3 | Perkara Paket Misterius

28
14
Deskripsi

Kegiatan pagi ini masih berlangsung. Dengan Rey dan Bayu yang kini membersihkan ilalang dan rumput liar yang tumbuh di sela-sela pagar. Juga daun-daun kering dari pohon mangga yang berdiri kokoh di halaman rumah. Bila kata Dirga, itu menjadi sarang Mbak Kun. Tapi Bayu mana percaya. Apalagi mangga di sana rajin sekali berbuah. Saat jatuh juga masih utuh, tak ada gigitan Mbak Kun. Rasanya jangan ditanya, tergantung hoki yang mencari. Kadang manis, semanis senyum Mbak Sri—penjual jamu. Kadang asam,...

post-image-67d793e150c9d.jpeg

"Dari sekian banyak manusia, dipertemukan dengan kalian adalah anugerah." - Anak Bujang Mami Indah.





Seperti biasa, kegiatan mereka di hari minggu pagi pasti bersih-bersih rumah dan kamar pribadi. Lebih meringankan pekerjaan yang mendapat jadwal piket di hari minggu, karena banyak yang membantu. Tidak ada alasan tidak ikut bersih-berish kecuali memang ada kegiatan yang mendesak atau sedang sakit. Bila hanya karena, 'gue mager, hari minggu mau istirahat aja', siap-siap akan mendapat semprot dari Deri.

Maka mau tidak mau semua harus bangun lebih pagi. Sarapan, lalu langsung pada kegiatan inti. Tak ada yang malas-malasan apalagi yang hanya mendapat tugas membersihkan kamar pribadi. Jadi jangan heran bila kamar mereka selalu tertata rapi. Tak terlalu berantakan atau berdebu. Karena maksimal dua minggu sekali pasti dibersihkan sampai kolong-kolong. Ini juga yang membuat Mami Indah mempercayakan rumah ini untuk diurus bocah-bocah rusuh itu. Karena selama mereka tinggal, tak ada kerusakan yang berarti selain lampu yang mati.

"Gunting rumput mana, sih? Terakhir yang makai siapa? Masak gue pakai gunting rambut," gerutu Rey. Menyusuri setia sudut ruang tamu, mencari benda yang ia butuhkan untuk membersihkan halaman. Ilalang di halaman memang cepat sekali tumbuh, lebih cepat dari rambut Rey yang dipangkas sebulan sekali.

"Pakai gunting kuku aja nggak, sih? Biar rapi," sahut Dirga yang datang dari kamar Allex, meminjam kemoceng.

"Ngadi-ngadi memang ini anak. Gunting rumput lo umpetin di mana?"

"Astaga. Di hari minggu pagi yang cerah ini gue udah kena fitnah? Ngapain gue ngumpetin gunting rumput, jancuk. Nggak ada fungsinya. Lo kira gue melihara ilalang dalem kamar?" ucap Dirga.

"Lo, kan, klepto. Mana tahu nggak sengaja kesimpen, kan?"

"Astaga. Lo udah fitnah, nuduh maksa pula. Bilangin nggak ada! Bebal banget, sih."

Allex yang mendengar keributan di depan kamarnya segera keluar. Mendahuli Deri, sebelum anak itu datang dengan membawa wajan untuk memukul satu persatu kepala Rey dan Dirga. Bisa-bisanya musik dari speaker-nya kalah dengan suara mereka berdua.

"Kebiasaan, masalah gunting rumput aja sampai ribut. Dicari yang bener dulu, nggak mungkin hilang," ucap Allex.

"Gue difitnah, Lek. Dituduh maling pula."

"Gue cuman nanya, Lex, siapa tahu beneran diumpetin, kan," bantah Rey.

"Nanya apaan, woy. Nuduh itu, babi!"

Perdebatan Rey dan Dirga masih berlanjut. Membuat Raga yang sedang merapikan lemari ikut mendongak keluar.

"Bisa nggak sih, pagi-pagi nggak usah ribut. Gunting rumput ada di belakang, di bawah jemuran. Makanya nyari yang bener, pakai mata. Bukan mulut!" ucap Raga. Dirga yang melihat wajah kusut Raga segera berlari ke kamar. Ia tak mau ikut menjadi orang yang disalahkan. Apalagi kalau sudah perkara saling menyalahkan, ia menjadi list pertama yang anak itu salahkan. Entah ia benar salah atau memang Raga benci saja melihat wajahnya.

"Sabar. Udah makan, kan? Ya, udah, gue cari dulu. Makasih banyak infonya, Ga." Rey ikut pergi. Berlari ke halaman belakang seperti yang Raga beritahu tadi. Dari raut wajah anak itu seperti sudah siap menerkam orang.

Kini hanya menyisakan Raga dan Allex di sana setelah dua anak rusuh itu memilih kabur. Deri sedang berada di dapur, membersihkan dapur dan membuat cemilan untuk anak-anaknya yang akan mengeluh kelaparan lagi setelah selesai bersih-bersih. Bayu sedang membersihkan halaman dan Jeffry sedang mencuci motor. Semua anteng dengan tugasnya masing-masing kecuali Rey dan Dirga yang memilih menambah keributan.

"Lo bersih-bersih kamar nggak pakai masker, Ga? Asma lo kambuh nanti," ucap Allex saat anak itu baru saja akan kembali masuk ke kamar.

"Gue lagi bersihin lemari nggak bersihin debu, jadi aman. Nanti bagian bersihin debu si Dirga, tunggu aja anak itu dateng lagi sama sapu bulu-nya."

"Oh, kirain. Inget jendela dibuka kalau bersihin debu," ucap Allex yang langsung diberi acungan jempol oleh Raga sebelum anak itu masuk kamar. Sudah menjadi ketakutan berjama'ah bila asma Raga kambuh, satu rumah pasti akan ketar-ketir. Anak itu sudah beberapa kali kolaps, bahkan hanya karena masalah sepele. Jadi sekecil apa pun yang memancing asama Raga kambuh, mereka pasti menghindari.

Setelahnya, Allex kembali ke kamar. Membersihkan kamarnya yang belakangan ini berantakan karena ia keseringan pulang malam dan berangkat pagi-pagi. Seharian di kampus karena akan ada acara di jurusan. Jadi mumpung hari minggu ada waktu, ia gunakan untuk membuat kamarnya tak lagi menjadi gudang. Masih ditemani musik yang menggema bak konser tunggal. Yang sering diprotes Jeffry karena anak itu tidak bisa mendengarkan lagu koplo kesukaannya.

Allex tak peduli. Untuk apa ia membeli speaker besar dengan harga mahal bila tidak bisa di dengar oleh satu rumah, kan?

***

Kegiatan pagi ini masih berlangsung. Dengan Rey dan Bayu yang kini membersihkan ilalang dan rumput liar yang tumbuh di sela-sela pagar. Juga daun-daun kering dari pohon mangga yang berdiri kokoh di halaman rumah. Bila kata Dirga, itu menjadi sarang Mbak Kun. Tapi Bayu mana percaya. Apalagi mangga di sana rajin sekali berbuah. Saat jatuh juga masih utuh, tak ada gigitan Mbak Kun. Rasanya jangan ditanya, tergantung hoki yang mencari. Kadang manis, semanis senyum Mbak Sri—penjual jamu. Kadang asam, kecut seperti wajah Deri bila mengamuk.

Tak jauh dari Rey dan Bayu yang sibuk merapikan halaman, ada Jeffry yang fokus mencuci motor. Padahal pagi ini Jeffry berniat pergi ke lapangan basket yang tak jauh dari kosan mereka. Rasanya sudah beberapa hari ia tak bermain basket karena kuliah pagi. Sedangkan sore selalu hujan. Berakhir ia hanya diam di kosan atau pergi nongkrong.

"Paket, Mas."

Suara kurir ekspedisi membuat tiga orang yang berada di halaman seketika menoleh. Jeffry yang pertama bangun, karena ia juga baru selesai mematikan keran air, jadi sekalian saja.

"Paket atas nama Rama, Mas."

Jeffry terdiam, meraih paket dengan kotak kecil yang diberikan oleh kurir itu.

"Tapi di sini nggak ada yang namanya Rama, Pak. Apa salah nomor rumah, ya?" ucap Jeffry. Ia tak mungkin lupa dengan nama teman-temannya di sini, kan? Mau nama panjang atau pendek pun, tak ada yang bernama Rama.

"Tunggu saya lihat." Kurir tersebut mengambil kembali paket yang sudah diserahkan tadi lalu mengecek alamatnya. "Jalan Merak Gang Mekar II Nomor 7A. Benar di sini, Mas."

"Iya, alamatnya benar, Pak. Tapi nggak ada yang namanya Rama di sini. Salah alamat kali, Pak. Sebelah mungkin."

"Tapi alamatnya di sini, Mas. Udah terima aja, yang penting saya antar sesuai alamat. Itu juga buka COD, jadi nggak rugi. Ya, sudah. Pamit, ya, Mas."

"Iya, makasih, Pak. Hati-hati," ucap Jeffry setengah berteriak karena kurir tadi sudah langsung tancap gas.

Setelahnya Jeffry masih mengecek kotak kecil itu. Melihat resi pengiriman, siapa tahu memang tulisannya agak pudar, jadi mudah tertukar. Namun data di resi ini jelas. Dengan nama Rama, juga alamat rumah ini.

"Paket siapa, Jeff?" Rey menghampiri Jeffry yang masih terdiam di pintu gerbang.

"Paketnya si Rama. Tapi gue nggak tahu Rama itu siapa."

"Lah, ngapain diterima kalau lo nggak tahu punya siapa?" tanya Rey.

"Bapak kurirnya nyuruh gue bawa aja. Karena alamatnya bener di sini. Maunya gue tolak, tapi kata bapaknya, yang penting dia udah bawa paket ini sesuai dengan alamat yang tertera. Jadi gue disuruh terima aja. Aman nggak, sih?"

"Coba tanya anak-anak, deh. Siapa tahu mereka ada akun baru dengan nama Rama" ucap Rey.

Jeffry mengangguk, lalu setengah berteriak memanggil Bayu yang sedang sibuk di bawah pohon. "YU. ADA BELANJA ONLINE NGGAK? PAKET LO BUKAN?" Jeffry mengangkat kotak kecil itu agar terlihat oleh Bayu.

"GUE NGGAK ADA BELANJA," sahut Bayu. Itu artinya, mereka bertiga sudah pasti tidak.

Akhirnya Jeffry memutuskan untuk masuk. Mengintrogasi teman-temannya yang menggunakan nama Rama saat berbelanja online. Untung kegiatan mencuci motornya sudah selesai. Kamarnya juga sudah rapi karena selalu ia rapikan setiap pagi. Hanya sampah saja yang masih menumpuk, dan akan ia satukan dengan sampah yang lain sebelum diletakkan di tempat sampah depan rumah.

Kamar yang pertama Jeffry datangi adalah milik Raga. Sejak awal ia sudah mencurigai anak ini, takut salah nama yang seharusnya Raga menjadi Rama. Pertama masuk, pandangan Jeffry langsung bertatapan dengan Dirga yang rebahan sembari bermain ponsel di kasur Raga. Masih lengkap dengan kemoceng dan lap kaca-nya. Sedangkan si pemilik kamar sedang mengedit foto di depan laptop.

"Anjing. Gue kira Raga berubah bulukan begini," ucap Jeffry.

"Eh, mulut lo kurang gue reparasi, ya. Masuk-masuk malah ngeledek orang."

"Ya, lagian. Masuk kamar Raga, yang gue lihat muka lo. Ngapain, sih, lo? Nggak punya kamar memang?" Jeffry ikut duduk di kasur Raga; di sebelah Dirga.

"Gue habis bersih-bersih di sini. Lo yang ngapain?"

"Oh, iya, sampai lupa. Ada paket atas nama Rama. Lo bukan, Ga?" Jeffry beralih pada Raga yang kini sudah berbalik menghadapnya.

"Bukanlah. Itu Rama, kan? Bukan Raga? Gue juga lagi nggak ada belanja apa-apa. Lagian di sini mana ada yang namanya Rama, salah alamat kali," sahut Raga.

"Alamatnya bener, Ga. Namanya, doang, yang salah." Kini Jeffry kembali beralih pada Dirga di sebelahnya. Anak itu masih sibuk menscroll sosmed, sembari mengikuti lagu dari speaker Allex yang menggelegar memenuhi rumah. "Sempak lo bukan?"

"Anjir, gue nggak ada beli sempak online. Nggak berani gue, takut kedodoran," sahut Dirga.

"Iya, siapa tahu, kan. Lo kepepet gara-gara sempak lo kehujanan. Ya, udah, kalau bukan lo berdua, gue tanya yang lain." Jeffry bangkit lalu berjalan mendekati Raga. "Fotoin gue lagi, dong, waktu basket. Nanti gue traktir, deh."

"Americano di Cafe Bang Toyib. Deal or not?"

"DEAL! Nanti sore kalau nggak hujan ya," ucap Jeffry lalu berjalan meninggalkan kamar Raga.

Kali ini ia beralih pada Allex yang sedang bersih-bersih di kamar. Dengan suara speaker yang semakin kencang saat ia sudah berada di depan pintu. Jeffry tak habis pikir, apa pendengaran Allex baik-baik saja dengan suara sekencang ini? Bahkan gendang telinga ingin ikut goyang saja pasti malas saking kerasnya.

Jeffry tahu bila ia mengetuk pintu pasti tak akan terdengar. Apalagi anak itu terlihat asik sekali mengemas barang-barang yang tak terpakai.

"PERMISI PAK KETUA. GUE MAU LAPORAN." Suara Jeffry berhasil membuat Allex berpaling. Lalu bangkit dan mengecilkan volume sepaker-nya.

"Apa, Jeff?"

"Ada belanja online pakai nama Rama, nggak?"

"Rama? Rama siapa?"

"Ini ada paket atas nama Rama. Siapa tahu akun lo namanya Rama."

Allex terlihat sedikit berpikir, lalu mengecek kotak kecil yang Jeffry bawa. "Enggak, akun gue namanya Allex. Gue memang ada pesen sesuatu, sih. Tapi nggak mungkin sekecil ini datangnya."

"Berarti ini bukan punya lo, ya?"

"Dari bentuknya, sih, bukan. Lagi pula kenapa lo terima kalau tahu di sini nggak ada yang namanya Rama?"

"Kata bapak kurirnya bawa aja, yang penting alamatnya bener. Ya, udah, gue tanya Deri, deh. Tinggal dia doang."

Jeffry kembali melangkah menuju dapur. Ia tak menyangka bahwa di hari minggu ini, ia akan sibuk mencari pemilik paket. Harusnya setelah mencuci motor ia bisa duduk santai di ruang tamu sembari menonton TV.

Dari pintu dapur sudah tercium aroma bolu pisang buatan Deri. Anak itu memang mengatakan akan membuat cemilan dengan oven barunya. Iya, seminggu lalu oven dua tungku Deri akhirnya datang. Setelah sebelumnya hanya bisa membuat bolu kukus saja, kini anak itu bebas berkreasi dengan oven barunya.

"Widih. Berasa masuk toko kue gue. Mantap betul."

"Mau coba nggak? Gue lagi buat brownies panggang juga. Ini bolu pisang udah beres, tinggal kasih anak-anak."

"Mau, dong. Tapi yang lain masih sibuk, biar di sini dulu, deh," ucap Jeffry mengambil satu potong bolu pisang yang masih hangat. Buatan Deri memang tidak pernah gagal. Harusnya anak ini kuliah di jurusan Tata Boga, mengapa jadi nyasar di sipil, sih?

"Oh, ya. Lo ada pesenan online nggak? Ada paket atas nama Rama. Lo bukan?"

Deri yang tengah sibuk merapikan bahan-bahan kuenya menoleh, lalu menggeleng. "Enggak ada. Baru rencana mau pesen teflon anti lengket. Kalau sekecil itu, nggak mungkin gue-lah. Apapan barang mini begitu."

Benar juga. Kalau Deri yang belanja online, sudah pasti besar. Karena yang dia beli pasti peralatan memasak. Bila bahan masakan juga tidak mungkin dibeli online, apalagi ukurannya sekecil ini.

"Punya siapa, ya. Alamatnya di sini, Der. Tapi anak-anak juga bilang nggak ada pesen. Apa mesti dikembaliin, ya? Tapi bapak kurirnya nyuruh gue bawa aja. Karena alamatnya bener punya kita." Jeffry menarik tempat duduk di meja makan, lalu menyandarkan tubuhnya di sana.

"Paket nyasar, ya? Hati-hati, sekarang lagi sering penipuan. Kalau paketnya isi yang aneh-aneh, kita bisa kena tangkap."

"Anjir, lo jangan nakutin."

"Ya, kemarin gue sempet baca kayak gitu. Isinya narkoboy. Jadi si pemilik paket yang digeledah polisi."

Jeffry terdiam, memandang kotak kecil yang membuat paginya kebingungan. Tapi bila ini narkoba, kayaknya tidak mungkin karena isinya lumayan berat. Dibanding narkoba, Jeffry lebih takut ini BOM.

***

Hingga semua selesai pada kegiatannya masing-masing, mereka belum juga menemukan si pemilik paket. Tidak ada yang bernama Rama atau pun menggunakan akun atas nama Rama. Tidak ada yang merasa berbelanja online dengan paket sekecil ini. Namun alamat rumah yang digunakan adalah alamat mereka. Ingin mengakui tapi bukan hak mereka. Bila tak diterima, sudah terlanjur di tangan mereka. Lagi pula, siapa juga yang iseng menggunakan alamat ini untuk mengirim paket, sih?

Kini semua berada di ruang tengah. Menikmati bolu pisang dan brownies panggang buatan Deri. Sedangkan si pembuat kue tak ada di sana. Sedang bebersih diri di kamar mandi. Menyerahkan kue buatannya untuk dihabiskan oleh teman-temannya. Kata Deri, ia sudah puas hanya dengan mencicip dan melihat kuenya berhasil dengan rasa yang enak.

"Jadi... Paketnya mau dikembaliin atau dibuka aja?" tanya Bayu sembari menikmati brownies dan bersandar di sofa.

"Simpen aja, deh. Siapa tahu yang punya bakal nyari ke sini," sahut Raga.

"Kalau kata gue sih, buka aja. Kalau bahaya bisa langsung dibuang. Kalau berharga baru disimpen, tunggu sampai ada yang nyari. Gimana?" ucap Rey.

"GUE SETUJU, SETUJU!" teriak Dirga dari arah pintu. Anak itu sedang merokok bersama Jeffry di teras depan. Karena peraturannya tidak ada yang boleh merokok di dalam rumah, sekali pun itu kamar pribadi. Ada atau pun tidak ada orang di rumah.

"Gimana, Lex?" tanya Raga. Masih sibuk menikmati kue buatan Deri yang hanya tersisa beberapa potong lagi. 

"Buka aja. Nanti gue yang tanggung jawab," sahut Allex.

"Nah, gitu. Dari tadi apa." Rey meraih kotak kecil itu dan bersiap membuka. "JEFF, PAKETNYA GUE BUKA!"

"BUKA AJA, GUE MASIH SEBAT." teriak Jeffry dari arah luar. Ia tak mungkin masuk sebelum rokoknya habis karena ada Raga di sana.

Tanpa berpikir panjang, Rey langsung menggunting bungkusan paket yang membuat mereka kebingungan sejak tadi. Lagi pula ada-ada saja paket nyasar di hari minggu. Menambah kerjaan untuk menggalaukan sesuatu yang tidak ada di list hari libur mereka.

Rey melirik tiga orang di hadapannya saat bungkus paling luar berhasil dibuka. Menyisakan bungkusan di dalam beserta buble warp-nya. Sebenarnya ia juga ragu, takut di dalam sini ada sesuatu yang membahayakan.

"Lo berdoa dulu sebelum buka. Takutnya ini salah satu modus pembunuhan," ucap Bayu.

"Kalau itu BOM, langsung mati nggak, ya, kita?" tanya Raga. Memperhatikan dengan seksama paket tersebut. Sedikit berlebihan memang, tapi itu bentuk waspada. Siapa tahu ada orang yang dendam dengan mereka, kan?

"Eh, jangan ngomong yang enggak-enggak. Buka aja, Rey. Kalau BOM nggak mungkin diantar sama kurir ekspedisi. Paling langsung dilempar depan pagar." Allex mencoba menenangkan. Ia yakin bila isinya tak jauh dari barang-barang di toko online.

Benar saja, saat Rey selesai membuka bungkusannya, terlihat gambar speaker mini. Ternyata paket yang membuat mereka kebingungan sejak awal hanya speaker mini bluetooth. Bukan BOM atau narkoba seperti yang mereka duga sejak awal.

"Anjir, cuman speaker aja bikin heboh serumah? Bisa-bisanya di-prank speaker." Dirga bangkit dari tempat duduknya. Mendekati Rey yang kini sudah mengeluarkan speaker kecil berwarna hitam itu.

"Rokok lo, Dir. Buang dulu. Ada Raga," ucap Allex yang dibalas senyum cengengesan oleh anak itu sebelum kembali pergi. Sedangkan Raga hanya menatap tajam ke arah Dirga dari tempatnya.

"Tapi punya siapa, ya? Kasihan banget mesen sepaker bagus gini tapi nyasar ke kita," kata Bayu. Memperhatikan speaker kecil yang menarik perhatiannya. Berbentuk persegi, minimalis. Cocok untuk dibawa berpergian.

"Pakai aja kalau lo suka," ucap Rey.

Baru saja Bayu akan senang karena mendapat speaker gratis—persetan dengan siapa pemiliknya, namun suara Allex kembali mengalihkan pandangan mereka.

"Tunggu, ini Jeffry, kan?" Allex menghadapkan ponselnya pada Rey. Diikuti Bayu dan Raga yang ikut menengok. Di foto itu memang hanya terlihat tangan Jeffry yang menerima paket di gerbang tadi.

"Lah, iya. Dapet dari mana lo?" tanya Rey.

Belum Allex sempat menjawab, tawanya lebih dulu pecah. Membuat semua orang–termasuk Dirga dan Jeffry yang berada di luar ikut menoleh. Menatap Allex yang masih tak bisa menahan tawa. Padahal tak ada yang lucu, hanya tangan Jeffry, mengapa tertawa?

"Aduh. Sori..sori, gais. Ternyata speaker ini dikirim sama kakak sepupu gue. Namanya Bang Rama. Dia lupa ngabarin kalau dia beliin gue speaker. Jadi ini aman, punya gue," ucap Allex. Sedikit merasa bersalah karena membuat gaduh seisi rumah.

"Halah. Anjing, babi. Gue udah siap-siap aja kalau isinya aneh-aneh mau gue kontentin," ucap Dirga. Rokoknya sudah habis jadi ia beralih duduk di sofa dan mengambil potongan kue yang tersisa.

"Wah, penonton kecewa." Raga bangkit. Menghindari Dirga yang masih bau rokok. Disusul Rey yang sama-sama masuk ke kamar untuk bersiap mandi, karena Deri sudah selesai.

"Yah, pergi anak gue," gumam Dirga saat melihat Raga bangkit dan masuk kamar; sambil masih menikmati bolu pisangnya.

Dibalik rasa lega karena paket tersebut akhirnya bertemu tuannya, ada Bayu yang terlihat kecewa karena speaker tersebut gagal menjadi miliknya. Beruntung Allex peka saat melihat ekspresi wajah Bayu. Ia tahu bahwa anak iu sudah kegirangan saat Rey mengatakan bahwa speaker itu bisa menjadi miliknya.

"Buat lo aja, Yu. Gue udah ada juga yang besar. Buat apa banyak-banyak, kan?"

"Ah, serius Lex? Kakak lo nggak akan marah?"

"Enggak, ambil aja. Gue kasih buat lo."

Wajah sumbringah Bayu yang kini berjalan ke kamar membuat Allex ikut tersenyum. Kadang apa yang membuatnya biasa saja, bisa membuat bahagia orang lain. Toh, juga Allex memang tak terlalu menginginkan speaker itu. Jadi daripada hanya menjadi pajangan, lebih baik digunakan oleh Bayu.


- Bujang Kosan 7A -



Guys maaf yaa kalau cerita ini alurnya terlalu santai. Pengennya biar kalian nggak mumet aja kalau mau baca :')


Btw, karena part depan aku udah bakal kunci bab, pastikan kalian udah ada di saluran wa-ku ya untuk ikut war voucher ❤️

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 18 | Luka Itu Masih Terbuka
7
4
Namun semakin lama, napas Nevan semakin memberat di pelukannya. Anak itu meremas lebih kuat tangan Jevan, seakan ada rasa sakit yang coba disalurkan.Maaf, sus—Tekanan darahnya tinggi, sebentar saya telepon dokter dulu untuk penangan lebih lanjut.Adik saya juga ada asma, sus.Perawat tersebut mengangguk. Meraih nasal canula yang tergantung di atas ranjang. Menyalurkan oksigen dari tabung yang sudah disiapkan di sebelah nakas.Setelahnya, perawat tersebut izin untuk pergi sebentar dan menghubungi dokter. Rasa cemas dan takut Nevan membuat tekanan darahnya meningkat, juga asmanya kambuh.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan