Get My Lady Back Chapter 8: Ini Chapter Sedih

44
24
Deskripsi

Bahkan, untuk pertama kalinya sejak putus, Sephia menghubungi Jerome karena ia tidak punya nomor kontak keluarga Stephen.

"Kemarin kita dan dosen kamu udah berusaha lacak lokasi nomor handphone dan mobilnya. Ketemu di dekat warung kelontong sekitar jembatan arah ke luar kota. Kata penjaga warungnya yang punya mobil itu sempat beli rokok tapi nggak kembali ke mobil. Ada yang lihat dia jalan ke arah jembatan. Kita nggak mau mikir yang jelek tapi kita sudah minta bantuan warga di bantaran untuk melapor...

"All, gimana Pak Stephen? Sudah kasih feedback?"

Ally menggeleng, "belum, Fan. Aku hubungi sejak kemarin pagi tapi hapenya mati. Whatsapp atau telepon biasa nggak aktif semua."

"Tanya Pak Danu sana. Aku nggak suka nungguin yang nggak pasti." Perintah Irfan yang sedang sibuk dengan komputernya.

Ally bersedekap malas alih-alih bergegas ke ruang Danuarta. "Kenapa nggak kamu aja yang tanya? Kamu merasa bos di sini?"

Telunjuk di atas mouse berhenti bergerak, sedetik kemudian kepala Irfan menoleh ke arah Ally dengan wajah angker–datar, dingin, menyeramkan. Ally berjuang agar dirinya tidak gentar, ia harap wajahnya cukup meyakinkan.

"Bos atau bukan, hubungan dengan klien memang tugas kamu. Kalau kamu profesional, kata 'nggak bisa' atau 'nggak tahu' nggak akan keluar dari mulut kamu. Dan kalau sampai aku yang cari tahu sendiri itu artinya kamu sudah nggak diperlukan lagi di proyek ini." Ketika Ally tak bergerak dari posisinya, Irfan melengos kembali ke layar monitor sambil berkata, "oke, setelah kerjaan ini selesai. Aku cari sendiri."

Ally memang tak membalas ucapan Irfan satu kata pun, namun ia menuruti kemauan pemuda itu meski sambil mengadu alas sepatunya keras-keras di permukaan ubin ketika berjalan pergi.

Sementara itu Irfan tidak tahu apa yang sedang diperhatikannya. Layar monitor tampak buram saat ia memikirkan hal lain. Ia sadar, pikirannya jarang bisa tetap pada jalurnya sejak bekerjasama dengan perempuan pemarah itu.

"Harus ganti partner nih," gumam Irfan sambil menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan.
 

"Jangan-jangan udah mati lagi!" Seperti biasa mulut Ally selalu pedas, entah menggumam, menggerutu, atau berteriak lantang. Ia menempelkan gawainya sekali lagi di telinga hanya untuk mendapati suara operator. "Argh!"

"Siapa mati, All?" tanya Sephia yang mejanya didatangi Ally.

"Klien kita," jawab Ally, "mantan kamu. Dari kemarin pagi nomornya nggak aktif. Dia ke mana ya? Kamu tahu nggak?"

Sephia menatap wajah Ally, kerut di dahinya menyatakan ketidaksukaannya terhadap ucapan sang sahabat. Dengan nada dingin dan rendah ia menegur, "Bercandanya jangan begitu, All."

Ally menggigit lidahnya yang lancang, meski tidak meminta maaf namun raut wajahnya menunjukkan penyesalan. Ia tahu Sephia mengerti maksudnya. "Kira-kira kamu tahu, nggak?" tanya Ally dengan nada lemah sarat akan rasa bersalah. "Partnerku yang sialan itu ngancem keluarkan aku dari proyek ini kalau nggak bisa handle Stephen."

Sephia kesulitan menelan saliva. Setiap hari, dalam setiap tarikan napasnya ia berusaha menghapus segala tentang Stephen. Dan cobaan atas pertunangannya dengan Geral adalah pengalihan yang ampuh. Hingga tadi ia masih merenungkan cara menyelamatkan rencana pernikahannya tapi sekarang semua itu buyar.

Ia mencoba menghubungi lewat Whatsapp, mendapati tanggal terakhir mereka berkomunikasi sudah terlalu lama.

'Kak,' -Sephia

Seperti kata Ally, pesan itu tertahan. Ia juga mencoba menelepon nomor selulernya yang langsung disambut operator. Tak kehabisan akal, Sephia menghubungi kenalannya di kantor magang hanya untuk mendapati rasa cemas yang lebih besar.

"Hari Selasa kemarin Lord Stephen pulang lebih awal, sekitar jam tiga atau empat. Waktu itu nomornya masih bisa dihubungi, pesanku juga masih centang dua kok tapi belum dibaca. Sekitar jam enam nomornya sudah nggak aktif, mungkin baterainya habis. Malamnya rekan-rekan coba hubungi lagi tapi tetap sama sampai sekarang."

Bahkan, untuk pertama kalinya sejak putus, Sephia menghubungi Jerome karena ia tidak punya nomor kontak keluarga Stephen.

"Kemarin kita dan dosen kamu udah berusaha lacak lokasi nomor handphone dan mobilnya. Ketemu di dekat warung kelontong sekitar jembatan arah ke luar kota. Kata penjaga warungnya yang punya mobil itu sempat beli rokok tapi nggak kembali ke mobil. Ada yang lihat dia jalan ke arah jembatan. Kita nggak mau mikir yang jelek tapi kita sudah minta bantuan warga di bantaran untuk melapor kalau ada-"

Sephia menjatuhkan gawainya ke atas meja bersamaan dengan tangis yang pecah hingga menarik perhatian orang-orang dari meja lain bahkan ruangan lain. Ally mendekap sahabatnya, dengan tiba-tiba hatinya ikut merasa pilu karena tangis Sephia.

Orang-orang mulai mengerumun dan berbisik tapi bukan hak Ally untuk menjelaskan.

Danuarta menghampiri, tidak repot-repot membubarkan kerumunan. Ia datang untuk membawa Sephia pergi dari kewajiban menjelaskan sikapnya yang mungkin dikira fenomena kesurupan.

"Ayo ikut saya!"

Sephia masih sesenggukan, kesulitan menghentikan tangis serta mengatur napasnya. Ia menatap wajah dosennya yang datar, berharap menemukan jawaban di sana.

*

"Kemarin mobilnya diparkir di sini," kata Danuarta. Ia memarkir mobilnya di pinggir jalan lalu mematikan mesin. "Ayo turun!"

Sephia tidak asing dengan jalan ini. Jalan yang dilalui anjungan pribadi dan sepeda motor kalau ke luar kota. Angkutan umum besar seperti bus tidak lewat sini, hanya mobil angkutan kecil yang menghubungkan antar kecamatan.

Danuarta membeli dua botol air mineral dan satu pak rokok di warung kelontong yang disinggahi Stephen. "Dia beli rokok di sini padahal seingat saya dia sudah berhenti merokok. Itulah sebabnya kata penjaga warung, Stephen beli rokok eceran."

Lalu Danuarta mengarahkan Sephia ke arah jembatan. Berdiri di belakang pagar sambil memandangi air di bawah sana, keruh kecokelatan hingga tak terlihat dasarnya. Sephia meminum air sementara Danuarta menyulut rokoknya. Dosen itu tidak merasa perlu izin Sephia untuk melakukannya.

"Bagaimana perasaan kamu?" tanya Danuarta.

Sephia mencari ke dasar hatinya tapi tak menemukan apa-apa. "Belum tahu. Tadi hanya reaksi spontan."

"Dia berdiri di sini sendirian, mungkin niatnya menghabiskan rokok karena nggak nyaman merokok sambil berkendara. Sampai matahari terbenam. Setelah itu dia sudah tidak terlihat di mana-mana."

Hawa dingin merayapi lengan Sephia di tengah hari yang terik. Sephia tahu, ia sedang dirundung kesedihan. Sebagian otaknya menolak menerima kenyataan, sebagian lagi merana menghadapi kenyataan.

"Dia kenapa ya, Pak?" tanya Sephia, nadanya tertekan dalam, menahan air mata agar tidak muncul.

"Menurut kamu kenapa? Saya pikir kamu lebih tahu."

Lubang hidung Sephia mengembang, air mata sudah benar-benar mengancam. "Dia kan pernah mengalami sesuatu yang lebih parah. Tunangan hamil sama anak buah sendiri tidak hanya menghancurkan pertunangannya tapi juga harga dirinya, kan? Maksud saya, kenapa nggak waktu itu aja dia lakukan ini, kenapa sekarang?"

Danuarta memandangi bagian samping wajah Sephia sejenak sebelum kembali menatap ke bawah. "Kamu pasti tahu jawabannya-" gadis itu menggeleng tegas tanpa kata. Danuarta mengembuskan napas sehingga asap meluncur keluar. "Andai Steph memang pergi ke bawah sana, dan tubuhnya tidak ditemukan karena dimakan buaya. Saya harap kamu tidak menyusulnya, Phia."

"Kenapa bapak berkata begitu? Rasanya nggak tepat untuk bercanda sekarang, Pak."

"Saya…" Danuarta menarik napas dan memandang ke langit, "seperti kehilangan dia. Andai kamu tahu terkadang ada koneksi istimewa antar sahabat, sekarang sudah tidak terasa. Tapi bisa saja saya salah, mungkin perubahan sikap Steph yang membuat saya merasa kehilangan. Kita sama-sama tahu kalau dia mengedepankan logika–loncat dari sini sama sekali bukan keputusan yang akan diambilnya."

"Bukan," Sephia menggeleng, ujung hidungnya merah, mata dan pipinya basah. Ia berbisik lirih, "bukan, pacar saya tidak akan melakukan itu." Semakin kuat penyangkalan, semakin deras air mata Sephia.

Danuarta menuntun gadis itu berbalik, mereka harus kembali. Saat itu ia melirik ke balik pagar, sama sekali tidak terkejut saat tatapannya bertemu dengan seorang pria tua yang duduk di bawah. Sebatang rokok masih menyala di ujung jarinya, mengawasi Danuarta pergi meninggalkan tempatnya.

*

Sephia pasrah ketika pertunangannya dinyatakan gagal. Tak ada semangat untuk memperjuangkan hal itu lagi, alasan baginya untuk membuktikan diri sudah tidak ada. Dia juga sudah tidak perlu malu karena kegagalannya itu.

"Mereka bilang proyeknya mau ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan karena PJ-nya tidak ada."

Di hari berikutnya, kantor mereka menerima berita itu. Proyek pertama mereka terancam gagal. Danuarta tidak bisa mempertaruhkan nasib banyak orang pada 'waktu yang tidak ditentukan'. Ia harus melakukan sesuatu, menghajar atasan Stephen kalau perlu. Tapi kemudian ia mendengar mahasiswinya mengajukan diri.

"Biar saya komunikasikan dulu dengan mereka. Sebenarnya proyek ini adalah kelanjutan dari proposal magang saya. Kurang lebih saya tahu arah ke mana arah rencana Pak Stephen."

"Bagus," Danuarta mengangguk setuju. "Kita datangi mereka."

"Kalau boleh saya juga ikut, Pak," Ally mengajukan diri, "saya negosiator yang bisa diandalkan."

"Tapi Irfan bakal butuh bantuan kamu-"

"Enggak. Dia nggak butuh saya." Jawab Ally yakin tanpa melirik sedikitpun ke wajah Irfan yang sejak tadi hanya memperhatikannya.

Danuarta mengerutkan dahi, curiga memperhatikan keduanya. "Kamu ikut juga, Fan. Tugas kamu tunjukkan sejauh mana proyek ini sudah berjalan dan bagaimana aplikasi ini dikembangkan jika mereka masih ragu. Ally-" ia menoleh pada gadis itu, "kalian berdua adalah tim. Dampingi Irfan."

Wajah panik Ally hanya terarah pada Danuarta saat ia terpaksa mengiyakan. Ally yang berpikir urat malunya sudah putus semua ternyata masih bisa tersipu malu karena seorang pemuda.

-bersambung…



 

Sebuah mobil pickup melaju santai saat memasuki area perumahan. Pria paruh baya di balik kemudi terlihat menikmati perjalanannya sambil melihat-lihat kawasan itu. Sementara pria yang lebih muda di sebelahnya tidak tahu harus bagaimana lagi mengekspresikan rasa terima kasih setelah tawarannya untuk menyetir ditolak.

"Maaf ya, Pak. Saya jadi merepotkan bapak."

"Tidak apa-apa, sekalian saya mau belanja buat isi warung."

"Saya bisa beritahu agen-agen yang murah dan lengkap kalau bapak mau."

"Tapi saya sudah punya langganan yang pemiliknya bolehin saya utang." Pria tua itu terkekeh pelan sebelum senyumnya lenyap digantikan kerut masam. "Saya tidak boleh merepotkan anak-anak saya, Mas. Jika nanti usaha saya ini bangkrut, saya berencana daftar ke panti jompo. Kamu tahu panti jompo yang bagus?"

Pria muda itu langsung tergelak geli, "nggak tahu, Pak. Saya belum cari informasi."

"Mungkin ibu kamu…?"

"Ibu saya tinggal dengan adik dan suaminya, Pak. Dan sepertinya tidak ada rencana pindah ke panti jompo."

Pria tua itu mengangguk dan tersenyum kecil. Memandang nanar ke depan. "Anak-anak saya belum ada yang menikah, Mas. Anak yang pertama geraknya lamban, hidup kayak nggak punya ambisi. Betul, Mas-" ia menegaskan saat pemuda itu terkekeh pelan, "dia baru kerja bulan apa itu, padahal lulus sudah sejak tahun kapan. Sumpah, dalam hati saya gregetan, Mas, tapi saya tahan, saya tidak boleh melukai ego putra saya. Mau jadi apa laki-laki tanpa ego? Bisa-bisa disetir sama istrinya nanti."

Pemuda itu tersenyum maklum, diam-diam sepakat dalam hal maskulinitas, "kalau anak yang bungsu?"

"Anak yang bungsu…" pria itu mengembuskan napas berat, "saya malu ceritakan betapa jahatnya saya… hanya karena dia perempuan." Ia menatap sekilas pemuda di sisinya dengan wajah menyesal.

Pemuda itu mengangguk paham, walau penasaran ia tidak bisa memaksa karena mereka belum lama kenal. Sebaliknya, ia mengarahkan pandangan serong ke kanan dan menunjuk, "Itu rumah saya, Pak. Yang halamannya kotor sekali."

Pria paruh baya itu segera mengarahkan mobilnya ke sana. "Yang ada mobil polisinya itu? Njenengan ini polisi tho?"

Kernyit bingung pemuda itu disela oleh pertanyaan geli yang membuatnya tergelak, "bukan, Pak. Saya juga nggak tahu kenapa ada mobil polisi. Nah-" ia menunjuk ke jalan setapak di balik pagar, pada wanita berumur yang masih tampak segar bugar tapi cemas itu, "itu ibu saya, Pak. Mari saya kenalkan."

Mata tua itu mendadak fokus, pandangannya terbagi antara terpukau dan tidak percaya. "Ibu kamu? Kok masih muda ya? Saya pikir seumuran saya atau lebih tua soalnya kamu kan sudah tua juga."

Pemuda itu tersenyum maklum, "beliau ibu tiri saya, Pak."

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
21+Romance
Selanjutnya Get My Lady Back Chapter 9 dan 10 : It's Time To Say Good Bye
45
32
Chapter 9 dan 10 digabung jadi satuKarena chapternya sangat panjang, jadi ada banyak sub judul di dalamnya. Tujuannya supaya pembaca tidak jenuh dan tetap fokus.Ada juga Sephia POV dan Stephen POV (kalian pahamlah itu saat apa)Dan… akhirnya sampai jumpa lagi di karya Beestinson yang lain.Terima kasih buat yang sudah mendukung sampai sini…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan