
Hai, kisah ini saya ikutkan dalam program kelas menulis yang diselenggarakan oleh Karyakarsa. Jadi ada perbedaan dari yang pernah saya terbitkan di platform hijau, yang pastinya lebih menarik dan enak dibaca.
Bertemakan kehidupan pernikahan 21+ dengan unsur sensual seperti biasa.
BAB 1
Tak ada yang lebih tabah dari Astri Mega Sari
Dijodohkan orang tua dengan pria tak dikenal
Tak ada yang lebih bijak dari Astri Mega Sari
Membuang mimpi-mimpi demi berbakti pada Sang Ayah
Tak ada yang lebih arif dari Astri Mega Sari
Merelakan cintanya dalam diam demi seorang Ardi Pratama
Dalam duka, Astri mengenang parodi puisi Hujan Bulan Juni yang pernah dideklamasikan mendiang suaminya di ruang keluarga yang tidak seberapa luas ini.
"Aku mau baca puisi buat kamu.”
Begitu kata Ardi dengan tergesa-gesa, padahal pria itu baru saja tiba dari kantor. Kemejanya lembap akibat gerimis kecil sebagaimana puisi yang akan dibawakan. Di luar hujan, tapi saat itu bukan bulan Juni.
Astri masih ingat suasana sore itu, ia duduk di dekat meja makan sambil menyusui Laskar, putra semata wayang mereka. Senyum geli mengukir wajah Astri kala itu, merespons tingkah laku suaminya. Memang seperti itulah Ardi. Pria itu selalu berusaha membuatnya tertawa.
“Nanti saja. Ganti baju dulu, terus makan."
Ardi pun dengan tegas membalas saran istrinya. "Jangan! Nanti aku lupa."
Astri kembali tersenyum melihat antusias Ardi dan raut wajahnya yang penuh tekad. Terkadang, Ardi tak malu bertingkah bak seorang komedian di hadapannya. Pria itu bahkan berusaha keras agar terlihat lucu di mata Astri, meski tak jarang usaha Ardi berhasil menimbulkan kernyit samar di dahi Astri yang secara tidak langsung mengatakan, ‘kamu ngapain, sih?’
"Astri, ada tamu." Suara lembut itu berulang kali menyelamatkan Astri dari jurang kedukaan, yang berteman dengan antidepresan lagi sepeninggal Ardi. Ibunya terus berada di rumah Astri, menguatkannya hingga masa iddah selesai.
“Tamu?” ulang Astri penuh tanya sambil mengikat kembali rambut panjangnya yang tidak terurus selama berhari-hari. Ia sudah tidak peduli lagi pada penampilan semenjak alasannya untuk terlihat cantik telah pergi selamanya.
“Siapa, Bu?” bisik Astri setelah mengintip dari balik gorden pembatas. Astri berpikir agak terlambat bagi tamu itu untuk berbelasungkawa setelah tiga bulan lamanya. Kalau bukan tamu dari jauh, mungkin tamu dengan urusan penting.
"Pak Guntur," jawab ibu sedikit cemas, "katanya pengacara keluarga Ardi."
Seketika Astri ikut cemas menerka alasan seorang pengacara diutus kemari. Bagaimana tidak? Pengacara itu datang ke sini pasti memiliki tujuan tertentu, tapi kenapa baru datang sekarang?
“Mau Ibu temani?” tanya ibu, menawarkan diri saat melihat putrinya terdiam.
"Enggak, Bu. Astri sendiri saja."
Apa pun itu, Astri akan hadapi sendiri, terlebih tamunya adalah pengacara dari keluarga Ardi. Firasat Astri mengatakan bahwa pria itu datang dengan kabar yang kurang menyenangkan. “Titip Laskar ya, Bu.”
Dengan sikap formal sarat defensif, Astri menemui Guntur di ruang tamu. Pria itu memberikan ucapan belasungkawa dengan tulus, tapi Astri tak sedikit pun melunturkan rasa penasarannya.
"Apa maksud dan tujuan Bapak datang ke sini?" Astri langsung menyesali lidah tajamnya, mungkin ia bisa lebih bersabar lagi.
Dengan bahasa diplomatis, Guntur mengutarakan alasan kedatangan pria itu yakni atas permintaan mertua Astri.
“Selain itu, ada wasiat yang ditinggalkan mendiang Bapak Ardi untuk Ibu.”
Mendengar kata wasiat, sebagian diri Astri mulai tertarik untuk mendengarkan, tapi sebagian lagi semakin menunjukkan sikap waspada karena selama lima tahun menikah mereka tidak pernah membuat surat wasiat. Mereka tidak memiliki harta benda yang bisa dibilang berharga. Rumah yang ia tempati sekarang adalah pemberian mertuanya, begitu pula dengan kendaraan.
Semasa hidup, Ardi berprinsip bahwa mereka tidak perlu membeli rumah karena sudah memilikinya. Namun, bukan berarti mereka berfoya-foya. Mereka hidup sederhana, hingga Astri percaya bahwa gaji suaminya tidak seberapa. Walau pesimis, Astri tetap berharap ada kemungkinan Ardi menyisihkan sedikit uang untuk masa depan Laskar.
"Hal pertama yang harus saya sampaikan pada Bu Astri adalah pesan dari keluarga Bapak Ardi—"
"Kenapa mereka tidak menyampaikan sendiri, Pak?" sela Astri cepat demi menghentikan basa-basi yang berusaha pria itu ucapkan.
"Ini sifatnya agak memaksa, Bu Astri. Saya diperlukan untuk membuat semuanya jelas."
Pria itu menjelaskan bahwa dengan kondisi Astri yang tak memiliki penghasilan sama sekali, serta ketiadaan tempat tinggal membuat pihak keluarga Ardi mencemaskan masa depan Laskar.
"Ketiadaan tempat tinggal?” Astri terperanjat seraya mempertegas penjelasan Guntur.
"Adik laki-laki mendiang Bapak Ardi—Mas Janitra, mengklaim bahwa rumah ini akan menjadi bagian dari warisannya kelak. Secara tertulis rumah ini masih atas nama mertua ibu, bukan Bapak Ardi. Dan menurut hemat saya, otomatis Mas Janitra menjadi ahli waris setelah Bapak Ardi meninggal, kecuali pembagian warisan sudah ditetapkan."
"Saya pikir rumah ini sudah jadi milik Mas Ardi.”
"Tidak ada hitam di atas putih yang menyatakan demikian, Bu. Sehingga Mas Janitra lebih kuat secara hukum."
Nada Astri yang lemah lembut tiba-tiba saja meninggi. “Tega sekali Janitra, apa dia tidak berpikir ada keponakannya di sini?"
"Menurut keluarga Pak Ardi, mereka justru sedang mempertimbangkan kondisi Laskar," jawab Guntur dengan tenang, sama sekali tidak terprovokasi oleh kemarahan Astri. Bahkan, pria itu seolah sengaja memberi jeda sebelum menyampaikan bagian terberatnya.
"Mereka ingin Laskar diasuh oleh mertua Bu Astri—"
“Tidak!” Astri menggeleng tegas. "Saya menolak permintaan itu."
"Masalah hak asuh ini bisa kami bawa ke jalur hukum jika Ibu berkeras. Namun klien saya ingin agar kita mencapai kesepakatan dengan jalan musyawarah."
"Seharusnya mereka ada di sini, bukan?" Nada suara Astri masih sarat akan emosi.
Guntur mengiyakan, "setelah saya membantu Ibu memahami kondisinya."
"Apa yang harus saya pahami, Pak?" tanya Astri sinis.
Guntur mempunyai banyak sekali persediaan kesabaran hasil dari pengalamannya menghadapi orang-orang yang sulit menerima kenyataan. Ia letakkan berkas-berkas yang membuat Astri merasa terancam itu ke bagian sofa yang kosong, ia condongkan tubuhnya ke arah meja, dan memulai pendekatan dari hati ke hati.
"Ibu Astri, setelah Mas Janitra mengambil rumah ini, apa Ibu sudah tahu akan membawa Laskar ke mana?"
Astri menjawab apapun yang terlintas cepat di benaknya, "rumah Ibu saya di kampung."
"Saya dengar, rumah itu sudah ditempati kakak Bu Astri beserta istri dan anak-anaknya, bukan?"
"Tapi itu rumah keluarga, saya berhak ada di sana."
Sang pengacara dengan cerdik membalik kata-kata Astri, "Baik, kalau begitu Bu Astri sudah paham posisi Mas Janitra."
Astri mendengus, ia tak akan permasalahkan rumah ini lagi. Toh, bukan miliknya.
Guntur pun melanjutkan belaian negosiasinya, "Bagaimana Bu Astri akan menghidupi Laskar?"
Astri menghindari tatapan Guntur pertanda gugup, "saya akan bekerja. Apapun itu demi hak asuh Laskar."
"Ketika Bu Astri bekerja tentu membutuhkan bantuan orang lain untuk menjaga Laskar--pasti Ibu anda lagi yang Bu Astri andalkan. Bagaimana perasaan anda, Bu?"
"Itu menjadi urusan pribadi saya dengan orang tua saya. Yang jelas saya mampu merawat Laskar."
Guntur menarik tegak kembali punggungnya tapi bukan pertanda kalah, ia juga mengambil berkas-berkas yang sempat diamankan. Mungkin Astri memang harus dihadapi dengan cambukan fakta, bukan belaian persuasif.
"Bagaimana dengan kondisi mental Ibu?"
"Sa-" tadinya Astri berniat membantah semua tuduhan Guntur tapi ia terdiam untuk yang satu ini.
"Ibu konsumsi antidepresan lagi sejak Bapak Ardi meninggal, begitu menurut pengakuan klien saya. Mohon maaf, apakah Laskar masih minum ASI?"
"..." sejak Astri harus mengkonsumsi obat-obatan itu lagi, ia melatih Laskar minum susu formula yang rupanya tidak mudah. Laskar butuh waktu yang lama untuk menyesuaikan diri.
"Intinya, mereka ingin mengambil Laskar dari saya, kan?" tanya Astri hampa namun ia tak mendengar jawaban Guntur.
"Mungkin mendiang Pak Ardi punya solusi untuk masalah ini.”
Astri bingung menatap Guntur, “bagaimana bisa?”
“Pak Ardi cukup mengenal keluarganya oleh karena itu beliau membuat wasiat ini.”
Perlahan sorot mata Astri kembali hidup, ada harapan besar di matanya bahwa Ardi memang sudah mempersiapkan segalanya untuk mereka—paling tidak untuk Laskar yang mereka sayangi bersama. Memang ke mana lagi larinya gaji sang suami yang bekerja sebagai drafter?
"Bacakan, Pak!"
“Tapi kita sedang menunggu seseorang, Bu. Yang bersangkutan sedang dalam perjalanan menuju kemari.”
“Bukankah ini urusan pribadi keluarga saya?"
"Wasiat Bapak Ardi ditujukan untuk dua orang.”
"Siapa, Pak?" Mendadak Astri curiga.
"Salah satu teman Bapak Ardi."
Karena sepertinya Guntur terus berputar-putar dan enggan memuaskan rasa penasarannya, Astri pun diam sembari berpikir keras, menerka siapa dan apa alasan orang itu dilibatkan dalam wasiat terakhir suaminya. Apakah seorang kekasih gelap yang harus mendapat jatah warisan yang tidak seberapa? Tiba-tiba saja Astri mual memikirkan kemungkinan itu. Bukan tidak mungkin Ardi memiliki wanita idaman lain jika masalah keuangan saja ia tertutup. Terkadang Astri seperti tak mengenal suaminya sendiri dalam beberapa hal.
Hening mencekam di ruang tamu. Astri berharap setidaknya Laskar menangis agar dapat menengahi mereka, tapi itu tak kunjung terjadi. Ia justru terselamatkan oleh ucapan salam. Suara rendah seorang pria yang terdengar tenang.
"Selamat Sore!"
Astri berdiri dan mendatangi pria tegap yang tingginya hampir mencapai pintu. Mas Dinar? Ia mengenal pria itu. Seorang sahabat yang hadir hampir setiap hari dalam bentuk cerita yang dikisahkan suaminya. Dinar 'hadir' saat makan malam atau bahkan ketika akan naik ke ranjang. Dinar begini, Dinar begitu. Sampai-sampai Astri bisa merasakan kehadirannya di tengah-tengah mereka.
Akan tetapi mereka juga pernah bertemu secara nyata. Di pernikahan Astri tentu saja. Sesekali di kondangan, di kantor suaminya, bahkan saat menjalankan program bayi tabung di Malaysia. Ardi berkata Dinar memegang banyak proyek di sana sehingga sempat menemui mereka kala itu.
Terkadang Astri iri karena Dinar selalu ada untuk memberi dukungan pada suaminya. Walau tidak mungkin namun Astri tetap merasa tersaingi oleh loyalitas Dinar sebagai sahabat.
"Mbak Astri, saya turut berduka.” Raut wajah yang selalu tenang itu pun berubah murung. Sorot mata yang tak pernah mengarah pada Astri, kini pun demikian. Pria itu termangu menatap meja ruang tamu. Hanya begitu saja Astri dan Guntur bisa merasakan betapa emosionalnya Dinar terhadap kematian Ardi.
“Saya baru tiba dari Malaysia karena ada urusan kerja yang panjang dan mengharuskan saya tetap tinggal.” Sambil memijat pangkal hidungnya, ia menggumam, “Maaf, saya enggak bisa datang ke pemakaman Ardi. Ya Tuhan, Ardi..."
Astri melihat mata yang sejatinya tajam itu berkaca-kaca kala mengenang saat terakhir mereka berkomunikasi. Hanya obrolan ringan biasa hingga Dinar nyaris tak merasakan firasat apapun.
Dinar hampir memancing air mata Astri keluar, padahal ia sudah berhenti menangis di depan orang lain sejak hari ke tiga suaminya tiada. Kerinduan Dinar pada Ardi juga buat Astri kembali merasakan hal yang sama.
Sebagai pria yang yakin bisa mengontrol emosi di segala kondisi, Dinar sadar bahwa baru saja ia larut dalam kesedihan. Ia pun berpaling pada pria yang sejak tadi duduk diam memerhatikan mereka. Teringat olehnya akan sebuah janji temu yang ia buat pagi ini.
“Pak Guntur?” Dinar memastikan dirinya tidak salah orang.
“Benar.” Jawabnya, “Mas Dinar Aditia, kan?”
“Iya—“
“Mas, maaf.“ Astri tiba-tiba saja menyela dengan hormat, “Kebetulan sekali saya sedang ada urusan internal dan kami sedang menunggu seseorang. Maaf kalau kunjungan
Mas tidak bisa lama.”
Dinar mengangkat tangan setinggi bahu, menahan Astri yang sedang berusaha mengusirnya pulang. “Sebentar, Mbak! Kebetulan saya juga sudah buat janji dengan Pak Guntur.”
Astri langsung berpaling pada si pengacara, “Mas Dinar orangnya?”
Guntur menata kembali kursinya agar bisa berhadapan dengan mereka berdua. Ia sangat bersemangat melihat wajah-wajah bingung nan penasaran di depannya, Guntur pun jadi tidak sabar untuk segera membaca isi wasiat Ardi yang menurutnya cukup menarik.
“Surat wasiat Bapak Ardi Pratama ditujukan kepada Ibu Astri Mega Sari, dan yang kedua, untuk Saudara Dinar Aditia. Karena kedua pihak sudah hadir di sini, jadi mari kita mulai!”
-bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
