19 | Trauma Berkepanjangan

7
0
Deskripsi

"Apa rencana lo setelah ini?" tanya Beni. Membuat Jevan mendongak dan mereka saling bertatap.

"Nggak ada, selain kesembuhan Nevan."

"Kakak sepupu gue psikiater, temen mama gue psikolog. Lo bisa pilih mau bawa Nevan ke mana, kalau lo rasa perlu. Nggak usah pikirin biaya, gue yang bantu."

"Ben..."

"Demi Nevan. Jangan lo pikir kalau gue nggak bisa bantu karena gue kelihatan luntang-lantung, motor sering mogok, terus jajan cuman indomie. Gue ada, tenang aja."

"Bukan gitu. Gue makasih banget karena lo udah...

Rumah yang dulu menjadi tujuan mereka di saat lelah dan juga penat, kini kembali dapat mereka datangi. Rumah yang dulu menjadi tempat berbagi tawa dan canda, kini kembali mereka tempati untuk mengukir kenangan baru. Tak bermaksud melupakan semua hal indah di sini, namun membuka lembar baru untuk mengobati luka atas memori lama, sepertinya membuat mereka lebih mampu untuk menjalani hidup dengan baik ke depannya.

Setelah beberapa hari dirawat, akhirnya Jevan bisa membawa Nevan pulang. Berharap anak itu dapat segera pulih setelah tinggal di rumah. Ia harap semua hal di rumah ini menjadi obat yang membuat Nevan merasa lebih baik.

"Nevan tidur, ya?" tanya Bang Yas saat Jevan mendekat. Baru saja kembali dari kamar Nevan.

"Iya, Bang. Baru selesai minum obat," sahut Jevan. Membiarkan Nevan beristirahat, sedangkan ia membantu Bang Yas membereskan barang-barang. Rasanya kembali hampa, tinggal di rumah ini tanpa ayah dan bunda. Namun ia sudah membuka ruang di hatinya untuk ikhlas. Terpenting masih ada Nevan yang membuat hidupnya memiliki alasan.

"Oh, ya. Bi Inem udah titip makanan buat kalian. Setiap pagi akan Bang Yas bawa ke sini untuk kalian sarapan atau makan siang. Maaf ya, Je. Ibuk baru aja diterima di tempat yang baru. Beliau nggak mungkin minta berhenti secepatnya." Bang Yas menatap Jevan yang kini menarik kursi di meja makan, lalu duduk di hadapannya.

"Loh, kok minta maaf sama aku, Bang? Ya, nggak masalahlah. Mau kerja di sini juga aku bayarnya pakai apa? Bi Inem udah dapet kerjaan baru aja aku udah seneng. Harusnya aku yang minta maaf karena buat Bi Inem dan Bang Yas kehilangan pekerjaan."

"Je, kamu nggak salah. Bang Yas janji, kalau ada kesempatan, kita pasti akan berkumpul di sini lagi. Bi Inem juga sebenarnya mau nemenin kalian di sini, apalagi tahu Nevan sakit. Tapi keadaannya nggak memungkinkan. Beliau baru seminggu kerja. Takutnya kalau selesai, akan jadi masalah."

"Nggak apa-apa, Bang. Bener, deh. Aku bisa pesen makan, kok. Jadi nggak perlu terlalu mengkhawatirkan aku dan Nevan. Tapi satu hal yang aku minta tolong banget ke Bang Yas, jagain Nevan kalau aku sekolah ya, Bang? Aku akan bayar pekerjaan Bang Yas, aku janji. Walau pun nggak sebesar gaji yang pernah ayah kasih, tapi aku pasti bayar," ucap Jevan. Ia tak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi. Ia juga tak mungkin membiarkan Nevan sendiri di rumah. Kondisi anak itu belum stabil. Jevan takut akan terjadi sesuatu bila anak itu sendirian di rumah.

"Ya, ampun, kayak sama siapa aja kamu. Bang Yas, kan, udan janji, Bang Yas akan bantu kamu. Bang Yas udah bilang kalau sementara, jadwal Bang Yas biar sift sore terus. Jadi setelah kamu pulang sekolah, baru Bang Yas berangkat kerja. Je... kamu nggak perlu bayar apa yang sudah Bang Yas usahakan untuk kalian. Asal kamu kuat, itu udah lebih dari cukup untuk Bang Yas. Karna kekuatan Nevan ada di kamu." Kini Bang Yas memang sudah bekerja part time di salah satu restauran milik temannya. Ia juga sudah mendiskusikan ini, dan beruntung ia memiliki privillage untuk menukar jadwal hingga kondisi Nevan membaik. Jadi ia masih bisa datang pagi-pagi ke sini, dan pulang saat Jevan sudah datang.

"Makasih banyak ya, Bang. Aku janji, aku akan balas semua bantuan Bang Yas. Aku juga janji, aku akan pulang tepat waktu. Aku udah berpikir untuk berhenti dari semua kegiatanku dan fokus untuk belajar aja," sahut Jevan. Bahkan ia sudah mengundurkan diri dari komunitas pecinta alam. Kesembuhan Nevan jauh lebih penting dari semua mimpi-mimpinya. Karena bila ia kehilangan Nevan, ia juga akan kehilangan mimpinya. Jadi lebih baik ia mempertahankan salah satu.

"Kamu nggak akan menyesal dengan semua keputusan kamu?"

Jevan menggeleng, "Enggak ada yang aku sesali lagi selain kondisi Nevan, Bang. Yang lain masih bisa aku perbaiki, masih bisa aku kejar di lain waktu. Tapi sekali aku lengah, aku takut bener-bener akan kehilangan Nevan."

"Makasih ya, Je. Bang Yas tahu, kamu lebih dari cukup untuk jadi kakak yang baik untuk Nevan. Ingat, Bang Yas ada di sini untuk kamu. Jadi jangan pernah sungkan untuk meminta tolong. Kita udah janji kalau kita akan hadapi semua bersama-sama, kan?"

Jevan mengangguk. Percaya bahwa ia memiliki banyak kekuatan dari orang-orang di sekitarnya. Ia tahu bahwa ia tak akan melewati kesulitan ini sendiri. Namun ia sadar, tetap ia yang akan menjadi pemeran utama dalam setiap sakit yang akan terjadi ke depan.

Akhirnya setelah memilah barang-barang untuk mereka rapikan, Jevan dan Bang Yas kini beralih ke sofa. Menghidupkan TV sebagai penambah keributan di tengah sepinya rumah ini.

"Bang... untuk kasus Nevan, gimana? Ada perkembangan?" tanya Jevan. Meletakkan satu minuman dingin yang Dewa kirimkan tadi ke hadapan Bang Yas.

"Belum. Bang Yas udah sempat tanya Beni, tapi kata Beni semua masih diselidiki. Dan semua akan diungkap kalau semua bukti sudah berhasil mereka temukan. Demi menjaga privasi dan keselamatan kalian."

"Aku udah nggak sabar banget buat lihat pelakunya. Aku harap mereka secepatnya tertangkap. Mereka harus merasakan apa yang Nevan rasakan saat ini."

Di tengah-tengah obrolan, suara TV yang sedari tadi menyala mengalihkan pandangan mereka.

Berikut nama-nama korban kecelakaan pesawat Japan Airlenes yang dinyatakan meninggal dunia dalam tragedi hilangnya pesawat dengan nomor penerbangan JL799. Beberapa korban lainnya masih belum ditemukan, dan beberapa jenazah lainnya belum teridentifikasi.

Jevan dan Bang Yas seketika saling bertatap. Mendekat pada layar televisi dan membaca satu persatu nama korban meninggal yang sudah ditemukan. Bola mata Jevan melebar, lalu tersenyum.

"Bang, nggak ada nama ayah dan bunda, kan? Berarti kita masih punya kemungkinan itu, kan Bang? Mereka ada kemungkinan selamat, kan?" tanya Jevan. Menatap Bang Yas penuh harapan.

Bang Yas mengangguk. "Iya, kita masih punya kemungkinan itu, Je. Sekali pun kata orang, sangat tidak mungkin ada korban selamat dalam kecelakaan pesawat, tapi Bang Yas yakin, nggak ada hal yang nggak mungkin untuk harapan baik. Jadi kita berdoa aja, korban yang belum ditemukan itu, termasuk korban selamat."

"Pasti, Bang. Aku pasti selalu berdoa, sekecil apa pun kemungkinannya. Aku harap ayah dan bunda bisa pulang lagi. Aku pengen banget mereka ada di sini lagi, walau pun bukan buat aku, setidaknya mereka bisa jadi obat untuk Nevan."

Benar kata Bang Yas, walau kata orang tidak mungkin, tapi Jevan masih memegang 0,01% kemungkinan baik atas kabar orang tuanya. Ia percaya bahwa setiap doa baik yang mereka ucapkan, pasti ada kemungkinan untuk diwujudkan. Walau terkesan terlalu egois, namun kali ini ia akan terus egois demi kesembuhan adikanya. Jevan tahu, bahwa kehadiran ayah dan bunda mejadi obat paling ampuh untuk Nevan.

Sekali pun Jevan harus menunggu dalam waktu lama, tak apa. Asal ada kabar baik yang ia dengar tentang orang tuanya. Ia akan terus memastikan bahwa kini alur hidupnya yang berat dapat ia lewati dengan baik. Dengan Nevan yang menjadi alasannya bertahan, juga menjadi tumpuan di saat ia ingin menyerah. Nevan satu-satunya yang ia miliki saat ini. Dan kepulangan ayah dan bunda menjadi harapan terbesar untuk Jevan setelah kesembuhan Nevan.

"Besok Bang Yas akan memastikan kepada pihak maskapai untuk korban-korban yang belum ditemukan. Semoga secepatnya kita bisa mendapat kabar baik, ya, Je."

"Iya, Bang. Makasih banyak, ya. Maaf kalau aku buat Bang Yas capek dan sibuk."

"Iya, Je. Ini udah jadi tugas Bang Yas. Yang penting kamu sama Nevan sehat, udah cukup bikin capek Bang Yas hilang."

Suatu saat, Bang Yas akan mejadi orang pertama yang Jevan sebut sebagai orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Suatu saat, bila ia bisa mengejar semua mimpi dan cita-citanya, Bang Yas akan menjadi orang yang ikut menikmati kesuksesan Jevan. Ia berjanji. Bahwa laki-laki itu akan mendapat hal yang setimpal dengan kerja kerasanya saat ini.

***

Beni dan Yuda memutuskan datang menemui Nevan lagi sepulang sekolah. Entah sudah berapa hari, semenjak anak itu sakit, mereka tak bertemu di sekolah. Hingga setelah kejadian malam itu, akhirnya mereka bisa kembali mengobrol, walau dengan suasana dan kondisi yang berbeda.

Setelah mendapat izin dari Jevan, mereka akhirnya kembali melangkah menuju kamar Nevan. Mengetuk pelan pintu kamar anak itu, sebelum melangkah masuk. Hal pertama yang mereka lihat adalah sosok Nevan yang sedang bersandar di kepala ranang. Menatap kosong ke arah jendela yang terbuka. Tangannya memeluk bantal. Mengabaikan ponsel yang biasanya menjadi barang yang paling Nevan suka bila sedang berdiam diri.

Beni dan Yuda melangkah mendekat. Lalu dengan hati-hati duduk di disi ranjang yang Nevan belakangi. Kata Jevan, anak itu mudah sekali terkejut lalu ketakutan. Maka mereka tidak mau bila kedatangan mereka kali ini menjadi ancaman untuk Nevan.

"Hai." Suara pelan Beni tak mengusik Nevan sediki pun.

"Terlalu pelan, Beni" ucap Yuda. Merasa bahwa Beni memanggil terlalu halus, bahkan jauh lebih pelan dari mereka menutup pintu tadi.

"Nggak berani. Nanti dia malah takut sama gue."

Yuda menghela napas, lalu berjalan ke sisi sebelahnya. Agar Nevan dapat menyadari kehadiran mereka. "Jangan bengong, Van," ucap Yuda lalu duduk di sebelah Nevan.

Kali ini, Yuda berhasil. Nevan berhasil menengok dan menatap ke arah mereka. Senyumnya terukir, menyadari bahwa kini ada Beni dan Yuda di hadapannya.

"Masuk lewat mana?" tanya Nevan yang membuat Beni dan Yuda lagi-lagi saling bertatap. Anak itu benar-benar tak menyadari saat mereka masuk tadi.

"Lewat... Pintu. Memang ada tempat masuk lain lagi selain di sana?" Pertanyaan Beni membuat Nevan terdiam, terlihat berpikir. Lalu setelahnya, anak itu kembali menggeleng.

Pertama kalinya, Beni merasa kehabisan kata untuk memulai pembicaraan dengan sahabat yang sudah bertahun-tahun bersamanya. Dulu, tanpa ia berbicara pun, Nevan akan lebih dulu memulai pembicaraan. Dulu, dengan satu kalimat saja, bisa menjadi satu paragraf bila mereka mengobrol. Namun kini, Nevan seperti tak bisa diganggu. Anak itu membatasi komunikasi, atau memang pikirannya terlalu kacau untuk memulai obrolan. Beni juga tak berani sembarangan untuk berbicara, takut bahwa Nevan belum mampu memahami, atau malah membuat anak itu tersinggung.

"Lo udah makan? Mau gue pesenin makanan? Mumpung banyak diskon kalau siang-siang gini," ucap Beni lagi saat tak ada tanggapan dari Nevan. Mencoba mengingatkan kembali kebiasaan-kebiasaan mereka dulu. Namun pertanyaan Beni lagi-lagi hanya mendapat gelengan. Bahkan kini anak itu kembali menatap lurus ke luar jendela.

Ternyata benar apa kata Jevan, mereka kehilangan Nevan yang dulu. Nevan yang berisik. Nevan yang selalu mempermasalahkan apa pun yang Beni lakukan. Nevan yang akan selalu ramai bila sudah disatukan dengan Beni. Dan entah kapan lagi, mereka akan bertemu dengan sosok Nevan yang dulu.

"Nggak bisa diganggu, Ben," ucap Yuda. Tahu bahwa bila dipaksakan, Nevan akan semakin tertekan. Sepertinya anak itu memang sedang tak ingin berbicara dengan siapa pun.

"Serius nih, Nevan gue jadi kayak gini? Astaga, bajingan!"

"Omongan lo di kontrol!"

Beni kembali mendekat. Kini mengambil tempat di sisi Yuda. "Tuan Muda, apa lo nggak kangen nongkrong?" Kalimat Beni berhasil membuat Nevan beralih. Namun detik berikutnya ia mendapat pukulan keras di lengannya dari Yuda.

"Apaan, sih, Ben," ucap Yuda.

"Diem!" Beni kembali beralih pada Nevan setelah menjawab ucapan Yuda. "Bang Roni nanya, kenapa lo nggak pernah dateng lagi ke sana. Katanya mau ditraktir makan lagi. Bebas mau pilih apa aja. Kalau lo mau, nanti pergi bareng gue. Sekarang motor gue udah aman, nggak pernah mogok lagi. Kayaknya kangen pengen bonceng lo, deh," ucap Beni. Masih berjongkok di hadapan Yuda. Berharap ucapannya kali ini medapat tanggapan.

"Kapan?" tanya Nevan yang membuat Beni tersenyum.

"Kapan aja lo mau. Gue anter."

"Dibolehin Jevan?"

"Dibolehin, dong. Nanti gue yang ngomong."

Beni kira, obrolan mereka akan membuat Nevan lebih semangat lagi. Setidaknya bila memang Nevan mau, ia akan meminta Bang Roni mengosongkan bagian belakang cafe hanya untuk mereka. Jadi Nevan tak perlu takut bahwa keramaian membuatnya merasa terancam. Hanya saja kalimat Nevan setelahnya, membuat harapan Beni kembali pupus.

"Enggak, deh. Gue takut."

"Kenapa takut? Kan, ada gue. Ada Yuda juga. Bila perlu nanti Jevan kita bawa sekalian," ucap Beni. Ia tak bermaksud memaksa, hanya saja ia berusaha agar anak itu bisa kembali mengingat kehidupannya dulu. Tempat ramai yang selalu Nevan suka, bahkan saat anak itu baru sembuh. Setidaknya, Nevan bisa melupakan semua kekalutan dan pikirannya yang kacau.

"Mereka nggak akan terima gue, Ben," ucap Nevan. Kembali bersandar dan mengalihkan pandangan. Meremat bantal yang sejak tadi dipeluknya.

Sadar akan perubahan sikap Nevan, Yuda kembali mendekat. Meminta Beni untuk berhenti. "Jangan dipaksa, Ben! Obrolan lo udah kejauhan," ucap Yuda.

Beni bangkit. Mengacak rambutnya kasar. Seakan ada emosi yang coba diluapkan. Namun detik setelahnya, ia kembali mendekat pada Nevan.

"Lo harus tahu, kapan pun lo perlu, gue pasti ada. Lo bisa telepon gue kapan pun lo butuh. Ya, udah. Gue mau ketemu Jevan dulu," ucap Beni. Mengusap pelan kepala Nevan sebelum pamit pergi pada Yuda. Nevan harus tahu, dia tak akan melewati semua ini sendiri. Seberapa banyak pun orang di luar sana yang tak menerimanya, masih ada mereka yang akan peduli.

Tak perlu banyak teman untuk membuatmu tetap hidup. Kamu hanya perlu beberapa teman untuk membuat hidupmu berjalan dengan baik.

Beni melangkah menuju meja makan, mendekati Jevan yang sedang menyiapkan makanan di sana. Menarik salah satu kursi dan memperhatikan Jevan yang sibuk.

"Je..." Panggilan Beni membuat Jevan menoleh.

"Gue lagi nggak pengen debat, Ben."

"Gue nggak mau ngajak lo debat. Nethink mulu lo sama gue."

"Terus?" Jevan mendekat. Meletakkan satu kaleng soda di hadapan Beni, lalu duduk di hadapan anak itu.

"Gue mau minta maaf. Nggak seharusnya gue nonjok lo waktu di rumah sakit," ucap Beni. Meraih kaleng soda yang Jevan berikan lalu meneguknya. "Gue emosi," imbuhnya.

"Lupain aja. Kalau itu bisa buat lo maafin gue, nggak masalah," sahut Jevan.

Beni mendongak. Hanya untuk melihat bahwa laki-laki di hadapannya sudah tak sekeras dulu. Bahwa laki-laki yang dulu selalu mengajaknya berdebat, kini merendahkan egonya untuk berdamai. Ia tahu, sekeras itu Jevan melewati semua ini. Sekuat itu Jevan menerima bahwa kondisi Nevan tak sebaik dulu. Bahkan ketakutan dan kekhawatiran pada sahabatnya, tak akan mempu menandingi ketakutan Jevan setiap detiknya. Dari bagaimana gurat lelah itu terlukis di wajah anak itu, Beni tahu, bahwa Jevan sedang berusaha terlihat baik-baik saja di sela-sela kalut yang belakangan ini memeluknya.

"Apa rencana lo setelah ini?" tanya Beni. Membuat Jevan mendongak dan mereka saling bertatap.

"Nggak ada, selain kesembuhan Nevan."

"Kakak sepupu gue psikiater, temen mama gue psikolog. Lo bisa pilih mau bawa Nevan ke mana, kalau lo rasa perlu. Nggak usah pikirin biaya, gue yang bantu."

"Ben..."

"Demi Nevan. Jangan lo pikir kalau gue nggak bisa bantu karena gue kelihatan luntang-lantung, motor sering mogok, terus jajan cuman indomie. Gue ada, tenang aja."

"Bukan gitu. Gue makasih banget karena lo udah bantu ngurus semua. Lo bisa bantu gue ngungkap kasus Nevan aja, gue udah bersyukur banget. Kalau masalah pengobatan Nevan, biar gue yang usahain."

"Simpen uang lo buat kebutuhan kalian. Gue temenan sama Nevan udah lama. Nggak kehitung berapa banyak yang pernah dia kasih ke gue. Jadi sekarang, gue cuman mau bantu kalian. Tapi kalau selama lo merasa masih bisa jaga Nevan tanpa bantuan tenaga medis, nggak apa-apa. Gue tahu lo pasti mengusahakan yang terbaik untuk Nevan," ucap Beni. Kembali bersandar dan meneguk habis kaleng sodanya. Ia tak akan memaksa apa pun. Karena semua keputusan ada di tangan Jevan. Ia hanya bermaksud meringankan beban Jevan. Tahu bahwa anak itu psti kewalahan tapi tak berani mengeluh.

"Ben, makasih banyak, ya. Gue pasti kasih tahu lo kalau gue perlu bantuan. Dan, gue mohon, jangan tinggalin Nevan apa pun kondisi dia, ya. Temen Nevan cuman kalian berdua. Gue nggak mau Nevan jadi nggak punya temen karena kondisi dia sekarang."

"Lo tenang aja, sedikit pun gue nggak pernah berniat ninggalin Nevan. Gue udah janji bakal bantu kalian, kan? Gue bakal bantu sampai kasus ini bener-bener beres. Gue bakal bantu sampai Nevan sembuh. Lo bisa pegang janji gue, Je."

Karena bagaimana pun kondisinya, mereka akan tetap menjadi sahabat. Mereka pernah melewati semua hal bahagia dan menyakitkan bersama. Mereka pernah tertawa dan menangis bersama. Mereka pernah menghabiskan banyak waktu bersama, walau hanya diam dan sibuk pada ponsel masing-masing. Mereka akan terus bersama, walau kini kondisinya telah berbeda.

***

"Makasi, Pak."

Jevan kembali menutup gerbang dan menguncinya setelah makanan yang ia pesan datang. Berhubung sudah malam, dan ia tak mungkin meninggalkan Nevan sendiri di rumah, jadi ia putuskan untuk delivery saja. Siang tadi Beni sudah mengajarkan Jevan untuk mencari promo bila memesan makanan. Ia memang jarang memesan sendiri. Sekalinya memesan pasti tak akan memikirkan nominal. Namun kata Beni, hemat sepuluh atau dua puluh ribu, kan, lumayan.

Sebenarnya, Jevan tak tahu apa Nevan akan suka atau tidak dengan makanan yang ia pesan ini. Mengingat anak itu sangat pemilih bila soal makanan; kecuali masakan bunda dan Bi Inem. Tapi ayam teriyaki madu ini menjadi best seller di rumah makan yang ia pesan tadi. Jadi ia pikir, Nevan tak akan menolak untuk ayam teriyaki yang wanginya sudah membuat Jevan lapar.

Terhitung sejak malam ini, ia akan menghabiskan banyak waktu berdua dengan Nevan. Ia akan mengurus banyak hal tentang rumah dan adiknya sendiri. Hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Walau mendapat bantuan dari Bang Yas, namun tetap Jevan yang bertanggung jawab atas semuanya. Tak apa, setidaknya prinsip mengenai kerja keras untuk mencapi semua keinginan yang ia tanamkan sejak dulu, kini menjadi berguna. Ia akan menjadi sosok yang lebih kuat lagi. Bukan lagi demi masa depan yang sudah ia impikan sejak dulu, tapi demi kehidupan mereka yang terus berjalan dengan baik.

Jevan meletakkan makanan mereka di atas nampan lengkap dengan dua es teh yang sekalian ia pesan tadi. Siapa tahu bisa menambah nafsu makan Nevan. Takut bila makan anak itu kacau, maag-nya akan kambuh.

Hanya saja, saat Jevan baru saja meraih nampan untuk ia bawa ke kamar Nevan, listrik tiba-tiba mati. Jevan mematung, tak bisa melihat apa pun karena keaadaan begitu gelap. Kebetulan juga ponselnya ia tinggal di kamar Nevan, karena setelah mengambil pesanan makanan ia berniat segera kembali ke kamar anak itu lagi. Sepertinya ini hanya konsleting listrik yang sebelumnya pernah terjadi di area perumahan mereka. Dan akan kembali menyala dalam waktu kurang dari lima menit.

Sekitar lebih dari satu menit Jevan mencoba memfokuskan pandangan. Tak berani bergerak karena membawa nampan berisi makanan, takut tersandung karena keadaan yang benar-benar gelap. Namun tiba-tiba, suara gelas yang dibanting berhasil mengalihkan fokus Jevan. Tanpa menunggu lama, ia langsung berjalan menaiki anak tangga secara perlahan. Takut terjadi sesuatu pada Nevan, karena suara tersebut berasal dari kamar anak itu.

Beruntung saat langkahnya berada pada anak tangga terakhir, listrik kembali menyala. Jevan segera berlari menuju kamar Nevan. Langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Pandangannya menangkap sosok Nevan yang duduk di sisi ranjang, memeluk erat lututnya sembari menenggelamkan wajahnya di sana. Tangan anak itu bergetar, jari-jarinya meremas cukup keras.

Jevan berniat medekati Nevan setelah meletakkan nampan di atas meja, namun urung saat melihat pecahan gelas yang berserakan. Ia harus membereskan ini lebih dulu sebelum pecahan gelas ini melukai adiknya.

"Van... Nggak usah takut, ada gue di sini. Lo tunggu, ya. Gue mau bersihin pecahan gelas ini dulu," ucap Jevan, lalu berjongkok. Mengambil satu persatu pecahan gelas yang besar untuk ia kumpulkan. Memastikan bahwa pecahan tersebut belum sedikit pun mengenai Nevan.

Sesekali ia melirik Nevan. Tubuh anak itu bergetar. Jevan tahu bahwa adiknya pasti ketakutan. Mengingat bagaimana malam itu, kegelapan menjadi hal yang membuat hidup Nevan hancur.

"Sshhh..." Jevan meringis saat menyadari bahwa pecahan kaca itu melukai tangannya. Ia segera bangkit, membawa pecahan itu keluar dan kembali dengan alat pel untuk membersihkan kamar Nevan.

"Bentar, ya. Gue udah mau beres, kok," ucap Jevan, walau Nevan masih tak bergerak di tempatnya.

Hingga akhirnya Jevan memastikan lantai benar-benar bersih tanpa serpihan dari pecahan kaca tadi. Meraih selimut untuk menutup tubuh adiknya yang masih bergetar. Berharap dapat meringankan ketakutan anak itu. Namun saat selimut itu baru menyentuh punggung Nevan, anak itu dengan cepat menampik tangan Jevan. Meraih selimut yang ia pegang tadi dan meremasnya erat. Terlihat dari raut wajahnya, bahwa anak itu benar-benar ketakutan.

"Nggak apa-apa, Van. Nggak ada siapa-siapa selain gue," ucap Jevan. Namun sekali lagi Nevan mendorong tangan Jevan lalu menggeleng. Kembali meremas kuat selimut yang kini menutup tubuhnya.

"Enggak, pergi! Gue nggak kenal! PERGI!"

"Gue Jevan, Van. Gue kakak lo. Bukan orang lain!"

"Pergi! Gue mohon pergi! Jangan jahatin gue..." Suara Nevan melemah, lalu kembali menundukkan kepala. Tak lagi menatap Jevan yang kini berusaha keras agar air matanya tak jatuh.

"Sori, Van..." Hati Jevan sakit. Melihat adiknya sehancur ini, hingga tak mengenali dirinya. Bahkan untuk menenangkan Nevan saja ia tak bisa.

"Pergi.. jangan jahatin gue. Gue takut." Gumaman kecil itu terus berulang. Entah apa yang kini ada di pikrian Nevan. Entah kejadian yang mana yang sedang Nevan ingat hingga ia begitu ketakutan.

Jevan memberi ruang untuk Nevan menenangkan diri. Takut bila dipaksa kondisinya akan lebih parah. Padahal siang tadi Nevan sudah bisa diajak berkomunikasi walau sedikit. Anak itu tak berontak saat Beni dan Yuda datang. Bahkan Jevan sempat mengobrol dan memberi tahu makanan yang ia pesan pada Nevan. Hingga kejadian mati listrik tadi, kembali membangkitkan trauma adiknya.

"Van..." Jevan kembali meraih pundak adiknya saat ia rasa kondisi Nevan sudah lebih tenang. Mengusap air mata yang kini menggenang. Ia sudah berjanji akan lebih kuat demi Nevan, kan? Tapi mengapa rasanya begitu rapuh saat melihat adiknya seperti ini?

Sesaat Nevan berontak, hingga akhirnya tenang saat Jevan menariknya dalam pelukan. Anak itu tak lagi melawan, tak lagi menggumamkan kata-kata menyakitkan. Hanya terdiam dengan napas memburu. Meremas erat selimut yang sedari tadi digenggamnya.

"Maaf, ya. Gue juga nggak tahu kenapa tiba-tiba lampunya mati. Tapi lo tenang aja, gue masih ada di sini, kok. Cuman gue, nggak ada yang lain," ucap Jevan pelan. Mengusap punggung adiknya yang masih bergetar. Ia tahu listrik yang padam pasti membuat Nevan trauma.

"Gue takut, Je. Gue ta–kut orang itu dat–ang lagi," ucap Nevan dengan terbata. Terdengar jelas bahwa napas anak itu memberat.

Jevan melepas pelukannya, kembali menatap Nevan yang kini jauh lebih tenang. "Nggak ada orang jahat lagi di rumah ini. Cuman ada gue sama lo. Jadi lo nggak usah takut. Oke?" ucap Jevan, lalu bangkit. Meraih inhaler di laci nakas sebelah tempat tidur, sebelum asma adiknya semakin parah. Membantu Nevan menggunakan tabung kecil itu, hingga napasnya membaik.

Setelah dirasa kondisi Nevan lebih tenang, Jevan memindahkan adiknya kembali ke kasur. Membiarkan anak itu bersandar di kepala ranjang dengan napas yang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Keringat masih mengalir di sela-sela pelipis Nevan. Rambut dan bajunya juga basah dengan keringat. Jevan tahu bahwa Nevan berusaha dengan keras melawan semua ketakutannya.

Jevan meraih tangan adiknya lalu menggenggam. Sedangkan pandangan Nevan fokus pada sudut ruangan. Terpaku pada satu tempat dengan tatapan kosong. Ia tahu bahwa bayang-bayang kejadian malam itu masih menjadi trauma terberat untuk Nevan. Ia tak tahu apa saja yang terjadi, hingga adiknya bisa sekacau ini. Bahkan Jevan tak tahu seberapa lama kejadian itu akan menjadi bayang-bayang menakutkan dalam hidup adiknya.

Dalam diam, Jevan tak sekali pun melepas pandangan pada Nevan. Tubuh adiknya semakin kurus, wajahnya tak lagi cerah seperti dulu. Gurat lelah dan bias pucat di wajah anak itu, menandakan bahwa kejadian malam itu menggangu tidur Nevan. Anak itu bahkan selalu gelisah tiap kali menutup mata. Saat terbangun pun, hal-hal kecil bisa menjadi ketakutan besar untuk Nevan. Jevan bisa merasakan bagaimana sakitnya. Jevan bisa tahu bahwa anak itu pasti lelah melawan pikirannya sendiri.

Seberapa lama Tuhan? Apa Jevan akan sanggup melihat adiknya menderita seperti ini? Apa yang harus ia lakukan? Apa sebaiknya ia menerima tawaran Beni?

"Kenapa?" Suara Nevan mengalihkan fokus Jevan. Bahkan ia tak sadar bahwa kini anak itu menatapnya.

"Kenapa? Gue nggak apa-apa," sahut Jevan sembari tersenyum.

"Nangis?" tanya Nevan. Masih menatap lekat mata Jevan.

Jevan menggeleng. Buru-buru mengusap bekas air mata yang sepertinya masih menggenang. "Enggak. Kelilipan tadi," sahutnya masih dengan senyuman.

"Debu?"

"Iya, debu. Ya, udah. Lo mau makan sekarang nggak? Makanan yang gue pesen udah dateng." Jevan bangkit. Meraih satu kotak makanan dan es teh yang ia pesan tadi. Lalu kembali duduk di sebelah Nevan.

"Kayaknya lo bakal suka, deh. Ini best seller di resto-nya. Coba, deh." Jevan mengarahkan sendok yang sudah berisi nasi dan lauknya, ke mulut Nevan. Namun anak itu menolak. Beralih meraih sendok yang Jevan pegang.

"Gue bisa makan sendiri. Lo makan juga, kan?" tanya Nevan yang membuat Jevan kembali tersenyum, lalu mengangguk cepat.

"Iya, gue makan. Kita makan bareng di sini, ya." Jevan bangkit. Meraih kotak makan dan es teh miliknya lalu kembali duduk di kasur Nevan. Sedangkan anak itu sudah lebih dulu menyendok nasinya sedikit demi sedikit.

Jevan kembali tersenyum, memperhatikan Nevan yang menikmati makanannya. Walau tak selahap dulu, ia senang anak itu bisa makan dengan baik tanpa perlu ia paksa. Nevan hanya diam, fokus dengan nasi dan ayam teriyaki yang menggugah selera. Walau tanpa suara seperti biasanya, tapi terlihat jelas bahwa anak itu menikmati.

Kini berakhir dengan Jevan yang menyuap makanan sembari terus memperhatikan Nevan. Dari sekian banyak pikiran-pikiran buruknya, ia selalu menemukan celah bahagia dari perkembangan sikap Nevan. Ia percaya, cepat atau lambat, adiknya akan sembuh. Nevan akan kembali menjadi sosok yang sama seperti pertama mereka mengenal dunia.

• Trauma Berkepanjangan •


Silakan keluarkan kata-kata mutiara kalian untuk mereka 🥹

Satu per-satu kita kelarin masalahnya yaa. Makasih kalian masih bertahan sejauh ini 🫶🏻
Kalau kalian rasa aku update kecepetan, bilang aja ya. Tapi kalau update kelamaan, mohon permaklumannya 🤭

Btw, untuk face claim Bang Yas kayaknya paling banyak membayangkan Yuta sama Doyoung yaa 😭 Maunya aku spill siapa cast Bang Yas, tapi kyaknya better, aku kasih kalian dengan imajinasi kalian aja 🥹

See u next bab yaa sayang ❤️
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 5 | Kondisi Raga Setelah Hujan Badai
23
24
Suara batuk Raga membuat Dirga menoleh. Tidak mungkin Mama Ira tidak mendengar. Apalagi wanita itu peka sekali kalau sudah menyangkut anak kesayangannya.Loh, Raga sakit, Nak?Belum Dirga sempat melanjutkan obrolan, suara khawatir Mama Ira kembali terdengar.I-iya, Ma. Tadi nggak sengaja kejebak hujan. Maaf, ya, Ma. Dirga udah kasih obat, kok.Astaga. Kumat ya, Nak? Minta tolong dijagain dulu, ya. Kalau makin parah nanti bawa ke klinik aja, ya. Mama transfer uang ke Dirga nanti.Iya, Ma. Kalau sampai besok belum membaik, Dirga bawa ke klinik. Mama tenang aja, ya. Dirga pasti jagain Raga kok, di sini. Untuk biaya nggak usah di transfer dulu, Dirga sama Raga masih ada kok.Ya Tuhan, Nak. Kalian itu jauh banget, Mama nggak bisa ke sana cepet-cepet. Dirga direpotin dulu nggak apa-apa, ya?Mama kayak sama siapa aja. Kan, Dirga udah janji ke Mama kalau Dirga bakal jagain Raga sampai lulus nanti. Udah, Mama tenang aja. Doain aja biar sesaknya nggak tambah parah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan