
Jevan tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya kehidupan Nevan setelah ini. Namun bagaimana pun keadaan anak itu, dan seberat apa pun perjuangannya setelah ini, akan Jevan lakukan. Hanya agar adiknya bisa sembuh seperti dulu lagi.
"Van... Sori, ya. Gue tahu gue salah. Tapi gue juga tahu lo pasti bosen denger kata maaf dari gue. Setelah ini, kita hadapai semua bareng-bareng, ya. Gue nggak akan pikirin perusahaan ayah, gue nggak akan peduli kalau ke depannya kita hidup luntang-lantung di jalan. Gue...
"Cukup dengan lo diem, gue juga bakal diem!"
"Gue harap, suatu saat lo bisa hidup tenang tanpa gue, Je."
Kalimat-kalimat pertengkaran itu masih memenuhi isi pikiran Jevan. Andai sejak awal ia tak mengikutnya ego-nya, semua tak akan pernah terjadi. Andai saat Nevan meminta pertimbangannya untuk tinggal atau tidak dengan Tante Lili, ia mengatakan tidak dengan tegas. Andai ia tak pernah membiarkan Tante Lili mengambil hati Nevan hingga anak itu lebih memilih tinggal di sana dibanding di rumah mereka, kejadiannya tak akan seperti ini.
Semua salah Jevan. Tapi mengapa Nevan yang menanggung semuanya?
Jevan kembali mengusap kasar wajahnya. Melihat bagaimana tubuh adiknya yang lemah tak sadarkan diri saat mereka perjalanan ke rumah sakit, membuat hati Jevan semakin sakit. Juga luka-luka di wajah adiknya yang babak belur, membuat rasa menyesalnya semakin dalam. Ia tak bisa membayangkan seberapa sakit anak itu. Ia tak bisa membayangkan bagaimana Nevan melawan semua ketakutannya di sana. Berusaha tetap kuat dan bertahan menunggu mereka datang. Hingga akhirnya setelah semua kesakitan itu, tubuh Nevan menyerah dalam pelukan Jevan.
Apa yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki semua ini? Apa yang harus ia lakukan untuk mebuat Nevan kembali baik-baik saja tanpa menyisakan trauma? Apa setelah ini, ia akan benar-benar kehilangan sosok Nevan yang dulu?
Bukan ini, kan, jawaban dari semua perdebatan mereka kemarin? Jevan tak ingin akhir seperti ini. Ia hanya ingin mereka memahami satu sama lain. Bukan kehilangan lagi.
"Tenang dulu, Je. Bang Yas yakin semua akan baik-baik aja." Bang Yas menepuk pelan pundak Jevan, lalu menarik anak itu dalam pelukan. Menjadi sosok paling kuat untuk kedua adiknya.
"Nggak akan ada yang baik-baik aja setelah ini, Bang. Aku yakin Nevan pasti hancur banget. Terus aku bisa apa sekarang? Kenapa harus Nevan, sih? Kalau aku yang salah, kenapa Tuhan hukum aku melalui Nevan? Nggak adil, kan?"
"Nggak boleh ngomong gitu. Kalau kamu merasa bersalah, boleh aja. Tapi jangan pernah menyalahkan apa yang sudah ditakdirkan. Bang Yas yakin, semua yang terjadi di dunia ini selalu punya dasar alasan yang kuat. Kenapa harus Nevan? Karena Tuhan tahu Nevan kuat. Dan Tuhan juga tahu kamu jauh lebih kuat. Sekarang Nevan itu perlu kamu. Kalau kamu kacau seperti ini, gimana Nevan bisa sembuh?"
"Bang Yas bener, Je. Mau lo nyesel dan nyalahin diri sendiri kayak gimana pun, lo nggak akan bisa mengubah takdir. Gimana pun keadaan Nevan setelah ini, gue yakin banget lo bisa jagain dia. Lo tenang aja, lo nggak sendiri, Je. Jadi berhenti berpikir kalau semua masalah ini lo tanggung sendiri. Masih ada gue, Bang Yas, Beni, Yuda yang bisa lo minta tolong kapan pun itu. Nevan nggak boleh lihat lo kayak gini," ucap Dewa. Ia bisa melihat bagaimana kacaunya Jevan. Ia bisa melihat bagaimana hancur dan menyesalnya anak itu. Juga bagaimana Jevan marah pada dirinya sendiri. Jadi sejak mereka sampai di rumah Tante Lili, hingga kini mereka berada di depan ruang UGD menunggu Nevan ditangani, Dewa tak pernah beranjak. Ia dan Bang Yas menyerahkan dirinya menjadi tumpuan saat dunia Jevan sedang runtuh.
Dalam keadaan kacau, juga hening di setiap sudut area ini, suara langkah orang yang berlari ke arah mereka mengalihkan pandangan ketiganya. Mendapati Beni dan Yuda yang datang dengan tergesa. Saat sampai di rumah sakit tadi, Dewa memang langsung menghubungi Beni. Menceritakan keadaan Nevan walau tak begitu detail. Dan sejak panggilan itu ditutup sepihak, Dewa tahu bahwa anak itu akan datang dengan keadaan emosi.
Tanpa sapaan, Beni langsung menarik tubuh Jevan. Membuat Jevan yang semula masih terdiam dan merenung, seketika terkejut. Ia masih belum bisa mencerna apa pun, pikirannya masih kacau saat pukulan keras yang Beni layangkan di rahang kirinya membuat ia tersungkur.
"BANGSAT!" Beni kembali menarik Jevan yang saat itu masih diam tanpa perlawanan. Meraih kerah baju Jevan dan kembali bersiap mumukul.
Jevan masih tak bergeming. Bahkan saat ia melihat bagaimana sorot penuh amarah di mata Beni. Ia rela bila anak itu menghajarnya habis-habisan. Karena bukan hanya Beni yang kecewa pada Jevan, ia pun kecewa pada dirinya sendiri. Siapa tahu dengan pukulan ini, mereka sama-sama bisa saling memaafkan dan menerima keadaan setelah ini.
"Beni, udah!" Bang Yas melepas cengkraman tangan Beni, menarik Jevan agar berdiri di sampingnya. Sedangkan Yuda masih menahan Beni agar tak menyerang.
"Puas lo? Ini kan, yang lo mau? Dari awal lo mau adik lo mati, kan? Buat apa sekarang lo masang muka seolah-olah lo peduli? Bukannya ini yang lo mau? Bangsat! Lo brengsek, Je!" Beni masih berusaha merai baju Jevan. Beberapa kali ia sempat tertarik, namun Bang Yas berhasil melepaskan. Dan Yuda berhasil menahan tangan Beni lagi.
Jevan hanya diam, melawan pun percuma. Apa yang Beni katakan benar, kan? Bahkan ia sempat berpikir bahwa hidupnya tak akan serumit ini bila tak ada Nevan. Padahal nyatanya, ia sudah hancur hanya dengan melihat adiknya terluka.
"BEN, STOP!" Yuda masih menahan Beni yang berontak. Mencoba meraih Jevan untuk menjadi sasaran amukannya. Bila bukan karan Bang Yas di depannya, ia yakin anak itu sudah membuat Jevan babak belur sejak tadi.
"Nggak! Dia yang salah, dia yang buat Nevan sakit. Dan sekarang, dia masih bisa berdiri di sini sedangkan temen gue kritis di dalem? Nggak, gue nggak terima! Harusnya lo yang mati, Je! Harusnya lo yang menderita, bukan Nevan!"
Jevan bisa merasakan bagaimana kekesalan itu. Ia bisa melihat bagaimana ucapan kebencian itu selaras dengan raut wajah Beni yang memerah menahan amarah. Ia juga tak tahu mengapa akhirnya Nevan yang di dalam. Ia juga tak tahu mengapa Tuhan menyelamatkan Jevan dalam kecelakaan itu, namun membiarkan Nevan hancur di tangan orang-orang brengsek itu. Ia tak tahu mengapa takdir membuatnya sehancur ini melalui Nevan. Padahal dibanding melihat Nevan yang sakit seperti ini, ia rela menanggung semua yang anak itu rasakan.
"Beni... Bang Yas ngerti, tapi kita bisa omongin ini baik-baik, kan?"
"Enggak. Nggak ada yang bisa dibicarakan secara baik-baik lagi, Bang. Bang Yas tahu seberapa banyak usaha Nevan buat diterima sama Jevan? Tanpa dia tahu dia salah apa, dia rela ngemis maaf dari kakaknya sendiri. Dia rela nahan sakitnya sendiri cuman biar nggak ngerepotin Jevan. Dan dia rela tinggal di rumah Tante Lili cuman biar kalian bisa hidup dengan layak. Dia mikirin Jevan, Bang. Tapi apa Jevan mikirin dia? Adiknya sekarat sampai hampir mati aja dia nggak peduli!"
Kalimat Beni berhasil menghantam telak dada Jevan, membuat sakit dan perih secara bersamaan. Ia menutup mata atas semua kesakitan Nevan selama ini. Menyisakan penyesalan saat semua sudah terlanjur terjadi. Rasanya ia ingin kembali pada hari di mana pesawat ayah dan bunda dikabarkan hilang. Ia harusnya ada di sana untuk menguatkan anak itu. Ia harusnya tahu di bias pucat adiknya, anak itu menahan sakit sendiri. Harusnya tak ada perdebatan yang membuat egonya menang. Ia harusnya tak abai pada kondisi Nevan dan membiarkan anak itu tumbang setelah pertengkaran. Harusnya Jevan tak seeogis itu dan kejadian ini tak akan pernah terjadi. Lalu bagaimana ia harus memaafkan dirinya untuk semua kata 'seharusnya' yang tak perlu terjadi itu?
Tapi saat Beni berhasil menariknya lagi, Jevan terduduk. Berlutut di hadapan Beni. Ia tahu anak itu menjadi orang yang paling mengkhawatirkan Nevan. Ia tahu anak itu selalu berada di barisan depan saat mereka berselisih paham. Dan ia tahu Beni menjadi yang paling besar berkoban atas apa yang terjadi pada Nevan selama ini, selama tak ada Jevan di samping anak itu.
"Gue salah, maaf. Harusnya waktu lo bilang Nevan sakit di UKS, gue nggak ngajak lo debat cuman karena ego gue lagi tinggi-tingginya. Harusnya waktu lo dateng ke rumah tengah malam buat jemput Nevan, gue nggak pura-pura untuk nggak peduli. Harusnya gue bisa mencegah Nevan untuk nerima tawaran Tante Lili. Dan harusnya gue pulang di malam waktu Nevan bilang ada orang yang merhatiin dia dari depan pintu. Iya, gue salah, Ben. Lo bebas pukuin gue sepuas lo," ucap Jevan. Karena pada akhirnya tak ada pembenaran apa pun atas semua sikap Jevan selama ini.
Beni ikut berlutut, memegang kedua bahu Jevan sembari menatapnya tajam. "Sampai temen gue kenapa-kenapa, jangan harap gue bakal diem aja. Dia memang adik lo, tapi gue nggak akan pernah terima sikap semena-mena lo ke dia!" ucap Beni. Kembali memukul rahang kiri Jevan; dengan tenaga yang tak sekuat tadi. Lalu bangkit dan berdiri agak jauh.
Sementara Yuda, Bang Yas dan Dewa hanya diam. Mereka sama-sama tahu bahwa emosi Beni sudah tak sebesar tadi. Dan ia juga tahu bahwa Jevan tak meminta mereka untuk membela, karena tahu amarah Beni tak akan benar-benar menyakitinya.
Selang beberapa menit saat suasana kembali hening, dokter yang menangani Nevan kembali mendekat.
"Maaf, dengan siapa saya bisa berbicara?"
Bang Yas melirik Nevan yang masih terdiam kebingungan. Tanpa meminta persetujuan Jevan, ia maju mendekati dokter tersebut. "Saya yang bertanggung jawab, Dok."
"Ikut saya ke dalam," ucap dokter tersebut. Lalu membawa Bang Yas untuk ikut masuk ke ruang UGD, tempat Nevan ditangani.
Tubuh Jevan masih membeku, bukan karena pukulan Beni, tapi karena rasa takutnya atas kondisi Nevan. Bila anak itu benar-benar meninggalkannya, bagaimana Jevan bisa melanjutkan hidup?
Dewa mendekat, menepuk pelan pundak Jevan yang masih terduduk. Lalu detik berikutnya Jevan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Melupakan rasa sakit dan ketakutannya dengan tangisan. Dan untuk pertama kalinya Dewa mendengar tangisan Jevan yang memilukan. Membuat dadanya ikut sesak dan matanya mulai basah. Ia tak mengira bahwa hidup dua anak yang dulunya begitu sempurna, kini benar-benar berantakan.
***
Selama Jevan hidup, dan selama mereka tumbuh bersama, ia tak pernah berpikir akan menemani Nevan di ruangan ini. Setelah Bang Yas kembali dari pertemuannya bersama dokter tadi, laki-laki itu mengatakan bahwa Nevan harus dipindahkan ke ruang ICU. Kondisinya memburuk. Cidera di kepalanya membuat kesadaran anak itu menurun. Juga saturasi oksigennya jauh di bawah normal saat sampai tadi.
Jangan tanya bagaimana kacaunya Jevan mendengar semua itu. Di pikirannya, ia benar-benar akan kehilangan Nevan saat itu juga. Hanya saja saat ia ada di sini menemani anak itu, ia yakin Nevan tak akan tega meninggalkan Jevan sendirian. Ia tahu bagaimana Nevan mengkhawatirkannya. Maka ia percaya bahwa ini hanya cara Nevan untuk beristirahat.
Beberapa menit Jevan hanya diam, memandang wajah Nevan dengan banyak bekas luka. Memandang wajah yang dulu selalu ceria, kini terlampau tak berdaya. Ia bersyukur, adiknya masih mampu bertahan setelah menerima semua kesakitan itu. Ia lega bahwa kini ia masih diberi kesempatan untuk bersama Nevan di sini. Jevan tak bisa membayangkan bagaimana gilanya dia, bila tak lagi bisa memeluk adiknya.
Tuhan, bila ini kesempatan terakhir yang Kau berikan padaku, biar aku mengucap janji untuk menjaga kesempatan ini sebaik mungkin. Bila aku lalai, hukum aku. Jangan adikku...
Jevan meraih tangan Nevan, lalu menggenggamnya. Berulang kali ia melihat Nevan pingsan, tapi ia tak pernah melihat Nevan selemah dan sehancur ini. Semua alat yang terpasang di tubuh adiknya, sebagai penopang agar Nevan bertahan.
Sejak dulu, sejak mereka sama-sama dilahirkan ke dunia, Nevan sudah lebih dulu merasakan sakit. Saat bayi kembar lahir, harusnya ruangan penuh dengan suara tangisan yang saling bersahut. Namun berbeda dengan mereka, hanya suara Jevan yang terdengar mengisi ruangan. Saat anak kecil seusia mereka bermain dan berlarian mengejar bola, hanya Jevan yang tertawa kegirangan karena berhasil mencetak gol. Saat anak remaja seperti mereka bisa melakukan hobi yang mereka suka, hanya Jevan yang bisa melakukan banyak kegiatan bersama komunitas pecinta alam. Namun Jevan tak pernah mendengar Nevan mengeluh. Anak itu akan duduk di tepi lapangan menonton Jevan bermain. Anak itu akan melakukan kegiatan lain yang tak membahayakan dirinya. Dari sekian banyak rasa ikhlas pada diri adiknya, mengapa Nevan harus kembali merasakan sakit yang lebih buruk dari sebelumnya?
Apa Tuhan tahu bahwa Nevan sekuat itu?
Tak terasa air mata Jevan menetes. Kembali mengingat bagaimana pertengkaran mereka sebelumnya. Bagaimana ucapan-ucapan itu melukai hati Nevan. Dan hebatnya, anak itu tetap memaafkan Jevan. Nevan bahkan begitu bahagia saat mereka akhirnya mengobrol via telepon. Ia masih ingat bagaimana suara Nevan yang mengatakan bahwa dia sudah sembuh hanya karena Jevan menelpon. Baru kemarin, kan? Mengapa kini ia harus melihat adiknya terbaring di sini?
"Gue nggak tahu bagian mana yang sakit. Tapi gue yakin, lo pasti kuat. Kalau alat-alat ini mengganggu, lo bangun aja. Nanti dokter pasti lepas semua," ucap Jevan. Masih menatap Nevan yang setia dengan pejamnya.
"Gue kangen,Van. Gue kangen ngobrol sama lo. Gue kangen sama omongan lo yang ngelantur itu. Setelah ini, gue bakal dengerin semua cerita nggak penting lo. Setelah ini, gue janji kalau kita cuman punya satu sama lain. Lo nggak perlu takut, gue bakal selalu ada buat lo. Lo nggak perlu takut kalau lo bakal kehilangan gue juga. Karena gue nggak akan ngebiarin dunia misahin kita. Gue nggak akan biarin siapa pun jahatin lo lagi."
Andai Nevan sadar, anak itu pasti sudah menertawakannya karena menangis. Anak itu pasti merasa bangga karena kini Jevan menangisi dirinya. Bila saja itu benar terjadi, Jevan tak masalah. Ia rela melihat tawa menyebalkan Nevan yang meledekanya.
"Asli, Je. Lo nangisin gue? Nangisin anak ganteng nan menawan ini? Demi apa pun, harusnya bunda buat nasi kuning untuk kita tumpengan, sih, ini. Langka, sih, seorang Jevan nangis sampai matanya bengkak begini. Mana jelek pula. Memang bener, ya, gue nggak ditakdirkan untuk jadi pinter. Karena gue udah ganteng, mutlak, tanpa bantahan."
Jevan tersenyum, di sela-sela air matanya yang masih menetes. Terbayang bagaimana wajah menyebalkan anak itu dengan kepercayaan dirinya yang membara. Sekali lagi, ia mengeratkan genggaman pada tangan kurus adiknya, seakan Nevan akan pergi bila ia lepaskan.
"Gue beneran kangen lo, Van. Sebelum gue se-egois itu, kita udah deket, kan? Gue udah berusaha ngelakuin hal yang nggak bikin gue nyesel. Tapi dengan bodohnya, gue ngulang kesalahan yang lebih fatal lagi," gumam Jevan. Padahal setelah ia merasa begitu bersalah karena membuat Nevan masuk rumah sakit setelah kegiatan sosial, ia sudah bertekad untuk tak terlalu keras pada anak itu. Ia sudah mengikis gengsi-nya untuk bersikap lebih layak sebagai seorang saudara.
Bahkan malam itu ia memiliki inisiatif sendiri untuk menjemput Nevan ke coffe shop Bang Roni. Tak ada paksaan atau pun rasa malas. Namun hari berikutnya, ia membuat anak itu begitu kacau. Mungkin di hari kejadian hilangnya pesawat ayah dan bunda, Nevan berharap bahwa mereka bisa merangkul satu sama lain. Saling menguatkan dan yakin bahwa mereka masih memiliki satu sama lain.
Namun apa yang Jevan lakukan? Ia membiarkan Nevan sendiri. Ia menghancurkan harapan Nevan agar hubungan mereka baik-baik saja. Karena di hari sebelumnya, Nevan begitu bahagia dengan perubahan sikap Jevan. Apa setelah ini ia akan merasakan apa yang Nevan rasakan? Apa setelah ini, ia akan merasakan sakit yang sama karena sikap Nevan pasti tak akan sama lagi?
Bahkan dokter sudah mengatakan bahwa kemungkinan Nevan akan mengalami trauma berat. Entah karena kekerasan atau pelecehan yang anak itu terima. Atau mungkin... keduanya. Mungkin mereka juga akan memerlukan penangan psikiater untuk menyembuhkan trauma adiknya.
Jevan tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya kehidupan Nevan setelah ini. Namun bagaimana pun keadaan anak itu, dan seberat apa pun perjuangannya setelah ini, akan Jevan lakukan. Hanya agar adiknya bisa sembuh seperti dulu lagi.
"Van... Sori, ya. Gue tahu gue salah. Tapi gue juga tahu lo pasti bosen denger kata maaf dari gue. Setelah ini, kita hadapai semua bareng-bareng, ya. Gue nggak akan pikirin perusahaan ayah, gue nggak akan peduli kalau ke depannya kita hidup luntang-lantung di jalan. Gue nggak akan takut kalau masa depan gue nggak sesuai dengan yang apa yang gue rencanain. Asal adik gue masi sama gue, rasanya masa depan gue nggak akan pernah buruk. Jadi gue harap, lo secepatnya bisa bangun lagi, ya. Ngobrol sama gue. Nggak usah bahas kejadian malam itu, nggak usah bahas masa depan kita. Gue cuman mau denger ocehan lo, walau itu cuman tentang gerobak bakso di taman kota," ucap Jevan. Dadanya sesak. Pertama kalinya, kalimat panjang Jevan tak mendapat jawaban. Padahal dulu, sosok itu yang selalu membuat ribut seisi rumah. Anak itu yang membuat berisik telinga Jevan hingga ia kewalahan.
"Nggak apa-apa sekarang istirahat dulu. Gue nggak akan ke mana-mana, gue bakal terus jagain lo. Kalau pun gue nggak di sini, gue ada di luar. Lo nggak akan sendirian lagi."
Pada akhirnya, Jevan yang kesepian. Ia bahkan tak bisa menjadikan orang lain sebagai penghibur hatinya. Ia tak bisa menghilangkan perasaan hampa, sekali pun banyak orang yang menemani. Karena ia hanya ingin adiknya. Ia hanya ingin Nevan yang menjadi teman di kala semua terasa sulit. Apa ini yang anak itu rasakan kemarin? Apa se-hampa ini saat Nevan hanya sendiri di rumah Tante Lili?
"Ayah, Bunda...maafin Jevan. Jangan bawa Nevan pergi juga. Aku nggak bisa sendirian."
Di tengah suara alat-alat medis yang menjadi penopang kehidupan adiknya, di sisi tubuh lemah adiknya yang terlelap, Jevan hanya bisa menumpahkan semua rasa sakitnya dengan air mata. Bahkan kata menyesal yang ia ucap beribu kali pun, tak ada artinya. Tak akan bisa mengubah waktu yang telah berlalu. Tak bisa menghapus kenyataan menyakitkan yang telah dialami adiknya.
***
Malam semakin larut, menyisakan dua laki-laki yang masih duduk di taman rumah sakit. Menatap kosong ke langit malam yang gelap; tanpa bintang. Merasakan dunia yang hampa, juga perasaan penuh cemas yang sama.
"Aku masih nggak percaya kalau semua akan seberat ini, Bang," ucap Jevan. Ia masih menggenggam botol es teh yang Dewa belikan tadi. Bahkan makanan yang anak itu titipkan pada Bang Yas belum sedikit pun Jevan sentuh.
"Kita bahkan belum melewati satu hari, Je. Bang Yas yakin, seiring berjalannya waktu, semua pasti akan lebih mudah."
"Kapan? Bahkan aku yakin besok lebih berat, Bang. Apalagi kalau Nevan udah sadar. Aku nggak tahu gimana dia bakal hidup setelah ini."
"Je... Jangan terlalu takut untuk sesuatu yang belum terjadi. Bang Yas tahu semuanya nggak akan mudah. Bang Yas tahu setelah ini kamu pasti akan merasa lebih sulit. Tapi setidaknya, Nevan bangun dulu, sembuh dulu, cukup, kan? Gimana keadaan dia ke depannya, kita hadapi bersama. Bang Yas janji, Bang Yas nggak akan ninggalin kalian. Bang Yas akan bantu kalian selama Bang Yas mampu." Bang Yas memegang pundak Jevan. Membuat anak itu balik menatapnya. Ia bisa melihat bagaimana gurat lelah, juga mata sembab anak itu setelah menangis. Ia tak pernah melihat Jevan sekacau ini. Jadi ia tahu, bahwa peran Nevan memang sepenting itu di hidup Jevan; juga sebaliknya.
"Makasih banyak, ya, Bang. Aku tahu setelah ini aku pasti banyak ngerepotin Bang Yas. Setelah ini aku pasti banyak minta tolong ke Bang Yas. Aku janji, aku pasti balas semua kebaikan Bang Yas. Tapi aku mohon, bantu aku ya, Bang. Bantu nyelesaiin semua masalah ini."
"Je... nggak perlu balas apa pun. Ini bentuk tanggung jawab dan terima kasih Bang Yas ke ayah dan bunda kamu. Sekarang kamu tenang aja. Semuanya Bang Yas yang urus, kamu fokus jagain Nevan. Masalah Nevan, dan masalah pesawat itu, Bang Yas yang akan selesaikan. Kamu jangan banyak pikiran, jaga kesehatan. Kalau kamu sakit, siapa yang akan jaga Nevan?"
"Bang Yas tenang aja, aku pasti jaga diri. Bang... Untuk kejadian Nevan ini, jangan sampai tersebar, ya. Aku minta tolong banget, jangan sampai ada yang tahu kalau Nevan yang jadi korban. Aku takut mental Nevan semakin berantakan kalau dia tahu berita tentang penganiayaan dan pelecehan itu tersebar luas. Bisa, kan, Bang?"
"Bisa. Bang Yas sudah sempat bicarakan ini dengan Dewa, dan Dewa juga akan bantu Bang Yas. Besok kita lapor ke polisi, biar polisi yang mendatangi rumah Tante Lili. Nanti Bang Yas yang akan jadi saksi, kamu nggak usah ikut terlibat. Nevan juga nggak perlu memberikan pernyataan apa pun. Karena Bang Yas nggak mau mengungkit apa pun tentang kejadian itu di hadapan Nevan. Kamu doakan saja, semua berjalan lancar. Dan siapa pun pelakunya, semoga segera tertangkap."
"Aku yakin, seisi rumah itu pelakunya. Tapi kita nggak bisa buktiin apa-apa."
"Iya, Bang Yas juga yakin. Kita tunggu hasil olah TKP dari polisi untuk mengusut siapa pelakunya." Bang Yas bisa merasakan bagaimana sesak-nya Jevan. Ia bisa merasakan kekalutan yang kini anak itu rasakan. Baru saja kehilangan kedua orang tua, dan kini adiknya menjadi korban kekerasan dan pelecehan. Rasanya Jevan masih memiliki niat untuk bertahan saja, itu sudah lebih dari cukup. Karena beban ini terlalu berat untuk ditanggung anak seusia Jevan. Maka ia sudah berjanji akan membantu anak itu sampai kapan pun; sampai garis hidupnya di dunia ini berakhir. Karena bagi Yastira, semenjak mereka bertemu dan menghabiskan banyak waktu di rumah itu, ia merasa memiliki dua adik laki-laki yang harus ia jaga.
"Iya, Bang. Mereka harus dapat hukuman yang setimpal dengan sakit yang Nevan rasakan sekarang ."
"Pasti, Bang Yas yang akan pastikan bahwa mereka nggak akan bisa hidup bebas setelah ini. Oh, ya, kamu mau pulang? Tidur di rumah Bang Yas, ya. Ada Bi Inem, kok, di rumah. Biar Bang Yas yang jaga Nevan di sini."
Jevan menggeleng cepat, "Enggak. Aku nggak mau ninggalin Nevan dulu, Bang. Bang Yas aja yang pulang, ya. Besok aja ke sini lagi."
"Tapi kamu nggak apa-apa sendiri di sini? Kaki kamu masih sakit?"
"Enggak, Bang. Aku udah lupa sama rasa sakit di kakiku."
"Nggak mau dicek dulu? Selagi kita di rumah sakit," tanya Bang Yas. Kembali memerhatikan kaki Jevan yang bengkak.
"Enggak usah, Bang. Serius, udah nggak terlalu sakit, kok. Bentar lagi juga sembuh. Kalau sampai ada apa-apa, aku pasti bilang ke Bang Yas."
"Ya, udah, kalau ada apa-apa kabarin Bang Yas. Besok pagi Bang Yas ke sini lagi. Bang Yas juga sekalian mau cari kunci rumah kalian yang sebelumnya sudah dibawa Tante Lili. Biar kalian bisa tinggal di sana lagi."
Jevan mengangguk. "Makasih banyak, ya, Bang. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau Bang Yas nggak bantu aku. Aku bahkan nggak kepikiran apa pun selain Nevan." Karena pada kenyataannya, kini pikiran Jevan hanya tertuju pada Nevan. Hanya ada ketakutan juga kekhawatiran mengenai kondisi adiknya. Ia takut bila sewaktu-waktu akan ada kabar buruk tentang anak itu. Jevan tak pernah siap. Ia rela menyerahkan apa pun, segala harta yang kini ia punya, asal jangan adiknya. Ia membutuhkan Nevan lebih dari keinginannya untuk hidup.
Karena bila suatu saat anak itu pergi, sudah bisa dipastikan bahwa Jevan juga tak akan ada lagi.
• Menyesali Sebuah Penyesalan •
•
•
•
Gimana? GIMANA? GIMANA PERASAAN KALIAN? Mau ngumpat, marah-marah atau nangis-nangis bolehhh 🥹
See u next bab, sayang. Semoga harimu menyenangkan ❤️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
