What If #3 : The Ambitious Lady

113
42
Terkunci
Deskripsi

Putusnya Erlangga Putra dan Kumala Andini membuka peluang bagi Erwanda Jasmine yang diam-diam memendam rasa. Si Ambitious Lady ini rela menghalalkan segala cara demi mendapat cinta Erlangga, termasuk memburu tangkapan besar yang mereka juluki Si Ikan Kakap.

Yuk, lihat sepak terjang Wanda yang ingin menjadi Erwanda Putra sebelum lebaran.

Seri ini juga hanya tersedia di Karyakarsa

Bagian : 1

“Erlangga putus, Sis!”

Wanda tak tahu harus bereaksi seperti apa saat membaca kabar di grup "Wanita Single" kantornya....

16,881 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
210
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Kategori
21+Romance
Selanjutnya What If #4 : My Gentle Senior (1/2)
87
32
Teaser: Daripada lo dirampok, diperkosa, dan dibunuh oleh orang tak dikenal. Mending gue yang perkosa lo, seenggaknya gue nggak akan rampok dan bunuh lo. Mungkin What If kali ini bisa menyelamatkan Roro dan Djenaka dari maut di kisah sebelumnya (extra story Temporary). Kisah ini tidak diawali dari peristiwa putusnya Kumala dan Erlangga sebagaimana ‘What If’ yang lain tapi dimulai jauh sebelum itu. Roro dan Djena exclusive hanya di Karyakarsa, What If #4 : My Gentle Senior (1/2) Babak : 1“Selamat ya, Ro!” ucap pimpinan cabangnya saat menyerahkan amplop Jumat petang minggu lalu, “akhirnya lo naik level itu artinya ada kepercayaan lebih yang gue berikan ke elo. Buat gue bangga ya!”Tangan Roro agak gemetar saat menerima SK (surat keputusan) yang sudah digadang-gadang sejak beberapa hari lalu. Terhitung hari ini Rosaline Annara Delta atau yang kerap disapa Roro secara resmi naik level sekaligus pindah posisi. Dari yang awalnya Customer Service menjadi Marketing Konsumer.Wanita itu tak tahu bagaimana harus merespon. Seharusnya ia senang tanpa ragu, bukan? Semestinya...Ada beberapa orang yang nyaman bekerja di balik meja dan ada beberapa orang lain yang lebih produktif jika turun ke lapangan bertemu banyak orang. Dan Roro adalah yang pertama. Ia berada di zona nyaman itu selama bertahun-tahun, kini sekalipun gajinya naik beberapa persen ia tak yakin mampu menjalani job desk barunya.Belum lagi lingkungan kerja yang bisa dikatakan baru. Walau berada di kantor yang sama ada strata tak kasat mata antar divisi yang sudah menjadi budaya tak tertulis di kantor mereka. Terlepas dari manajemen, puncak strata dirajai oleh divisi marketing—ujung tombak perusahaan.Gaji yang tinggi, berkali lipat ketika mendapatkan bonus, belum lagi jika mereka mau curang. Penampilan seorang tenaga marketing pun tidak boleh seadanya. Selain kemampuan ‘bersilat lidah’ dan ‘adu rayu’ mereka pun harus tampil menarik demi mendapatkan kepercayaan nasabah. Tentu seseorang tak akan mempercayakan uang ratusan miliarnya kepada orang yang terlihat seperti SPG mobil dan rokok. Mereka menarik tapi tidak pada tempatnya, urusan uang membutuhkan yang lebih ‘serius’ dari itu.Roro cantik, pernah menjadi SPG rokok dan kartu seluler saat kuliah namun bukan portofolio itu yang ia butuhkan sekarang. Ia harus terlihat berpendidikan tinggi, elegan, meyakinkan, tidak terlihat ‘murah’. Astaga, ia cemas karena semua itu bukan dirinya. Pengetahuan apa yang ia milikki selain produk perbankan? Apakah olahraga mahal seperti ski dan golf? Tidak.Jadi kenapa Pak Pandji menarik aku untuk posisi marketing?Ada yang berkata—itu Wening—alasan seseorang dipindah posisinya selain dianggap mumpuni tentu saja agar dibuat tidak nyaman dengan posisi barunya hingga kemudian secara sadar mengundurkan diri. Istilahnya dipecat secara halus karena berbagai sebab.Yang manakah alasan Pak Pandji?Roro pun berpegangan pada sepenggal lirik lagu Zona Nyaman milik Fourtwnty demi membesarkan hati, menghibur diri, dan menyuntikan energi positif.“Ngapain kasta rendahan di mari?”Roro tersentak. Punggungnya terasa dingin saat disambut oleh nada tak bersahabat itu saat memasukki ruang barunya. Namun, kekhawatirannya tidak berlangsung lama karena ia mengenal pria usil itu. Riang.Walau berbeda divisi Riang dan Kaka cukup populer di kantor. Bukan karena prestasi mereka mengharumkan nama cabang atau karena ketampanan level Erlangga Si General Manager regional empat. Tapi karena mereka yang selalu menjelajah ke divisi lain baik untuk kepentingan kerja maupun tebar pesona. Singkatnya, mereka humble dan mengenal banyak nama termasuk satpam dan OB.Roro membalas dengan senyum angkuh yang dibuat-buat, “sekarang kita sederajat ya.”“’sederajat’ kaya SMA sama SMK maksud lo?”Roro tergelak, “iya.”“O... jadi lo yang gantiin Crystaline,” Riang mengangguk-angguk.“Kabarnya sih gitu.” Roro mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang masih sepi pagi ini, “mana mejaku?”“Di samping meja Kumala,” Riang menuding dengan bibir bawahnya.“Kita satu tim sama Mba Mala?”“Lo kenal?”“Kenal soalnya sering ketemu di warung tenda seberang jalan.”“Oh iya, kalian berdua sama-sama kaum ngirit ya.”Roro menghadiahi Riang dengan cubitan di pinggang. “Katanya aku masuk tim Mas Djenaka. Gimana kerja bareng dia? Pasti ketawa mulu.”Ironisnya, Bang Dje nggak bisa melucu. Selera humornya terlalu tinggi. Dan jumlah ketawanya per tahun bisa dihitung.”Darah Roro mendadak rendah. Tadinya ia berharap akan mendapatkan senior yang sabar dan mau menerima kekurangannya yang tidak terlalu cepat belajar. Tapi dari deskripsi Riang, sepertinya Djenaka tidak memiliki kriteria senior dambaan bahkan sebaliknya.Melihat wajah Roro yang mendadak risau, Riang menghiburnya dengan berkata, “dari dua kubu marketing yang ada di sini, paling enak emang under Bang Dje. Kerja, kerja! Main, main! Santuy, Ro. Belum juga ketemu Bang Dje udah mau pingsan aja.”Sepertinya pindah ke divisi marketing di bawah kepeminpinan Djenaka Adidaya akan menjadi pamungkas bagi karir Roro. Harinya tidak lagi mudah—atau challenging lebih tepatnya. Pekerjaannya berorientasi pada target nyata, saling sikut dengan rekan sendiri menjadi hal biasa, dan dicaci maki nasabah, pimpinan, bahkan sahabat bukan hal yang tabu. Belum apa-apa Roro sudah menginginkan zona nyamannya kembali. Hiks!“Udah sana-“ Riang menyenggol Roro yang bengong, “disapa Bang Dje-nya. Keburu morning brief. Lo butuh saran gue?”Roro menyambut dengan anggukan semangat, mendapatkan kisi-kisi dari orang dalam tidak pernah buruk. “Banget.”Riang merendahkan suaranya, “Kalau kenalan jangan lebih dari tiga menit. Dia nggak suka waktu efektifnya dibuang gitu aja. Dia enggak butuh nama panjang lo. Cukup nama panggilan lo dan posisi lo sebagai apa. Setelah itu lo akhiri dengan ‘mohon bimbingannya ya, Bang’ setelah itu balik. Enggak usah flirting sama doi. Dia orangnya dingin kaya es. Bukan bermaksud mengerdilkan hati lo, tapi yang sekelas Crystaline aja dicuekin-“Apalagi aku.” Sambung Roro tahu diri dan buat Riang mengerutkan dahi penuh sesal. Sorry, Beb! Roro hanya tersenyum maklum, “mungkin aku bisa bawa kopi supaya kesannya nggak tangan kosong aja?”Riang sok memikirkan ide Roro, “boleh juga. Bang Dje enggak pernah buang pemberian orang. Kalau dia nggak suka bakal dialihkan ke orang lain lagi.”“Haduh, baru mau kenalan aja udah challenging.” Desah Roro, “Ya udah aku ke pantry dulu. Doain!”Heleh! baru senior doang, gimana nasabah. Djenaka butuh kopi untuk memulai hari. Belum apa-apa ia sudah dihadapkan pada laporan yang tidak sinkron. Ia harus memeriksa ulang dalam waktu singkat sebelum Pandji turun tangan mempermalukan timnya. Karena bagi Djenaka tim-nya (adalah) harga dirinya. ‘Dek, Sabtu sore anter Mama ke arisan keluarga. Kamu harus bisa kalau enggak Mama ngambek.’ – Mama‘Dek! Bales Mama. Bisa apa enggak?’ – Mama‘Enggak, Ma. Adek lembur.’ – Djenaka‘Ya udah, jam 4 ya. Jangan telat.’ – MamaKalo gitu kenapa harus tanya?!Dan harusnya nggak gue balas juga.Ia tidak perlu mencoba abaikan pesan ibunya. Hari Senin masih pagi, rencana perjodohan ibunya tidak ia ijinkan mengacau. Sebenarnya terlalu mudah mengabaikan itu karena sudah sangat sering.Djenaka muak dengan antar-Mama-ke-arisan karena di sana ia akan dikenalkan dengan satu atau dua gadis. Mulanya Djenaka tidak keberatan namun ketika ia dituntut bertanggung jawab atas perkenalan-perkenalan yang ia lakukan demi Mama, Djenaka pun kesal.Sekarang ia harus fokus menjodohkan dua laporan yang ada di tangan kiri dan kanannya. Bagaimana membuat mereka sinkron dan akhirnya menyatu. Selagi berusaha menemukan ketidakberesan, hidungnya digoda oleh aroma kopi instan yang melintas—entah Kaka, Riang, atau Kumala. Yang jelas setelah ini ia harus mendapatkan kopinya sendiri.Pagi, Mas Djenaka!Sapaan malu-malu itu datang bersama aroma kopi yang semakin kuat. Djenaka mendongak setelah melihat secangkir kopi diletakkan di mejanya. Dahinya mengerut heran, berusaha mengingat nama wanita berbaju pink di seberang mejanya sekaligus menebak motif ‘kopi pagi’ yang ditawarkan padanya. You know, tidak ada yang gratis di dunia ini. Dan Djenaka paling benci berutang.Sial! Ia tidak ingat nama wanita itu karena fungsi otaknya yang selalu mengeliminasi hal-hal yang tidak perlu. Ya, mengenal rekan kerja dari divisi lain yang tidak menguntungkan baginya sama dengan hal tidak perlu.Wanita itu gagal menyembunyikan gugupnya, terlihat dari senyum dan sikapnya yang tidak percaya diri.Mas, aku anggota tim kamu yang baru.Pengumuman itu mengingatkan Djenaka kembali dengan diskusinya bersama Pandji beberapa hari setelah Crystaline resign.Waktu itu hari masih pagi saat Pandji menyuruhnya masuk ke ruangannya. Tanpa basa-basi ia menyodorkan beberapa lembar foto wanita dengan seragam yang sama. Tingkah Pandji ini mengingatkannya pada ibu.“Jadi gini, gue gagal minta orang dari pusat. Rekrut orang dari luar pun gue rasa tidak terlalu membantu, rekrut special hire juga gue rasa belum perlu.” Pandji membenahi duduknya di bangku, “selaku bos yang bijak gue beri kesempatan buat orang yang sudah eksis untuk naik level. Mereka orang-orang yang direkomendasikan HR. Sekarang tergantung selera lo mau kerja dengan orang yang mana. Saran gue, pilih yang enak dilihat karena bakal ketemu lo tiap hari.”Djenaka mendenguskan tawa singkat saat mengambil beberapa lembar foto hasil dokumentasi HR. Ia mengamati wajah-wajah yang sulit dipilih karena semuanya cantik, semuanya enak dilihat setiap hari. Setelah beberapa saat akhirnya Djenaka menyerah dan mengembalikan foto-foto itu ke atas meja.“Menurut lo aja deh. Lo lebih ahli urusan beginian. Gue ikut aja.”Pandji memperhatikan deretan foto itu sebelum mengemukakan pendapatnya, “Sassy ini teller. Ocha, back office. Semuanya gue kenal, mereka supel dan selalu buat gue terkesan dengan sapaan ‘Pagi, Pak Pandji...!’ Hanya Rosaline ini yang enggak memorable di ingatan gue, dia Customer Service. Wening rekomendasikan dia karena dia sudah bertahun-tahun di posisi itu. waktunya geser.”“...” Djenaka masih tidak punya pilihan.“Sassy aja,” saran Pandji, “bukan bermaksud merendahkan, tapi kabarnya dia ‘supel’ di kalangan cowok-cowok. Dia mantannya Setiawan sebelum jadi mantannya Kaka. Siapa tahu dia bisa jadi mantan lo setelah ini.”Lagi-lagi Djenaka mendengus melihat kilat jahil di mata pimpinan cabangnya yang super ahli untuk urusan wanita. Akhirnya mau tidak mau ia harus memilih hanya demi membantah pilihan Pandji.“Kalau begitu singkirkan Sassy karena gue enggak mau jadi salah satu ’koleksinya’. Gue lebih suka yang zero deffect,” telunjuknya jatuh tepat di wajah Rosaline, “dia aja.”“Serius?” satu alis Pandji terangkat.Djenaka berdiri untuk menandakan diskusi ini sudah berakhir. “Dia enggak memorable di ingatan lo tapi sepertinya malah jadi rejeki buat gue.” Pungkas Djenaka asal. “Panggil aja Roro,” karena yang boleh panggil aku Rosaline hanya suamiku kelak. Djenaka belum sempat menanggapi tapi wanita itu menyambar kalimatnya sendiri setelah melirik jam dinding di atas kepala Djenaka, “sesuai SK aku di posisi Konsumer menggantikan Crystaline, Mas. Mohon bantuannya ya! Dan...” ia melirik ragu-ragu ke wajah Djenaka kemudian pada jam dinding itu lagi, “mohon Mas Djena sabar karena aku masih penyesuaian. Aku janji nggak bakal leha-leha kok.”“Roro apa?” tanya Djenaka spontan saat wanita itu hendak berbalik, “Roro Djongrang?”Wanita itu mengurungkan niatnya karena kaget, apakah ini humor berkelas yang dimaksud Riang? Bukannya ini receh? Mas Djena receh? Nggak mungkin.Ia pun menanggapi dengan serius gurauan seniornya, “Rosaline Annara, Mas.”Roro tidak tahu jika memperkenalkan namanya sendiri bisa membuat jantungnya lemah. Ia menatap Djenaka, menunggu reaksinya setelah mendengar nama itu. Tapi pria itu malah tertegun dan balik menatapnya tanpa berkedip. Teringat akan ‘tiga menit efektif milik Djena’ Roro pun kembali berpamitan, “aku balik ke meja, Mas. Semoga nggak ganggu kerjaan kamu.”“Tapi lo belum duduk dan kita belum ngobrol.” Djenaka memutar otak untuk menahan wanita itu lebih lama.“Oh gitu?” Roro mengerjap bingung, “tadinya aku nggak mau menyita waktu kamu lebih dari tiga menit karena kelihatannya kamu sibuk, Mas.”“Gue yang tentukan apakah gue sibuk atau enggak. Sekarang lo duduk!”Roro melangkah kembali ke meja Djenaka, ia memaksa bokongnya duduk di bangku di seberang pria itu. Sarafnya begitu tegang saat Djenaka hanya diam mengamatinya dan tak lantas bicara.“Lo Rosaline dari frontliner?”“Iya, Mas. Bagian CS.”“Panggilan lo Roro?”Semburat merah samar muncul di pipi Roro saat mengangguk, “iya.” Tangan Djenaka langsung terkepal, reaksi spontan yang tidak ia mengerti. Ia menelan saliva kemudian membenahi letak duduknya yang tiba-tiba tidak nyaman. “kalau gue mau panggil lo Rosaline, lo keberatan?”Bulu mata Roro mengerjap cepat bukan untuk menggoda seperti kata Riang, ia hanya sangat terkejut, tidak menyangka. Roro tak dapat menahan tubuhnya yang meremang, sudah pasti kulit wajahnya kemerahan teringat akan tekad bahwa ia hanya ingin dipanggil Rosaline oleh orang-orang yang ia sayangi seperti suaminya kelak. Tapi cowok ini dengan sesuka hati meminta keistimewaan itu?“Ya terserah Mas Djena aja sih, kan itu nama saya juga. Tapi orang-orang manggilnya Roro. Kaya lebih singkat aja.”Djenaka tampak merenung dan bisa-bisanya ia bergumam, “gue jadi keinget Pororo.”Roro tersedak napasnya sendiri membayangkan dirinya berbentuk lonjong seperti pinguin berjaket biru itu. Lagi-lagi humor receh! Wah, Riang pasti bohong. Mungkin sebenarnya seniorku ini lucu seperti namanya. Tanpa sadar bibir Roro mengulas senyum dan ketika Djenaka menangkap basah dirinya seperti itu, sekali lagi Roro tersipu malu.Kenapa aku jadi putri malu di hadapan senior?  Bagian : 2“...karena semua portofolio Crystaline sudah gue bagi ke anak-anak. Jadi lo harus cari mangsa lo sendiri. Mungkin nanti ada limpahan berkas maintenance debitur eksis, gue nggak tahu. Tapi daripada lo nggak produktif, saran gue mending lo canvasing.”“Canvasing?”Morning briefing baru usai dan Djenaka mendapat mandat langsung untuk memanfaatkan Roro dari Pandji. ‘Berdayakan dia, jangan sampai nganggur’, kalimat itu yang Roro simpulkan dari rapat pagi ini.“Canvasing atau anggap aja menyebar jaring. Buat surat penawaran lalu sebar. Sertakan CP lo, atau minta feed back langsung kalau memungkinkan.”“Aku harus sebar jaring ke mana, Mas?” Roro benar-benar baru dan tidak punya pengalaman dalam hal ini.“Itu-“ Djenaka membuka folder di komputernya, “gue ada database buat lo. Sebenarnya kita sudah pernah coba tapi nggak ada tanggapan. Entah surat-surat itu ketahan di satpam atau gimana. Sekarang gue mau lo coba lagi.”“Baik, Mas.”“Sasaran lo dokter ya, Ro. Jadi enggak usah ragu tawarin mereka produk terbaik lo.”“Iya, Mas Djena.” Roro mengangguk.“Udah gue kirim ke email lo.”“Makasih, Mas!”Akhirnya Djenaka mengalihkan perhatiannya dari layar monitor ke wajah lugu Roro sambil berpikir skeptis apakah seorang Rosaline memang lugu atau hanya berlagak lugu agar mendapatkan bantuannya dengan murah hati?Sementara di seberang sana Roro berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Sumpah ia tidak tahu bagaimana bentuk surat penawaran, apakah sama seperti surat penawaran pembukaan kartu kredit atau tidak. Lalu, bagaimana ia bisa menemui dokter-dokter dalam daftar yang diberikan Djenaka tanpa dicurigai satpam. Semua orang tahu, dilarang berjualan atau menyebar apapun di lingkungan rumah sakit. Jadi bagaimana?Sebenarnya ia ingin sekali dibimbing seperti anak PAUD oleh Djenaka. Step by step. Se-merepotkan itu dirinya. Tapi, melihat begitu banyak folder pekerjaan yang dibuka Djenaka di komputernya buat Roro sadar diri bahwa pekerjaan pria itu juga banyak.“Lo ngerti kan apa aja yang harus dilakuin?”Roro memaksa kepalanya mengangguk, “nger-, ngerti, Mas.”Pria itu memicingkan matanya, “kok jawabnya ragu-ragu?”“Eh, itu-, nanti kalau ada yang enggak aku mengerti baru aku tanya lagi ke Mas Djena.”“Bagian mana yang nggak lo mengerti?”Semuanya! Roro menggeleng, “belum tahu, Mas. belum dimulai juga.” Kemudian wanita itu berdiri dengan tergesa-gesa, “aku mulai sekarang ya, Mas.”Djenaka tidak mengangguk atau memberi ijin pada Roro meninggalkan bangku tapi wanita itu sudah kembali ke mejanya sendiri. Di sana Roro tampak begitu tegang saat menyalakan komputernya, terlihat seperti orang buta yang dibiarkan sendiri di tengah keramaian tanpa pemandu. Wanita itu berusaha tidak terlihat bingung dengan memelototi layar monitornya, tapi sedetik kemudian netra itu bergeser ke arahnya, seperti memastikan apakah Djenaka masih mengawasinya atau tidak. Oh, Djenaka bisa membayangkan perasaan Roro yang sudah ingin pulang saja.Mampus, gue! Kayanya lebih parah dari Kumala nih. Tambah berat aja beban. Harusnya gue pilih Sassy kemarin.Melihat bahasa tubuh Djenaka, Roro tahu pria itu baru saja kecewa padanya—padahal belum apa-apa. Sepertinya pria itu tertalu pro sehingga bisa mengenali ciri-ciri orang yang berguna atau hanya menjadi parasit saja. Roro menyesal karena merasa dirinya menjadi parasit di tim ini.Akhirnya Roro melirik Kumala, satu-satunya yang bisa ia andalkan saat ini. Ia melirik cepat pada seniornya untuk memastikan pria itu sibuk, lalu ia berbisik, “Mba Mala bisa bantu aku sedikit?”“Sebentar ya, Ro. Tinggal dikit lagi.” Kumala menyanggupi.Sambil menjajari Kumala di mejanya Roro menggumam pelan, “enak ya Mba Mala tinggal maintenance doang.”Kumala menyempatkan diri tersenyum ke arah Roro sebelum kembali fokus, sabar aja. Dulu aku juga seperti kamu kok. Tapi masih enakan kamu, Ro. Kamu udah pegawai tetap, sedangkan aku? Enggak target enam bulan ya dipecat.Emang Mba Mala bulan lalu nggak target?Target, jawab Kumala mantap, cuma ada beberapa tugas perpanjangan dan restrukturisasi yang buat aku keteteran sampai harus di-take over Mas Djena. Ia melirik ke meja Djenaka lalu berbisik, dia marah banget waktu itu karena tugasnya juga lagi numpuk. Aku jadi nggak enak.Roro ikut melirik pada Djenaka yang seperti sedang menghakimi layar komputer dengan tatapannya. Wah, agak fatal ya, Mba.Kumala mengangguk, “maka dari itu, bulan ini nggak boleh kejadian lagi. Terlebih sekarang Big Boss udah tandain mukaku."Big Boss? dahi Roro mengerut.Pak Erlangga GM.” Kumala menjelaskan, “gara-gara aku bikin masalah kemarin, sekarang tim kita diawasi ketat. Aku jadi nggak enak ke anak-anak apalagi Mas Djena. Kumala menggeleng putus asa ke arah monitornya, kayanya aku benar-benar cuma habiskan masa kontrak doang deh. Diawasin GM secara langsung itu asli bikin enggak betah kerja.Roro tak dapat mencegah dirinya melirik Djenaka lagi, sekilas, Mas Djena nggak komentar apa-apa?Sepertinya dia nggak peduli mau aku digantung Pak Erlangga juga.Apa iya Pak GM seseram itu?Kaum frontliner dan back office tidak punya banyak kesempatan berhadapan langsung dengan GM karena urusan mereka sudah cukup hanya sampai di manajer. Roro pun tak pernah tahu perangai seorang Erlangga, yang ia tahu Erlangga Putra adalah pria paling tampan plus seorang duda.“Kalau kamu penasaran pingin ketemu Big Boss secara langsung, Ro-“ Kumala ber-ide, “buatlah ‘dosa’, ketemu deh sama ajalmu yang namanya Erlangga.”Perumpamaan itu sontak buat Roro tergelak, “Mba Mala bisa aja. Segitunya sama Pak GM. Tapi bukannya duda tuh asyik ya, Mba? Beberapa duda kenalanku gitu sih.”Pengakuan polos Roro buat biji mata Kumala membundar, tapi kemudian ia abaikan kalimat terakhir Roro. Nggak tahu kenapa duda yang ini gampang senewen. Kumala kembali memeriksa keadaan sekitar lalu mencondongkan kepala ke arah Roro, Ro, aku sedang daftar CPNS, kamu nggak pengen ikutan?Hah?!” Roro terperanjat, “kayanya aku harus fokus ke posisi baruku dulu deh, Mba.”Setelah bergerilya meminta petunjuk pada Kumala dan bantuan pada Riang karena menurutnya ‘trik kerja cerdas ala Kaka’ menyesatkan, akhirnya selesai juga tugas pertama Roro. Seperti terjebak di mesin waktu, Roro tidak sadar jika hari sudah siang dan rekan satu timnya sudah tidak di meja. Kapan mereka pergi? Kenapa pada nggak pamit?Roro langsung mengambil ponsel yang tak tersentuh sejak pagi, sejak menjalankan mandat perdananya. Ia berusaha sebaik mungkin memikat hati senior di debut pertama. Semoga saja Mas Djena terkesan. Kalau enggak juga gapapa. Ia pun berinisiatif mengirim pesan pada Djenaka:‘Mas, suratnya udah selesai. Nanti kalo Mas Djena udah balik ke kantor, tolong direview ya. Makasi, Mas. Maaf ganggu istirahatnya.’ -RoroSetelah terkirim, Roro langsung mengembalikan ponsel ke atas meja. Ia mengaitkan lima pasang jemari lalu menarik lengannya ke atas melakukan peregangan.“Akhir-”“Gue di sini.”Roro terkejut setengah mati hingga peregangannya tidak sempurna. Tak ia kira Djenaka sedang berlindung di balik layar monitornya sendiri. Ia pikir ruangan sudah kosong dan hanya dirinya seorang.“Mas Djena! Jantung aku hampir copot.” “Ro, aku turun duluan ya.”Djenaka melirik saat tak mendengar Roro menanggapi Kumala. Wanita itu terlalu fokus pada pekerjaannya. Mungkin Roro bertekad membuktikan sesuatu.“Mas, aku istirahat ya.” Akhirnya Kumala berpamitan pada Djenaka dan ia tanggapi dengan anggukan singkat. Lalu ia kembali memperhatikan Roro dari ujung matanya sambil bertanya-tanya bagian mana yang begitu sulit untuk dikerjakan sehingga menyita seluruh perhatian wanita itu dari sekitarnya.Roro menggigit bibirnya lagi. Alis yang tadinya rapi sejajar kini mulai bertaut. Lagi. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu, yang jelas Djenaka kehilangan fokusnya sejak melihat bibir merah itu digigit.Ia membuang muka. Sejak kapan ia jadi stalker menjijikan seperti ini. Ia ingin beranjak meninggalkan meja, menghapus pemandangan akan Roro selama dua jam terakhir namun bokongnya seakan terpaku pada bangku. Ia tak akan mampu pergi kemana-mana jika wanita itu masih di sana. Ia bersyukur saat ponselnya bergetar, siapapun itu asal bisa mengalihkan perhatiannya dari Roro. ‘Mas, suratnya udah selesai. Nanti kalo Mas Djena udah balik ke kantor, tolong direview ya. Makasi, Mas. Maaf ganggu istirahatnya.’ -RoroTernyata masih Roro. Wanita itu tak menyadari keberadaan Djenaka di ruangan karena memang ia duduk di balik layar monitor dengan posisi bersandar rendah. Perhatian Djenaka langsung kembali ke sana saat melihat Roro melengkungkan tubuhnya di atas kursi. Melakukan peregangan seperti seekor kucing nakal. Bokongnya didorong ke belakang sementara payudaranya membusung ke depan. Kedua tangannya yang saling berkait ditarik lurus ke atas kepala. Mata wanita itu terpejam dengan wajah dimiringkan ke satu arah. Ia itu benar-benar menikmati peregangannya dan Djenaka menikmati pemandangan itu. Hingga bagian di antara kakinya hampir ‘berdiri’-“Gue di sini!” dalam hati Djenaka mengumpat segala macam kata-kata kotor agar gairahnya kembali tunduk.“Mas Djena!” wanita itu terkejut sambil berpaling ke arahnya, “Jantung aku hampir copot.”Peduli setan dengan jantung lo yang hampir copot, junior gue juga hampir ‘angkat tangan’. Tetep susah di gue.Mengerahkan seluruh usahanya, Djenaka memilih sikap yang paling ia kuasai yakni cuek. “Gue cuma balas chat lo. Secara lisan.”“Tapi aku pikir Mas Djena istirahat di luar,” tangan Roro masih di dada.Mengedikan bahunya tak acuh ia melanjutkan, “mana kerjaan lo?”“Aku kirim ke email kamu ya.”Setelah Djenaka mengangguk, Roro tak buang waktu untuk menunjukkan tugasnya. Ia terlalu percaya diri karena Kumala sudah menyetujuinya. Sekarang ia hanya menunggu feedback dari seniornya dengan perasaan khawatir. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu.“Kalau ada yang dikoreksi, nanti kirim ke email aja, Mas.”Detik demi detik terasa begitu lama. Roro tegang memperhatikan ekspresi Djenaka dari mejanya. Hingga kemudian pria itu berkata, “sini lo!”Roro mendatangi meja Djenaka tanpa banyak kata, belum juga sampai ia sudah diminta untuk memindahkan sebuah kursi ke depan monitor pria itu. Tepat di sisinya.“Gue mager, lo kerjain di sini aja. Kalo harus bolak-balik kirim email malah nggak kelar-kelar.”“Mas Djena nggak istirahat.” tanya Roro.“Kan gue udah bilang, mager.”“Oh iya.”Walau berada pada jarak yang pantas Roro tetap merasa tegang berada di sana. Bukan karena pria itu tampan akan tetapi karena meja yang ia gunakan sekarang. Beberapa kali tangannya gemetar saat memegang mouse.Tapi Djenaka benar-benar memberikan ilmunya. Roro merasa lebih kaya setelah berada di sisi pria itu. Djenaka memiliki aura pembimbing yang baik ketimbang Riang maupun Kumala.“Oke, aku print sekarang ya, Mas. Pas waktunya, jam istirahat udah hampir selesai. Aku bisa langsung ke rumah sakit.”Pria itu berdiri lalu mempersilakan Roro lewat. Tak berapa lama Djenaka sudah melihat Roro lagi yang baru selesai dengan urusan cetak-mencetak. Ia keluar dari meja saat wanita itu bersiap-siap untuk pergi.“Setelah ini kita maintenance ya, kita ambil berkas Kumala.”“Iya, Mas. Semoga aku nggak lama di rumah sakit.”Pria itu memeriksa arlojinya lalu bertanya lagi, “rumah sakitnya di daerah Pangsud ya?”“Iya.”“Naik apa lo?”“Motor.”“...” Djenaka berpikir.“...” Roro menanti.“Bareng mobil kantor aja. Gue juga ada urusan di daerah situ. Jadi sekali jalan dua tujuan.”“Ya udah, nanti aku di-drop aja. Baliknya gampang.”Mobil itu tidak berhenti di pinggir jalan melainkan parkir di area rumah sakit. Djenaka tidak pergi meninggalkannya tapi justru ikut Roro turun.“Loh, Mas?” wanita itu bingung.Feeling gue bilang kalau nih anak gue lepas sendiri, dia nggak bakal bisa ngelewatin security karena udah diusir.Roro gemetar saat mereka dihentikan di pintu masuk oleh satpam. Wanita itu langsung meremas tali tasnya kuat-kuat seperti maling.“Ada yang bisa dibantu?” tanya satpam sesuai standar.“Em, saya mau-““Ke spesialis kandungan,” sahut Djenaka dengan lancar dan mulus sambil merangkul ringan pundak Roro yang tegang.“Dalam beberapa hari belakangan tidak ada keluhan demam, batuk, dan sebagainya?”“Tidak.”Sejurus kemudian Djenaka sudah membawa Roro masuk. “Lo nggak berpikir bakal bilang mau canvasing kan, Ro?”Kedua mata Roro membulat, “emang nggak boleh ya?”Pria itu berdecak, “udah gue duga.”“Duh...” Roro menepuk dadanya sendiri, “hampir aja. Terus sekarang gimana, Mas?”Masih merangkulkan lengannya di pundak Roro, Djenaka menjawab, “kita ke spesialis kandungan.”Seketika Roro menahan langkahnya, “mau apa ke sana? Roro nggak hamil.”Mendengus geli seraya memutar bola matanya, Djenaka menjelaskan, “satu-satunya dokter yang gue kenal di sini cuma dokter Fahmi dan dia SpOG.”Kali ini Roro mengerti arah tujuan mereka, “oh... kita titip lewat beliau?”“Iya, nanti asistennya yang bantuin.”“Syukur deh ada cara ini.” Mereka kembali berjalan dan Djenaka sudah melihat senyum lagi di wajah itu. “Ngomong-ngomong kok kamu kenal dokter kandungan di sini, Mas?”“Emang kenapa?” ada perasaan enggan saat Djenaka menarik tangannya turun dari pundak Roro.“Pernah nganterin ceweknya ya?” ujar Roro iseng.“Astaghfirullah... berdosa lo.”“Bercanda, Mas,” koreksi Roro, “bukan berdosa.” Ketika Djenaka hanya diam saja, Roro pun gatal karena ingin tahu, “sekarang anaknya udah gede ya?”Djenaka mendengus kasar lalu menghentikan langkahnya. Roro ikut berhenti lalu menatap cemas pada seniornya. Kayanya aku udah keterlaluan deh.“Dokter Fahmi itu sepupu gue, jadi-“ Djenaka menjelaskan dengan gemas dan mengerahkan 70% tenaganya saat menyentil dahi Roro, “keluarkan pikiran kotor lo tentang gue.”Roro mengaduh sambil mengusap-usap dahinya yang sakit. Anggap saja sakitnya 60%, kagetnya 10%, malunya karena disentil di depan umum 30%. Sekarang ia kesal pada Djenaka, kenapa harus ada kejadian ini pada dua orang yang sudah sama-sama dewasa?“Maafin aku, Mas,” Roro menyampaikan dengan ketus lalu ia lanjut berjalan meninggalkan Djenaka masih sambil mengusap-usap dahinya, “bercandaku keterlaluan.”Di belakangnya Roro dengar pria itu mendesah berat sebelum menyusul. Ia menggapai siku Roro sambil bergumam, “sorry. Sini gue lihat.”Tapi Roro menepis segera tangan Djenaka dengan sopan, “udah gapapa, Mas.”“Lo yakin?”“...” Roro tak menjawab. Ia lebih memilih meneruskan langkah.Djenaka pun tak berusaha lebih jauh. Ia mengarahkan Roro ke ruang praktik sepupunya yang ia tahu sedang tidak ada pasien.“Fam!” ia menyapa Fahmi.Roro pun ikut menyapa dokter muda itu, “siang, dok!”Fahmi yang sudah diberitahu lebih dulu oleh Djenaka saat dalam perjalanan ke rumah sakit pun menyambut, “masuk! masuk!”Roro duduk di bangku pasien sementara Djenaka yang sudah akrab pun bersikap seakan itu ruangannya sendiri. Ia membuka kotak obat serta laci, mencari sesuatu yang hanya dia yang tahu.“Gue mau nawarin produk,” kata Djenaka sambil membaca nama-nama pada botol obat, lalu menunjuk Roro dengan dagunya, “Rosaline yang jelasin.”“Lo?” tanya Fahmi geli, “ngapain?”Djenaka tak langsung menjawab, ia membaca komposisi pada sebuah salep, menggeleng pelan, lalu mengembalikan salep itu ke lemari. “Nganter.” Lalu ia berseru pada Roro, “mulai aja.”Roro melempar senyum penuh syukur pada seniornya yang bersikap tak acuh tapi aslinya peduli setengah mati, lalu berpaling pada dokter Fahmi dan menyodorkan tangan ke tengah meja.“Kenalkan saya Rosaline-““Roro,” sahut Djenaka.Senyum profesional Roro sedikit retak karena dijegal seniornya, “boleh dipanggil Roro. Saya tahu cara ini kurang profesional tapi-““Dia mau canvasing, kita ada produk KTA yang bagus.” Tambah Djenaka yang masih mengacak-acak laci obat sepupunya.Di sisi lain Roro menahan kesal karena seniornya selalu menyela setiap kali ia mulai bicara. Kenapa nggak kamu aja yang presentasi?“Ya begitu, Pak Fahmi. Saya sudah bawa surat dengan tujuan masing-masing tertera.” Kemudian ia menyodorkan amplop atas nama Fahmi, “ini untuk Bapak.”Setelah menerima amplop itu, dengan santai Fahmi bersandar lalu mengamati Roro dan sepupunya bergantian. “Kalian berdua kok bisa lolos? Bilang apa ke satpam?”Roro mengerjap bingung, ia melirik Djenaka yang masih sibuk dan berharap mendapat bantuan. Tapi ketika Djenaka tidak juga peka, Roro berusaha agar jawabannya tidak terdengar konyol, “Ah, itu... sebenarnya saya mau titip surat-surat ini di satpam tapi setelah saya pikir-pikir akan lebih baik kalau-”“Gue bilang aja mau ke spesialis kandungan.”Jari Fahmi menunjuk Roro, “periksain dia?”“Ya masa gue, Fam?” balas Djenaka datar dan Fahmi tertawa, “Fam, ini heparin ya?”Fahmi menelihat tube di tangan Djenaka dan mengangguk, “iya, Dek.” Fahmi pun kembali pada Roro setelah Djenaka menutup lacinya, “tinggalin aja suratnya di sini.”“Makasih banyak, Pak dokter. Em... mungkin Pak Fahmi berminat jalan-jalan ke luar negeri gitu, Pak. Korea lagi jadi destinasi favorit belakangan ini.”Fahmi tampak merenung sebentar, “iya sih, cewek saya udah dari kapan hari kaya ‘kode’ ngajak ke sana.”“Nah, artinya kita jodoh, Pak dokter,” sambung Roro, “Tuhan memang mengirim saya dengan solusi untuk Pak Fahmi dan ceweknya. Produk KTA kita limitnya lumayan besar, Pak. Bisa sekalian uang saku lah. Udah gitu-, Mas?!“Roro terkejut diam saat tiba-tiba saja Djenaka meraih dagunya hingga ia mendongak, kemudian ia merasakan olesan gel dingin di dahinya yang tadi panas disentil pria itu. “Awas, Dek! Itu bukan bovine.”Tapi Djenaka tetap santai mengoleskan gel dingin itu di dahi Roro, “untung aja gue pake lateks.” Ia sudah melindungi tangannya dengan sarung tangan karet sebelum membuka obat oles itu. Kemudian netranya turun dari dahi Roro ke dalam mata wanita yang tertegun bingung, “kalo dia gapapa.”Dengan enggan ia menarik tangannya dari dagu dan wajah Roro kemudian berbalik menuju washtafel, membuang sarung tangannya dengan hati-hati, lalu mencuci tangan hingga bersih.Sontak Roro semakin bingung lagi, “memangnya kenapa kalau bukan bovine, Pak?”“Oh itu, khasiat dan efek sampingnya sama saja. Cuma beberapa orang lebih nyaman dengan heparin yang diekstrak dari protein bovine karena faktor halal. Kalau yang nggak masalah dengan itu ya tenang aja. Emang kenapa dahinya?”Djenaka berdiri di belakang Roro, menopang kedua tangan di sandarannya. “Gue sentil dengan kekuatan 70%-““100%,” protes Roro seraya mendongak pada pria di belakangnya.Djenaka merunduk di atas wajah Roro dan dengan nada mengancam ia berkata, “70%... sini kalo lo mau coba yang 100%.”Roro melindungi dahinya yang basah lalu kembali menegakkan kepala, “jangan, Mas!”Fahmi yang tergelitik dengan interaksi dua orang di depannya pun coba memancing kebenaran, “Oh, emang gitu ya, Dek, kalo sama junior boleh sentil-sentil manja?”“Manja dari mananya!” gerutu Roro pelan.Tapi Djenaka tidak terpancing. “Kenapa lo keep yang ini?” tanya Djenaka masih dengan gaya tak acuhnya. “Stok di farmasi habis, dalam keadaan darurat harusnya gapapa. Tapi biasanya gue tanya dulu ke pasien.” Melihat fakta yang tak perlu dipertegas, Fahmi hanya penasaran dengan sikap sepupunya yang bisa dibilang tidak biasa. “Dek, lo berdua ini...?““Rosaline junior gue.” Sepertinya Djenaka mengerti isi kepala Fahmi yang selalu usil, walau memang ia sendiri yang sudah bersikap terlalu aneh saat ini. Wajar kalau Fahmi curiga ada hubungan antara dirinya dengan Roro. “Ini debut pertamanya, jadi gue bantu sampai kelar.”Fahmi agak terkejut saat Djenaka menyambar sedikit pancingannya dengan sengaja. Apakah Djenaka menjaga perasaan Roro? Atau mungkin justru perasaannya sendiri?“Tadi aja dia mau ngaku canvasing ke satpam. Auto diusir kalo nggak ada gue.”Alis Fahmi melengkung sempurna saat akhirnya meledek, “Senior Djenaka Adidaya Sang Juru Selamat Rosaline.”Pipi Roro merona malu, “wah, juru selamat saya Tuhan Yesus, Pak.”“Oh, beda ya sama Djenaka.” Sahut Fahmi usil. Dan ia mendapat lirikan tajam dari adik sepupunya.Tapi Roro yang terlalu lugu pun menanggapi dengan senyum lebar, “iya beda, Pak.”“Kalo adek sih, juru selamatnya ya dia sendiri.” Sambung Fahmi lagi.Djenaka mendesah keras saat akhirnya menjatuhkan bokong di bangku sebelah Roro. Ia berharap Fahmi menghentikan omong kosongnya, “Fam, bantuin gue ketemu satu-dua temen lo dong. Kalo bisa yang hedon ya.”***Roro super bersyukur karena Djenaka ikut menemaninya ke rumah sakit. Tak ia sangka akan mendapat feedback saat itu juga. Djenaka sangat membantu Roro yang belum sepenuhnya menguasai produk. Setelah semua usaha senior, sekarang Roro sadar bahwa pria itu memang pantas menjadi pemimpin dan layak untuk posisi lebih tinggi lagi.“Aku nggak tahu bakal seperti apa pengalaman hari ini kalau tanpa kamu, Mas.” Ucap Roro setelah mereka duduk di jok penumpang. Ia menunggu Djenaka duduk pada posisi yang nyaman sebelum melanjutkan, “Mas, makasih banget ya. Kamu memang leader sejati.”Djenaka hanya meliriknya malas.“Pantes Riang bilang under kamu lebih enak.”“Nggak perlu menyanjung gue, yang penting tadi itu lo belajar, nggak? Karena setelah ini lo sendiri tanpa gue dampingi.”Roro mengangguk, “aku belajar kok, Mas. Aku perhatikan kamu menghandle mereka dan aku kagum. Mungkin aku bakal tiru gaya kamu.”Djenaka tak tahu harus melakukan apa pada wajah polos super excited seorang Roro. Wanita itu terlihat tulus mengaguminya, andai Roro adalah kekasihnya mungkin ia sudah mengecup dahi memar yang kini berada tepat di depan matanya.“Siap-siap ya, setelah ini belajar maintenance.”Alis Roro melengkung turun, gurat lelah di wajahnya semakin jelas. “Waduh, semoga aku bisa ya. Kepalaku udah berasap. Sekarang rasanya pengen merem sebentar aja biar seger lagi. Ya, Mas!”Djenaka baru saja hendak berbagi kisah para tenaga marketing yang tahan banting namun Roro sudah tak bergerak. Dari bulu matanya yang masih bergetar, Djenaka tahu wanita itu belum benar-benar tidur. Tapi ya udahlah, mukanya capek beneran.Begitu ia juga menyandarkan kepalanya ke belakang, Djenaka baru menyadari bahwa lehernya tegang. Ia berpikir mungkin tidur sebentar selagi driver membawa mereka kembali ke kantor tidak ada salahnya. Ngantuknya Roro bisa nular gini.Ia baru terpejam sebentar saat merasakan tubuh Roro bergeser ke arah pintu, wanita itu menyandarkan kepalanya di sana untuk mendapatkan posisi ternyaman. Djenaka langsung melirik protes padanya, posisi ‘ternyaman’ itu sekaligus ter-bahaya. Jadi cewek teledor banget, Ya Allah... Akan tetapi Djenaka tidak peduli, toh Roro sudah cukup dewasa untuk menjaga diri. Ia mencoba memejamkan matanya lagi tapi kemudian tubuhnya berguncang saat mobil melintasi polisi tidur. Kekhawatirannya akan keselamatan Roro mulai tak bisa diabaikan.“Pak, tolong pastiin central lock-nya ya. Ini si Rosaline tidurnya nyender pintu.”Udah, Pak. Tapi bahaya kalau nyender pintu. Kepalanya arahin ke Bapak aja.Mulanya Djenaka mengguncang pelan pundak Roro dengan ujung telunjuk. Setelah wanita itu tak menunjukkan reaksi apa-apa, Djenaka menarik kepalanya dan disandarkan ke belakang. Masih tidak terbangun. Baik!Sekarang rasanya percuma berusaha tidur karena Roro berada terlalu dekat. Ia bisa mencium wangi manis tubuh Roro dari jarak ini dan itu membuat sarafnya kembali tegang. Sejak kapan gue 'terganggu' dengan wangi parfum orang lain? Beli parfum bibit nih pasti.Menyibukan diri dengan ponsel teramat mudah terlebih saat kondisi jalanan sedang macet. Sosial media adalah apa yang ia tuju. Roro sudah mengikuti akun Instagramnya dan sekarang saatnya ia mengikuti balik.Seperti perempuan pada umumnya, akun sosial media Roro sangat informatif, bahkan SK yang ia dapat beberapa saat lalu. ‘Keluarlah dari zona nyaman~~’ Roro memberi keterangan. Djenaka menyimpulkan bahwa Roro tidak terlalu senang dengan mutasinya. Buat anak-anak office menjadi pekerja lapangan memang sebuah momok.Djenaka agak terkejut mengetahui Roro adalah bagian dari sebuah rumah singgah. Itu memang mengejutkan karena ia tidak benar-benar tahu profil rekan kerjanya—Untuk apa?Hati Djenaka bereaksi melihat momen Roro merayakan Natal, momen wanita itu Peneguhan Sidi, dan kegiatan lain bersama saudara asuhnya.Akan tetapi yang menarik perhatian Djenaka adalah mimpi Roro yang sederhana yakni... menikah. Wanita itu ingin menikah—jantung Djenaka berdetak hingga rasanya nyeri. Gambar ilustrasi kartun sebuah keluarga harmonis dengan dua anak kemudian sosok suami penyayang yang tak akan meninggalkannya. Djenaka menyimpulkan Roro ingin memiliki keluarga setelah tak sempat merasakan semua itu seumur hidupnya.Tiba-tiba saja Djenaka mensyukuri hidupnya yang- tuk!Jantung Djenaka hampir lepas. Ibu jarinya reflek menekan tombol kunci hingga layar ponselnya gelap begitu kepala Roro jatuh ke pundaknya. Dia pikir sudah tertangkap basah stalking sosial media Roro tapi ternyata wanita itu masih tidur. Djenaka mendorong pelan kepala Roro kembali ke sandaran lalu menggerakan pundaknya yang kaku. Tak butuh waktu lama untuk kepala Roro kembali jatuh bersandar di pundaknya. Astaga, cewek ini! Dia pun membiarkannya sebab sebuah pesan masuk ke ponselnya.‘Dek, ini cantik, nggak? Calon dokter.’ – MamaWalau sudah muak dengan ajang ‘mak comblang’ ibunya namun foto yang dikirim membuat penasaran. Gadis macam apa lagi yang berusaha disodorkan padanya. Djenaka memperhatikan foto gadis muda yang cantik. Dari penampilannya jelas anak orang berada tapi bersahaja. Tipe yang Djenaka suka. Senyumnya juga manis dan matanya jernih. Terlalu sempurna. Apa benar yang kaya gini calon dokter?Oh ya, tiba-tiba saja Djenaka mensyukuri hidupnya yang lengkap, bahkan hingga detik ini ia masih bisa menikmati rasanya jadi seorang anak dan adik. ‘Adek’ adalah wujud kasih sayang orang tua dan kakak-kakaknya pada ia yang bungsu.Kemudian muncul ide meningkahi ibunya, ia mengarahkan kamera ponsel padanya dan Roro yang bersandar di pundaknya. Ia memotret dengan cepat lalu dikirim kepada ibunya.‘Lebih cantik ini,' -DjenakaIa hanya asal menggoda ibunya. Sebenarnya ia juga belum bisa memutuskan apakah Roro atau calon dokter itu yang lebih cantik.‘Loh, Dek? Kok nggak bilang Mama kalau udah punya calon?’ -Mama‘Bawa pulang, Dek. Mama pengen kenal.’ -Mama‘Ga mau, Ma. Nanti Mama judes-in.’ -Djenaka‘Enggak, Astaghfirullah...’ -Mama‘Mama memanggil...’ karena ibunya terlalu bersemangat dan sudah tidak sabar menanti balasan anak bungsu yang selama ini tak pernah peduli dengan pernikahan.Djenaka sengaja tidak menjawab telepon ibunya agar wanita tua itu makin kesal. Ia kantongi ponsel yang layarnya masih berkedip, mengulum senyum membayangkan betapa kesalnya ibu.Hingga mobil berhenti di area parkir kantor, Roro masih belum juga bergeser sedikit pun dari pundak Djenaka. Rupanya pria itu merupakan bantalan yang nyaman untuk disandari berlama-lama. Akan tetapi pundak Djenaka mulai kaku.Pak, gimana banguninnya ya? tanya Djenaka pada Pak Bertrand-driver, pundak saya udah pegel.Pria itu menoleh ke belakang sambil mengulum senyum. Tidurnya pules bener. Biar saya bangunin, Pak Djena-"O! Nggak usah, Pak Bertrand. buru-buru Djenaka menolak bantuan itu, ia tak mau ambil risiko jika Bertrand seorang oportunis, biar saya aja. Pak Bertrand tinggalin kita aja.Kalau begitu mesinnya nggak saya matikan ya, Pak.Makasih, Pak!Djenaka perhatikan pria itu berjalan meninggalkan mobil. Sekarang mereka benar-benar sendirian. Tanpa suara radio Djenaka nyaris bisa mendengar degup jantungnya sendiri bersahutan dengan tarikan napas Roro.Akhirnya ia menyerah pada godaan untuk menoleh. Ia menghidu lebih banyak wangi Roro yang manis. Lalu mengamati rambut hitamnya. Dengan hati-hati ia singkirkan helai rambut dari kening Roro. Pria itu meringis saat melihat memar merah Roro mulai berubah kebiruan.Kenapa gue kesel dituduh hamilin cewek gue sendiri—yang mana sosoknya pun nggak ada. Astaga! Sampai memar dahi anak orang.Anak orang? Lo anak siapa, Ros? Apa bahkan lo kenal orang yang udah buang lo ke panti?Djenaka mendorong wajahnya sendiri lebih dekat hanya untuk menguji seberapa waras ia jika berdua saja dengan Roro. Roro hanya wanita biasa, paling biasa dari seluruh wanita yang ia kenal terlepas dari wajahnya yang ayu. Badan Roro terlalu kurus, matanya yang bulat mendominasi wajah berbentuk hati yang mungil. Bibir Roro pun mungil ketika diam seperti ini.Lo enggak makan yang bener sih, makanya disentil gini doang udah memar. Rapuh banget badan lo. Gimana ntar kalo-Djenaka langsung menghentikan pikiran liarnya. Membayangkan Roro bercinta dengan kekasihnya kemudian memar keesokan harinya buat Djenaka mual.Kondisikan pikiran lo, Dje!Setelah yakin dengan penguasaan dirinya menghadapi Roro, Djenaka kembali merunduk ke arah wanita itu untuk membangunkannya tapi... seseorang dalam dirinya mengkhianati akal sehat yang ia bangun beberapa menit terakhir, ia tak dapat menahan bibirnya yang bergerak menyentuh samar kening Roro.Gila! Gue lakuin juga. Astaghfirullah...!Rupanya geraman Djenaka yang berhasil membangunkan Roro. Wanita itu terkejut mendapati dirinya bersandar pada Djenaka, ia segera menarik tubuhnya mundur dan meminta maaf, “harusnya Mas Djena bangunin aku. Sentil aja keningku lagi.”Djenaka berlagak memijat pundaknya yang pegal, “jidat udah memar gitu.”“Maaf ya, Mas. Pundak kamu sampai pegel gini, pasti aku tidurnya lama ya?”“Nggak usah dipikirin,” Djenaka membuka pintu lalu turun, “nggak lama kok.”Roro turun dari pintu yang lain, buru-buru menjajari pria itu. “Sekarang aku udah seger kok. Siap belajar maintenance.”“Bagus.”“Oh, makasih ya buat canvasing hari ini. Kalau nggak ada Mas Djena pasti aku udah diusir satpam.”Sementara itu ponselnya ramai sendiri di dalam saku, ia duduk di balik meja, menunggu Roro datang dengan persiapannya sambil membuka grup obrolan keluarga. Keluarga Ceria. Ia tahu dirinya yang sudah kepala tiga ini masih menjadi bulan-bulanan hanya karena ia paling bungsu dan belum menikah.‘Diem-diem adek punya calon!’ -Mama(Mama mengirim foto di grup Keluarga Ceria)‘Wih, udah tidur-tidur di pundak segala, Ma. Dibiarin bisa kebablasan tuh Adek!’ – Chanda‘Nggak boleh gitu, Mas Chanda. Anak Mama baik semua. Insyallah.’ -Mama‘Kenalin dong, Dek. Cakep tuh.’ -Ria‘Udah Mama suruh bawa ke rumah, tapi adek takut calonnya kita jutekin, Mba Ria.’ -Mama‘Calon dokter pilihan aku patah hati dong, Ma.’ -Risma‘Eh, tapi itu kalungnya beneran?’ -RismaChatting di grup keluarga yang super heboh itu sunyi seketika setelah Risma—istri Mas Chanda—melingkari bentuk liontin di leher Roro. Djenaka yang mulanya senyum sendiri membaca percakapan sok tahu mereka pun kehilangan senyumnya karena ke-jeli-an kakak iparnya.“Mas, aku udah siap.” Roro mengumumkan, ia berdiri di seberang meja dengan buku catatannya. Dan senyum manis yang rupanya Djenaka sukai.Djenaka menahan bibirnya agar tak tertular senyum pembawa energi positif itu, “ambil bangku, duduk di sebelah gue!”Jadi seperti itulah pekerjaan Roro, selalu ada Djenaka di belakangnya.  Bagian : 3“Karena besok udah puasa hari ini kita puas-puasin makannya.” Ucap Kaka di meja makan saat mereka menanti Djenaka yang sedang dalam perjalanan dari bandara. Pramusaji mulai menghidangkan satu per satu makanan yang mereka pesan dengan sesuka hati dan Pandji bayar dengan ikhlas hati pula.Hari ini Pandji mengundang tim Djenaka untuk makan bersama sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras tim mereka. Selain itu Pandji memang terlalu akrab dengan ‘A-Team’ tersebut ketimbang lainnya. Pandji senang berdiskusi hal penting dengan Djenaka yang bijak. Juga mendapatkan lawan sebanding dalam hal wanita dan ‘selangkangan mereka' dengan Riang dan Kaka. Selain itu Pandji juga suka sekali membuat Kumala repot dengan urusan-urusan tidak penting semata demi hiburan karena tunangan Pandji berada terlalu jauh.“Halah, yang puasa di tim kita kan cuma Kumal sama Bang Dje.” Timpal Riang nyinyir. “Pak Pandji puasanya kalau inget aja ya kan, Pak?”Mendengar itu Roro pun berdecak kagum, bukan perkara Pandji tentu saja tapi soal seniornya yang baik, “serius? Mas Djena puasa?”“Enggak pernah bolong, alim dia mah.” Tambah Riang dengan bangga.“Yang puasa siapa, yang bangga siapa ya, Yang.” Sahut Pandji tidak kalah nyinyir dan Riang hanya nyengir selebar-lebarnya.Setelah mendengar kisah itu Roro makin kesulitan mencari cela seniornya. Pandai, kharismatik, peduli, dan religius walau berkubang di tim penuh godaan syaitan.“Ngomong-ngomong kok Mas Djena belum sampai ya?” tanya Kumala setelah melihat jam.“Udah laper lo ya!” tuduh Pandji.“Ya, iya dong, Pak. Hahaha!”Djenaka memanggil...Layar ponsel Pandji berkedip tepat di saat ia akan menghubungi pria itu. “Panjang umur nih orang.”Dari kejauhan Roro menyahut pelan, “amin...”“Di mana lo?” tanya Pandji pada Djenaka setelah melirik sekilas pada Roro.“Gue udah di pintu masuk, lo di meja-“ Djenaka melihat Pandji melambaikan tangan ke arahnya, “oke”. Setelah menutup telepon, Djenaka menoleh pada seseorang yang ia bawa, “anak-anak di sana, Pak. Mari!”Roro memalingkan wajah mengikuti arah lambaian tangan Pandji. Di sana ia menemukan pria yang dikaguminya setengah mati. Tanpa disadari bibirnya tersenyum sendiri dengan pandangan terus mengikuti Djenaka yang mendekat, hingga gerutuan Kumala menyadarkannya.“Aduh! Kenapa Big Boss ikut juga sih?!”Roro mengerjap, “Big boss?”“Anjir! Pak GM.” Kaka ikut bergumam.Riang berbisik panik, “Siapa yang undang woy?”Semua mata tertuju pada Pandji tanpa kata-kata. Sontak Pandji menyangkal, “bukan gue.”“Kalian kenapa pada panik sih? Pak GM nggak bakal ambil jatah makan kita.” Tanya Roro bingung.“Emang enggak, Ro-“ gumam Kumala lagi, “lebih dari itu dia ambil kebebasan kita malam ini.”“Ya kali lo mau curhat masalah per-ngewe-an di depan dia.” Sambung Riang ketus.Kumala melotot dan menegur Riang, “sekali pun enggak ada Pak GM, aku juga nggak bakal bahas topik sesensitif itu.”Yang dibicarakan tiba di meja, memandangi mereka satu per satu, sempat terhenti di wajah Kumala sedikit lebih lama sebelum berkata, “kayanya saya ganggu?”Serentak mereka sahut-menyahut, menyampaikan ketidakberatan hanya karena ketambahan satu orang. Bahkan Riang dengan sigap meminta satu kursi tambahan pada pelayan setelah memberikan kursinya sendiri pada Erlangga. Pria paling busuk adalah Riang!Pandji tersenyum miring setelah Erlangga duduk di sisinya, “anak-anak kaget lihat lo bareng Djena. Mereka jadi nggak bisa buka-bukaan aib.”Beberapa wajah tampak salah tingkah. “Ah, Pak Pandji ngarang aja.”“Oh, nggak masalah,” Erlangga bersandar santai ke belakang, “santai saja. Di luar kantor kita bukan lagi atasan dan bawahan, jadi jangan bicarakan pekerjaan. Kita ngobrol yang lain saja.”“Tapi kayanya obrolan kita nggak nyampe deh dengan levelnya Pak GM,” tiba-tiba saja Kumala bersuara dan seketika meja menjadi hening. Kumala bingung karena semua orang seakan memalingkan wajah darinya kecuali ‘Pak GM’.“Memangnya level saya seperti apa?” tanya Erlangga.“Em...” Kumala memandangi teman-temannya sekali lagi namun mereka semua tidak tampak seperti ingin membantunya, “Pak Erlangga mungkin ngobrolin gosip di tingkat manajemen. Atau indeks saham. Atau private jet. Atau...” wajah Kumala memanas, yakin dirinya sudah melakukan kesalahan.“Terus...” ucap Erlangga ramah, “kalau kamu? Apa yang kamu obrolin biasanya?”Roro nyaris dapat melihat setetes keringat di kening Kumala yang tetap mempertahankan senyum.“Saya sama Roro ngobrolin mousse green tea, Pak.” Jawab Kumala apa adanya, “receh banget kan.”Erlangga melirik cepat ke arah dessert di tangan Kumala, “saya jadi tertarik sama mousse green tea. Kayanya kita bisa ngobrol.”“...” ajakan itu disambut hening. Semua orang seolah punya kesibukan sendiri kecuali Pandji yang menikmati pertunjukan kecil itu.“Janganlah, Pak. Bapak lanjut aja ngobrol sama Pak Pandji dan Mas Djena. Mousse green tea-nya dimakan aja.”“Itu artinya menurut kamu otak saya enggak cukup pintar untuk mengenal mousse green tea ya?”“...” Kumala terdiam lagi, makin diam makin pucat.Dan seperti biasa Pandji muncul bak super hero. “Udahlah, Mal. Pak GM kalau udah ada mau pasti dikejar terus sampai dapat. Mending lo sini, presentasiin tuh ijo-ijo sampai dia puas.”Kumala mendapat dukungan moril dari Kaka dan Riang yang sebenarnya bahagia. Bahkan Kaka menukar tempat duduknya dengan senang hati pada Kumala. Melihat semua itu, Djenaka hanya menggeleng pelan sebelum membasahi tenggorokannya dengan soda. Barulah ia mencoba untuk pertama kalinya melihat ke arah Roro. Wanita yang sudah ia tinggalkan beberapa hari ini, membuatnya cemas di sana sehingga mengharuskan wanita itu memberi laporan setiap saat mengenai pekerjaan. Deg! Satu hentakan terasa di jantung Djenaka saat melihat wajah itu lagi, seperti melihat genangan air di tengah padang pasir.Djenaka tidak memperhatikan Roro dengan saksama namun ia tahu bahwa wanita itu berdandan lebih dari biasanya. Atau sebenarnya selama enggak ada gue justru dia dandan? Tatapan Djenaka membeku saat melihat jari-jari kurus Roro diwarnai dengan warna merah di bagian kuku. Tanpa sadar ia meremas gelasnya dengan lebih kuat sebelum memalingkan wajah dan mendengus jijik. Roro melirik kukunya yang diwarna merah berani sambil meredam darahnya yang bergemuruh penuh semangat. Sebagai seorang wanita, Roro juga menyimpan hal-hal feminin dan seksi di balik penampilan polosnya. Ia menyukai warna merah yang membuatnya lebih menarik. Ia juga punya setidaknya satu set lingerie berwarna sama yang ia beli karena terlihat indah di manekin namun belum ia kenakan sama sekali.Hari ini ia ingin terlihat menarik setidaknya untuk diri sendiri setelah menepis keinginan untuk membuat Djenaka melirik sedikit ke arahnya. Entah kenapa semalam muncul keinginan untuk berdandan lebih setelah mengetahui bahwa pria itu akan pulang. Tapi untuk apa ia berusaha memesona pria yang tidak tertarik padanya? Walau demikian ia masih merasakan getar gugup saat Djenaka tiba.Tapi Djenaka tak sekalipun menoleh ke arahnya atau mencari di mana dirinya duduk, padahal ia menyapa Kaka dan Riang. Setelah duduk Djenaka langsung akrab dengan Pandji bahkan ikut memberi perhatian pada Kumala yang sedang berusaha menjelaskan semangkok mousse rasa green tea. Roro mengalihkan rasa damba akan Kumala yang menjadi pusat perhatian semua orang penting. Bahkan orang yang penting di hati Roro—seniornya.“Sekarang lo presentasi ke gue soal mousse rasa coklat di tangan lo itu.”Roro terkejut. Tidak biasanya Kaka peduli. Ada angin apa pria itu bersikap manis? Roro pun tersenyum tipis ke arah mousse coklatnya. “Aku gapapa kok, Ka. Mba Mala emang manis kalau lagi dikerjain kaya gitu. Jawabannya bisa ajaib semua saking polosnya.”“Tapi lo juga manis malam ini.”Roro menangkup pipinya yang tiba-tiba kebas, “apaan sih!”“Semangat ya, Ro. Emang butuh usaha lebih untuk menyadarkan cowok nggak peka.”Roro mengerjap makin bingung, “’cowok nggak peka’ siapa maksud kamu, Ka?”“Ah! Nggak perlu berlagak bodoh, Ro. Bodoh lo udah natural.”“Astaga, Tuhan! Jahat banget mulutnya.” Roro menusuk lengan berotot Kaka dengan ujung jarinya.Kaka langsung menangkap tangan Roro seraya menatap lurus ke dalam matanya, “yuk! kita bakar orang nggak peka itu.”“Apanya yang mau ‘dibakar’ kalau dasarnya udah nggak peka, Ka.” Roro terpancing juga. Ia akui walau dalam hati bahwa ada motif Djenaka di balik alasannya sedikit berdandan.Kaka menarik secarik tisu lalu menyeka ujung bibir Roro, “yah, namanya juga ‘coba’, Ro.”Roro langsung menepis tangan Kaka, “ini ngapain sih!” saat mencoba melirik ke arah Djenaka, Roro hanya mendapat kecewa karena ‘pertunjukan’ kecilnya barusan tidak berhasil mendapatkan atensi Djenaka.Ketika sedang asyik makan sambil bergosip dengan Riang dan Kaka, Roro terkejut karena tiba-tiba saja Djenaka bergabung dengan kelompok kecil mereka. Di meja itu terbentuk semacam penggambaran masa depan yang kontras. Kelompok Erlangga dengan masa depan supernya, dan kelompok Roro yang masa depannya masih belum diketahui. Jadi kenapa Djenaka memilih berada di tim-masa-depan-tidak-pasti?“Mas!” sapa Roro dengan senyum lega yang tak mampu ia tahan, “kamu sehat?”“Lo ngarep gue sakit?” balas Djenaka datar, kemudian ia menyendok sepotong wortel, “sayangnya gue terlalu kuat.”“Oh, bukan gitu maksud aku, Mas. Kan kamu di sana sendirian, kerja terus-menerus, aku takut kamu drop.”“Terus kalau gue drop, lo bisa apa?”“...” Roro juga belum kepikiran.“Cuma bilang ‘GWS’ kan?”Sejujurnya memang ia hanya bisa memberi dukungan jarak jauh. Bahkan jika seniornya sakit di sini pun akan ia kunjungi jika temannya berinisiatif.“Itulah kenapa gue enggak pernah bisa basa-basi. Mending diam aja.” Tambah Djenaka lagi.Sikap Djenaka tepat seperti ‘mulut’-nya. Pria itu jarang mengucapkan sesuatu yang enak didengar akan tetapi aksinya lebih nyata ketimbang mereka yang banyak bicara. Sekarang Roro agak malu karena sudah berbasa-basi dengan orang yang salah.Tapi, aku memang mengkhawatirkannya. Kalau boleh jujur aku juga rindu setelah lima hari kami tak bertemu. Tapi lebih mudah menanyakan kabar ketimbang mengakui sebuah rasa.“Andai memang Mas Djena sakit dan butuh bantuanku, aku pasti datang.”“Omong kosong lain.”Kesal dengan sikap Djenaka yang tidak bisa didekati tapi malah mendekat, Roro balik bertanya, “Mas Djena maunya Roro gimana? Bilang aja, aku lakuin.”“Serius lo mau lakuin?” tanya Djenaka ke dalam mata lebar Roro.Tiba-tiba saja Roro merasa adanya peringatan dalam suara Djenaka, pipi wanita itu memerah sampai telinga, dan dengan bijak ia menarik diri.“Kepitingnya enak, kan?” ia langsung kembali pada Riang yang sedang menggigit-gigit cangkang hewan krustasea itu.“Untung lo pesen yang kare. Eh, lagi dong!” Riang menyodorkan piringnya ke arah Roro.Roro membantu Riang dengan semangat berlebihan hanya demi mengabaikan pria di sisinya. Setelah itu ia menikmati kepitingnya sendiri, menjilati tetesan bumbu kare yang mengalir di jari-jarinya. Tapi kemudian Djenaka menangkap pergelangan tangannya, “lo apaan sih!”“Aku salah apa lagi, Mas?” tanya Roro bingung.“Lo jorok tahu nggak, jilatin jari kaya gitu.”“Riang sama Kaka juga, ya emang gini cara makannya.”“Lo bukan mereka. Lo itu cewek.” Djenaka melepaskan genggamannya, “lagian kenapa lo pake warna ini?”Wanita itu langsung mendongak, nada jijik Djenaka sudah keterlaluan. “Aku suka warna ini.”“Mungkin lo harus lebih hati-hati ketika menyukai sesuatu. Warna ini buat lo kelihatan kaya cewek nakal.”Roro sakit hati karena Djenaka baru saja mengkritik seleranya. Walau demikian protes Djenaka tak akan mengubah apa yang ia sukai atau tidak. Ia tetap mencintai warna merah pada kukunya. Dan untung aja aku enggak sepenuhnya dandan untuk dia. Djenaka tahu dirinya sudah bersikap keterlaluan. Biasanya lebih mudah mengabaikan alih-alih mengoreksi pribadi orang lain namun... kali ini ia gagal. Dengan Roro ia gagal total.Djenaka mudah untuk tidak peduli pada wanita yang berusaha menarik perhatian mengandalkan penampilan mereka. Entah kenapa pada Roro lidahnya seringan angin, mungkin karena ia terbiasa melanggar batas privasi wanita itu. Sekarang ia menyesal namun tak tahu bagaimana caranya meminta maaf. Karena sekali lagi, ia terganggu oleh warna kuku Roro.Seharusnya ia sudah tahu bahwa Roro tidak elegan. Semua yang melekat di tubuhnya bukan barang mahal apalagi mewah. Terkadang norak seperti warna kukunya malam ini—andai kulit Roro tidak putih bersih, mungkin Roro persis seperti mereka yang berdiri di pinggir jalan menanti penawar jasa. Tapi seharusnya, bagaimana pun Roro terlihat itu bukan urusannya, jadi kenapa ia kesal?Ia tahu Roro marah, terlihat dari cara wanita itu menggenggam gelasnya yang bisa pecah kapan saja. Alih-alih cemas, Djenaka merasa gerah melihat jari-jari Roro melingkari gelas dengan kuku-kuku merah berani yang seolah sedang menantang libidonya yang sudah lama tidur.Ternyata itu sebabnya! Korelasi antara kuku Roro dengan libido Djenaka. Kok bisa!Sisa malam dilalui keduanya seperti orang asing tak saling kenal. Roro hanya bercakap-cakap dengan Riang dan Kaka sementara Djenaka lebih banyak diam walau berada dalam satu lingkaran. Mengamati orang-orang dalam diam ia mendapati bahwa Erlangga ingin berlama-lama dengan Kumala. Di balik sikap elegan dan berwibawanya, Djenaka mengendus aroma modus seorang pria yang ingin mendapatkan wanitanya. Sebaliknya, Kumala sudah ingin pingsan saja meladeni atasannya.Selain itu, dalam diam ia juga menandai tangan Kaka yang lebih dari sekali menyentuh Roro. Pria itu seperti mengambil kesempatan dari seorang wanita polos, bermain-main, kemudian mencampakannya. Ia sudah berusaha menegur pria itu melalui tatapan tak sukanya, dan ia yakin Kaka juga tahu itu tapi... Kaka seakan tak peduli.Malam baru berakhir setelah akhirnya Erlangga berhasil mengajak Kumala pulang. Dengan begitu Roro pun berpamitan pulang bersama motor Beat mungilnya.“Bang, jangan balik dulu,” Riang menahan Djenaka yang juga hendak pulang, “diajak Pak Pandji open table berempat.”“Oh!” Djenaka mempertimbangkan ajakan itu seraya melihat Roro yang berjalan sendirian ke luar. “Gue absen. Capek banget. Mana besok puasa.”“Yah, nggak asyik lo, Bang!”“Gue balik. Bye!”Djenaka tidak berlari namun langkahnya panjang dan tegas. Tujuannya hanya satu. Wanita. Bukan sembarang wanita melainkan wanita berkuku merah yang membuatnya marah.Ia merasa beruntung karena berhasil mencapai motor saat Roro baru saja mengenakan helm. Ia menyita kunci motor Roro dalam genggamnya.Mas?! tegur Roro tak senang.Udah tengah malam. Bahaya naik motor sendiri.Biasanya juga naik motor, Mas Djena...Dengan kuku merah kaya gitu? Tengah malam kaya gini? Kalau diperkosa orang gimana? Lebih buruk lagi dirampok, diperkosa, dibunuh, dibuang. Gimana?Kan bukan urusan Mas Djena-Lo itu jadi urusan gue. Diem di sini!Djenaka mencari security untuk menitipkan mobilnya kemudian dengan tubuhnya yang besar ia geser Roro yang mungil ke belakang.Roro bengong melihat tingkah absurd seniornya, “kami ngapain, Mas?”“Anter lo pulang.” Djenaka duduk di atas motor, “naik!”“Nggak perlu, astaga...! Aku bisa pulang sendiri.” Ia berusaha menarik lengan Djenaka, “kamu itu capek habis dari luar kota, mending pulang aja sana. Istirahat biar bisa bangun sahur. Biar puasanya kuat.”“Gue kuat walau nggak sahur. Lo pikir gue anak-anak?”“Ya udah terserah. Kamu minggir, Roro mau balik. Udah ngantuk.”“Ya udah naik sini! Banyak omong!”“Aku mau pulang sendiri, Mas Djena...” Rengek Roro dengan gemas seperti anak kecil. “Oke, pekerjaan aku emang tanggung jawab kamu. Tapi ini urusan aku-"Lo ada di resto itu dalam rangka kerja, kan? Bukan kencan. Itu juga yang buat gue nggak habis pikir, kenapa lo pilih warna merah.Mas, warna kuku aku kan urusan aku. Kenapa ngatur sih? Lagian kenapa emangnya kalau aku terlihat seperti cewek nakal? tantang Roro yang belum dewasa.Oh, lo pengen digodain cowok hidung belang di luaran sana ya?... Roro hanya diam dengan sorot mata melawan.Daripada lo dirampok, diperkosa, dan dibunuh orang gak dikenal. Mending gue yang perkosa lo, seenggaknya gue nggak akan rampok dan bunuh lo.Walau terenyak ngeri, Roro berhasil menutupi reaksi tubuhnya yang gemetar dengan marah-marah, Perkosa juga tindak kriminal, Mas.Ya udah laporin gue ke polisi.Lantas Roro membuang muka. Kenapa juga ia harus berada dalam situasi ini. Ia hampir menjerit saat pundaknya ditarik, Djenaka mengulurkan tangan untuk melepas helm Roro.Gue yang pakai ini.”Ada sedikit rasa senang yang Roro sembunyikan sewaktu naik ke jok penumpang motornya sendiri. Ia memberi jarak pada tubuh mereka agar tidak menempel. Akan tetapi sesuatu terjadi saat Djenaka menarik gas. Motornya menghentak, keduanya terdiam bersama.“Mas, kamu bisa kendarai matic?”“Bisa, gas-rem doang kan.”“Ta-, tapi kamu pernah nyetir motor matic?”“...” Djenaka tidak menjawab, ia menjalankan motor yang mereka tumpangi dengan sangat hati-hati.Akan tetapi diamnya Djenaka buat Roro semakin tidak tenang karena nyawa mereka taruhannya. “Mas, biar aku aja yang nyetir.”“Gue bisa.”“Yesus selamatkan kami!” Roro pun mulai bergumam di punggung Djenaka, “Bapa kami yang ada di surga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga...”“Doanya nyelamatin lo doang?” goda Djenaka yang sudah mulai terbiasa dengan motor matic.“Doain kita berdua, tapi kalau Mas Djena nggak yakin, boleh berdoa sendiri.”“Sekarang ikutin gue, Subhaanalladzi-“Roro mematuhi, “Subhaanalladzi-, eh tapi ngapain, Mas?”“Udah ikutin aja, siapa tahu kita kecelakaan, lo masuk surganya bareng gue. Daripada sendirian di surga lo.”“Ye, nggak gitu!”“Udah, ikutin ya, keburu mati kita. Subhaanalladzi-““Subhaanalladzi-““lana hadza-““lana hadza-“Djenaka mendikte dan Roro mengikuti hingga usai.“Amin...!”Doa terbukti mengantarkan mereka dengan aman dan selamat sampai di kosan Roro yang jauh. Djenaka berniat menutup test drive-nya dengan menarik kedua tuas rem semantap mungkin, tapi tubuhnya justru tersentak ke depan menghantam badan motor. Dan dari belakang Roro turut menghantam punggung Djenaka dengan bagian depan tubuhnya kuat-kuat.“Ah!” pekik Roro pelan sambil turun dari motornya. Kedua payudaranya nyeri setelah bertumbukan dengan punggung Djenaka yang keras.“Lo gapapa?” Djenaka lumayan panik karena hantaman tadi begitu keras dan tiba-tiba. Ia sendiri sedang menahan sakit.Roro tak menjawab, wanita itu menyilangkan kedua tangan di dada lalu berbalik membelakangi Djenaka, “aduh...”Pria itu menyentuh pundak Roro yang agak membungkuk, “mana yang sakit, Ros? Biar gue lihat!”Seketika Roro menggeleng cepat, “enggak usah, Mas.”“Elo itu kurus, ringkih. Pasti memar lagi. Sini biar gue lihat!” Djenaka berhasil menangkup wajah Roro dan memeriksanya.“Bukan di muka Roro, Mas!” Roro menggeliat membebaskan wajahnya dari kedua tangan Djenaka. “Di sini.” Bisiknya malu-malu kesal sambil mengedikan bahu.Djenaka mengerjap, perlahan ia rasakan pipinya menghangat, “oh!”“Udah, Mas Djena pesen ojek terus pulang.” Roro salah tingkah saat mengusir pria itu.Djenaka menatap kedua tangan Roro yang menyilang di dada lalu kembali ke wajahnya yang awas, “lo masuk duluan!”Wanita itu menghela napas lelah, “kamu nggak mau dibantah, kan?”Djenaka menjawab dengan tidak merespon sama sekali sehingga akhirnya Roro berpamitan sambil mendorong motornya menuju parkiran. Djenaka mengawasi hingga ke depan kamar. Mau tak mau ia mengamati tempat tinggal Roro. Sebuah indekos yang jauh dari kantor, ukurannya kecil, agak kumuh, dan heterogen. Setelah melihat tetangga kamar wanita itu merokok di depan kamar pada pukul satu pagi, Djenaka pun semakin yakin jika dandanan Roro salah.Tapi Roro tidak peduli sama sekali dengan penilaian Djenaka, ia menyapa Pak Rasdi sambil lalu kemudian masuk ke dalam kamar. Roro mengintip melalui jendela dari dalam kamar kos, agak resah karena Djenaka belum juga meninggalkan indekosnya. Mungkin enggak dapat ojek online. Pikir Roro lagi.Ia pun menjauh dari pintu, menarik lepas pita yang membelenggu rambutnya seharian lalu melepas kancing kemeja teratasnya. Setelah berganti pakaian akan ia datangi Djenaka dan menemaninya hingga mendapat kendaraan. Akan tetapi ia mendengar pintu diketuk lirih dari luar, apakah Djenaka akhirnya ingin mengatakan sesuatu?Atau jangan-jangan dia mau perkosa aku!!!Roro membuka pintu dengan hati-hati tapi bukan Djenaka yang ia dapati melainkan Pak Rasdi yang sedang merokok di depan kamarnya tadi, mau ngapain dia malam-malam?Mba Roro, pria itu melirik ke dalam kamar Roro, boleh minta minum? Saya mau ambil minum ke kamar takut bangunin istri.Roro menepis pikiran negatifnya karena selama ini tetangga kamarnya itu selalu sopan. Oh, sebentar ya, Pak.Selagi Roro berbalik mencari gelas lalu menuangkan air. Saat juga ia mendengar suara Djenaka.Yang!Siapa? Ada Riang ya?Ia berbalik dengan cepat untuk memastikan suara yang ia dengar betul-betul milik Djenaka. Dan benar, pria itu berdiri di sisi Pak Rasdi dengan helm di tangan—oh ya, Roro lupa mengambil helmnya. Pria itu menatap Pak Rasdi seperti sedang menantang berkelahi, padahal Pak Rasdi mengurai senyum sopan dan ramah.Siapa ini, Yang?Roro tertegun, demi apa dia panggil aku ‘sayang’?Bapak siapa? tanya Djenaka dengan nada tidak suka yang diperjelas saat Roro masih diam melongo, kenapa ganggu pacar saya tengah malam?Roro lebih tertegun lagi, demi apa juga dia mengaku sebagai pacarku?Ia menemukan jawaban pada senyum Pak Rasdi yang menjadi kering, tampak tak enak hati sudah mengetuk kamar Roro malam-malam di saat kekasih-nya ada di sini.Maaf banget ya, Mas. Bukan bermaksud apa-apa  Saya cuma mau minta minum. Saya lihat lampu kamar Mba Roro masih menyala jadi saya ketuk."Emangnya di kamar lo nggak ada? Kenapa minta minum pacar saya? Ini dini hari. Tahu?!Mas... tegur Roro pelan. Terpaksa ia letakkan gelas ke atas meja lalu menyentuh lengan Djenaka untuk menenangkannya. Ia tak ingin Djenaka membuat keributan di waktu seperti ini dan membangunkan seluruh tetangga kamarnya.Kamu juga! ia beralih menghardik Roro hingga wanita itu mengerut takut, kenapa dibukain pintunya? Ini sudah malam. Kamu tuh cewek.Kenapa urusannya jadi begini? Aku-Sana!” Djenaka mengibaskan tangan mengusir pria itu, balik ke kamar lo. Nggak ada minum di sini.Berkat Djenaka, pria itu beranjak dari pintu kamar Roro dengan menggumam maaf sekali lagi dan tanpa minum. Akan lebih baik jika Pak Rasdi membangunkan istrinya daripada bersikap tidak sopan dengan mengetuk pintu kamar lawan jenis pada jam-jam tidak pantas seperti ini.Akan tetapi campur tangan seniornya pun tidak ia butuhkan. Roro sudah siap berdebat karena pria itu kelewat batas terutama malam ini. Roro muak. Apa maksudnya berpura-pura menjadi kekasih dan membuat hubungan dengan tetangganya menjadi canggung? Bagaimana ia harus menghadapi Pak Rasdi dan istrinya besok-besok?Namun bukan Djenaka Adidaya jika tidak siap mengungguli Roro. Sebelum wanita itu protes, Djenaka memarahinya lebih dulu.Kenapa lampu nggak dipadamin?"Ya karena aku belum selesai. Aku masih ganti baju dan hapus make up. Roro bingung sendiri, kenapa juga ia harus memberi jawaban dan bukannya menuntut alasan pria itu ada di sini. Iaa melipat tangan di dada, agak meringis saat balik bertanya, “kenapa Mas masih di sini?”Djenaka diam dengan tatapan yang mengatakan ‘lo nggak berhak ajukan pertanyaan’, setelah itu ia memerintah Roro tanpa mengacuhkannya tuntutannya, Ya udah, cepetan! Kunci pintunya. Jangan buka pintu ini sampai besok pagi.Terus kalau aku mau pipis gimana? Cuci muka, gosok gigi juga belum. Entah kenapa Roro lebih ingin membangkang alih-alih mengusir pria itu pulang.Cepetan sekarang!Kamu pulang aja sana! Ini udah nggak ada hubungannya sama kerjaan. Ia memberanikan diri melotot pada Djenaka walau tulang dalam tubuhnya gemetar, “aku nggak bakal sopan sama Mas Djena. Mas udah melanggar privasi aku.”Pria itu mengangguk, sudut matanya melihat pergerakan Pak Rasdi di luar sana, pura-pura merokok padahal sedang menguping. Djenaka pun memutar otak cerdasnya.Aku juga nggak bakal ke mana-mana sebelum kamu pipis. Buruan ke kamar mandi, aku tunggu sini. Djenaka melipat tangan lalu duduk di ranjang Roro yang keras dan rendah.Kalau aku nggak mau? Roro ikut melipat tangan menirukan Djenaka. Dia harus tahu kalau aku yang berkuasa di sini.Ya udah, Djenaka merebahkan punggungnya di atas ranjang sempit Roro, "aku tidur di sini.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan