berniat kembali pada masa itu.

Radeva menarik Rania ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung gadis itu yang ia tahu malah semakin menangis dengan isakan yang cukup keras. 

"Kenapa kamu mudah sekali menangis dan overthinking." Heran Radeva. 

"Saya banyak kurangnya, jadi wajar kalau mudah overthinking. Selain itu, saya juga mudah digantikan dengan perempuan lain yang jelas lebih baik dari segi apapun." Rania melepaskan diri dari pelukan Radeva karena sadar mereka berpelukan tidak ingat tempat dan waktu. Akan sangat memalukan jika ada yang memergoki aksi mereka sekarang.

"Mau sebanyak dan sebaik apapun perempuan yang datang ke hidup saya, tidak akan berpengaruh apa-apa karena yang saya mau hanya kamu." Radeva memegang kedua pipi Rania sambil menatap mata gadis itu dengan lekat. "Kenapa menangis terus, nanti orang-orang bisa berpikir saya sudah apa-apain kamu. Kalau diminta tanggung jawab menikahi kamu saya jelas siap, tapi bagaimana kalau saya diusir dari sini?" Radeva dengan pertanyaan usilnya yang selalu mampu merubah perasaan Rania dalam sekejap. 

"Bapak, bisa nggak sehari aja nggak nyebelin?" Rania melepaskan kedua tangan Radeva dari pipinya dan berbalik meninggalkan pria itu untuk kembali ke rumah. 

Redeva tergelak melihat tingkah Rania sekarang. Lihatlah gadis itu yang terlihat menggemaskan persis seperti anak kecil yang sedang merajuk. 

"Sayang, tunggu." 

Mendengar panggilan sayang dari Radeva membuat Rania semakin mempercepat langkahnya, ia sudah hampir berlari sekarang. Radeva yang melihat itu ikut berlari sambil berusaha menyamai langkah Rania dengan gelak tawa yang masih terdengar dari bibirnya. 

***

Tbc...

Udah yaa, udah baikan noh merekaa 🥰

Harusnya selesai sampai di sini nggak sih cerita mereka karena semuanya udah jelass?? 🤔

Jangan lupa tinggalin love dan komennya ya 🤎

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Possessive Boss
Selanjutnya Possessive Boss - Additional Part 44
16
0
Kita ketemu di Additional Part lagi 😆Selamat membaca, semoga kalian suka yaa 🤎Pakai kode voucher ‘RANIARADEVA10’ buat dapetin potongan 2000 setiap pembelian paket Additional Part.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan