
Kaia berubah gemetar. Jika tatapan seseorang bisa membunuh, sepertinya saat ini dia sudah sekarat seketika.
“Kamu gak akan pernah bisa lari. Tempat kamu cuma di rumah ini!”
Nighty menggenggam pensil warna di tangannya dengan erat. Dia berusaha tidak mempedulikan suara-suara yang terus bergema di dalam kepalanya itu. Tangannya menggoreskan pensil warna dengan cepat. Namun, suara-suara itu tidak kunjung hilang. Malah terasa semakin keras dan bercampur aduk dengan suara-suara lain yang memuakkan dan membuat telinganya pengang.
Semakin keras suara itu terdengar, semakin cepat pula Nighty menggoreskan pensil warnanya. Bahkan tanpa sadar malah membuat buku gambarnya robek. Pensil itu akhirnya malah menembus meja di bawahnya. Namun, Nighty tidak berhenti. Dia terus menggoreskannya dengan keras.
Kamu gak akan pernah bisa lari!
Kamu gak akan pernah bisa lari!
Kamu gak akan pernah bisa lari!
"ARGH!" Nighty berteriak keras dan melemparkan pensil di tangannya begitu saja. Dia bergerak acak menyingkirkan seluruh benda di mejanya sampai berhamburan ke segala arah.
Denging panjang mulai terdengar di telinganya. Membuat kedua tangannya refleks menutup telinga. Diiringi dengan tubuhnya yang jatuh terduduk begitu saja. Begitu juga dengan air mata yang mengalir tanpa bisa dicegah. Kepalanya menggeleng berulang sementara tubuhnya beringsut mundur sampai membentur dinding pojok kamar.
"Nggak! Jangan! Pergi! Lepas!" Nighty mengibas-ngibaskan tangannya ke sembarang arah saat melihat banyak bayangan hitam yang mendekat dan mencoba meraihnya. Dia menangis semakin keras saat bayangan hitam itu berubah semakin banyak membuatnya nyaris tidak bisa melihat apa pun di sekelilingnya. Hanya kegelapan yang tidak berujung.
Tubuhnya kembali mencoba bergerak mundur meski jelas tidak akan bisa karena dinding sudah menyapanya. Hal itu membuatnya gemetar ketakutan dan bergeser sampai ke pojok kamar. Kedua tangannya memeluk kakinya sendiri dan menyembunyikan kepalanya di sana. Meski hal itu tidak berlangsung lama. Beberapa menit setelahnya, Nighty malah beralih mengangkat tangan dan memukul-mukul kepalanya sendiri. Berharap semua suara dan bayangan mengerikan itu akan hilang.
Sayangnya, hal itu tidak terwujud. Memang tidak pernah mudah mengenyahkan bayangan sialan itu yang seakan ingin terus membayanginya tanpa henti. Akhirnya Nighty malah membenturkan kepalanya sendiri berulang kali pada tembok di belakangnya dengan keras.
Sumpah demi Tuhan, dia benar-benar ketakutan. Namun, Nighty tidak tahu harus melakukan apa. Belakangan ini, suara dan bayangan mengerikan terasa mengikutinya setiap hari. Dia bahkan tidak pernah bisa tertidur dengan nyenyak lagi. Berujung selalu mengonsumsi obat tidurnya. Bahkan lebih dari jumlah batas wajar yang ditetapkan dokternya.
Tidak mau menyalahkan, tapi Nighty akui selepas pertemuannya dengan Tante Wanda tempo hari, suasana hatinya berubah begitu berantakan. Padahal jika dipikirkan lagi, tidak ada satupun hal yang salah dari perkataan Tante Wanda. Namun, Nighty tidak mengerti. Dia tidak mengerti bagaimana bisa hanya karena pertemuan itu, memori-memori buruk dalam dirinya seolah bangkit kembali dan menyerangnya bertubi-tubi.
Nighty benci sekali dengan keadaan seperti ini. Dia benci dirinya yang begitu lemah tak berdaya. Namun, harus bagaimana lagi ketika bayangan itu rasanya malah semakin mengerikan setiap harinya. Nighty tidak sanggup lagi. Helaan napasnya bahkan berubah berat setiap detiknya. Dia memang bisa mengatasinya di hari ini. Namun, di hari-hari setelahnya semua terasa semakin sulit.
Malam itu adalah puncaknya.
Nighty menatap tangannya sendiri yang tidak berhenti gemetar. Dia menggeleng berulang kemudian menggosok-gosok bagian tubuhnya sampai kulitnya berubah memerah. Semuanya diperparah dengan dirinya sendiri yang tengah berendam di dalam bathtub berisi air hangat. Ralat, air panas. Sebab uapnya mengepul begitu banyak. Menimbulkan sengatan pada kulitnya sendiri. Namun, Nighty tidak mempedulikan itu.
Tangannya kemudian menyambar sesuatu. Menggoreskan sebuah cutter pada lengannya. Membuat cairan berbau karat berlomba menetes ke dalam bathtub. Membuat warnanya berubah merah pekat. Nighty mulai terisak saat sengatan nyeri terasa di sekujur tubuhnya.
Dia muak dengan semua ini. Dia muak harus merasakan semua kesakitan ini. Dia ingin berhenti. Dia tidak sanggup lagi.
Hidupnya tidak akan membaik. Tidak akan pernah. Dia sudah tidak punya kehidupan sejak bertahun-tahun lampau. Dia hanya sebuah raga yang terpaksa bertahan dan kemudian berpikir naif bahwa dirinya masih bisa menemukan sebuah kebahagiaan dalam hidup. Nyatanya, tidak ada. Tidak akan ada kebahagiaan untuknya. Tidak ada apa pun lagi yang tersisa untuknya di dunia ini.
Dan Nighty menangis semakin keras menyadari itu.
Bermenit-menit setelahnya, tangisannya berhenti. Namun, tatapannya berubah kosong. Dia menatap lamat ke depan. Lalu tanpa menimbulkan suara apa pun, mengambil sebuah botol di pinggir bath up dan mengeluarkan seluruh isinya.
Butiran pil memenuhi telapak tangannya yang berlumur darah. Nighty menatap benda-benda kecil itu dengan lamat kemudian menenggaknya sekaligus. Kedua matanya terpejam dengan erat. Lalu dengan perlahan, dia menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam air sepenuhnya.
Lautan air di sekelilingnya seolah menariknya semakin jauh ke dalam. Sampai kemudian Nighty malah merasakan deburan ombak yang membentur karang. Suaranya begitu keras membuatnya terhenyak kemudian membuka matanya seketika.
Nighty mengerjapkan matanya berulang kali. Menemukan langit-langit kamar rumah sakit yang berwarna putih memenuhi pandangannya. Juga bau antiseptik yang tercium begitu pekat. Di sini lagi. Dia kembali ke tempat ini entah untuk yang ke berapa kali. Nighty berniat menggerakkan jemarinya, namun terhenti karena merasakan sesuatu yang berat di sana.
Pandangannya menoleh ke samping kanan, menemukan sang kakak yang tertidur sambil menggenggam tangannya dengan erat. Begitu erat seolah tidak ingin melepaskannya bahkan dalam tidur sekalipun. Nighty kemudian baru sadar bahwa perutnya juga terasa hangat oleh sesuatu. Pandangannya menoleh ke samping kiri. Menemukan Raven yang tertidur dengan sebelah tangan tersampir pada perutnya.
Nighty menatap kedua lelaki itu bergantian. Kemudian menggigit bibir bawahnya sendiri dengan keras saat matanya mulai terasa memanas. Berusaha keras menahan agar tangisnya tidak keluar. Dia tidak mau mengganggu tidur nyenyak kedua lelaki itu.
Ternyata dia sangat merepotkan. Harusnya, Denzel dan Raven bisa tertidur nyenyak di dalam kamar mereka masing-masing. Bukan seperti ini. Bukan menemaninya di tempat memuakkan ini untuk kesekian kalinya.
Salah. Semua ini salah. Harusnya dia mati saja malam itu. Tidak seharusnya dia bangun lagi. Tidak akan pernah ada gunanya lagi dia hidup. Dia hanya akan membebani Denzel atau bahkan Raven jika hidup lebih lama. Nighty tidak mau seperti ini.
"I am sorry…," bisik Nighty lirih kemudian menggigit bibir bawahnya kembali dengan keras. Menahan isakannya agar tidak keluar yang kemungkinan besar akan mengganggu dua lelaki yang sedang tertidur pulas itu.
*
Denzel menggenggam jemari Nighty dengan begitu erat. Bibirnya menyunggingkan senyum pada sang adik yang kini memandangnya dalam diam. Pandangannya nyaris seperti sedang melamun. Menerawang jauh pada hal yang tidak dapat Denzel pastikan dengan jelas.
Nighty sudah sadar sejak tiga hari lalu, tetapi sampai hari ini belum mengatakan sepatah kata pun. Hal yang membuat Denzel menelan seluruh rasa penasarannya. Mulanya dia ingin bertanya apa saja yang sudah terjadi tanpa sepengetahuannya sampai Nighty berakhir seperti ini. Namun, dia tahu sekarang bukan waktu yang tepat.
Selama tiga hari ini, Denzel terus menemani sang adik tanpa berniat pergi sedikit pun. Dia tidak mau lagi meninggalkan Nighty sendiri. Takut hal yang buruk lain akan menghampiri karena dia benar-benar tidak siap untuk itu. Siapa yang tahu jika hal seperti itu terjadi lagi, nyawa adiknya mungkin tidak akan terselamatkan. Dan itu adalah hal terakhir yang Denzel inginkan.
Namun, urusan pekerjaan sempat mengacaukannya. Denzel mulanya tidak ingin pergi. Persetan lah dengan urusan pekerjaan sialan itu. Dia tidak peduli lagi seandainya ada yang berusaha menyingkirkan posisinya atau bahkan jika perusahaan itu bangkrut sekali pun. Lagipula apa artinya memiliki semua itu jika dia bahkan tidak bisa melindungi satu-satunya keluarganya yang tersisa. Namun, Raven memaksanya pergi dan Denzel akhirnya mengalah. Sebisa mungkin, dia menyelesaikan semua itu secepat kilat.
Siang ini, Raven sedang keluar untuk membeli makan bagi mereka berdua. Jujur saja sebenarnya Denzel tidak punya selera makan sedikit pun. Beberapa hari belakangan pun, jika bukan Raven yang memaksa, dia mungkin tidak akan ingat untuk makan. Raven membujuknya dengan berdalih jika tidak makan, dia akan jatuh sakit dan jika begitu, dia tidak akan bisa menjaga Nighty lagi. Bujukan yang cukup ampuh karena meski malas setengah mati, Denzel akhirnya memaksakan diri untuk makan.
“Brother…,” bisik Nighty begitu pelan. Denzel bahkan nyaris tidak bisa mendengarnya. Suaranya begitu lemah. Beruntung Denzel masih bisa membaca gerak bibirnya.
“I am here. I am here, sister.” Denzel meremas jemari sang adik pelan. Entah mengapa dia merasakan jemari Nighty yang berubah semakin dingin. Dan hal itu membuatnya ketakutan. Dia takut hangatnya kehidupan akan meninggalkan tubuh sang adik secara perlahan.
“I am sorry…”
Denzel menggeleng berulang kali. “No no no… don't say sorry…,” ujarnya dengan gemetar. Untuk apa pun permintaan maaf itu, Denzel tidak ingin mendengarnya. Nighty tidak melakukan kesalahan apa pun sampai harus meminta maaf padanya.
“It's haunted me again. I am so scared…”
Tepat setelah Nighty mengatakan itu, tangisnya langsung pecah. Bersahutan dengan milik sang adik yang terdengar begitu pilu. Denzel tidak mengatakan apa pun, namun tangannya bergerak mendekap tubuh Nighty dengan erat. Kali ini dia yang tidak berhenti mengucap maaf di tengah tangisnya yang mengalir dengan deras.
Kalimat itu benar-benar menghancurkannya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari yang Nighty jalani belakangan ini. Dia teledor sekali karena mengabaikannya begitu saja. Sekarang jika sudah seperti ini, dia bahkan tidak tahu pertanggungjawaban macam apa yang bisa diberikannya. Dia sungguh gagal menjalankan perannya sebagai seorang kakak.
“I am sorry…” Denzel melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menangkup wajah sang adik yang begitu sembab. Kedua matanya memerah dan bengkak karena tangis. Namun, begitu menatap pada kedua bola matanya, Denzel mendapati iris coklat terang itu tersepuh rasa takut dan kilatan luka yang begitu dalam.
Bohong. Apa yang orang-orang bilang tentang waktu bisa menyembuhkan itu bohong. Buktinya, bertahun-tahun terlewat dan adiknya masih saja terluka hebat. Tidak ada. Tidak ada penawar untuk lukanya. Bahkan waktu sekalipun. Lukanya terlalu hebat dan masih menganga sampai hari ini. Dan Denzel selalu menyesal karena dirinya adalah bagian dari penyebab luka-luka menganga itu tercipta.
Jika saja semua yang dimilikinya bisa ditukar dengan satu hal, maka Denzel akan meminta untuk menghapus semua ingatan adiknya. Ingatan tentang banyak hal buruk yang pernah menyambangi hidupnya. Tidak masalah jika dia menjadi bagian dari ingatan yang terlupakan itu. Asalkan Nighty bisa memulai kehidupannya kembali tanpa ketakutan mengiringi. Asalkan Nighty bisa hidup dengan tenang tanpa dihantui bayangan mengerikan.
Denzel rela menukar semuanya dengan itu. Bahkan jika harus menggunakan nyawanya sendiri.
“It’s okay. I am here. Don't be afraid…,” ujarnya dengan gemetar karena dia sendiri pun yakin kalimat itu hanya omong kosong belaka. Kehadirannya tidak akan berdampak sama sekali. Kehadirannya tidak akan mampu mengusir rasa takut sang adik sedikit pun.
Nighty tidak mengeluarkan jawaban. Hanya kembali memeluknya dan menangis di sana. Denzel balas memeluknya dengan erat. Mengelus punggungnya secara berulang agar setidaknya mampu menyalurkan sedikit kehangatan. Jika memang dia tidak akan pernah bisa mengenyahkan ketakutan adiknya, maka Denzel hanya berharap bahwa Nighty akan tahu dirinya tidak akan melewati mimpi buruk itu sendirian. Dia akan terus menggenggam tangannya tanpa akan pernah mau melepaskan.
Bermenit-menit terlewat dan Denzel menyadari tubuh dalam dekapannya terasa memberat. Isak tangis juga tidak dia dengar lagi. Akhirnya dia merenggangkan pelukannya sekilas dan menemukan adiknya yang sudah terpejam erat. Dengan hati-hati, Denzel membaringkan tubuh kurus itu. Mengherankan melihat Nighty bisa tertidur semudah ini sementara belakangan sepertinya Nighty kembali meminum obat tidurnya kembali. Tapi bukan masalah. Denzel harap itu bisa membuat tubuhnya sedikit beristirahat dan semoga saja tidak ada mimpi buruk yang menyambangi tidurnya.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, Denzel tidak melepaskan genggaman tangannya meski kini Nighty tertidur pulas. Bahkan suara pintu yang terbuka dan langkah kaki yang mendekat pun tidak mampu mengusiknya. Dia tetap teguh dengan posisinya.
“Tidur?” suara tanya itu terdengar. Denzel sudah hapal di luar kepala siapa pemiliknya dan itu artinya Rave sudah kembali. Dia hanya mengangguk sebagai respons. Tidak punya energi untuk memberikan banyak tanggapan.
“Makan dulu,” ajak Raven yang kini berjalan menuju sofa di sudut ruangan. Namun, Denzel tidak mengeluarkan reaksi sama sekali. Dia total melupakan ucapan Raven di hari-hari sebelumnya. Persetan lah jika dia ikut jatuh sakit juga. Bukankah itu akan jadi hal yang adil sehingga Nighty tidak sakit sendirian? Meski rasa sakitnya jelas tidak akan pernah sebanding.
“Denzy—”
“Makan aja sendiri,” selanya tajam. “Jangan ganggu gue,” lanjutnya kemudian menelungkupkan kepalanya sendiri di pinggir ranjang. Masih dengan menggenggam tangan sang adik dengan begitu erat. Denzel bersyukur karena Raven tidak lagi menanggapi atau bisa saja amarahnya malah terpancing nanti.
Tidak ada konversasi apa pun di ruangan itu setelahnya. Denzel hanya sesekali mendengar bunyi alat makan yang terdengar. Sampai beberapa menit setelahnya, hal itu juga menghilang. Membuat ruangan berada dalam keheningan total.
Denzel tidak tahu berapa lama waktu berlalu, tapi begitu membuka mata, dia malah mendapati dirinya yang berbaring di sofa. Matanya langsung melotot kaget dan mengedar ke seluruh penjuru ruangan seketika. Jantungnya langsung bertalu dengan cepat saat menyadari ranjang adiknya kosong melompong. Dengan panik, Denzel langsung berlari keluar ruangan. Dia langsung bertanya dengan nada tinggi berpapasan dengan seorang perawat.
“I—itu… pasien dibawa ke taman belakang—”
Denzel tidak mendengarkan itu sampai usai karena kakinya lebih dulu berlari seperti orang kesetanan. Dia terus berlari tanpa peduli telah menabrak beberapa orang selama berjalan. Dia juga tidak repot menunggu lift dan memilih menuruni tangga dengan tergesa.
Pandangannya langsung mengedar ke seisi taman begitu tiba. Detak jantungnya masih tidak beraturan dengan napas yang begitu terengah. Namun, dia langsung menghela napas lega saat akhirnya melihat eksistensi adiknya di salah satu bangku taman dengan Raven di sisinya.
Denzel menghela napas berulang kali untuk menenangkan diri. Baru setelahnya berjalan perlahan menghampiri kedua orang itu. Raven adalah orang pertama yang menyadari kehadirannya. Denzel menatap lelaki itu dengan tajam. Kesal karena Raven melakukan semua ini tanpa sepengetahuannya. Dia sudah takut setengah mati saat melihat Nighty tidak ada di dalam ruang rawat.
“Gak usah marah. Tadi lo tidur dan Nighty butuh udara segar,” ujar Raven dengan tenang. Dia sempat mengangkat sebelah alis dan menelisik wajah lelaki itu dengan seksama. Raven terlihat seperti orang yang habis menangis. Dalam jarak sedekat ini, Denzel bisa melihatnya matanya yang sedikit sembab dan memerah. Meski begitu, dia tidak mengeluarkan komentar apa pun. Beralih duduk di samping sang adik yang masih menyandarkan kepala pada bahu Raven.
Sore itu, mereka duduk bersisian di bangku taman. Langit di atas sana sudah melukiskan semburat jingga yang begitu pekat. Sangat indah. Kontras dengan kehidupan yang sedang mereka jalani sekarang. Denzel mengalihkan pandangan ke samping. Memperhatikan Nighty yang masih menyandarkan diri pada tubuh Raven. Sementara tangan lelaki itu memeluk pinggang adiknya dengan erat.
Denzel tidak pernah percaya cinta. Menurutnya, itu salah satu kebohongan besar yang pernah diciptakan dunia. Namun, setiap melihat Nighty dan Raven di depan mata, dia tahu akan selalu ada pengecualian. Baginya, cinta yang Raven miliki untuk adiknya adalah satu dari sedikit hal tulus yang dia tahu di dunia ini.
“Kamu mau balik sekarang?”
Denzel tetap diam saat mendengar Raven bertanya karena paham kalimat itu bukan ditujukan untuknya, melainkan sang adik. Nighty hanya menjawabnya dengan anggukan lemah. Lalu setelahnya, Raven dengan sigap memindahkan tubuh adiknya pada kursi roda. Lewat isyarat mata, lelaki itu menyuruhnya mengikuti. Denzel hanya mengangguk kemudian mengekor di belakang Raven yang berjalan lebih dulu.
Denzel mendadak berubah menjadi pendiam sore itu. Bahkan dia membiarkan Raven yang membantu Nighty makan dan meminum obat. Sampai kemudian malam menjelang dan Nighty mulai terlelap kembali. Denzel menatap wajah sang adik yang begitu pucat selama beberapa saat tanpa berkedip sedikit pun.
Sampai hari ini, Denzel masih mempertanyakan mengapa Nighty harus menjalani kehidupan yang seperti ini. Rasanya, adiknya tidak melakukan satu hal buruk pun sampai layak mendapatkan penderitaan yang tidak berujung seperti ini. Nighty adalah anak yang manis. Sangat manis malah. Bahkan Denzel yang awalnya tidak begitu tertarik menyambut kelahirannya langsung luluh seketika.
Detik saat dia memandang bayi mungil itu dalam dekapan ibunya, kemudian mendapati mata bulat polos itu balik memandangnya, semuanya langsung berubah. Denzel berubah berbangga hati dan ingin meneriakkan pada seluruh dunia bahwa bayi lucu nan menggemaskan itu adalah adiknya. Adik yang akan selalu dia sayangi dan lindungi seumur hidupnya. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya.
Namun, kehidupan memang tidak akan selalu berjalan sesuai keinginannya. Siapa yang sangka bahwa sosok yang akan menyakiti adiknya adalah orang terdekatnya sendiri. Seseorang yang tidak pernah mampu Denzel hentikan kegilaannya.
“You were right…,” gumamnya dengan pandangan lurus pada wajah sang adik. “We shouldn't kill him like that.” Raven tidak mengeluarkan tanggapan, tapi Denzel tahu lelaki itu masih di sana. Mendengarkannya dengan baik. Makanya dia kemudian melanjutkan. “Harusnya gue siksa dia dulu sampe dia sendiri yang mau mati dan gak mau liat dunia ini lagi. We shouldn't give him an easy death. It's not enough. It will never be enough…”
Denzel menggelengkan kepalanya dengan mata yang berubah berkilat tajam. Kebencian mulai bangkit di sana. Rasa benci yang tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh siapa pun. Rasa benci yang bahkan terkadang membuat hatinya nyeri, tapi Denzel tidak pernah berniat membuangnya. Dia akan membawanya sampai mati.
“I agree.” Raven akhirnya membuka suara. “Even after that I had a dream and killed him several times there… it's not enough… I need more than that. We need more than that. Hell doesn't exist, Denzy. We should burn him by ourselves.”
Kedua tangannya terkepal erat mendengar itu. Lalu tanpa mengatakan apa pun lagi, tubuhnya bangkit dan meninggalkan ruangan begitu saja. Tatapannya berubah sedingin es begitu keluar dari sana. Denzel menyesali banyak hal dalam hidupnya dan salah satunya jelas adalah kematian ayahnya.
Raven benar. Harusnya mereka berdua membuat si tua bangka bajingan itu merasakan neraka dunia lebih dulu. Gagasan tentang si bajingan itu yang akan menderita di neraka hanyalah angan semu. Dia butuh menyaksikan semua itu dengan mata kepalanya sendiri dan untuk itu memang seharusnya dia membakarnya langsung. Harusnya itu yang dia lakukan. Bukan membiarkan Raven membuat bajingan gila itu mati hanya karena selongsong peluru.
Berengsek. Kini semuanya tiada guna. Namun, sedikit suara di dalam hatinya masih berharap. Jika neraka memang ada, Denzel berharap Tuhan membawanya ke sana sekarang juga karena dia ingin sekali melipatgandakan siksaan si bajingan gila itu.
*
Kaia menatap sekeliling kamar dan menghela napas panjang. Sudah beberapa hari ini Denzel tidak pulang ke rumah. Pertemuan terakhir mereka hanya sekilas secara tidak sengaja di rumah sakit kala itu. Sejak itu, Kaia menghabiskan malam-malamnya di kamar ini sendirian. Anehnya, dia kadang sulit sekali tertidur. Berujung dalam hati malah menghitung sisa-sisa waktunya di tempat ini yang hanya tersisa sedikit lagi.
Dua hari. Perjanjian mereka akan berakhir dua hari lagi. Sadar dengan hal itu, Kaia mulai merapikan barang pribadinya yang sebenarnya tidak terlalu banyak. Dia lebih sering menggunakan barang-barang yang memang sudah tersedia di sini. Namun, dia tetap melakukannya karena berpikir itu akan mempermudahnya nanti. Begitu perjanjian mereka usai, dia akan pergi dari rumah ini dengan cepat.
Setidaknya begitulah yang Kaia pikirkan. Sampai kemudian, dia sedikit terlonjak karena pintu kamarnya yang dibuka dengan kasar. Kaia refleks bangkit dari kursi dan berbalik untuk mengetahui siapa gerangannya.
Kedua tangannya langsung saling meremas dengan gugup begitu mendapati sosok yang tidak dilihatnya selama beberapa hari kini berdiri di balik pintu dengan tatapan menghunus tajam. Kaia menelan ludahnya kasar saat melihat Denzel yang mendekat. Masih dengan pandangan tajam ke arahnya. Entah mengapa, tubuhnya berubah dingin menyadari tatapan lelaki itu yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya. Bahkan saat malam pertama pertemuan mereka pun, tatapan Denzel tidak semenakutkan ini.
Lelaki itu berbeda. Semakin tipis jarak di antara mereka, semakin Kaia menyadari bahwa ada yang berbeda dengan lelaki itu. Tatapan matanya begitu gelap dan tajam seolah diselubungi oleh sesuatu. Ekspresinya tidak terbaca sama sekali. Dan semua itu terasa sangat menakutkan.
“Den—denzel…” Kaia refleks mundur sambil menyilangkan kedua tangan saat jarak mereka semakin tidak bersisa. “Aaa!” Kaia sedikit memekik saat sadar tubuhnya telah membentur meja rias. Pekikan itu kembali saat Denzel tiba-tiba saja mencengkeram dagunya dengan erat. Membuatnya sedikit mendongak dan bertatapan dengan iris coklat kelam lelaki itu.
Kaia berubah gemetar. Jika tatapan seseorang bisa membunuh, sepertinya saat ini dia sudah sekarat seketika.
“I shouldn't have met you in the first place,” bisik lelaki itu tajam. Hal yang sungguh tidak Kaia mengerti. “You ruined everything.”
Hah? Kaia hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Tidak mengerti maksud lelaki itu sedikit pun. Denzel seolah memojokkannya atas suatu kesalahan yang bahkan tidak diketahuinya.
“What do you—hmph!” Kaia memejamkan matanya erat saat lelaki itu mempertemukan birai mereka berdua tanpa aba-aba. Denzel menciumnya dengan tergesa seolah mereka tidak punya banyak waktu yang tersisa. Mungkin tidak akan menjadi masalah yang terlalu besar andai saja lelaki itu tidak melakukan hal lainnya.
Sentuhan kasarnya kembali. Hal yang membuat tubuh Kaia terkejut luar biasa. Lelaki itu membalik tubuhnya dengan kasar. Pergerakan tiba-tiba itu membuat beberapa benda di meja rias terlempar begitu saja. Namun, sepertinya itu tidak mengusik Denzel sedikit pun. Lelaki itu tetap menyentuhnya tanpa jeda.
Kaia memejamkan kedua matanya dengan erat. Bibirnya dia gigit dengan keras. Bersamaan dengan kedua tangannya yang mengcengkram ujung meja rias begitu Denzel menyatukan tubuh mereka tanpa persiapan yang semestinya. Sebagian besar pakaian mereka bahkan masih melekat di tubuh.
“Argh!” Kaia mendongak saat merasakan perih yang luar biasa di kepalanya. Denzel menjambak rambutnya dengan begitu keras tanpa menghentikan pergerakannya di bawah sana.
Kaia terlalu sulit memproses semuanya. Hal yang dia tahu hanyalah mimpi buruk di pertemuan pertama mereka kembali terulang. Bahkan rasanya jauh lebih buruk lagi. Kaia merasa tubuhnya mulai remuk redam. Namun, sosok yang bersamanya itu tidak menunjukkan ekspresi berarti sedikit pun.
Air matanya menetes semakin deras saat merasakan tubuhnya dimasuki entah untuk yang ke berapa kali. Kaia merasakan ngilu yang teramat di sana. Bagian tubuhnya yang lain tidak lebih baik. Tenaganya seperti habis tanpa sisa. Bahkan untuk sekedar mengeluarkan suara, rasanya begitu sulit.
“AAA!” Kaia berteriak keras saat tubuhnya dibuat menelungkup dengan kasar kemudian merasakan sengatan nyeri di sana. Punggungnya terasa seperti terbakar. Membuatnya terisak tanpa bisa dicegah. Sakit. Kaia tidak sanggup melakukan ini lagi. Dia mengingat kesepakatan kecil di antara mereka dan berusaha mengucapkannya dengan susah payah di tengah kesadarannya yang nyaris menghilang.
“Blue…,” Kaia berujar lemah. Namun, tidak ada reaksi apa pun. Sosok di belakangnya tidak berhenti kemudian kembali membalikkan tubuhnya dengan kasar. Hal yang Kaia ingat hanyalah sebuah benda keras yang terasa memasuki bagian intimnya di bawah sana dan seketika dia merasakan nyeri yang begitu hebat menyambangi bagian perut bawahnya. Dia merasakan sesuatu yang mengalir di sana. Namun, tidak bisa menerka apa.
Matanya lebih dulu tertutup dan semuanya berganti dengan gelap.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
