
Fokus jevan berantakan saat tiba-tiba lampu lalu lintas yang semula hijau kini sudah berganti merah. Membuat Jevan segera menarik rem begitu kuat, di tengah laju motornya yang kencang. Suara decitan ban yang beradu dengan aspal terdengar memilukan. Lalu suara benturan yang begitu keras seketika mengalihkan pandangan para pengguna jalan.
“Suatu saat, gue harap lo bisa hidup tenang tanpa gue.”
Kalimat itu menjadi yang paling jelas Jevan dengar di tengah ramainya orang yang berdatangan.
“Van... maaf.”
Waktu menunjukkan pukul lima pagi saat Beni terbangun. Semalam ia ketiduran di sebelah Nevan setelah anak itu mendapat penanganan. Nevan memang harus dirawat sementara. Mengingat hasil pemeriksaan kemarin, suhu tubuhnya kembali tinggi dan hampir tak sadarkan diri. Takut bila dipaksakan pulang kondisinya akan lebih buruk lagi.
Pandangan Beni beralih pada Nevan yang masih tertidur. Wajahnya sudah tak sepucat kemarin setelah dipasang infus. Ia tak habis pikir dengan ucapan Nevan semalam, bahwa dia dan Jevan baru saja selesai bertengkar saat Beni menelepon.
Apa Jevan sudah tak memiliki ikatan apa pun dengan saudaranya? Apa dia tak melihat bagaimana mengenaskannya Nevan semalam? Bisa-bisa Jevan tak memiliki hati untuk sekadar bertanya bagaimana keadaan adiknya.
Bahkan Beni berani bertaruh, bila ia tak menelpon pasti kondisi Nevan sudah lebih buruk dari semalam. Saat ia datang saja, Nevan antara sadar dan tidak sadar. Dan ia harus membawa Nevan ke klinik dengan motor.
Dalam kondisi seperti itu, ia sudah berusaha memanggil Jevan, namun anak itu tak merespon. Sama sekali tak menengok sedikit pun untuk memastikan kondisi Nevan. Jevan benar-benar tidak peduli. Beni tak perlu mengatakan bagaimana amarahnya saat itu, tapi berusaha ia kontrol. Ia hanya peduli pada sahabatnya.
Persis seperti kata Dewa, ia hanya harus peduli pada Nevan, biarkan Dewa yang memikirkan Jevan. Jadi setelah ini, apa pun yang terjadi pada Jevan ia tak akan peduli. Bahkan ia tak mau peduli bahwa kini anak itu juga sedang hancur.
"Ben..."
Beni yang baru saja mengirim pesan pada Yuda, segera menoleh saat mendengar suara Nevan.
“Loh, udah bangun? Pagi banget, tidur aja lagi.”
"Lo pulang aja, nggak apa-apa. Nanti gue telepon Jevan atau Bang Yas. Lo, kan, mesti sekolah," ucap Nevan.
“Gue izin aja, alfa juga nggak masalah. Gue udah bilang ke Yuda kalau lo sakit. Biar dia yang izin ke wali kelas. Gue tunggu sampai lo boleh pulang.”
“Nggak usah, Ben. Lo dicariin orang tua lo nanti. Udah, nggak apa-apa. Nanti juga gue bisa pulang.”
“Gue udah nelepon nyokap semalam, dia udah tahu. Mau pulang ke rumah gue aja nggak? Lo balik rumah juga Jevan nggak akan peduli, kan?”
Nevan tersenyum. Meraih ponsel yang Beni letakkan di atas nakas. “Nggak mungkin dia nggak peduli. Coba gue telepon dulu.”
"Nggak usah! Istirahat aja, biar gue yang telepon." Beni menarik ponsel Nevan. Anak itu tidak boleh berbicara dengan Jevan dalam kondisi seperti ini. Atau semua akan bertambah buruk.
Mau tidak mau, Beni menghubungi Jevan menggunakan ponsel Nevan. Berdiri agak jauh agar pembicaraan mereka tak terdengar. Ia hanya tak ingin Nevan mendengar amarah Jevan bila anak itu mengangkat telepon nanti.
Panggilan pertama gagal. Jevan sengaja tak menganggkat telepon. Apa karena ia menggunakan nomor Nevan? Panggilan kedua dan ketiga juga sama. Berakhir bergitu saja tanpa jawaban. Beni sempat melirik Nevan, ia tahu anak itu pasti berharap bahwa Jevan akan datang.
Hingga panggilan keempat, panggilan yang Beni rasa akan menjadi panggilan terakhir bila Jevan tak mengangkatnya. Dan tepat saat waktu panggilan akan habis, panggilannya terjawab.
“Apa, Van? Lo tahu ini jam berapa? Kenapa ganggu gue? Kalau lo masih mau ribut masalah kemarin, gue nggak ada waktu!”
Kalimat-kalimat penuh emosi itu yang pertama kali Beni dengar. Bersyukur bahwa bukan Nevan yang menelepon.
"Nevan di klinik," ucap Beni pelan tanpa penekanan. Laki-laki di seberang sana hanya menghembuskan napas berat lalu mematikan panggilan tanpa ucapan apa pun.
Seharusnya ia memang tak menelepon Jevan, bila pada akhirnya ia hanya menyampaikan kalimat yang membuat Nevan kecewa.
Beni berbalik, kembali mendekat ke ranjang Nevan dan meletakkan ponsel anak itu di atas nakas.
"Gimana?" tanya Nevan saat Beni baru saja duduk.
"Nggak diangkat. Kayaknya belum bangun," ucapnya bohong.
“Tumben. Biasanya Jevan jam segini pasti udah bangun. Apa jangan-jangan dia sakit juga, ya?”
“Van... yang sakit itu lo, bukan Jevan. Udahlah, dia aja nggak mikrin lo. Ngapain lo mikirin dia.”
“Dia satu-satunya keluarga yang gue punya, Ben. Salah, ya, kalau gue khawatir sama dia?”
Beni menggeleng, menyandarkan kembali tubuhnya di kursi. "Lo nggak salah. Dia yang salah. Tahu adiknya sakit bukannya peduli malah dicuekin."
"Dulu dia selalu peduli sama gue, kok, Ben. Mungkin sekarang dia juga lagi kacau, atau lagi sakit, jadi sikapnya berubah kayak gitu," ucap Nevan.
Sungguh, Beni bisa gila di sini. Apa Nevan sedang menghibur dirinya? Apa dia lupa pertengkaran mereka semalam hingga anak itu berakhir di sini?Sudah nyata-nyata Jevan memang tidak peduli; apa pun alasanya.
“Terserah lo, deh. Setelah ini ikut ke rumah gue aja, nggak usah pulang.”
“Tapi ... Jevan gimana? Kalau dia marah gue nggak pulang gimana? Di rumah juga masih ada Bang Yas, kok, yang bantu gue.”
"Jevan.. Jevan... Jevan. Berhenti mikirin Jevan dulu! Pikirin diri lo sendiri. Gue bisa ngurus lo seperti Bang Yas. Nggak usah pulang!" Lagi, suara tegas Beni akhirnya membuat Nevan mengangguk. Ia terlanjur sakit hati dengan ucapan Jevan sejak kemarin. Bahkan ia tak akan mentolerir sekali pun itu semua hanya luapan sakit hati Jevan atas keadaan.
Sekali lagi, Nevan bukan tempat pelampiasan. Bila anak itu sudah tak lagi dibutuhkan, biar ia yang membawa. Keluarga Nevan sudah cukup baik dengannya sejak dulu. Jadi rasanya sangat bersalah bila membiarkan anak bungsu Om Jordan ini mengemis perhatian dari saudara sedarahnya.
Pandangan Beni dan Nevan beralih saat mendengar getaran ponsel milik Nevan di atas nakas. Panggilan dari Tante Lili.
"Tante Lili?" tanya Beni lalu memberikan ponselnya ke Nevan.
"Iya, semalem gue ada chat waktu sampai di sini," sahut Nevan lalu menjawab panggilan dari wanita itu.
"Hallo, Nevan. Kamu di mana? Masih di klinik?" Suara panik dari seberang sana membuat Nevan tersenyum.
"Masih, Tante. Bareng temen aku."
“Temen kamu? Jevan mana?”
"Jevan..." Nevan melirik Beni di sebelahnya. Beni hanya menggeleng, karena nyatanya memang tak ada Jevan di sini.
"Di rumah," lanjut Nevan akhirnya.
“Loh, Jevan tahu kamu di klinik? Kenapa nggak sama Jevan? Kamu di klinik mana? Biar Tante ke sana sekarang.”
“Jevan lagi ada tugas, Tante. Jadi nggak bisa nemenin. Aku ada di Klinik Media Utama.”
"Ya, sudah. Tante ke sana."
Nevan kembali meletakkan ponselnya, dan menatap Beni yang sepertinya menunggu penjelasan.
"Kemarin Tante Lili datang. Minta gue sama Jevan tinggal di rumahnya. Seperti yang pernah gue bilang, bunda nitipin gue sama Jevan ke Tante Lili. Jadi sekarang dia mau gue tinggal bareng di sana, biar gue sama Jevan tetap bisa sekolah dan hidup dengan layak," ucap Nevan.
“Terus, Jevan mau?”
"Enggak. Kemarin enggak, nggak tahu nanti. Ben... kalau Tante Lili bawa gue, nggak apa-apa, kan?"
Beni menghembuskan napas, masih bersandar sembari menatap Nevan. Ia tak memiliki hak untuk memaksa Nevan. Lagi pula, sudah ada yang berani menjamin hidup Nevan, mengapa ia harus melarang? Bukankah bagus bila ada Tante Lili yang akan menggantikan Tante Rahma sementara waktu?
“Nggak apa-apalah. Tante Lili, kan, saudara lo. Mungkin lo memang lebih baik tinggal bareng beliau daripada di rumah cuman sama Jevan. Untuk masalah Jevan yang belum mau, biarin aja. Nanti juga dia bakal datang sendiri ke rumah Tante Lili kalau udah ngerasain hidup sendiri.”
“Makasi, ya, Ben. Makasi juga udah rela gue ganggu dan nemenin gue sampai pagi di sini.”
“Nggak usah makasi terus. Gue malah seneng kalau ada apa-apa lo hubungin gue atau Yuda, daripada diem dan pendem sendiri. Pokoknya, kalau perlu bantuan, telepon gue atau Yuda. Nggak mungkin salah satu dari kita nggak ada yang bisa.”
“Iya.”
Walau tak begitu yakin, namun Beni rasa ia sudah melepas Nevan untuk tinggal bersama orang yang tepat. Terlepas dari cerita Nevan mengenai Om Boby dan Mas Jay, tapi setidaknya di sana ada Tante Lili yang akan menjaga anak itu. Ia tak harus khawatir karena meninggalkan Nevan sendiri tanpa siapa pun, hanya ada Jevan yang hadirnya sebagai pelengkap. Mengandalkan Bang Yas dan Bi Inem juga tak selamanya bisa. Mereka hanya bekerja, yang hadirnya tak mungkin selalu ada.
***
"Beni, makasi, ya. Sudah menjaga Nevan semalaman. Kamu tenang saja, nanti Tante panggil teman Tante yang kebetulan dokter untuk merawat Nevan di rumah. Jadi kamu nggak perlu khawatir," ucap Tante Lili yang kini sudah berada di samping kursi roda Nevan.
Satu jam yang lalu Tante Lili sudah sampai di klinik yang Nevan sebutkan tadi. Langsung berbicara dengan dokter jaga yang menanganinya semalam. Kondisi Nevan sudah lebih baik, jadi dokter mengizinkan Tante Lili membawanya pulang.
“Sama-sama, Tante. Kalau ada apa-apa tolong beritahu aku, ya, Tante.”
“Pasti akan Tante kabari. Kalau begitu, Tante sama Nevan pamit, ya. Kamu hati-hati pulangnya.”
"Iya, Tante." Pandangan Beni beralih pada Nevan, "Cepet sembuh. Kalau gue chat balas, jangan dianggurin."
"Iya, Beni. Chat lo udah gue sematkan. Lo balik hati-hati."
Setelahnya Tante Lili mendorong kursi roda Nevan menuju mobil. Mas Jay sudah menunggu di sana. Dengan senyum ramah dan wajah centilnya. Sungguh, bila ia tak sakit, ia akan lebih memilih menumpang taksi atau naik motor Beni dibandingkan harus satu mobil dengan pria ini.
Hanya saja kali ini ia tak ingin terlalu rumit memikirkan Mas Jay dan Om Boby. Ada hal lain yang lebih penting, yaitu Jevan. Anak itu sama sekali tak menghubunginya. Sama sekali tak menanyakan kabar. Padahal harusnya Jevan tahu bahwa sejak semalam ia tak ada di rumah.
Sekacau itukah pikiran Jevan hingga tak ada ruang untuk saling memperhatikan satu sama lain? Bila saja kondisinya tak seburuk ini, ia rela menunggu di depan kamar Jevan hanya untuk memastika anak itu baik-baik saja. Hanya saja untuk saat ini ia tidak bisa. Daripada menambah beban Jevan, lebih baik ia menghindar.
"Nevan, mau makan apa? Kita mampir beli makan dulu, mau?" tanya Tante Lili. Menengok pada Nevan yang kini duduk bersandar di kursi belakang.
“Nggak usah, Tante. Langsung pulang aja, boleh? Aku mau istirahat.”
"Oh, ya, udah. Nggak apa-apa, kita langsung pulang. Nanti biar Mas Jay aja yang keluar beli makan lagi," sahut Tante Lili yang Nevan balas dengan anggukan.
Ia sedang tak ingin berlama-lama di mobil. Tubuhnya masih lemas, masih ingin tiduran saja di kasur. Apalagi aroma parfum Mas Jay yang menyengat, membuat kepalanya bertambah pusing. Bagus-bagus ia bisa bertahan agar tidak muntah. Bisa-bisanya dalam kondisi seperti ini, ia harus bergelut juga dengan aroma mobil yang membuat mabuk.
Beruntung jalanan sedang tidak padat dan mereka sampai di rumah Tante Lili lebih cepat. Jujur, ini pertama kalinya ia datang ke rumah ini. Rumah minimalis dua tingkat dengan halaman yang luas. Terlihat cukup nyaman andai hanya Tante Lili yang ada di sini. Nyatanya, Nevan tak bisa menghapus kehadiran suami dan sopir pribadinya ini.
"Mau Mas Jay bantu nggak, cakep?" Mas Jay sudah menunggu di depan pintu, bersiap membantu Nevan turun.
"Nggak, Mas Jay. Makasi," sahut Nevan. Walau ia masih lemas, rasanya berjalan sendiri masih lebih baik daripasa harus dipapah pria ini.
"Mas Jay, anaknya jangan diganggu gitu. Ketakutan dia," ucap Tante Lili. Meraih tangan Nevan dan menuntunnya berjalan. Sebelah tangannya masih bertumpu pada apa pun yang bisa ia gapai.
Hingga akhirnya Nevan sampai di kamar yang sudah disediakan oleh Tante Lili. Kamar yang sepertinya akan nyaman ia tempati, walau tak senyaman kamar di rumah. Nevan langsung merebahkan tubuhnya. Kepalanya masih pusing bila harus berlama-lama duduk.
“Nanti Tante bawa makanan, ya. Sekarang kamu istirahat dulu. Kalau ada apa-apa panggil Tante, jangan sungkan.”
“Iya, Tante. Makasi banyak, ya. Maaf aku ngerepotin.”
"Ya, ampun, kayak sama siapa aja. Kamu nggak ada ngerepotin. Nanti siang teman Tante ke sini priksa keadaan kamu. Kalau masih lemas dan nggak bisa makan, nggak apa-apa, kan, diinfus dulu?"
"Nggak apa-apa, Tante. Gimana baiknya aja, aku nurut," sahut Nevan. Pikirnya ia hanya ingin cepat sembuh. Ia ingin membujuk Jevan dengan kondisi yang lebih baik. Sehingga amarah anak itu tak lagi menjadi masalah untuk Nevan.
Nevan menaikan selimut, kembali meraih ponselnya di sisi tempat tidur. Di mobil tadi ia sempat menelepon Jevan tapi tak diangkat. Mungkin anak itu sedang berada di kelas, jadi tak bisa mengangkat telepon. Iya, semoga. Yang Nevan takutkan, terjadi sesuatu pada Jevan dan tak ada seorang pun yang tahu.
Akhirnya ia hanya bisa mengirim pesan. Setidaknya Jevan pasti akan membaca, walau tak dibalas.
Nevan
Je lo masih marah sama gue?
Sori. Harusnya semalem gue nggak ngajak lo ribut
Je... lo nggak sakit, kan?
Lo sekolah?
Gue di rumah Tante Lili. Maaf, sementara gue di sini dulu
Gue harap lo juga bisa tinggal di sini bareng gue dan Tante Lili. Gue nggak mau lo sendirian
Je, sampai kapan pun gue pasti butuh lo. Gue janji, gue nggak akan ngerepotin lo
Kapan pun lo siap, terima gue lagi ya
Setelah perdebatan semalam, harusnya Nevan juga bisa bersikap sama seperti Jevan. Namun hatinya menolak. Ia tak bisa tak memikirkan Jevan. Ia tak bisa abai pada luka yang anak itu rasakan. Bagaimana pun selama belasan tahun ini mereka ada saudara kembar. Rasanya tak ada hal yang bisa memutus rasa sayang Nevan pada kakaknya.
Namun, bila kini Jevan sudah tak memiliki rasa sebesar dulu pada saudara yang dia ajak berbagi kehidupan sejak dalam kandungan, Nevan bisa apa?
Memikirkan masalahnya dengan Jevan memang tak akan ada habisnya. Anak itu lebih memilih menyiksa diri sendiri setelah kepergian ayah dan bunda, dengan menjauh dari Nevan. Padahal Nevan berusaha membagi semua rasa sakit dan kehilangan bersama. Namun Jevan memilih untuk menjauh dan tak melibatkan Nevan.
Entah sejak menit ke berapa, akhirnya Nevan tertidur. Melepas lelah dan penat, juga rasa sakitnya. Melupakan sejenak semua hal menyakitkan yang terjadi. Berharap saat bangun nanti, ada balasan dari Jevan yang membuat perasaannya lebih lega.
Hanya saja, saat Nevan terlelap dalam tidurnya, suara pintu yang terbuka, juga suara langkah seseorang membuat matanya yang masih berat dipaksa terbuka. Nevan menyipit, hanya untuk memastikan siapa yang datang. Ia pikir itu Tante Lili, atau asisten rumah tangga di sana. Namun saat pandangannya menangkap sosok Om Boby yang kini berdiri di sisi ranjangnya, membuat Nevan seketika terlonjak.
Pria dengan tubuh besar itu berdiri menatapnya sembari tersenyum. Lalu meletakkan nampan berisi bubur dan air putih di atas meja. Tatapan Om Boby di sini jauh berbeda dengan pertemuan sebelumnya.
"Kalau perlu sesuatu panggil Om saja. Tante Lili sedang keluar," ucap Pria itu yang langsung Nevan balas dengan anggukan.
“I-iya, makasi, Om.”
“Semoga betah tinggal di sini. Om akan belikan semua yang kamu butuhkan.”
Sekali lagi, Nevan mengangguk. Kali ini tak menjawab apa pun karena pria tersebut langsung pergi. Menutup perlahan pintu kamar Nevan. Rasanya aneh, ia tetap takut padahal pria itu sudah bersikap begitu ramah.
Bila ini hanya akal-akalan sebelum ia dimutilasi, bagaimana? Oh Tuhan, Nevan tak mau mati muda apalagi di tangan pria bongsor itu. Apalagi kini tak ada Jevan yang melindunginya.
***
Jevan kembali menyimpan ponselnya setelah membaca semua pesan yang Nevan kirim tanpa berniat membalas. Ia kira setelah perdebatan mereka kemarin, Nevan akan sadar dan berhenti mengganggunya. Jevan hanya ingin mereka sendiri-sendiri dulu, tak menambah beban satu sama lain, atau saling melukai.
"Mau langsung ke rumah gue?" tanya Dewa setelah membereskan alat-alat tulisnya.
“Gue pulang dulu, deh. Sekalian mau ngambil buku buat besok. Kayaknya gue bakal nginep di rumah lo, bisa nggak?”
“Bisa. Mama juga bilang mending lo tinggal di rumah gue aja. Asal lo ngomong sama Nevan, takut anaknya nyariin.”
"Nevan udah sama Tante Lili, biarin aja," sahut Jevan lalu memakai tas sekolahnya. Mulai beranjak meninggalkan kelas diikuti Dewa.
"Loh, udah di rumah Tante Lili? Nevan nggak sekolah?" tanya Dewa. Mereka memang seharian hanya diam di kelas. Menemani Jevan yang memilih tidur saat jam istirahat.
"Enggak, sakit. Semalam kayaknya dibawa Beni ke klinik. Terus tadi dia bilang udah di rumah Tante Lili," sahut Jevan. Berjalan lurus tanpa menoleh sedikit pun pada Dewa.
“Je...”
Jevan menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap Dewa. “Gue tahu gue salah. Jangan paksa gue buat ngelakuin apa pun yang bukan keinginan gue. Tolong, Wa. Lo satu-satunya orang yang ngerti gue sekarang.”
"Iya, sori. Ya, udah. Lo balik hati-hati. Nanti langsung ke rumah aja. Kalau ada apa-apa telepon gue."
Jevan mengangguk. Kembali melangkah menuju parkiran. Ia lelah saat semua orang menyalahkannya. Ia muak saat dunia hanya berpihak pada Nevan. Jevan tak perlu banyak orang untuk membela, ia hanya perlu Dewa ada pihaknya.
Setidaknya kini Jevan akan merasa lebih lega karena saat pulang tak ada Nevan yang akan mengajaknya berdebat, dan berujung menyudutkannya. Jevan tahu, pilihan Nevan untuk tinggal di Rumah Tante Lili agar anak itu tak memikirkan apa pun. Semua sudah terjamin dan terpenuhi. Pintar juga.
Sampai di depan rumah, hal pertama yang menjadi fokusnya adalah pria kemayu yang ia temui beberapa hari lalu. Apa itu artinya Tante Lili dan Om Boby ada di sini?
Tanpa menyapa Mas Jay yang berada di dalam mobil, Jevan segera melangkah masuk. Mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam. Apa mungkin Tante Lili membawa Nevan pulang? Atau …
"Hai, Jevan. Tante kira kamu tidak akan pulang," ucap Tante Lili yang duduk bersana Bi Inem dan Bang Yas di sofa.
"Ada apa, Tante?" Sebenarnya Jevan ingin langsung ke kamar, namun urung saat melihat tatapan Bang Yas yang memintanya untuk ikut duduk. Ia juga tak mungkin meninggalkan Tante Lili begitu saja.
"Nevan ada di rumah, Tante," ucap Tante Lili. Tanpa wanita itu mengatakan juga Jevan tahu, dan ia tak peduli.
“Iya, aku tahu.”
"Tante datang juga ingin menjemput kamu," ucap Tante Lili yang seketika membuat Jevan mendongak. “Tinggal di rumah Tante, ya, Je. Tante akan urus semua kebutuhan dan sekolah kalian. Tante tidak bisa membiarkan kamu tinggal di rumah ini sendiri tanpa pengawasan. Tante juga tidak bisa bolak-balik setiap hari ke sini. Setidaknya kalau kalian di rumah Tante, pasti akan lebih aman. Dan Tante bisa lebih tenang karena bisa mengawasi kalian setiap hari.”
“Tapi aku di sini sudah ditemani Bang Yas dan Bi Inem, Tante. Jadi kayaknya aku nggak perlu tinggal di sana. Biar Nevan aja yang tinggal di sana.”
“Jevan... Tante minta maaf. Sebelumnya, Tante sudah berbicara banyak dengan Bi Inem dan Yastira. Sementar kita tidak bisa mempekerjakan mereka dulu. Mereka paham dan setuju. Nanti kalau situasinya membaik, kita bisa panggil Bi Inem dan Yastira lagi. Makanya, Tante khawatir kalau kamu tinggal di rumah ini sendirian.”
Jevan terdiam. Apa Tante Lili memang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan ini? Bukankah ia yang lebih berhak menentukan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan di rumah ini?
“Tante maaf, tapi Tante nggak bisa ngambil keputusan sepihak seperti ini. Aku nggak setuju kalau Bi Inem dan Bang Yas dipecat.”
"Tante bukan memecat mereka, Je. Tante hanya memberhentikan mereka sementara. Kita harus memangkas pengeluaran untuk sementara waktu, sampai perusahaan ayah kamu bisa berjalan normal tanpa kontrol langsung dari ownernya. Pengeluaran di rumah ini juga pasti banyak, dan Tante takut bahwa kita tidak bisa menutup kalau terjadi sesuatu di perusahaan. Dan Tante juga nggak sanggup bila mengurus dua rumah. Je... banyak yang perlu kita pikirkan dan pertimbangkan untuk ke depannya. Tante yakin sekali kamu pasti paham soal ini. Jadi untuk sekarang, kamu bisa ikut keputusan Tante, kan? Ke depannya, apa pun keputusan kamu, pasti akan menjadi pertimbangan Tante juga."
Jevan membeku. Apa yang Tante Lili ucapkan adalah hal yang Jevan pikirkan selama ini. Mengenai banyak hal yang mungkin tak bisa ia kontrol. Apa kali ini ia memang harus menyetujui keputusan Tante Lili? Apa ia harus meninggalkan rumah ini dan merelakan Bang Yas dan Bi Inem pergi?
“Apa yang Tante lakukan juga demi kebaikan kalian berdua. Rumah ini akan menjadi rumah kalian nantinya. Hanya saja, untuk sementara, kita tidak bisa menanggung pengeluran di dua rumah. Sampai nanti kalian sudah bekerja dan bisa menjalankan perusahaan ayah kalian, Tante akan biarkan kalian hidup sendiri lagi. Setidaknya saat itu, Tante sudah yakin bahwa kalian mampu. Tapi untuk saat ini, Tante mohon, ikuti keputusan Tante, ya. Semua ini demi kalian. Rumah ini juga akan tetap dibersihkan sekali pun kalian tidak tinggal di sini.”
Tuhan... mengapa rasanya sulit hanya untuk meng-iyakan keputusan Tante Lili? Apa karena Jevan tak rela meninggalkan semua kenangan tentang ayah dan bunda di sini? Padahal Tante Lili menjanjikan banyak hal. Di mana ia bisa fokus mengejar kembali mimpinya yang kemarin sempat hancur.
Walau jauh dari lubuk hatinya, ia memiliki satu harapan. Suatu saat ada keajaiban yang membawa ayah dan bunda kembali. Jevan masih berharap bahwa ia bisa kembali ke rumah ini lagi dalam situasi yang sama seperti dulu.
"Je..." Suara Bang Yas mengalihkan pandangan Jevan. “Ikuti apa yang Tante Lili ucapkan. Bang Yas nggak bisa bantu kalian lebih dari ini. Jadi Bang Yas dan Bi Inem juga pasti akan lebih lega kalau kalian bisa tinggal bareng Tante Lili di rumahnya.”
“Tapi Bang Yas jangan tinggalin aku, ya. Sewaktu-waktu aku pasti perlu Bang Yas.”
“Kapan pun kamu dan Nevan perlu Bang Yas, telepon aja. Bang Yas pasti datang. Kita juga masih bisa ketemu kapan aja, kan? Bang Yas juga sudah janji akan bantu kalian sampai pesawat itu ditemukan.”
Jevan mengangguk, maju lebih dekat untuk memeluk Bang Yas. Orang yang selalu membantunya sejak dulu. Orang yang paling rela direpotkan walau bukan tugasnya.
"Udah. Sekarang beresin barang kamu. Biar Bang Yas yang beresin barang Nevan," ucap Bang Yas.
Jevan bangkit, “Aku beres-beres dulu, Tante.”
“Iya, Je. Tante dan Bi Inem tunggu di sini.”
Selama ini, ia tak pernah berpikir sedikit pun bila suatu saat rumah ini bukan lagi rumah yang ia tuju saat pulang. Ia tak pernah berpikir bahwa keluarga yang ia temui saat pulang ke rumah, bukan keluarga yang menemaninya sejak dulu. Dan Jevan juga tak pernah menyangka, bahwa kamar yang selalu ia jaga dan bersihkan agar nyaman untuk belajar, bukan kamar yang akan ia tempati lagi untuk menemani setiap tujuan dan cita-citanya.
Mengapa semua berubah begitu cepat? Rasanya baru kemarin semua berjalan dengan sempurna. Baru kemarin ia merasa menjadi manusia paling beruntung. Namun secepat itu semua berubah, dan Jevan harus terbiasa.
Dengan berat hati Jevan mengemas barang-barang yang ia anggap penting. Buku-buku dan keperluan sekolahnya. Pakaian yang tak seberapa. Juga barang-barang yang selalu ia gunakan. Jevan berusaha untuk tak membawa banyak barang. Berharap ia akan kembali ke rumah ini lagi dalam waktu dekat. Semoga.
Jevan kembali melangkah menghampiri Tante Lili di ruang tengah. Bersamaan dengan Bang Yas yang baru keluar dari kamar Nevan. Membawa pakaian dan peralatan sekolah anak itu.
“Sudah, Je?”
“Sudah, Tante. Apa kalau ada barang yang ketinggalan, aku bisa ke sini lagi?”
"Bisa, dong. Kamu bilang aja sama Tante sebelum ke sini," ucap Tante Lili, lalu beralih menatap Bi Inem dan Bang Yas di hadapannya. “Bi, Yas, makasih banyak sudah membantu kami, ya. Sekali lagi maaf untuk keputusan yang saya ambil. Setelah kalian mengemas barang, kalian bisa pulang. Untuk sisa gaji yang belum terbayar, akan saya transfer secepatnya. Nanti akan ada orang suruhan saya yang datang untuk mengunci semua pintu di sini. Sekali lagi makasi banyak, ya.”
“Sama-sama, Bu. Saya titip Nak Jevan dan Nak Nevan, ya. Tolong jaga mereka dengan baik. Mereka sudah seperti anak saya sendiri.”
"Pasti, Bi. Kapan pun Bi Inem ingin bertemu mereka, silakan hubungi saya."
“Makasi, Tante. Saya juga titip adik-adik saya, ya. Untuk perkembangan mengenai pesawat yang belum ditemukan, saya juga pasti akan bantu.”
“Iya, Yas. Makasi, ya. Kita saling bertukar infomasi saja. Semoga secepatnya kita mendapat kabar yang terbaik.”
Jevan kembali maju untuk memeluk Bi Inem. “Bi, aku pamit, ya. Kapan-kapan kalau aku kangen masakan Bi Inem, aku boleh main ke sana, kan?”
“Boleh, Je. Kapan pun kamu mau makan masakan Bi Inem, datang saja. Bibi buatkan apa yang kamu mau. Salam buat Nevan, ya. Jaga adik kamu.”
Jevan melepas pelukannya dan tersenyum. "Makasi, ya, Bi." Pandangan Jevan beralih pada Bang Yas. “Bang... aku pamit, ya.”
“Jaga diri di sana. Hubungi Bang Yas kalau terjadi sesuatu, ya.”
“Iya, Bang. Pasti.”
Pada akhirnya, Jevan memang harus merelakan bahwa mereka benar-benar akan berpisah. Bahwa semua yang pernah terjadi di rumah ini hanya akan menjadi kenangan. Bagaimana ia akan menjalani hidup barunya, ia juga tak tahu. Namun bila ini jalan terbaik yang Tuhan berikan untuk semua doa-doanya, Jevan hanya berharap bahwa ia bisa melewati jalan di depannya dengan hati yang ikhlas.
***
Jevan langsung meletakkan barang-barangnya di kamar saat sudah sampai di rumah Tante Lili. Ia sudah berjanji akan menemui Dewa dan menginap di sana. Jadi untuk malam ini, dan mungkin beberapa malam ke depan, ia akan tidur di rumah Dewa. Jevan rasa, di sana masih lebih nyaman dibanding kamar barunya. Ia juga tak harus memikirkan Nevan karena anak itu sudah lebih dari kata aman di rumah ini.
Tak banyak yang Jevan lakukan. Setelah semua rapi, ia kembali memasukkan buku dan pakain sekolah untuk besok. Lalu segera pergi.
Namun langkahnya terhenti saat melihat Nevan keluar dari kamar, tepat saat Jevan lewat. Pandangan mereka saling beradu. Ia tahu Nevan masih sakit, masih terlihat jelas rona pucat di wajah anak itu. Namun Jevan memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Nevan.
"Ke mana, Je?" Suara Nevan kembali menghentikan langkah Jevan. Ia tak tahu mengapa akhirnya ia memilih untuk berbalik, menatap Nevan yang kini berjalan mendekat. Padahal ia bisa langsung pergi tanpa harus berdebat lagi dengan anak itu.
“Ke rumah Dewa.”
“Ngapain? Ada tugas?”
“Gue mau tidur di sana. Lo juga udah seneng, kan, tinggal di sini? Sesuai keinginan lo.”
"Maksud lo?" Kini Nevan sudah berada tepat di hadapan Jevan. Jarak mereka jauh lebih dekat dibanding saat mereka berdebat tadi malam. Mereka bisa melihat bagaimana raut lelah dan kecewa dengan jelas antara satu sama lain. Bisa merasakan hembusan napas yang tak pernah setenang dulu. Kini semua terbalut emosi.
Terkhusus Jevan, ia bisa melihat lebih jelas bibir Nevan yang pucat. Juga mata anak itu yang sayu. Namun tanpa mengeluh apa pun, Nevan lebih memilih berdiri di hadapan Jevan. Walau Jevan tahu persis bahwa itu sulit.
"Kalau bukan karena lo di sini, gue juga nggak akan tinggal di sini," ucap Jevan.
Nevan tersenyum. “Apa gue maksa lo ada di sini? Lo dateng sendiri, kan? Bukan karena gue yang ngajak lo. Kemarin lo bilang kalau gue mau tinggal bareng Tante Lili, boleh aja. Dan lo memutuskan enggak. Tapi kenapa sekarang lo dateng?”
"Gue ke sini karena paksaan Tante Lili. Makanya sekarang gue mau ke rumah Dewa. Gue nggak suka di sini," sahut Jevan lalu berbalik. Berniat pergi, namun berhasil ditahan Nevan.
“Mau sampai kapan kayak gini? Gue harus kayak gimana biar lo nggak marah sama gue?”
“Gue nggak ada marah, gue mau sendiri!”
"Sendiri? Kalau lo mau sendiri, diem di kamar bukan ke rumah Dewa, Je. Lo ngindarin gue, kan? Lo bukan mau sendiri, tapi lo mau tanpa gue. Iya, kan?"
Jevan terdiam. Walau kini tangannya dicengkram erat oleh Nevan. Bukankah memang itu alasannya? Apa ia keterlaluan bila mengiyakan ucapan Nevan?
"Lo diem berarti bener, kan? Kenapa, Je? Di mana letak salah gue?" tanya Nevan lagi.
“Nggak ada. Gue nggak ada alasan apa pun. Seperti yang gue bilang kemarin. Lo cukup diem, dan gue bakal diem.”
“Gue nggak mau lo diem. Gue mau lo ngomong! Ngomong salah gue di mana. Ngomong mau lo apa. Ngomong, Je, bukan diem dan marah kayak gini. Kalau gue diem bisa bikin lo balik kayak dulu, gue lakuin. Tapi kenyataannya enggak. Kita malah makin jauh. Kita jadi lebih asing dari sebelumnya. Itu yang lo mau?”
"Van... berhenti ngomong seolah-olah semua salah gue. Sekarang gue tanya, selain mikirin hubungan kita, apa lo mikir hal lain lagi? Lo mikir nggak gimana kita ke depannya? Lo mikir nggak gimana perusahaan ayah? Lo mikir nggak kalau ternyata kita ditinggalkan dengan banyak hutang? Atau secara simpel, deh, lo mikir nggak gimana masa depan lo setelah ini? Enggak, kan? Gimana lo bisa bantu gue kalau pertanyaan-pertanyaan itu nggak ada di otak lo! Gimana lo menggangap bisa ngilangin beban gue, kalau hal serumit itu nggak jadi ketakutan lo? Sekali pun sekarang lo ngerasa aman ada di sini, jangan pikir gue bisa sesantai lo, Van. Kita nggak gisa bergantung terus sama Tante Lili. Harusnya kita mikir setelah ini bakal kayak gimana. Bukan malah seneng karena udah ada yang ngurus kita," ucap Jevan. Genggaman tangan Nevan mengendur, sebelum akhirnya terlepas.
“Je... ketakutan gue setelah kehilangan ayah sama bunda cuman satu, gue kehilangan lo juga. Gue memang nggak pernah berpikir serumit lo, tapi apa lo pikir gue bakal biarin lo nyelesaiin semua masalah sendiri? Gue memang nggak sepinter lo, Je, tapi gue pasti bakal bantu lo. Setidaknya kita saling peduli satu sama lain, bukannya itu cukup jadi kekuatan kita buat nyelesaiin semua ketakutan lo?”
Jevan menggeleng, kembali mendekatkan wajahnya ke hadapan Nevan. "Kita memang nggak sepaham, Van. Semua nggak semudah yang lo pikir. Makanya gue males debat sama lo. Paham lo dan paham gue beda. Percuma kita ngomong sampai urat kita putus, kalau akhirnya lo juga nggak paham apa yang gue maksud," ucap Jevan lalu kembali berbalik. Memutus pandangan dengan Nevan yang menatapnya lirih.
Hingga kalimat Nevan berikutnya berhasil meremas kuat hati Jevan.
“Sori, kalau gue cuman jadi satu dari sekian banyak masalah di hidup lo. Kita memang nggak se-paham, tapi gue nggak pernah bermaksud untuk buat lo jadi seberat ini. Suatu saat, gue harap lo bisa hidup tenang tanpa gue. Makasi, ya. Lo boleh pergi. Gue juga mau istirahat. Hati-hati, titip salam sama Dewa.”
Kalimat Nevan perlahan memudar, seiring dengan anak itu yang kini pergi. Jevan tak berbalik, namun ia merasakan bahwa tak ada sosok itu lagi di belakangnya. Beberapa detik ia hanya diam, mencerna segala kalimat yang ia dan Nevan perdebatkan tadi.
Hingga setelahnya, ia kembali melangkah pergi. Meninggakan rumah Tante Lili untuk sementara waktu. Menenangkan diri di tempat yang sana dengan Nevan hanya akan membuat mereka semakin berantakan. Jadi ia putuskan pergi. Mencari ketenangan atas segala kekalutannya.
"Eh, Mas cakep ke mana? Duh, seneng, deh, kalau di rumah ini banyak yang seger-seger begini." Mas Jay yang sedang membersihkan mobil langsung berbalik menatap Jevan yang datang dengan terburu.
"Pergi," sahut Jevan lalu melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Tante Lili.
Pikiran Jevan semakin kacau. Motornya melaju kencang membelah jalanan. Pertengkaran-pertengkarannya dengan Nevan tak menyelesaikan apa pun masalah Jevan. Hatinya tak pernah tenang. Bahkan semua semakin kacau.
Bolehkah kini Jevan meminta agar ia pergi saja menyusul ayah dan bunda? Ini terlalu berat untuk ia jalani sendiri.
Fokus jevan berantakan saat tiba-tiba lampu lalu lintas yang semula hijau kini sudah berganti merah. Membuat Jevan segera menarik rem begitu kuat, di tengah laju motornya yang kencang. Suara decitan ban yang beradu dengan aspal terdengar memilukan. Lalu suara benturan yang begitu keras seketika mengalihkan pandangan para pengguna jalan.
“Suatu saat, gue harap lo bisa hidup tenang tanpa gue.”
Kalimat itu menjadi yang paling jelas Jevan dengar di tengah ramainya orang yang berdatangan.
“Van... maaf.”
• Menjadi Asing Satu Sama Lain •
•
•
•
Ada yang bisa nebak nggak selanjutnya bakal kayak gimana?
Bentar lagi mereka akur, kok. Tapi .…
See u next bab yaa sayang ❤️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
