Hello, Mr. Ex (Prolog dan Part 1)

11
0
Deskripsi

Alinka Meara Salsabila, sangat menikmati statusnya sebagai mahasiswi. Baginya kuliah sangat menyenangkan, hal itu didukung dengan lingkungan kampus yang baik dan sahabat yang selalu ada untuknya.

Tapi sayang, ketenangan itu tidak bertahan lama. Masalah satu persatu mulai datang menghampirinya semenjak kehadiran dosen baru bernama Devan Alfrizi yang tidak lain tidak bukan adalah MANTAN PACAR-nya sendiri.

PROLOG

"Sampai kapan kamu akan mengabaikan aku terus. Kamu mau hubungan kita berjalan tanpa arah seperti ini? Kita pacaran Lin, tapi nggak kayak orang pacaran. Tanpa sadar, kita sudah menyakiti satu sama lain," ujar pria itu menahan marah.

Alin hanya bisa tertunduk, ia takut sekarang. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak terjatuh, tapi nyatanya tidak bisa. Ia tetap saja menangis sekarang.

Entah sudah berapa pasang mata yang memperhatikan mereka. Mengingat mereka bertengkar di tempat dan waktu yang sangat tidak pas. Mereka sedang berada di pinggir trotoar depan sebuah mall yang cukup terkenal. Sangat tidak tahu malu bukan?

"Alin lihat aku, jawab pertanyaan aku sekarang. Kamu maunya apa?" Pria itu memegang bahu Alin dan mengguncangnya perlahan agar Alin segera menatap wajahnya.

"Kamu nggak sayang sama aku?" Bisik Alin pelan.

"Udah nggak terhitung berapa kali aku bilang sayang dan cinta sama kamu. Bahkan aku nggak pernah, mencintai seseorang sampai sedalam ini."

Hati Alin terasa teriris saat mendengarnya, perasaannya semakin campur aduk. Ia juga mencintai dan menyayangi pria di hadapannya ini, tapi untuk melanjutkan hubungan ini terasa begitu berat. Alin tidak bisa melanjutkan, tapi juga tidak mau kehilangan. Entah disebut apa perasaan seperti ini.

"Aku juga sayang sama kamu," ujar Alin lirih.

"Tapi sikap kamu akhir-akhir ini menunjukkan sebaliknya."

Ya, Alin mengakui itu. Ia memang sengaja menghindari pria itu akhir-akhir ini.

"Kamu masih mau melanjutkan hubungan ini?" tanya pria itu sungguh-sungguh.

"Aku nggak tahu," jujur Alin.

"Nggak ada jawaban seperti itu. Pilihan kamu cuma dua, melanjutkan atau selesai sampai disini." Putus pria itu yang kemungkinan sudah lelah menghadapi sikap seorang Alinka.

"Kasih aku waktu." Mohon Alin.

"Aku sudah kasih kamu waktu selama dua minggu dan aku rasa itu sudah cukup. Jadi apa keputusanmu?"

Alin memejamkan matanya, ia harus berpikir dan memberikan keputusan tepat yang tidak akan pernah ia sesali nantinya. Setelah memikirkannya matang-matang, Alin akhirnya sudah bisa memutuskan.

Dengan perlahan Alin mendongakkan wajahnya, agar bisa menatap wajah pria di hadapannya ini dengan jelas.

"Makasih untuk semuanya." Lirih Alin akhirnya. Ia bisa melihat wajah terkejut pria itu saat mendengar ucapannya.

"Jadi itu keputusan kamu?" tanya pria itu sambil tersenyum sinis, "Baiklah kalau itu sudah menjadi keputusanmu. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Selamat tinggal Alin." Tanpa basa-basi lagi pria itu langsung berbalik badan dan meninggalkan Alin begitu saja.

Alin menatap punggung pria itu dengan nanar. Anehnya ia merasakan dadanya terasa begitu sesak dan air matanya kembali jatuh tanpa bisa ia cegah. Alin langsung membekap mulutnya agar suara isakannya tidak terdengar.

Hancur. Dunianya sudah hancur sekarang. Ini memang kemauannya, tapi kenapa terasa sangat menyakitkan. Hingga membuat Alin tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan menatap punggung pria itu yang terlihat semakin menjauh.

"Kak Devan." Alin memanggil nama pria itu dalam hati karena tidak mampu mengucapkan satu kata pun sekarang.

Suara nyaring alarm yang berasal dari ponselnya membangunkan tidur Alin. Ia langsung membuka matanya dengan napas yang sedikit memburu dan beberapa tetes keringat membasahi keningnya.

Mimpi itu lagi?

Alin mengusap wajahnya kasar karena mimpi yang menghantuinya tadi. Entah kenapa akhir-akhir ini ia sering memimpikan hal itu. Kejadian tiga tahun lalu antara ia dan pacarnya, ralat mantan pacar lebih tepatnya.

Ia sampai bingung sendiri karena sering memimpikan kejadian itu. Padahal ia sudah tidak pernah memikirkan pria itu lagi selama setahun belakangan ini. Ya, Alin memang baru bisa move on setelah dua tahun berlalu. Tidak benar-benar dikatakan move on sebenarnya karena dadanya masih terasa nyeri saat memikirkannya seperti sekarang.

Suara alarm yang berbunyi kedua kalinya menyadarkan pikiran Alin. Ia langsung bangun dari posisi tidurnya dan meraih ponselnya yang ia taruh di nakas samping tempat tidur. Sudah pukul setengah lima lebih sekarang. Alin sudah tidak mempunyai banyak waktu, ia bisa telat jika terus memikirkan mimpinya tadi mengingat ia ada kelas pukul tujuh nanti.

Lebih baik sekarang ia mandi untuk menyegarkan otaknya. Perihal mimpi itu tidak perlu ia pikirkan lagi. Memang seharusnya itu yang ia lakukan. Ia hanya akan menganggap mimpi itu sebagai angin lalu. Ia harus fokus pada kehidupannya sekarang dan melupakan masa lalunya.

Kamu pasti bisa Alin, semangat!!

***

Part 1: Mimpi Itu Lagi

Alin menuruni tangga demi tangga dengan lesu, rasanya ia tidak memiliki semangat sama sekali. Begitu sampai di lantai bawah, ia langsung duduk di meja makan dan menyesap coklat hangat yang telah Mamanya siapkan.

"Sarapan dulu ya Lin, mama sudah masak nasi goreng," ujar Dewi sambil menatap Alin.

"Mama kan tahu Alin nggak bisa sarapan pagi-pagi banget." Alin merilik jam tangannya yang masih menunjukkan pukul setengah enam pagi.

"Nanti kamu lemes di kelas, nggak bisa mencerna penjelasan dosen kamu." Omel Dewi.

Alin tidak mempedulikan mamanya, ia malah asik melamun sambil menghabiskan minumannya pelan-pelan.

"Alin berangkat dulu Ma." Alin berdiri dari tempat duduknya dan menyalimi tangan Mama Papanya dengan hormat.

Ia mengambil kunci motornya dan mulai menyalakan scoopy hitam miliknya. Ia memakai helmnya dan menunggu sampai motornya panas.

"Alin, tunggu!"

Alin menoleh saat mendengar teriakan Mamanya. Ia melihat Mamanya berjalan tergopoh-gopoh dari dalam sambil membawa roti di tangannya.

"Kalau nggak mau sarapan, bawa roti ini."

"Iya Ma." Alin mengambil roti dari tangan Mamanya.

"Kamu sakit?" tanya Dewi curiga melihat Alin yang tampak berbeda. Biasanya putrinya itu selalu berisik dan banyak tingkah.

"Enggak, Alin cuma males aja karena nanti ada kuis." Bohong Alin, yang membuatnya lemas adalah mimipinya semalam. Entah kenapa perasaannya menjadi tak karuan setelah mengingat mimpi itu.

"Yaudah hati-hati, jangan banyak melamun."

"Iya Ma, Alin berangkat dulu. Assalamualaikum." Pamit Alin lalu melajukan motornya dengan kecepatan sedang menuju kampusnya yang jaraknya sekitar tiga puluh menit dari rumahnya.

***

Alin memarkirkan motornya di parkiran kampus yang tampak sepi. Setelah itu ia langsung menuju kelasnya yang berada di lantai dua. Alin membuka pintu kelasnya dan keaadaan kelas masih sepi, hanya terlihat tiga orang temannya duduk di bangkunya masing-masing. Lagi-lagi Alin datang terlalu pagi. Sahabatnya juga belum datang, lebih baik ia menunggu di luar sambil menikmati udara pagi yang sedikit menyegarkan.

Hari Selasa adalah hari yang paling tidak enak bagi Alin. Dimana pada hari itu, ia ada kelas yang sangat pagi lalu kelas selanjutnya di jam tiga sore. Ia sering kebingungan untuk menghabiskan waktu luangnya di kampus, kalau pulang ia terlalu malas. Hanya membuang-buang bensin dan membuatnya semakin lelah.

Alin menyandarkan kepalanya di atas tangannya yang bertumpu pada railing balkon. Di depannya terlihat parkiran mobil yang perlahan-lahan mulai terisi, seiring datangnya para dosen dan mahasiswa lain.

"Woy, ngelamun aja. Lo nggak masuk Lin?" tanya Nadia salah satu sahabat terbaiknya di kampus.

"Tumben udah dateng?" Alin mengabaikan pertanyaan Nadia, ia malah balik bertanya.

"Sekarang udah jam berapa," jawab Nadia jengkel.

Alin melirik jam tangannya. Benar juga, lima belas menit lagi kelas akan dimulai.

"Ayo masuk, tuh bu Dini udah dateng." Alin bisa melihat dosennya itu baru saja keluar dari mobil Ertiga putihnya.

Dengan segera Alin dan Nadia ngacir ke dalam kelas, sebelum dosennya nanti mendahului mereka.

Alin dan Nadia duduk di bangku deretan nomor tiga. Duduk di deretan situ merupakan tempat yang paling pas, tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang. Masih aman jika ingin menghindari pertanyaan dari dosen.

"Nayla kok belum dateng ya?" Alin menanyakan keberadaan sahabat satunya yang belum terlihat batang hidungnya.

"Paling bentar lagi juga dateng," sahut Nadia enteng.

Dan benar saja, menit-menit akhir sebelum absen dimulai Nayla datang dengan napas yang tidak beraturan.

"Tau nggak? Gue lari dari parkiran sampai ke kelas, belum mulai kan absennya?" tanya Nayla panik.

"Napas dulu kali buk, tenang absennya belum di mulai," jawab Alin tidak begitu heran dengan kelakuan Nayla. Sudah berteman sejak semester satu membuat mereka sudah hafal dengan sikap satu sama lain.

"Alhamdulillah," ujar Nayla menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan lega. Tidak lama kemudian absen pun dimulai dan dilanjutkan dengan penjelasan materi dari dosen.

***

Alin sudah berkemas-kemas bersiap untuk keluar dari kelas. Akhirnya satu mata kuliah sudah selesai Alin lewati hari ini, sekarang ia berniat untuk ke kantin karena sudah kelaparan.

"Boleh minta waktunya sebentar? Ada pengumuman penting yang ingin saya sampaikan," ujar Bu Dini yang merupakan dosen pengampu untuk mata kuliah Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio.

Perkataan dari dosennya tersebut berhasil menghentikan seluruh aktivitas mahasiswa di dalam kelas. Kelas yang semula berisik kini seketika menjadi hening.

"Sejujurnya ini kesalahan saya, karena tidak memberitahu kalian dari awal. Jadi, akan ada dosen pengganti untuk mata kuliah ini setelah UTS, karena saya ada urusan pribadi dan mengharuskan saya untuk pergi ke luar negeri. Jadi, setelah UTS mata kuliah ini akan di ajar oleh dosen pengganti ya."

"Yahh bu."

Terdengar suara kecewa dari anak-anak di dalam kelas ini. Termasuk Alin yang juga ikut sedih karena ia sudah suka dengan Bu Dini. Bagi Alin beliau termasuk dosen yang baik karena tidak pernah memberikan tugas yang berat. Sulit beradaptasi dengan dosen baru, apalagi jika dosennya nanti galak.

"Kita sudah nyaman diajar oleh Bu Dini," ujar Farhan yang merupakan wakil ketua kelas.

"Iya bu." Sahut mahasiswa lain bergantian.

"Trust me, kalian akan suka dengan dosen pengganti nanti. Orangnya asik dan juga tampan." Bu Dini tersenyum menggoda kearah mahasiswi.

"Kalau anak perempuan pasti pada seneng bu tapi nggak dengan kita." Farhan menunjuk dirinya dan teman laki-lakinya.

Hal itu memancing tawa Bu Dini, beliau sampai menggelengkan kepalanya karena melihat tingkah para mahasiswa yang ia ajar di kelas ini.

"Sudah-sudah, kalian pasti bisa beradaptasi lagi nanti. Untuk penilaian sampai dengan UTS, saya yang akan menilai. Setelah UTS, itu akan menjadi tanggung jawab dosen pengganti kalian. Jika kalian ingin protes nilai sampai dengan UTS bisa menghubungi saya, tapi setelah UTS saya sudah lepas tangan." Jelas Bu Dini.

"Baiklah, itu saja yang ingin saya sampaikan. Jangan lupa belajar untuk UTS minggu depan, semoga berhasil." Setelah mengatakan itu Bu Dini langsung keluar kelas dan sorak ramai dari mahasiswa mulai kembali terdengar di kelas ini.

Tapi Alin tidak terlalu memusingkan hal itu, yang ia pikirkan sekarang adalah belajar untuk UTS nanti yang membuatnya malas.

"Kantin yuk laper," ujar Alin kearah Nadia dan Nayla.

"Badan paling kecil tapi gampang laper." Cibir Nadia.

"Gue sendiri juga bingung." Heran Alin.

"Kalian mau makan apa?" tanya Nayla.

"Terserah, ngikut aja." Pasrah Alin.

"Kepengen soto," sahut Nadia.

"Eh sama." Wajah Nayla langsung berbinar-binar.

"Yaudah kita makan soto." Alin segera menarik kedua temannya untuk menuju kantin yang terletak di lantai bawah.

***

Alin menyesap es tehnya sebelum mulai makan, ia dari tadi sudah kehausan dan sangat ingin meminum yang segar-segar.

"Kalian kok cepet banget sih ngilangnya, tiba-tiba udah nggak ada di kelas." Alin melirik Tasya, salah satu teman kelasnya yang tiba-tiba sudah bergabung di mejanya.

"Alin tuh, udah kelaperan. Jadi langsung buru-buru ke kantin tadi." Sahut Nadia.

"Kebiasaan deh Alin ini." Cibir Tasya.

"Sorry," jawab Alin sambil nyengir tanpa dosa.

"Kira-kira dosen barunya ganteng beneran nggak ya," ujar Tasya tiba-tiba.

"Kalau ganteng Sya, pasti semangat gue datang ke kampus. Nanti waktu kelasnya, gue duduk di bangku paling depan," jawab Nadia berapi-api.

"Nggak asik ah ganti dosen, udah nyaman sama dosen lama." Sahut Nayla yang masih waras dengan tidak mempedulikan ucapan Tasya dan Nadia.

Alin sendiri tidak begitu mendengarkan, ia lebih memilih menikmati makanannya selagi masih hangat.

"Kalau lo gimana Lin, seneng nggak?" tanya Nadia.

"Apa?" tanya Alin.

"Soal dosen baru itu."

"Entahlah, kan belum ketemu. Bisa aja dia ganteng tapi udah tua." Alin mengedikkan bahunya malas.

"Bukannya kamu suka sama yang lebih tua ya?"

Alin tersenyum, seleranya dengan Nadia memang sama. Mereka menyukai laki-laki yang lebih dewasa intinya.

"Kalau udah jadi istri orang buat apa?" tanya Alin.

Seketika Nadia memerosotkan bahunya dengan lemas.

"Buat semangat aja supaya nggak males masuk kelas. Kan lumayan sambil cuci mata," jawab Nadia tidak mau kalah.

Alin hanya menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan pemikiran Nadia. Ia tidak begitu semangat menggubris ucapan teman-temannya lagi. Perasaannya masih belum membaik karena mimpi yang menghantuinya semalam. Kepalanya juga terasa berat. Lebih baik sekarang, ia fokus dengan UTS-nya, dari pada memikirkan dosen baru ataupun mimpi itu lagi.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Hello Mr.ex
Selanjutnya Hello, Mr. Ex (Part 2 dan 3)
3
0
Langsung baca aja yaa part 2 dan 3, jangan lupa kasih tanda love dan komen setelah baca ๐Ÿ’œ
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan