
Lu semua jancok! Pelacur! Pekerja Text Komersial! Mikir anjing! Kapitalis bangsat!
Sedikit lebay, jika aku mengatakan bahwa kedepannya keberadaan "sastra" di negeri ini akan mati. Tapi, aku melihat dengan sangat jelas, angkatan--kusebut saja penulis--muda berbondong-bondong menggali kuburan untuk sastra itu sendiri.
Telah terjadi dikotomi--entah sejak kapan dimulainya--yang mendiskreditkan sastra sebagai bahan bacaan sekunder ketimbang filsafat. Oh, jelas, segala sesuatu pasti ada hukum kausalitasnya.
Jika kita telaah sepintas lalu, hal itu disebabkan banyak buku sastra yang hanya memuat cerita cinta cemen dan cengeng. Mendayu-dayu. Dan, berisi omong-kosong belaka. Kemerosotan kualitas yang berakar dari proses penulisan yang "kurang kontemplatif" dan hanya memenuhi perut kapitalis belaka.
Tidak salah, itu hak preogratif setiap penulis. Namun, hal itu sekaligus mengindikasikan seorang sastrawan bukan lagi seorang filsuf. Tidak seperti dulu. Ah, ,meskipun ada, aku anggap saja tidak ada, sebagai suatu tamparan serius bagi setiap orang.
Semakin ke sini, kondisi sakit di tubuh sastra semakin kronis. Dalam kondisi yang ringkih itu, beberapa sastrawan bertahan dengan idealismenya, menyajikan suatu karya yang semakin mereduksi dengan mereka yang mengikuti selera pasar.
Alhasil, empu dari sebuah karya tulis sastra dan titel sastrawan itu bersifat elitis. Tidak semua penulis karya dalam bentuk sastra, seperti novel, cerpen atau puisi disebut seorang sastrawan. Mereka, ya sebatas author.
Degradasi kualitas ini begitu memprihatinkan, dengan mata berkaca-kaca dan pandangan seorang pesimis saya mengakui bahwa jiwa sastra telah tercerabut dari bentuk tubuh sastra itu sendiri.
Hal itu diperparah dengan pembaca yang seperti lalat-lalat bangkai mengerumuni bentuk sastra yang semakin membusuk. Sekarang aku dapat mengatakan, masih untung muatan novel yang dibuat oleh penulis muda isinya cinta-cintaan. Jika kita, mau turun dan menyaksikan sendiri platform digital belajar menulis karya yang dirusak tujuannya dengan mempopulerkan tulisan porno berbagai genre.
Aku menjerit. Betapa tidak bisa membedakannya mereka suatu karya yang erotis dan cabul belaka. Tetapi, tulisan yang seperti itu lah yang mereka gandrungi. Baik oleh penulis atau pun pembacanya.
Tidak adil jika kita hanya menyalahkan penulis. Justru yang menjadi ujung tombak dan sasaran tembak sastra sendiri adalah pembacanya. Penulis di sini berperan sebagai empu. Dan, penerbit dalam bentuk apa pun adalah pelembar tombak itu.
Seperti sebuah segitiga iblis. Coba saja, para pembaca itu menaikan mutu bacaan yang akan mereka kunyah setiap hari. Maka, mau tidak mau para penulis pun akan sedikit melakukan perenungan. Meskipun dengan cara yang tidak berdarah-darah.
Ah, sang sopir, jika sudah tercipta kondisi pasar yang seperti itu, pastinya akan membuat skema komoditas yang standar mutunya terjaga. Bukan asal-asalan nerbitin buku, cuman buat bikin porto dan katalog. Atau bikin sebuah event yang bangsat.
Sumpah. Picik. Ada beberapa oknum yang sengaja memanfaatkan antusiasme penulis baru, dengan mengadakan event perlombaan fiktif. Mereka membuat sebuah umpan bernama sang juara dan penulis terpilih. Untuk selebihnya mereka tinggal berdiam diri di percetakan melihat betapa bodohnya ikan yang disebut penulis pemula itu.
Sungguh malang, karena rasa haus mencari pengalaman yang tinggi, mereka itu mau-mau saja mengikuti event dan membayar buku jika terpilih sebagai penulis kontributor. Ingin aing berkata-kata kasar. Kapitalis di atas kapitalis. Jelmaan iblis yang menyamar jadi babi. Bayangkan, ada sebuah paksaan jika tidak membeli buku maka akan di black-list dan karyanya akan diganti dengan peserta lain.
Cik atuh lah, kalian itu sudah untung ada kontributor juga. Kalau ngasih bandrol harga jangan setinggi langit. Untung di atas untung. Udah mah ngambil banyak, kali banyak lagi. Kasihan mereka yang masih pelajar dan polos. Mereka mendapat sebuah kebanggaan semu. Aku yakin, karya yang kalian pilih gak bagus-bagus amat. Tapi lihat, kalian menjual sebuah kebanggaan.
Kebanggaan yang menjadi racun bagi penulis pemula. Pada suatu saat nanti, saat mereka benar-benar mengikrarkan diri hidup di jalan penulis, mereka akan tersadar bahwa jalan ini begitu terjal dan sunyi. Tidak ada tempat untuk meminta tolong. Bahkan kepada penerbit mayor yang hanya mau memandang sastrawan dan penulis senior.
Mereka frustasi dan lahirlah istilah writter block. Enggan lagi untuk menulis. Lupa sama komintmen bahwa mereka akan membaktikan diri di dunia tulisan. Persetan dengan seminar yang memberikan obat palsu tentang writter block. Fenomena itu, tidak lain dari suatu pembenaran diri atas rasa malas. Untuk apa diobati nantinya jadi candu.
Sederet hal itulah, yang memicu penulis pemula untuk membuat karya seperti bangkai. Soalnya lebih mudah. Baik itu mudah dalam menulis atau mudah dalam memuat karyanya. Tidak perlu perenungan mendalam untuk membuat tulisan bokep. Dan, tidak ada proses editorial yang ketat dalam platform-platform itu.
Kita kembali untuk mempertanyakan, mau ke mana arah sastra indonesia ini?
Sialnya, jika kebiasaan ini terus berlanjut, arah tombak sastra ini akan menuju ke sebuah kematian yang tragis. Sekarang tinggal pilih, kita akan merayakan sebuah perpisahan ini dengan cara apa?
Kalau aku minum anggur sebanyak-banyaknya sebagai amunisi kencing di nisan yang membawa sastra ke arah kematiannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ