
Langsung baca aja yaa, jangan lupa kasih love dan komen setelah baca π
Gratis sampe hari Minggu aja, hari Senin udah dikunci. Buruan bacaaaa ^^
Part 30: Menghindar
Alin sudah memakai pakaian rapi saat duduk di meja makan. Ia akan berangkat ke kampus karena ada kelas pukul satu siang. Tapi sebelum itu, ia memutuskan untuk makan terlebih dahulu karena Mamanya memasak makanan kesukaannya yaitu sambel terong.
"Ma." Panggil Alin pelan.
"Apa?" tanya Dewi melirik Alin yang tampak murung.
"Anak-anak kayaknya udah tahu deh kalau aku pacaran sama Mas Devan," ujar Alin.
"Terus?"
"Alin nggak mau Ma, banyak yang ngegosipin Alin sekarang." Alin yakin hal itu pasti terjadi dan tidak bisa ia hindari.
"Ngapain kamu dengerin?"
"Ck." Alin berdecak kesal. Mamanya dan Devan sama saja. Mereka tidak tahu apa yang Alin rasakan sehingga bisa berkata demikian.
"Masalahnya mereka bilang kalau Alin pacaran sama Mas Devan supaya nilai Alin aman." Alin menambahkan.
"Kok kurang ajar banget? Kamu jelasin kalau hal itu nggak bener."
"Udah Ma, tapi kayaknya nggak berhasil."
Baru bercerita sebagian saja Mamanya sudah marah, bagaimana jika Mamanya tahu kalau biang kerok masalah ini adalah pacar Rio. Pasti Mamanya akan semakin murka. Lebih baik Alin tidak bercerita lebih jauh lagi.
***
Devan berjalan keluar dari masjid kampus, ia baru selesai melaksanakan sholat Jum'at. Hari Kamis dan Jum'at adalah jadwalnya mengajar di kampus Alin. Saat tidak sengaja melihat kearah kantin, Devan melihat Alin sedang duduk bersama teman-temannya. Ide untuk mengajak Alin makan siang terlintas di otaknya, ia juga merasa bersalah karena tidak bisa menjemputnya tadi, padahal sepeda gadis itu ada di kampus.
Devan: "Udah makan siang belum? Makan siang bareng yuk."
Devan melihat Alin melirik ponselnya, ia kira Alin akan membalas pesannya tapi dugaannya salah. Kernyitan bingung tak bisa Devan tahan saat tahu Alin mengabaikan pesannya.
Entah kenapa Devan merasa Alin menghindarinya, sikap gadis itu sudah aneh sejak semalam. Karena tidak ingin penasaran semakin lama, Devan memilih untuk menelpon Alin dan melihat bagaimana reaksi gadis itu.
***
Alin menahan umpatannya saat melihat Devan menelponnya. Pria itu gigih juga rupanya.
"Siapa?" tanya Nadia melihat wajah panik Alin.
Alin hanya menunjukkan layar ponselnya tanpa berniat menjelaskan lebih jauh.
"Buruan diangkat." Suruh Nadia.
Alin berjalan sedikit menjauh dari teman-temannya untuk mengangkat panggilan dari Devan.
"Ya Mas?" tanya Alin.
"Kok pesanku nggak dibalas?" tanya Devan langsung.
"Alin lagi sama temen sekarang. Alin juga udah makan kok tadi."
"Mau temani aku makan nggak?"
Alin melirik jam tangannya, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit sebelum kelasnya dimulai. Dosennya nanti juga suka datang terlambat. Tapi Alin tidak mau, ia harus menjaga jarak dengan Devan saat dikampus.
"Kan Alin ada kelas sebentar lagi, Mas makan sendiri aja ya." Tolak Alin.
"Sebentar aja kok, kan kamu tahu makanku nggak lama."
"Nggak bisa Mas, lain kali aja ya?" Alin berharap Devan akan mengerti.
"Yasudah kalau begitu."
"Alin tutup ya telponnya."
Alin mematikan panggilan Devan dan kembali kepada teman-temannya. Ia tidak menyadari jika Devan dari tadi terus memperhatikannya.
Devan tersenyum masam sambil menatap Alin, jadi benar gadis itu menghindarinya meskipun Devan tidak tahu apa alasannya.
***
Alin membereskan piring sisa makannya dengan Devan. Sabtu pagi ini Devan tiba-tiba main ke rumahnya tanpa memberi kabar. Untung saja Alin sudah mandi, jadi ia bisa menyambut pria itu dengan layak. Karena kebiasaannya jika libur ia hanya mandi sehari sekali saat sore.
"Enak nggak masakannya?" tanya Dewi pada Devan. Hari ini ia memasak soto ayam atas permintaan Alin.
"Enak tante."
"Syukurlah kalau kamu suka, tante tinggal masuk dulu ya." Dewi selalu senang jika Devan makan dirumahnya. Apalagi Devan terlihat lahap saat makan.
"Iya tante."
Alin menghampiri Devan di ruang tamu sambil membawa dua mangkok bubur. Sejak semalam ia ingin makan bubur ketan hitam, beruntung pagi ini tempat langganannya buka.
"Mas suka bubur ketan hitam kan?" tanya Alin.
"Suka." Devan menerima bubur dari Alin.
Alin duduk di samping Devan, ia memakan buburnya sambil asik memainkan ponsel. Ia terus men-scroll layar ponselnya tanpa menyadari jika Devan dari tadi terus memperhatikannya.
Tidak tahan Alin terus mengabaikannya, Devan langsung mengambil ponsel Alin dan menyimpannya.
"Mas Devan?" Alin kaget melihat Devan yang tiba-tiba mengambil ponselnya, "Balikin hp Alin." Alin mengulurkan tangannya kearah pria itu.
"Nggak mau," sahut Devan sambil terus memakan buburnya.
"Kok gitu?"
"Aku dari tadi dicuekin sih."
Alin menghela napas pelan, "Kan kita masih makan. Alin nggak bisa makan tanpa main hp. Aneh aja gitu rasanya cuma bengong sambil makan."
"Aku mau tanya sesuatu deh Lin sama kamu."
"Apa?"
"Kamu menghindariku ya?"
Alin gelagapan sendiri di tanya seperti itu oleh Devan, "Nggak, atas dasar apa Alin menghindari Mas?"
"Beneran?" Devan menatap Alin penuh menyelidik.
"Iya." Alin menjawab tanpa menatap Devan sama sekali.
"Serius kamu nggak menghindari aku?" Devan memegang dagu Alin agar mau menatapnya.
"I.. iya, serius," jawab Alin berusaha santai, "Sini balikin hp Alin."
Devan tersenyum mengejek melihat respon Alin, "Jadi benar kamu menghindariku." Lirih Devan saat sudah tahu jawabannya.
Seketika perasaan bersalah menghantui Alin, ia juga tidak mau hubungan mereka jadi seperti ini.
"Alin nggak mau deket-deket Mas di kampus, karena di sana Mas adalah dosen Alin. Jadi kita bersikap layaknya dosen dan mahasiswi pada umumnya aja ya Mas?" Alin berusaha memberikan alasan yang masuk akal pada pria itu.
"Kamu pacar aku. Dimana pun kita berada aku selalu menganggap kamu pacar aku," ujar Devan.
"Nggak bisa gitu Mas, Alin nggak mau jadi bahan omongan mahasiswa lain. Waktu kita di depan masjid kemarin aja udah banyak kan yang melihat kita dengan tatapan aneh?"
"Who cares?"
Alin membuang muka, ini alasan ia malas memberitahu Devan. Jawaban pria itu selalu sama, Devan tidak peduli dengan pendapat orang lain, berbeda dengan Alin yang masih memikirkannya.
"Udah ya, Alin nggak mau bahas ini. Nanti kita jadi berantem." Alin mengusap dada Devan untuk meredakan kekesalan pria itu. Setelahnya ia menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada Devan, ia merindukan saat-saat dimana hubungan mereka baik-baik saja tanpa ada masalah seperti sekarang.
Alin melirik Devan saat pria itu mengabaikan ponselnya yang berdering.
"Kok nggak diangkat?" tanya Alin penasaran.
"Nggak penting," ujar Devan cuek.
Bicara soal ponsel, Alin tidak pernah memeriksa ponsel pria itu. Entah kenapa Alin percaya kepada Devan, ia yakin pria itu tidak akan mengkhianatinya. Tapi melihat Devan mengabaikan telepon barusan membuat Alin merasa aneh, ia mendongakkan wajahnya untuk menatap pria itu.
"Ada apa?" tanya Devan.
"Siapa tadi yang telpon?" tanya Alin sambil cemberut.
Devan menghela napas pelan lalu memberikan ponselnya kepada Alin, "Dia temenku SMP."
Alin mengernyitkan dahinya saat membaca pesan yang dikirimkan teman SMP pria itu.
Mega: Hai Dev.
Lo udah balik ke Jakarta ya?
Devan: Siapa?
Mega: Gue Mega, temen SMP lo, masa lupa sih hehe
Devan: Dapet no gue dari?
Mega: Kan kita gabung di grup SMP yang sama π
Chat pertama mereka berakhir disitu karena Devan tidak membalas. Lalu perempuan itu mengirimkan pesan lagi kepada Devan.
Mega: Anak-anak nanti malem mau nongkrong, lo mau ikut nggak?
Devan: Sorry, lagi sibuk
Mega: Sok sibuk banget sih, emang kerja dimana sekarang?
Karena pesannya tidak dibalas oleh Devan, perempuan itu mengirimkan pesan lagi.
Mega: Kalau lain kali diajak nongkrong mau ya? Kalau lo malu karna udah lama nggak ketemu anak2, kita pergi barengan aja gimana?
"Dih." Cibir Alin tidak tahan melihat chat dari perempuan bernama Mega itu. Sudah tahu diabaikan, tapi masih saja mengirim pesan kepada Devan. Dan menurut Alin semua isi pesan selanjutnya tidak ada yang penting. Mulai dari menanyakan lagi apa, sudah makan belum, bahkan ada pesan dari Mega yang mengajak Devan pergi secara terang-terangan.
"Dia suka sama Mas?" tanya Alin sambil mengembalikan ponsel Devan.
"Aku juga nggak tahu." Devan kembali menyimpan ponselnya.
"Mas nggak berniat selingkuh kan dari Alin?" tanya Alin curiga.
"Dari pada selingkuh mending dari awal aku pacaran sama dia."
"Ihh, yaudah pacaran aja sana sama dia." Alin menjauh dari Devan sambil merajuk.
"Kok marah? Kan aku cuma jawab pertanyaan kamu tadi."
Alin masih belum mau menatap Devan, ia pura-pura sibuk memainkan kukunya.
"Aku nggak suka sama dia Lin. Yang aku suka cuma Alinka. Si anak galak, ngambekan, kadang nyebelin tapi selalu ngangenin." Devan menarik Alin agar bersandar di dadanya lagi.
"Jelek banget Alin di mata Mas, nggak ada bagus-bagusnya. Jadi si Mega itu orangnya baik, cantik, kalem, pengertian gitu?"
"Hush, nggak boleh ngomongin orang." Devan mengelus rambut Alin.
"Awas ya kalau Mas berani macam-macam di belakang Alin."
"Makanya kita nikah, supaya bisa sama-sama terus."
Alin memutar bola matanya jengah, pembahasan mengenai pernikahan belum selesai rupanya.
"Alin belum siap mas," jujur Alin.
"Sekarang lagi musim nikah muda emang kamu nggak pengen?"
Alin diam memikirkan pertanyaan Devan, "Pengen sih, tapi lebih banyak nggak siapnya."
"Kan aku nggak nuntut banyak dari kamu, apa yang buat kamu nggak siap?"
Alin sebenernya mau-mau saja menikah dengan Devan. Tapi ia takut pernikahannya nanti tidak sesuai ekspektasinya. Ia sadar jika menikah tidak seindah yang ia bayangkan, masalah dalam rumah tangga pasti selalu ada. Alin belum siap akan hal itu.
"Temen-temen Alin yang udah nikah kelihatan nggak bahagia Mas. Alin tahu nggak semuanya seperti itu, tapi kebanyakan emang pada nggak bahagia."
"Kan yang kamu lihat waktu sedihnya aja, sebenarnya lebih banyak hal yang buat mereka bahagia kok."
"Temen Alin cerita kalau sifat suaminya berubah semenjak nikah. Kalau mas Devan juga berubah nanti gimana?"
"Nggak akan Lin." Devan berusaha meyakinkan Alin.
"Iya sekarang bilangnya enggak, tapi nanti bisa aja berubah." Lirih Alin.
Devan menghela napas pelan, "Harus pakai cara apa lagi ya supaya aku bisa meyakinkan kamu?"
"Udah ah, Alin nggak mau bahas itu lagi. Intinya Alin belum siap untuk nikah."
"Kalau belum mau nikah seenggaknya foto kita dipamerin di sosmed kamu gitu," ujar Devan kesal karena Alin tidak pernah mengupload foto mereka di sosmed gadis itu.
"Kan Mas dosen Alin, nanti kita jadi bahan gosip di kampus."
Meskipun sebagian anak di kampus sudah tahu statusnya dengan Devan, Alin tetap tidak mau menunjukkannya secara langsung. Biarlah mereka penasaran dan bertanya-tanya sendiri mengenai hubungannya dengan Devan.
"Supaya orang-orang tahu aku punya pacar, biar nggak ada yang gangguin aku lagi." Jelas Devan.
"Yaudah, mas aja yang upload. Sini hpnya."
Alin mengambil ponsel Devan dan mengupload fotonya dengan pria itu saat beberapa waktu lalu makan sushi di mall.
"Udah kan? Biar si Mega lihat dan nggak gangguin Mas lagi."
Devan memijat pelipisnya pelan, bukan ini yang ia mau. Ia mau Alin juga sama-sama mengakui hubungan mereka di depan banyak orang. Tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti sekarang.
"Terserah kamu aja lah Lin." Pasrah Devan. Ia tidak akan bisa menang jika berdebat masalah ini dengan Alin. Gadis itu pasti mempunyai berbagai macam alasan untuk membantahnya.
***
Part 31: Bad Day
Alin mematung di tempatnya berdiri. Begitu keluar dari toilet ia melihat Dinda sedang mencuci tangan di wastafel. Entah bagaimana ia bisa kebetulan bertemu dengan Dinda, padahal sebelumnya ia jarang bertemu dengan kakak tingkatnya itu selama di kampus. Dengan helaan napas pelan, Alin berdiri di samping perempuan itu. Ia ingin mencuci tangan dengan cepat agar bisa segera pergi dari toilet.
"Gimana jadi mahasiswi kesayangan dosen? Enak banget ya. Nggak perlu capek-capek belajar, nilai tetep aman. Jadi kasihan sama temen-temen kamu yang susah payah belajar tapi nilainya jelek."
Dinda melirik Alin dengan senyum sinis. Melihat wajah sok polos Alin membuatnya marah. Ia ingat bagaimana Rio mengabaikannya saat ia ajak bicara. Ia pikir Rio sedang melamun, ternyata pandangannya tertuju pada Alin yang saat itu sedang bersama teman-temannya.
Apalagi Rio sering membicarakan Alin di depannya. Rio bilang tidak suka melihat Alin dekat dengan dosen baru itu. Hal itu semakin membuat Dinda marah. Ia yang sudah pacaran hampir tiga tahun, dengan mudahnya digantikan oleh Alin yang baru dekat beberapa bulan.
Sedangkan Alin berusaha tidak peduli mendengar ucapan Dinda.
Sabar Alinka! Jangan hiraukan perempuan gila di samping kamu.
Alin menarik tisu untuk mengeringkan tangannya dan keluar dari toilet, tapi langkahnya di halangi oleh Dinda.
"Mau lo apa sih?" tanya Alin yang mulai kesal. Ia sudah tidak mempedulikan sopan santunnya lagi. Menurutnya, perempuan seperti Dinda tidak pantas dihormati.
"Jangan pernah muncul di depan Rio lagi."
Alin membuang muka dengan senyum remeh, tanpa diminta pun ia sudah melakukan itu sejak lama.
"Lo nganggep gue saingan lo?" tanya Alin lagi.
"Gue?" tanya Dinda menunjuk dirinya sendiri. "Nggak level kali sama cewek gampangan kayak lo."
Sepertinya Alin salah karena meladeni Dinda, yang ada ia malah ikutan gila seperti perempuan itu.
"Dari pada pusingin hidup gue, mending lo kerjain skripsi lo. Temen lo udah pada sidang tuh."
Alin langsung keluar dari toilet setelah mengatakan itu. Untuk kedua kalinya ia kembali terkejut saat melihat siapa yang sudah berdiri di hadapannya. Sejak kapan pria itu ada di depan toilet. Apa pria itu sudah mendengar semuanya?
Dinda yang mengejar Alin karena masih tidak terima pun juga harus terpaku di belakang Alin. Ia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap pria yang berdiri di depannya dengan tatapan yang sangat tajam.
"M-mas Devan?" ujar Alin dengan terbata. Sepertinya ia tidak bisa menghindari pria itu lagi sekarang.
***
Alin hanya bisa pasrah saat Devan menarik tangannya untuk mengikuti pria itu.
"Lepasin tangan Alin mas." Alin berusaha melepaskan diri dari Devan. Tapi tidak berhasil cengkraman pria itu cukup kuat ternyata.
"Mas." Mohon Alin kepada Devan. Tapi Devan sama sekali tidak menggubrisnya.
"Tangan Alin sakit," ujar Alin lagi sambil menahan tangis.
Setelah mengatakan itu, akhirnya Devan melirik Alin dan melepaskan cekalan tangannya.
"Ikut aku ke ruanganku," ujar Devan dingin.
"Nggak mau, Alin mau balik ke temen-temen Alin aja." Alin ingin berbalik menuju kantin.
"Ck." Devan berdecak kesal sambil menatap Alin, "Mau aku gendong?" Ancam pria itu melihat Alin yang keras kepala, meskipun Devan tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya mengingat mereka masih dikampus.
"Ini di kampus mas,"
"Okay, kalau kamu mintanya gitu." Devan bersiap mengangkat Alin tapi ia kalah cepat karena Alin sudah berjalan mendahuluinya.
"Alin bisa jalan sendiri." Sahut Alin tanpa menatap Devan.
Devan menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya berlari kecil menyusul Alin.
***
Alin hanya diam saat melihat Devan mengunci pintu ruangannya. Ia duduk di sofa dengan menunduk tidak berani melihat wajah menakutkan Devan yang sedang marah.
"Kalau misal aku nggak denger pembicaraan kalian, sampai kapan kamu akan menyembunyikan hal itu?" tanya Devan masih bersandar di pintu.
Sebenarnya hari ini Devan tidak ada jadwal mengajar di kampus Alin, ia hanya mampir sebentar karena ada urusan dengan Rizal. Ketika akan kembali ke ruangannya, ia malah tidak sengaja mendengar pembicaraan Alin dengan perempuan yang ia yakini sebagai pacar Rio di kamar mandi.
"Bukannya Alin nggak mau cerita, tapi..."
"Udah berkali-kali aku bilang kalau ada masalah cerita Lin." Devan memotong ucapan Alin, "Apa aku harus dengar dari orang lain atau nggak sengaja dengar kayak tadi, tiap kamu ada masalah?"
"Emang kalau Alin cerita ke Mas, ada yang berubah?" Alin memberanikan diri menatap mata Devan.
"Apa?" Devan tidak salah dengar bukan saat mendengar ucapan Alin barusan.
"Berulang kali Alin bilang kita harus jaga jarak di kampus supaya nggak ketahuan orang lain, tapi jawaban mas selalu sama. 'Siapa peduli?'. Mungkin bagi mas itu hal yang sepele, tapi nggak buat Alin. Alin nggak mau jadi bahan gosip anak-anak di kampus. Sedangkan mas? Siapa yang berani sama mas. Hidup mas akan aman-aman saja karena status mas adalah Dosen, tapi nggak dengan aku." Alin menumpahkan kekesalan yang ia pendam selama ini.
"Aku cuma mau kamu cerita Lin tiap ada masalah, kenapa jadi bahasnya kemana-kemana?"
"Ya itu masalahnya, mas Devan nggak pernah ngertiin perasaan Alin."
"Makanya kamu bilang supaya aku tahu apa yang kamu rasain."
"Sekarang Alin udah cerita semua sama Mas kan? Terus apa yang akan mas lakuin? Nggak ada kan?" Cecar Alin lagi.
"Ada. Kalau kamu cerita dari awal masalah kamu sama perempuan tadi, aku akan coba ngertiin kamu. Aku akan mengikuti kemuan kamu dengan jaga jarak di kampus. Tapi kamu milih buat menutupi semuanya kan? Kamu terlalu rendah menilai aku Lin, sampai-sampai membuat aku jadi orang paling egois disini."
Alin menghela napasnya pelan sambil memalingkan wajahnya, kenapa jadi ia yang disalahkan sekarang?
"Udahlah Alin capek."
Alin berdiri ingin segera keluar dari ruangan Devan. Tapi pria itu menghalanginya.
"Buka pintunya, Alin mau keluar sekarang."
"Ayo kita nikah supaya nggak jadi bahan omongan di kampus dan kita nggak perlu berantem masalah ini lagi," ujar Devan sungguh-sungguh.
"Kenapa bahasnya kesana terus sih. Udah aku bilang, aku nggak mau nikah sama kamu dalam waktu dekat." Alin tidak memanggil Devan dengan sebutan 'Mas' seperti biasa karena terlalu kesal.
"Terus kamu maunya apa?" tanya Devan.
"Alin mau sendiri dulu."
Merasa tidak akan bisa bicara baik-baik lagi, Devan akhirnya membukakan pintu untuk Alin. Ia membiarkan gadis itu keluar tanpa berniat menahannya.
***
Alin mengatur napasnya yang memburu, ia kembali ke kantin dimana teman-temannya yang lain berkumpul.
"Lama banget ke toiletnya?" tanya Nadia. Sejujurnya ia tadi sudah melihat Alin berjalan mengikuti Devan.
"Iya ada urusan bentar tadi." Alin beralasan, "Gue keluar dulu ya. Gerah banget disini." Alin mengambil tote bag miliknya dan berjalan keluar dari area kantin.
Alin memilih duduk di gazebo sambil menenangkan diri, ia tidak mau bergabung bersama teman-temannya dulu karena ia malas berbasa-basi di tengah suasana hatinya yang memburuk.
Dari jauh ia bisa melihat Nadia dan Nayla datang menghampirinya.
"Kenapa Lin?" tanya Nayla saat sudah duduk di sampingnya.
"Muka gue kelihatan banget ya kalo lagi bete?" Alin balik bertanya.
"Bangett, lo nggak bisa bohong kalau lagi ada masalah. Semua kelihatan jelas di wajah lo." Timpal Nadia.
Alin menghela napas kasar, ia memang susah mengontrol diri. Sulit baginya untuk terlihat baik-baik saja jika sedang marah.
"Gue ketemu Dinda di toilet. Kurang ajar banget mulutnya. Gue dibilang cewek gampangan lah, kesayangangan dosen lah." Dari awal Alin sudah menceritakan semua permasalahannya kepada Nadia dan Nayla.
βTerus kok lo bisa sama Pak Devan tadi?β
"Itu dia masalahnya, Devan udah denger semuanya tadi."
"Jadi Pak Devan udah tahu?"
"Iyaa." Alin menganggukkan wajahnya dengan lesu. Setelahnya ia menelungkupkan wajahnya di atas lengannya.
βDia marah ya sekarang?β
"Banget. Gue bingung mesti gimana sekarang."
Alin memang senang Devan hadir lagi di hidupnya, tapi entah kenapa akhir-akhir ini ia sering mendapatkan masalah dan semuanya selalu berhubungan dengan Devan. Apa keputusannya untuk berbalikan dengan pria itu salah sejak awal?
"Sabar ya Lin, kalian pasti bisa melewati ini. Anggap aja ini ujian buat lo sama Pak Devan, supaya kalian semakin kuat dan yakin dengan hubungan yang kalian jalani." Nayla berusaha menenangkan Alin.
Tapi Alin sudah tidak bisa berpikir jernih. Ia benar-benar bingung, hubungannya dengan Devan akan bagaimana kedepannya jika terus diterpa masalah seperti ini.
***
Kalian mau lihat Devan sama Alin sampai nikah apa engga sih kira2?
Dari pada berantem mulu gimana kalo kita kawinin aja mereka π
Setujuu???
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
