
Fokus Rey masih pada game saat suara teriakan dari arah luar membuat ia hampir meloncat dari kursi panasnya. Ah, sial. Ada apa lagi? Bukankah semua pekerjaan sudah ia selesaikan?
"REYNALDI TIRTAJAYA! KELUAR LO!"
Bila nada suara Deri sudah semenggelegar itu, berarti ada yang salah. Tapi apa? Masih dengan kebingungannya, Rey kembali tersentak dengan ketukan brutal dari arah luar.
"Jancuk! Keluar, bangsat!"
Rey segera bangkit, membiarkan game-nya kalah sebelum hubungan kekeluargaan mereka diputus sepihak.

"Teman itu saling membantu, saling melengkapi satu sama lain. Tapi kalau satunya kurang ajar, tinggal aja!" - Anak Bujang Mami Indah.
•
•
Setelah sejak pagi langit ditutup mendung, sore ini hujan turun cukup deras. Suasana sejuk dan nyaman, serta aroma tanah basah yang membuat candu, menjadikan sore ini jauh lebih baik dari sore kemarin; yang selalu terasa panas. Beberapa hari kemarin memang tak ada hujan yang turun. Matahari begitu menyengat dan malam yang tetap terasa gerah walau dengan kipas angin.
Rey baru saja menyelesaikan semua tugas rumah sebelum hujan turun tadi dan kini memilih untuk melanjutkan bermain game-nya yang tertunda. Ia di rumah hanya bersama Bayu. Deri dan Allex sepertinya masih di kampus. Dan tiga serangkai lainnya sudah pasti ada di coffe shop. Di mana lagi tempat yang menjadi tujuan mereka di awal bulan seperti ini?
Fokus Rey masih pada game saat suara teriakan dari arah luar membuat ia hampir meloncat dari kursi panasnya. Ah, sial. Ada apa lagi? Bukankah semua pekerjaan sudah ia selesaikan?
"REYNALDI TIRTAJAYA! KELUAR LO!"
Bila nada suara Deri sudah semenggelegar itu, berarti ada yang salah. Tapi apa? Masih dengan kebingungannya, Rey kembali tersentak dengan ketukan brutal dari arah luar.
"Jancuk! Keluar, bangsat!"
Rey segera bangkit, membiarkan game-nya kalah sebelum hubungan kekeluargaan mereka diputus sepihak.
"Apa, sih, Der?" Rey menemukan Deri di depan pintu kamarnya dengan wajah kesal penuh amarah. Bersamaan denga Bayu yang baru keluar dari kamar dengan wajah mengantuk. Sepertinya terbangun karena suara teriakan Deri juga.
"Apa? APA LO TANYA APA? Lihat keluar, hujan sederes itu nggak lo denger?"
"Iya, hujannya deres, terus hubungannya sama gue apa?"
"Astaga Rey, nyebut gue nyebut. JEMURAN, BANGSAT!"
Jantung Rey seperti akan copot. Lututnya lemas. Sial. Bagaimana bisa ia lupa mengangkat jemuran lagi?
"So-sori, Der. Gue lupa banget, seriusan. Maaf, ya."
"Maaf-maaf, gampang banget mulut lo nyebut maaf. Ini bukan pertama kalinya, Rey. Setiap lo piket dan hujan, jemuran gue jadi kain basah lagi. Capek banget gue ngomong, nggak pernah lo dengerin."
"Iya, gue bener-bener lupa, Der. Selesai nyapu sama ngepel gue langsung ke kamar, karena gue pikir nggak ada jemuran di belakang." Suara Rey memelan. Tahu bahwa Deri tak akan mendengar apa pun penjelasannya. Ia memang salah, tapi sudah terlanjur. Jadi ia harus bagaimana?
"Gue juga nggak ngecek ke belakang, Der. Sampai kos-an gue langsung tidur. Sori, ya." Bayu ikut bersuara, melirik Rey yang kini sama-sama merasa bersalah dan terpojokkan. Walau ini bukan jadwal piket Bayu, namun hanya ada mereka berdua di kosan. Harusnya bisa mengingatkan satu sama lain. Namun keduanya malah sibuk di kamar masing-masing.
"Percuma semua minta maaf, nggak akan bisa balikin baju-baju yang basah, kan? Mana itu baju harus gue pakai besok lagi. Ada yang bisa tanggung jawab nggak?" ucap Deri.
Rey dan Bayu sama-sama saling melirik, menggeleng pelan. Karena kenyataannya tak ada yang bisa mereka lakukan selain dijemur lagi esok hari. Mau diletakkan di depan kipas angin juga tak akan kering dalam semalam, karena sudah basah kuyup.
"Nggak ada yang bisa jawab, kan? Makanya kalau dikasih tanggung jawab itu dijaga. Jangan seenaknya. Mentang-mentang dikasih maaf, jadi seenaknya," ucap Deri lalu berlalu menuju kamar dan menutup pintu kamarnya dengan kencang.
Sekali lagi Rey dan Bayu hanya bisa saling pandang. Ini baru Deri yang marah. Tidak tahu ada baju penting siapa lagi di jemuran itu. Lagi pula siapa yang menyuruh hujan sederas itu, sih? Rey mana ingat ada jemuran juga. Tak ada yang memberitahu, kan?
"Gue udah ngorbanin nyawa gue di depan Deri. Setelah ini, lo tanggung marahnya anak-anak yang lain sendiri. Nggak ikut-ikut gue." Bayu berbalik, kembali masuk ke kamar. Takut bila Deri keluar lagi dan mengamuk. Namun tak salah juga, siapa yang tak marah saat jemurannya yang hampir kering, kini kembali basah kuyup.
Rey hanya menghela napasnya. Selalu saja begini setiap ia mendapat jadwal piket. Perasaan kemarin matahari sangat terik. Mengapa saat ia piket jadi hujan sederas ini?
***
Hari sudah mulai gelap saat Allex memarkir motornya di garasi. Dari luar sudah terasa bahwa kosan sepi. Apa anak-anak keluar, ya? Dilihat dari motornya, sih, ada dua yang hilang. Milik Dirga dan Jeffri.
Langkah Allex mendekat pada saklar lampu di garasi. Lampu di halaman masih belum menyala. Mungkin terlupa karena semua sedang di kamar.
Dengan tentengan martabak dan pizza, Allex melangkah masuk. Harusnya mereka tahu bahwa hari ini ia akan membawa makanan, mengingat di awal bulan mereka selalu mendapat jatah dari orang tua Allex untuk makan-makan.
Allex meletakkan makanannya di atas meja, lalu beralih menatap pintu Rey, Deri dan Bayu yang bertulis available. Itu artinya mereka ada di dalam. Sedangkan sisanya; termasuk milik Allex, masih bertulis busy. Entah siapa dulu yang mencetuskan untuk membuat papan nama tersebut di pintu. Yang jelas, kata Dirga, agar mereka mudah mengetahui satu sama lain sedang bisa diganggu atau tidak. Bila tulisannya sudah busy, berarti dilarang menggangu sekali pun orang tersebut ada di dalam. Tapi seringnya, mereka menggunakan itu bila sedang keluar, dan mengganti menjadi avilable bila sudah pulang.
Kamar pertama yang Allex datangi adalah kamar Deri. Tidak biasanya anak itu mengurung diri di kamar menjelang malam seperti ini. Biasanya Deri akan sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Apa anak itu sakit, ya?
Hanya saja, Allex menduga ada sesuatu, sebab pintu kamar Bayu dan Rey juga tak terbuka. Padahal, bila bukan sedang tidur siang dan sedang ada masalah, mereka akan selalu membuka pintu agar mudah mengobrol satu sama lain. Apa karena hujan-hujan mereka nyaman dengan pintu yang tertutup?
Ah, terlalu banyak pertanyaan, hingga Allex memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Deri.
"Der, mau masak lagi nggak? Gue bawa martabak sama pizza."
Untuk beberapa saat, ucapan Allex tak mendapat tanggapan.
"Der..."
"Nggak usah makan aja!" Teriakan dari dalam membuat Allex yang akan kembali mengetuk pintu, memilih urung.
Ia berbalik, tepat saat Bayu akhirnya keluar dari kamar dengan handuk, bersiap akan mandi.
"Berantem, Lex," ucap Bayu.
"Berantem? Siapa?"
"Rey sama Deri. Nggak berantem, sih. Deri yang ngamuk karena jemuran basah lagi. Rey lupa ngangkat, gue juga nggak denger hujan karena ketiduran."
"Astaga. Kebiasaan banget. Ya, udah, biar gue yang ngomong sama Rey. Yang lain mana?"
"Nongkrong kayaknya. Gue keluar udah pada sepi."
"Oh. Gue bawa martabak sama pizza. Makanan duluan sana."
"Bareng aja, deh. Gue mau mandi dulu," ucap Bayu lalu berjalan meninggalkan Allex.
Selalu saja begini. Bila Rey sudah mendapat tugas piket, sepertinya yang harus was-was dan waspada itu semua penghuni kos. Anak itu selalu saja melewatkan hal yang sama, berulang-ulang. Siapa yang tidak marah? Namun Allex bukanlah Deri. Ia masih bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.
Akhirnya Allex beralih mengetuk pintu kamar Rey. Berharap anak itu bisa menjelaskan sesuatu lebih dari Deri. Tak perlu waktu lama, laki-laki itu keluar. Dengan ponsel yang masih ia genggam. Menampilkan game-nya yang masih berjalan.
"Lo mau marah sama gue juga?" tanya Rey.
"Enggak. Mau ngomong aja. Berhentiin dulu game lo. Ngobrol sama gue di sofa," ucap Allex. Berjalan lebih dulu menuju sofa, diikuti Rey.
Ini bukan pertama kalinya Allex harus menjadi penengah di antara teman-temannya. Usia mereka memang sama, namun emosi dan pemikiran mereka berbeda-beda. Ada yang cuek, bodo amat, baperan, petakilan, dan semaunya. Namun percayalah, bila sejak awal mereka tak menerima perbedaan itu, mereka tak akan bertahan lama hidup dalam satu atap.
"Lo lupa ngangkat jemuran karena nge-game lagi?" tanya Allex.
"Bukan karena nge-game, Lex. Gue beneran lupa. Tadi setelah gue selesai bersih-bersih, gue langsung masuk kamar. Waktu itu belum hujan, jadi gue nggak kepikiran sama sekali sama jemuran. Setelah gue mulai nge-game, baru gue denger sedikit kalau hujan. Tapi karena gue fokus main, gue bener-bener nggak kepikiran sama jemuran."
"Di jadwal jelas tertulis kalau angkat jemuran jadi salah satu hal wajib anggota yang piket, kan? Kalau lo bisa inget semua, kenapa angkat jemuran selalu lo lupain? Rey, ini bukan baru sekali dua kali, tapi hampir setiap kali lo dapet jadwal piket. Jadi wajar kan, kalau Deri semarah itu?"
Rey mengangguk, masih menunduk. Aura ketua HMJ dari laki-laki di hadapannya ini selalu berhasil membuatnya ketar-ketir. "Ya, gue paham, Lex. Tapi udah terlanjur, mau gimana? Gue bukan Dewa Matahari yang bisa langsung ngeringin baju setelah kehujanan gitu. Kalau gue bisa juga gue udah lakuin sebelum Deri marah-marah."
"Iya, ngerti. Tapi gue minta tolong, setelah ini jangan ada kejadian kayak gini lagi. Jangan sampai karena kita ngasih lo toleransi, lo jadi bisa ngulang kesalahan lo terus. Gue nggak mau temen-temen gue berantem terus kayak gini. Gue pulang itu buat ngilangin capek, bukan buat nambah beban."
"Iya, gue janji, ini terakhir kali gue lupa angkat jemuran. Lo bantu gue bujuk Deri, ya?"
"Iya, nanti gue yang ngomong ke Deri. Inget, gue pegang kata-kata lo. Kalau sampai terulang lagi, gue lepas tangan. Mau kalian berantem bertahun-tahun juga gue nggak akan peduli."
"Iya, janji, ini terakhir. Makasih banyak, ya, Lex. Jadi... gue bole lanjut main nggak?"
Allex menghela napas lelahnya. Benar-benar lelah. Ternyata bukan hanya di kampus tugasnya banyak, di rumah juga. "Iya, udah sana. Kalau udah selesai inget keluar, makan. Gue bawa pizza sama martabak."
Rey mengangguk, lalu bangkit dan kembali berlari menuju kamar. Semoga kali ini Rey benar-benar bisa memegang janjinya. Ia lelah bila harus menghadapi anak-anak yang ada saja tingkahnya. Padahal ia di rumah anak tunggal. Namun di sini ia seakan diminta mengasuh enam anak yang sifat-nya bikin elus dada.
***
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam saat Raga bersama Dirga dan Jeffri akhirnya kembali ke kosan. Mereka terpaksa lama menunggu di cafe karena hujan tak kunjung reda. Padahal rencananya mereka hanya keluar untuk membeli makan di cafe langganan mereka. Berakhir nongkrong karena saat sampai, hujan langsung turun sangat deras.
Inginnya menyalahkan Dirga karena bisa-bisanya tidak menyimpan satu pun jas hujan di tengah cuaca yang mood-swing ini. Namun urung karena sadar ia hanya menumpang. Raga sedang irit bensin, jadi bila bisa menumpang, kenapa harus membawa motor, kan?
Pandangan Raga beralih pada Allex dan Bayu yang sedang menonton TV di ruang tengah. Hanya berdua dengan kotak martabak dan pizza di hadapan mereka.
"Berdua aja. Rey sama Deri mana?" tanya Raga.
"Di kamar, habis berantem masalah jemuran lagi," sahut allex.
"Rey lupa angkat jemuran lagi?" Jeffri duduk di sebelah Bayu. Menarik satu pizza dengan topping keju mozarella kesukaannya. Padahal ia baru saja selesai makan dan nyemil.
"Apalagi masalahnya kalau Rey piket? Nggak jauh-jauh dari lupa angkat jemuran, kan?"
"Anjir, sempak gue basah juga, dong?" Dirga menepuk jidatnya. Stok sempak-nya terbatas. Masa ia tidak mengganti sempak selama beberapa hari lagi, sih?
"Makanya kalau punya sempak jangan ngirit banget. Minimal ada satu cadangan. Makan tu sempak basah. Besok kuliah biar ada sensasi ademnya," ucap Jeffri. Hampir saja mendapat lemparan tas belanja yang Dirga bawa.
"Ngomong sekali lagi, sempak lo gue curi!"
"Udah-udah, lagi makan juga malah bahas sempak," ucap Bayu. Hampir saja nafsu makannya memudar membayangkan sempak Dirga yang basah.
Raga hanya tersenyum. Tenaganya habis meladeni Dirga dan Jeffri sejak tadi. Terlebih kini kepalanya mulai pusing karena pulang hujan-hujannya. Cafe yang mereka datangi memang tak terlalu jauh, hanya beberapa meter setelah keluar dari gang. Namun karena hujan dan mereka tak memakai helm, habis sudah kepalanya mendapat serangan hujan gerimis.
"Ya, udah. Gue ke kamar duluan, ya," kata Raga yang seketika mengalihkan pandangan Allex.
"Nggak mau pizza, Ga? Makan dulu sini," ucap Allex. Ia tahu Raga sangat suka pizza. Makanya aneh saat anak itu tak melirik sedikit pun kotak pizza yang ia bawa.
"Enggak, deh. Buat kalian aja," sahut Raga lalu berlalu. Mengganti tulisan di pintu kamarnya menjadi available, walau sebenarnya ia tak ingin diganggu. Hanya saja ia tak enak hati bila sedang berada di kosan, tapi tetap memasang status busy.
Allex beralih menatap Dirga. Tidak biasanya Raga pergi begitu saja bila mereka sedang berkumpul.
"Udah biari aja. Anaknya lagi pusing karena kena hujan. Gue sama Jeffri nggak ada yang bawa jas hujan. Mana nggak pakai helm lagi." Dirga meraih satu martabak, lalu duduk santai di sebelah Allex.
"Hayoloh. Kalau sampai anaknya demam, itu salah lo, Dir," ucap Bayu.
"Yah, jangan gitu, dong."
"Ya, lagian, bisa-bisanya lo nggak bawa jas hujan tapi bawa Raga. Udah tahu temennya cepet sakit. Katanya sahabatan dari embrio, gini doang mesti diingetin," timpal Jeffri.
Dirga meraih satu lagi martabaknya lalu balik menatap Allex.
“Apa? Udah samperin. Pastiin Raga nggak kenapa-kenapa. Kalau perlu obat, gue punya di kamar,” ucap Allex.
"Anjir. Buat masalah mulu, Dirga.. Dirga...!" Dirga bangkit. Mengetuk pintu kamar Raga lalu masuk tanpa menunggu anak itu memberi izin.
Bila sudah menyangkut Raga, Dirga memang selalu khawatir. Tapi sifat teledornya memang sudah mendarah daging, walau itu tentang Raga. Padahal sebelum merantau, ibu raga sudah berpesan agar ikut menjaga Raga di sana. Karena Raga tak mungkin diizinkan pergi, bila Dirga tak ikut pergi.
Apalagi Raga termasuk anak yang tidak terlalu mengeluh bila sakit. Tiba-tiba saja langsung pingsan. Siapa yang tidak ketar-ketir? Ujung-ujungnya yang disalahkan Dirga juga. Padahal ia, kan, bukan peramal yang bisa tahu semua keadaan Raga. Walau terkadang, sedikit penyebabnya juga berasal dari Dirga.
Memang benar kata pepatah; 'Raga tanpa Dirga tak akan bisa. Dirga tanpa Raga tak akan pernah baik-baik saja'.
Siapa yang membuat kalimat itu? Tidak lain tidak bukan adalah Dirga Kamala. Anak paling tengil yang mulutnya seluas kebun binatang. Kalau Deri versi bara api, Dirga versi kelemak-kelemek kue moci; minta digeplak.
- Bujang Kosan 7A -
•
•
•
Halloo. Sekilas, udah tahu kan sifat-sifat mereka. Jangan lupa mampir ke kos lagi di next bab yaa sayang ❤️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
