2 | Sayur Sop Tanpa Wortel

28
8
Deskripsi

Dirga menarik piringnya. Lalu menyendok nasi dari magic com. "Kenapa, sih, semua orang cuman sayang sama Raga? Nggak ada yang peduli dan sayang sama gue," gumam Dirga sembari menyendok ikan dan sayur ke piringnya.

"Memang lo nggak sayang gue?" tanya Raga. Membuat Dirga seketika menoleh.

"Ih, sayang, atuh, Beb. Gue begadangin lo semalam memang bukan tanda sayang?"

"NAJIS DIRGA! Jangan deket-deket gue. Gue muak!" ucap Raga lalu bangkit setelah makanan di piringnya habis. Meninggalkan Dirga dan Bayu yang kini kembali menahan tawa.
 

post-image-67cbe09e40ad7.jpeg

“Hidup itu tidak selalu tentang Harta, Tahta dan Wanita. Masih ada Teman, Sahabat dan Gorengan Mas Jo!” - Anak Bujang Mami Indah.




"Udah semua?" tanya Bayu saat Jeffry meletakkan dua kantong sampah di tong sampah depan rumah.

"Harusnya, sih, udah. Kalau ada yang ketinggalan, biar dibuang besok aja. Yang penting nggak numpuk dulu," sahut Jeffry.

Waktu menunjukkan pukul enam pagi kurang lima menit saat Jeffry dan Bayu berjalan menyusuri gang menuju warung kelontong Buk Wiwin di seberang jalan. Membeli bahan masakan yang sudah habis di kulkas. Kebetulan hari ini jadwal piket Jeffry, maka ia yang keluar bersama Bayu. Kenapa Bayu? Karena hanya anak itu yang sudah bangun, selebihnya masih berada di dalam kamar; kecuali Deri yang sudah sibuk di dapur.

Biasanya pada akhir minggu, Jeffry akan pergi bersama Deri ke pasar. Membeli stok bahan mentah juga bumbu-bumbu yang bisa mereka gunakan selama seminggu. Namun untuk sayuran, biasanya mereka hanya membeli untuk stok selama dua hari. Takut busuk bila terlalu banyak. Maka saat sayuran habis, siapa pun yang piket harus membeli di warung kelontong depan gang.

Seperti biasa, mereka harus berdesakan dengan ibu-ibu untuk mendapat apa yang mereka mau. Apalagi tenaga ibu-ibu yang bar-bar di pagi hari sering membuat mereka terpental. Namun tak apa, hitung-hitung latihan menjadi calon suami siaga yang siap membantu istri berbelanja bahan masakan.

"Udah semua Jeff?" tanya Bayu saat melihat keranjang Jeffry sudah penuh dengan belanjaan.

"Dari catatan Deri, sih, udah lengkap. Kalau ada yang kurang, bilang aja barangnya nggak ada," ucap Jeffry yang dibalas gelengan oleh Bayu. Selalu seperti itu bila dengan Jeffry, dan hebatnya Deri pasti percaya. Coba Dirga atau Rey yang menggunakan alasan itu, sudah pasti disuruh putar balik lagi. Harus mencari sampai ketemu.

Jeffry akhirnya maju setelah barisan ibu-ibu yang lain sudah selesai. Membiarkan Bayu menunggu di luar agar suasana tak makin sesak.

"Sudah semua, Dek?"

"Sudah, Buk Win. Kalau ada kurang nanti saya balik lagi."

"Nggak kuliah kamu?"

"Kuliah, dong. Agak siang dikit," sahut Jeffry dengan ramah. Memang ia yang paling sering datang ke sini, jadi Buk Wiwin sudah hafal dengan wajahnya.

"Oh, kirain libur." Buk Wiwin memasukkan satu persatu belanjaan Jeffry ke dalam kantong plastik. "Bayam dua ikat, enam ribu. Sayur hijau satu ikat delapan ribu. Kembang kol, sepuluh ribu. Brokoli, dua belas ribu. Cabai satu plastik lima ribu. Total empat puluh satu ribu. Bayar empat puluh saja, Dek."

"Pada mahal semua, ya, Buk." Jeffry menyerahkan uang lima puluh ribu, lalu mengambil kantong belanjaannya.

"Lagi pada naik semua bahan masakan, Dek. Apalagi cabai sekarang sekilo udah seratusan lebih. Belum lagi sayur-sayuran ini, dari agennya naik sampai dua ribu. Buk Win, mah, nyari untung dikit, kasihan pelanggan kalau kemahalan."

"Wah, pantesan. Baru beberapa hari yang lalu kembang kok dapat tujuh ribuan, sekarang udah bikin shik-shak-shok aja. Ya, semoga berkah terus jualannya ya, Buk Win. Saya pamit dulu."

"Iya, Dek. Hati-hati. Makasih banyak, ya."

Jeffry mengangguk, lalu menghampiri Bayu yang masih menunggu di depan warung. Ia sebenarnya tak masalah dengan harga-harga yang naik, asal masih sewajarnya. Hanya saja, perkiraannya belanja tak sampai empat puluh ribu. Pikirnya hanya tiga puluh ribu, atau paling mahal tiga puluh lima seperti biasa. Untung uang yang Deri kasih tidak kurang.

"Bay, gorengan, yuk." Pandangan Jeffry terkunci pada Mas Jo-penjual gorengan keliling.

"Memang masih ada uangnya? Gue nggak bawa uang sama sekali."

"Masih ada sepuluh ribu. Ayo." Jeffry langsung menarik Bayu. Tak peduli anak itu setuju atau tidak.

Mau tidak mau Bayu menurut. Mengikuti Jeffry mendekati sepeda motor Mas Jo. Di pagi hari, di depan gang ini memang banyak penjual makanan. Jadi bila Deri tidak sempat masak, mereka pasti membeli sarapan di sini.

"Mas Jo, tempe gorengnya lima ribu, ya."

"Ah, siap, Mas Jeffry. Tumben berdua aja, biasanya juga rombongan," ucap Mas Jo sembari memasukkan tempe gorengnya ke plastik.

"Masih pada tidur, Mas Jo. Kebetulan sayur habis, jadi keluar berdua aja."

"Owalah, gitu, ya. Ini udah Mas Jo lebihkan satu. Masih anget, masih kriuk."

"Suka, nih, kalau begini. Makasih banyak Mas Jo."

"Sama-sama Mas Jeffry dan Mas..." Mas Jo beralih menatap Bayu.

"Bayu, Mas Jo," sahut Bayu. Ia memang yang paling jarang keluar dan berinteraksi dengan orang-orang di sini. Jadi wajar masih banyak yang tidak tahu namanya.

"Ah, iya, Mas Bayu. Besok mampir ke sini lagi, ya."

"Iya, Mas Jo. Pamit, ya."

Jeffry dan Bayu kembali berjalan menyusuri gang sembari menikmati tempe goreng hangat Mas Jo yang tak ada tandingannya. Sebenarnya pilihan gorengan di sana lumayan banyak, tapi favorite mereka memang tempe goreng. Potongan besar, bumbu enak, dan yang pasti gurih. Apalagi anget-anget dimakan waktu hujan. Beuh, nikmat tiada tara.

Langkah Jeffry kembali terhenti, membuat Bayu seketika menoleh.

"Apa lagi?"

"Beli jamu kunyit Mbak Sri, yuk."

"Jamu kuat?"

"JAMU KUNYIT, BAYU..." ucap Jeffry lalu melangkah meninggalkan Bayu dan mendekati Mbak Sri.

"Uang tinggal lima ribu, tapi segala macam dibeli," gerutu Bayu. Masih menunggu Jeffry di tempat semula.

Memang bila pergi bersama Jeffry pasti ada saja mampirnya. Maka tak heran bila banyak orang yang mengenal anak itu, apalagi para pedagang. Selain ramah dan suka mengobrol, Jeffry juga memang suka jajan. Kalau dibilang lapar mata, enggak juga. Karena semua makanan yang dia beli pasti habis juga dimakan.

Mungkin itu enaknya pergi bersama Jeffry, ia tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk bersosialisasi. Hanya tinggal diam di sebelah Jeffry dan membiarkan anak itu berinteraksi dengan orang-orang. Bayu hanya bagian manggut-manggut, dan senyam-senyum saja.

***

Pagi ini Raga bangun dengan kondisi lebih baik. Semalam kepalanya sakit karena demam setelah hujan-hujanan dari cafe ke kosan. Padahal tak terlalu deras, tapi cukup membuat tubuh mereka setengah basah. Ternyata berlindung di belakang Dirga tak bisa menghalangi tubuhnya dari hujan seperti yang anak itu janjikan. Jangan minta Raga untuk bermain hujan agar kebal, karena saat kecil sudah pernah ia coba bermain di tengah guyuran hujan yang lebat.

Hasilnya? Ia harus dirawat satu minggu di rumah sakit karena asmanya kambuh. Sudahlah. Bila kata orang hujan bisa menghapus kesedihan mereka, bagi Raga hujan tetaplah ancaman. Terlebih lagi bila ia sedang bersama sahabatnya yang tak bisa ditebak itu.

Namun Dirga tetaplah orang yang bisa Raga andalakan. Entah berapa kali anak itu masuk ke kamar hanya untuk memastikan bahwa demamnya sudah turun. Hingga menjelang pagi, dan demamnya sudah tak begitu tinggi, ia tak lagi mendengar suara Dirga datang. Mungkin baru bisa tertidur setelah semalam bolak-balik di kamarnya. Beruntung hari ini mereka kuliah siang, jadi masih ada waktu cukup lama untuk beristirahat dan kembali tidur.

"Masak apa hari ini Kakak Deri?" Raga tersenyum, lalu menarik kursi di sebelah Bayu dan Deri yang sedang sarapan.

"Udah sembuh?" Bayu mendekatkan punggung tangannya ke kening Raga, lalu mengangguk saat merasakan suhu anak itu mendekati normal.

"Disuruh lari maraton juga gue bisa sekarang. Yang lain belum sarapan?"

"Belum, baru gue sama Bayu aja. Jeffri mandi, Rey sama Dirga kayaknya belum bangun, Allex udah berangkat duluan katanya ada urusan," sahut Deri lalu bangkit. Mengambil bubur yang sengaja ia masak untuk Raga tadi, lalu meletakkannya di hadapan anak itu. "Mau ikan juga? Atau sayur aja? Gue udah bikin sayur sop yang nggak pakai wortel."

"Sayur aja, deh. Thanks, Der. Kayaknya kalau nggak ada lo, gue nggak akan keurus, deh, di sini."

"Keuruslah sama temen lo yang tengil itu, Ga," ucap Bayu sembari tertawa. Lalu kembali menyuap sarapannya yang tinggal sedikit.

"Iya diurus, tapi dibuat sakit dulu. Cuman kalau nggak ada dia bakal sepi, sih. Nggak ada yang bisa gue marahin soalnya."

Deri dan Bayu hanya tertawa. Benar juga, mereka tak pernah melihat Raga marah selain dengan Dirga. Entah segan, atau memang hanya Dirga yang bisa memancing emosi Raga. Karena sumber keributan di rumah ini, kalau tidak Rey, ya, Dirga. Ada saja tingkah dua anak remaja itu. Satunya terlalu bertingkah dan tidak bisa diam, satunya diam-diam tapi kerjaan nggak beres. Kalau dipikir-pikir, kok, bisa betah dua tahu bersama mereka, ya?

"Hari ini kuliah, Ga?" tanya Deri.

Raga mengangguk, "Iya, kuliah siang."

"Jas hujan jangan ketinggalan lagi. Cuaca lagi nggak bisa ditebak, apalagi sore."

"Iya, nanti gue minta Dirga bawa motor gue aja. Nggak ngerti kenapa kemarin dia ngide banget naruh jas hujan di jemuran, jadi lupa kebawa. Padahal waktu berangkat udah kelihatan mendung banget."

"Lah, jas hujan ikut tim basah kuyup juga? Gue kira cuman sempak Dirga, doang, yang jadi korban." Bayu tak bisa menahan tawa. Beruntung tak ada pakaiannya yang ikut basah kuyup, jadi tawanya bisa lebih lepas.

"Makanya gue marah banget kemarin. Bisa-bisanya jemuran sepenuh itu dibiarin kehujanan," ucap Deri. Terlihat masih kesal dari nada bicaranya.

"Gue nggak paham juga seberapa penuh otak si Rey itu, sampai masalah jemuran selalu kelewat sama dia. Kayaknya setting-an otak dia memang menghapus kata jemuran, deh. Kayak... Nggak masuk akal banget, cuk!" ucap Raga. Kembali menyuap sarapan yang tak pernah gagal bila Deri yang membuat. Padahal hanya bubur dan sayur sop, tapi bisa mengalahkan rasa malas makannya.

Mendengar ucapan Raga, Bayu kembali tertawa. Mungkin bila tak mengenal mereka, dunia Bayu yang intovert akan sunyi, senyap sepanjang hari. Dulu ia lebih suka diam di dalam kamar selepas pulang sekolah. Sekadar membaca buku atau menonton TV. Dunia Bayu lebih nyaman seperti itu. Hingga semuanya berubah saat ia berada di rumah ini. Segala hal tentang teman-temannya tak pernah membuat ia terganggu. Mungkin hanya di rumah ini, ia bisa tertawa lepas dan jauh dari kata malu. Hanya di rumah ini, ia lebih suka ramai dibandingkan sepi.

Mungkin benar, lingkungan bisa mengubah sifatmu menjadi lebih baik dan terbuka. Asal kamu berada di lingkungan yang tepat. Bayu mungkin tak akan merasa sepercaya ini, bila mereka tak lebih dulu membuatnya nyaman. Yang jelas, pergi merantau seorang diri ke kota ini tak pernah membuatnya menyesal.

Di tengah keributan di meja makan, Dirga datang dengan mata setengah mengantuk dan rambut yang ia biarkan tak beraturan. Menarik kursi di sebelah Raga. Ia mendongak, hanya untuk memastikan apa yang Deri masak pagi ini.

"Anjir. Sayur sop apa itu nggak ada wortelnya? Astaga. Hidup gue udah nggak berwarna, lo malah masak sayur nggak ada cerah-cerahnya. Gimana gue bisa menjalani hari ini dengan semangat dan ceria?"

"Bacot, lo! Kalau nggak suka, nggak usah makan. Ketimbang nggak isi wortel aja, udah kayak makan makanan beracun," ucap Deri lalu bangkit. Meletakkan piringnya di wastafel. Giliran yang mendapat jadwal piket yang harus membersihkan dapur.

"Wortel itu mengandung vitamin A, baik untuk mata. Jadi peran wortel di dalam sayur itu sangat amat penting."

"Lo nggak perlu ngajarin gue. Lo masih bisa makan, kan, kalau nggak pakai wortel?"

"Iya, masih, sih... Tapi—"

"Udah, diem. Makan! Kalau gue pakai wortel, Raga nggak bisa makan. Kalau gue nggak pakai wortel, semua masih bisa makan. Sampai sini paham, kan? Kalau lo masih protes, nggak usah makan," ucap Deri lalu berjalan meninggalkan dapur untuk mandi. Deri ingat bila Raga tak pernah suka dengan wortel. Jadi anak itu tak akan memakan apa pun bila ada wortel di dalamnya. Ia bukan berniat pilih kasih. Namun bila tanpa wortel semua masih bisa makan, mengapa ia harus mengorbankan satu orang? Toh, juga sekali-sekali ia pasti menambahkan wortel bila diperlukan.

Dirga menarik piringnya. Lalu menyendok nasi dari magic com. "Kenapa, sih, semua orang cuman sayang sama Raga? Nggak ada yang peduli dan sayang sama gue," gumam Dirga sembari menyendok ikan dan sayur ke piringnya.

"Memang lo nggak sayang gue?" tanya Raga. Membuat Dirga seketika menoleh.

"Ih, sayang, atuh, Beb. Gue begadangin lo semalam memang bukan tanda sayang?"

"NAJIS DIRGA! Jangan deket-deket gue. Gue muak!" ucap Raga lalu bangkit setelah makanan di piringnya habis. Meninggalkan Dirga dan Bayu yang kini kembali menahan tawa.

"Salah gue di mana coba? Baperan banget anaknya," ucap Dirga setengah berbisik.

"Lagi sensi kali. Wajar, habis demam. Jadi mood masih turun naik," sahut Bayu.

"Mood dia begitu cuman sama gue, Bay. Heran gue."

"Muka lo nyebelin soalnya. Udah, ya. Gue udah beres. Selamat sarapan Abang Dirga. Lauk jangan lupa ditutup, takut digondol kucing," ucap Bayu lalu ikut pergi meninggalkan Dirga sendirian.

"Tuh, kan, memang nggak ada yang peduli sama gue. Masa gue dateng semua pergi. Memang mereka kira enak apa sarapan sendiri," gumam Dirga. Namun sekali lagi, tak ada yang peduli. Semua sudah kembali dengan aktivitasnya masing-masing.

***

"Der... lo masih marah?" Rey langsung bangkit saat melihat Deri keluar dari kamar dan bergegas pergi.

Langkah Deri yang terburu-buru langsung berhenti. Ia sudah tak marah, namun bukan berarti kesalnya bisa hilang begitu saja. Pagi tadi, Allex juga sudah sempat berbicara mengenai masalahnya dengan Rey. Ia juga sudah tahu apa yang Rey lakukan semalam untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Sebenarnya tak ada yang mendasari amarah Deri tetap berlanjut. Tapi rasanya bila ia memaafkan secepat itu, Rey akan mudah mengulangnya lagi.

"Lupain aja," ucap Deri.

"Gimana mau lupain kalau lo masih marah? Gue bener-bener minta maaf. Kalau keulang lagi, lo boleh usir gue dari kosan."

"Gue bukan Mami Indah. Gue nggak ada hak buat ngusir lo."

"Ya, udah. Terus harus gimana biar lo nggak marah lagi? Gue tanggung jawab, kok. Gue udah cuci semua baju yang basah kemarin. Jemuran juga udah gue turunin tadi, jadi udah langsung kena matahari lagi," ucap Rey. Semalam ia memang kembali mencuci baju yang basah karena hujan, agar tidak kotor dan berbau. Tadi baru bangun juga ia sudah langsung menurunkan jemuran agar terkena sinar matahari. Kebetulan hari ini cerah sejak pagi.

Tanpa dijelaskan pun, Deri sudah tahu. Ia sudah melihat semua yang Rey katakan tadi. Namun mendengar bagaimana kesungguhan sahabatnya itu, Deri yang semula sudah siap untuk melangkah keluar akhirnya balik menatap laki-laki di hadapannya.

"Nanti malam traktir makan satu rumah, sebagai permintaan maaf lo ke yang lain juga. Sanggup, nggak?"

"Sanggup! Itu artinya lo udah nggak marah, kan?"

"Iya, udah. Lupain aja. Gue buru-buru," ucap Deri lalu bergegas pergi. Bisa-bisa ia kena masalah dengan dosen killer itu bila sampai terlambat di mata kuliah pertama.

Rey yang merasa perjuangannya membuahkan hasil, kini bisa tersenyum bangga. Walau setelah ini dompatnya kosong karena mentraktir teman-temannya, tak masalah. Bisa ia usahakan, selagi awal bulan. Rey baru saja akan berbalik saat melihat Raga keluar dari kamar.

"Seneng banget gue lihat-lihat. Menang undian apa?" tanya Raga lalu duduk di sofa.

"Ini lebih membahagiakan dari menang undian. Lo tahu apa? Deri udah nggak marah sama gue, Ga." Rey mengguncang tubuh Raga meluapkan kegembiraannya.

"Anjir, pusing, cuk! Pakai jurus apa lo?"

"Jurus berdoa sebelum tidur. Bangun-bangun, ngomong dikit udah langsung dimaafin. Ya, walau pun imbalannya mesti traktir lo semua, sih. Nggak apa-apalah. Hitung-hitung uang damai," ucap Rey lalu menyandarkan tubuhnya di sofa. Rasanya lega. Setelah ini, hujan... Tolong berdamai juga dengan Rey, ya.

Raga ikut tersenyum. Sebenarnya Deri tak akan bisa marah terlalu lama dengan teman-temannya. Anak itu memang tegas dan disiplin, marahnya hanya karena semua yang sudah disepakati tak mampu dijalankan dengan semestinya. Lebih dari itu, Deri yang paling peduli dengan teman-temannya di sini. Bagaimana tidak? Anak itu selalu rela bangun pagi hanya untuk memasak sarapan. Hanya agar semua orang di sini bisa makan makanan yang begizi minimal sekali sehari. Karena kata Deri, anak kos itu kalau makan nggak pernah bener. Jadi dia mau makanan teman-temannya terjamin.

Terbukti juga, kan, bahwa Deri melibatkan mereka semua saat memberi maaf pada Rey. Karena Deri tahu, bukan hanya dia yang dirugikan, tapi teman-teman yang lain juga.

"Jadi nanti malam kita dapat traktiran?" tanya Raga.

"Iya, gue traktir. Mumpung kemarin juga baru habis narik saldo game gue. Bebas mau pesen apa. Lo mau request apa?"

"Gue ngikut aja. Pilihan lo juga boleh. Kan, lo yang traktir."

"Iya gue yang traktir, masa gue juga yang mikir. Kalau tanya anak-anak pasti balik lagi, mereka juga ngikut lo."

Raga terdiam, benar juga. Ujung-ujung pasti;

'Lo mau apa, Ga?' 
'Terserah Raga aja, gue ngikut.'
'Biasanya pilihan Raga enak.'
'Lo pengennya apa? Yang lo bisa makan, deh.'

Raga kembali menatap Rey. "Nggak kepikiran gue. Terserah lo aja. Gue pusing, jangan disuruh mikir."

"Masih sakit? Harusnya lo tuntut Dirga, kalau hujan-hujan itu jas hujan dibawa, bukan dijemur," ucap Rey.

"Nggak paham gue sama anak itu. Kadang otak sama tangannya nggak sinkron." Raga juga heran dengan sikap sahabatnya itu. Padahal kemarin anak itu sudah bilang akan hujan, tapi tetap tak membawa jas hujan. Kadang juga bilang mau beli pecel lele, tapi berhenti di penjual sate. Maka tak heran bila Dirga bisa melakukan banyak kecerobohan dalam satu hari.

Setelahnya suasana kembali hening. Di rumah ini hanya tinggal mereka bertiga; Raga, Rey, dan Dirga. Selebihnya sudah berangkat kuliah. Raga kembali sibuk membuka tablet-nya. Mencari referensi design sesuai materi yang akan ia dapat hari ini. Sedangkan Rey kembali sibuk dengan game-nya. Ya, apalagi? Kalau ada kuliah jurusan per-game-an, Raga yakin Rey akan menjadi murid pertama.

Di tengah kesibukan mereka masing-masing, suara langkah Dirga yang baru saja selesai melakukan ritual pagi mengalihkan pandangan Raga dan Rey secara bersamaan.

"Nah, dateng nih, pawangnya mau ribut," gumam Rey lalu kembali fokus pada game-nya.

"Astaga, curut. Istirahat! Ngapain nongkrong di sini? Mau kuliah nggak nanti?" Benar saja, kalimat Dirga membuat Raga menutup tablet-nya.

"Kuliahlah. Absen gue udah banyak." Raga bangkit, meninggalkan Rey yang masih fokus dengan game-nya.

Bila tidak dituruti anak itu akan mengomel sepanjang hari. Jadi Raga putuskan untuk masuk kamar dan melanjutkan kegiatannya di dalam. Raga akui, bila di sini tak ada Dirga ia mungkin akan lebih luntang-lantung. Sejak mereka sampai di kota ini, tak ada sehari pun mereka tak bersama. Maka ia selalu menurut atas perintah Dirga, karena Raga tahu bahwa anak itu sudah lebih dulu diberi petuah oleh mamanya sebelum mereka pergi. Walau raga lebih sering naik darah menghadapi sikap Dirga, namun anak itu yang paling bisa ia andalkan bila sedang sakit.


- Bujang Kosan 7A -



Hayooo. Mau bawa pulang siapa kalian?
Aku keep Jeffry ya. Lumayan bisa diminta godain penjual gorengan biar dapat banyaakkk 😫

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 17 | Menyesali Sebuah Penyesalan
8
6
Jevan tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya kehidupan Nevan setelah ini. Namun bagaimana pun keadaan anak itu, dan seberat apa pun perjuangannya setelah ini, akan Jevan lakukan. Hanya agar adiknya bisa sembuh seperti dulu lagi.Van... Sori, ya. Gue tahu gue salah. Tapi gue juga tahu lo pasti bosen denger kata maaf dari gue. Setelah ini, kita hadapai semua bareng-bareng, ya. Gue nggak akan pikirin perusahaan ayah, gue nggak akan peduli kalau ke depannya kita hidup luntang-lantung di jalan. Gue nggak akan takut kalau masa depan gue nggak sesuai dengan yang apa yang gue rencanain. Asal adik gue masi sama gue, rasanya masa depan gue nggak akan pernah buruk. Jadi gue harap, lo secepatnya bisa bangun lagi, ya. Ngobrol sama gue. Nggak usah bahas kejadian malam itu, nggak usah bahas masa depan kita. Gue cuman mau denger ocehan lo, walau itu cuman tentang gerobak bakso di taman kota, ucap Jevan. Dadanya sesak. Pertama kalinya, kalimat panjang Jevan tak mendapat jawaban. Padahal dulu, sosok itu yang selalu membuat ribut seisi rumah. Anak itu yang membuat berisik telinga Jevan hingga ia kewalahan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan