Bab 1 : Memancing

Tanah Jawa, Desa Alamanda. Di salah satu gubuk keluarga sederhana, pagi hari itu mereka sudah hendak bergegas memulai hari.

Seorang ayah dengan peralatan cangkul hingga arit sudah siap di luar rumah menunggu istri dan anaknya yang masih saja di dalam.

"Jaka, benar kau tidak ikut kami hari ini nak?" tanya sang Ibu memastikan sekali lagi.

Jaka, pemuda 20 tahun itu dengan raut wajah ketat hanya mengangguk dari kursi ia duduk.

Sang ibu tahu, anaknya pasti sedang kesal karena sesuatu masalah antara dirinya dan teman sebayanya. Ini bukan pertama kalinya Jaka seperti itu, sang ibu pun hanya bisa memaklumi.

"Ayo Bu, kita berangkat. Nanti kita terlambat," seru ayahnya dari luar.

"Baik Pak."

"Yasudah Jaka, kamu jaga rumah ya," ucap Ibunya sebelum pergi keluar.

"Baik Bu."

Pasangan suami istri yang hari-harinya bekerja sebagai petani di ladang orang lain itu pun beranjak dari rumahnya. Dan akan kembali saat hari mulai petang, karena selesai bertani mereka akan pergi ke hutan untuk mencari buah-buahan atau hewan buruan untuk makan mereka pada hari itu.

Jaka pun bangkit dari kursinya dan hendak tiduran kembali di pembaringannya. Rasanya ia ingin berbaring saja satu harian ini. Suasana hatinya menjadi rusak karena terus teringat kejadian kemarin.

Tapi baru saja Jaka membaringkan tubuhnya tidak lama seseorang memanggilnya dari luar.

"Jaka! Jaka kau di rumah kan?"

"Pergilah Yata! Aku hari ini tidak ingin diganggu!" seru Jaka dari dalam rumah.

"Saat kau mengatakan begitu justru aku akan semakin mengganggumu hehe," balas Yata sembari menyelonong masuk ke rumah Jaka.

Jaka hanya menghela nafas dan membuang wajahnya menghadap dinding bambu rumahnya.

Yata adalah sahabat Jaka, mereka telah saling mengenal disaat kedua orangtua mereka masih membantu mereka untuk buang air. Ia melihat orangtua Jaka yang melintas di depan rumahnya untuk bekerja, tapi tidak ada Jaka bersama mereka yang biasanya selalu ikut.

Mengetahui hal itu Yata pun tahu Jaka tinggal di rumah karena sesuatu hal.

"Ayolah Jaka, apakah kau akan terus seperti ini saat Anggasta mengejek atau menindasmu?" celetuk Yata.

"Diamlah Yata."

Anggasta adalah anak Desa Alamanda seusia mereka. Seorang pendekar terbaik dari kalangan mereka yang muda. Tapi dia adalah orang yang dibenci oleh Jaka dan Yata karena keangkuhannya. Ia kerap mengejek Jaka karena berasal dari keluarga yang miskin dan suka menindas anak-anak yang lebih lemah darinya.

Seperti kemarin, Jaka bersama Anggasta berselisihan ketika Jaka hendak pulang dari ladang. Sementara Anggasta baru saja pulang berlatih dari perguruan silat desa mereka.

Anggasta tampak sangat ramah ketika menyapa kedua orangtua Jaka. Tapi ketika ia menatap Jaka, Jaka tahu jelas Anggasta sedang meremehkannya dengan sekedar tatapannya yang angkuh. Bahkan Jaka sempat mendengar Anggasta tertawa bersama temannya saat mereka telah berselisih sedikit jauh.

Karena hal itu, Jaka tidak bisa tidur kemarin malam sangking kesalnya ia. Ketika terbangun pun ternyata suasana hatinya juga belum membaik.

"Jaka, berapa kali sudah aku katakan kepadamu. Masa depan seorang pendekar pun belum tentu terjamin. Bisa saja mereka akan mati muda karena melawan bandit haha," celetuk Yata berusaha menghibur sahabatnya.

"Petani pun tidak boleh diremehkan. Andai petani tidak ada, mungkin seorang pendekar tidak akan bisa memakan nasi dan sayur," lanjut Yata.

"Terus saja kau membual Yata, aku tidak akan mendengarkanmu," balas Jaka.

"Hey aku tidak membual! Aku hanya sedang menunjukkan bahwa pikiranmu yang terlalu sempit."

Jaka pun diam tidak membalas. Dipikir-pikir perkataan Yata memang ada benarnya.

Menjadi pendekar adalah impian semua anak laki-laki di Desa Alamanda atau mungkin seluruh Tanah Jawa. Karena menjadi pendekar, seorang laki-laki akan terlihat gagah dan berwibawa, masa depan pun terjamin karena bisa mendaftar sebagai prajurit kerajaan. Tidak ada yang berpikir untuk menjadi petani, peternak, ataupun pedagang. Bagi mereka hal-hal itu bisa dipelajari dengan mudah.

Jaka yang berasal dari keluarga miskin, orangtuanya tidak mampu memasukkan dirinya ke perguruan silat yang bagi mereka biayanya cukup mahal.

Jaka pikir permasalahan dirinya hanya pada keluarganya yang miskin. Tapi ternyata tidak. Sekitar dua tahun yang lalu, perguruan desa mereka membuka pendaftaran khusus untuk anak-anak kurang mampu seperti Jaka.

Perguruan menjanjikan belajar gratis hingga sang anak menjadi pendekar mahir dengan syarat si anak harus mempunyai bakat saat dinilai oleh para guru dan suhu.

Tapi ketika Jaka mendaftar untuk hal tersebut, Jaka harus berlapang dada karena ditolak dengan alasan Jaka tidak memiliki bakat dalam hal bela diri. Para suhu juga mengatakan kanuragan di dalam diri Jaka sangat lemah bahkan nyaris tidak ada.

Dari sanalah Jaka sebenarnya sudah berdamai dengan impiannya untuk menjadi pendekar. Ia pikir, memang tidak semua orang bisa menjadi pendekar. Beberapa harus menjadi petani untuk memberikan nasi kepada para pendekar.

Tapi Anggasta yang angkuh memang sering menjadi penyebab rusaknya kedamaian itu.

"Hey Jaka, kau boleh saja tidak ingin mendengarkan ucapanku. Tapi, kau pasti tidak akan bisa menolak ajakanku yang satu ini. Mari kita memancing!" celetuk Yata.

"Memancing??"

"Ya! Asal kau tahu, aku mengetahui tempat memancing yang baru aku temui kemarin. Belum ada orang yang memancing disana, banyak sekali ikan besar di aliran sungai tersebut!" jelas Yata semangat.

"Benarkah!"

Yata pun mengangguk mantab. Sontak Jaka langsung bangkit dari pembaringan dan mengambil alat pancingnya.

"Ayo Yata! Tunggu apa lagi!" seru Jaka yang sudah keluar dari rumahnya.

Yata pun menyeringai karena siasatnya berhasil. Sahabatnya itu memang sangat mencintai memancing lebih dari apapun yang ada di dunia ini. Karena saat memancing Jaka pernah mengatakan ia sejenak dapat beristirahat dari lelahnya hidup di dunia.

"Baiklah Ayo!" seru Yata kemudian.

***

Hari sudah petang, Jaka dan Yata sangat girang pergi dari lapak pemancingan mereka. Masing-masing dari mereka telah menenteng keranjang penuh ikan segar.

"Haha Yata! Kau memang sungguh hebat menemukan tempat ini! Ada banyak sekali ikan disini! Bahkan ukurannya juga lumayan!"

"Sudah aku bilang, tempat tadi sangat bagus. Baru kita yang memancing disana haha."

"Yata, setiap hari kita harus kesana haha."

"Hey bodoh, jika setiap hari kita kesana bukankah ikannya dapat habis juga seperti tempat lain?"

"Eh benar juga haha."

Kedua sahabat itu pun tertawa bahagia saat perjalanan pulang. Yata pun senang sepertinya suasana hati Jaka sudah membaik sekarang.

Sementara Jaka pun senang, karena setidaknya ia bisa membawa banyak ikan segar untuk ayah dan ibunya di rumah atas permintaan maaf karena sikapnya yang kekanakan tadi pagi.

Tapi saat kedua sahabat itu sebentar lagi sampai di desa mereka, ada banyak sekali langkah kuda sedang menggebu lari hendak keluar desa.

"Yata! Ayo kita bersembunyi dulu!" ucap Jaka sambil menarik tangan sahabatnya.

Yata pun yang ketarik dengan paksa akhirnya ikut Jaka bersembunyi di semak.

"Mengapa kita harus bersembunyi? Paling itu hanya para prajurit Banyu yang ada satu dua urusan di desa kita," keluh Yata.

"Tapi bukankah langkah kudanya terdengar banyak sekali? Seperti suatu pasukan yang hendak berperang. Perasaanku tidak enak."

Yata pun tidak membantah, perkataan Jaka ada benarnya.

Hingga akhirnya lewatlah pasukan berkuda yang telah mereka dengar langkahnya. Puluhan orang berkuda dengan tertawa dan berbicara hal-hal yang tidak baik. Beberapa dari kuda itu membawa gerobak di belakangnya.

Jaka dan Yata pun terbelalak ketika melihat rombongan itu, karena itu bukan rombongan pasukan Banyu. Mereka adalah para bandit!

Gerobak-gerobak yang mereka bawa pun berisi banyak sekali harta berharga hingga hewan ternak. Dan Jaka dan Yata semakin terkejut batin saat melihat salah satu gerobak membawa beberapa perempuan yang sedang meringis dengan keadaan tangan dan mulut terikat.

"Lastri??" gumam Yata ketika melihat kakak kandungnya ikut terikat di atas gerobak. Tapi segera Jaka menahan mulut sahabatnya itu karena takut mereka akan ketahuan.

Jaka dan Yata bergetar hebat karena sepertinya mereka tahu siapa orang-orang yang baru saja melewati mereka. Mereka pastilah Kelompok Tengkorak yang sudah terkenal rumornya di Tanah Jawa.

Setelah memastikan tidak ada lagi yang lewat, dengan cepat Jaka dan Yata berlari pontang-panting ke arah desa mereka. Tapi semakin mereka mendekat ke desa, semakin risau hati mereka. Hingga pikiran yang sebenarnya tidak ingin terjadi, telah terjadi.

Kobaran api melahap beberapa rumah. Beberapa orang tampak berlari dan menjerit kesana kemari dalam keadaan tubuhnya terbakar. Banyak mayat-mayat bergelimpangan di tanah.

Segera kedua pemuda itu pun berlari ke arah rumah mereka, Jaka pun terjatuh lemas setelah sampai di rumah. Begitupun Yata di rumahnya. Kedua orang tua mereka telah merenggang nyawa.

Bab 2 : Keputusasaan

Jaka menangis tanpa henti memeluk jasad ibunya. Di sebrangnya jasad ayahnya tergeletak. Terbesit harapan kedua orangtuanya hanya terluka saja, tapi ia pun sadar jasad keduanya sudah sangat dingin.

Telah kering air matanya, tapi tidak bisa juga menyembuhkan hatinya yang baru kehilangan dua orang yang ia sayangi itu.

Betapa kejamnya Kelompok Tengkorak itu Jaka membatin. Padahal sudah jelas mereka tidak punya harta benda berharga. Tapi tetap saja mengapa bisa kedua orangtuanya tetap dijadikan korban.

Perlahan ia meletakkan tubuh ibunya. Dengan lemas ia berdiri, ia juga ingin memastikan apakah masih ada penduduk desa yang selamat atau setidaknya masih bisa diselamatkan.

Tapi baru saja Jaka keluar dari rumah, matanya terbelalak ketika melihat Yata tampak tidak berdaya sedang terduduk tepat di depan rumahnya, yang membuat Jaka terbelalak adalah sahabatnya itu sedang memegang pisau yang sudah ia angkat ke atas dan hendak menghujamkan kepada dirinya sendiri.

"Yata!!!" jerit Jaka kencang.

Yata tidak menoleh. Segera Jaka berlari ke arah Yata terpontang-panting.

Buak!

Jaka menyepak tangan Yata dengan keras hingga membuat pisau yang ia genggam terlempar.

"Yata!! Apakah kau sudah gila! Dimana akalmu!" jerit Jaka tepat di depan wajah Yata karena sangat marah dengan Yata yang hendak bunuh diri. Jaka meremas kuat pakaian Yata.

Yata hanya menatap Jaka dengan tatapan kosong. Sama seperti Jaka, matanya pun tidak kalah sembab.

"Jaka, sudah tidak ada lagi alasanku hidup. Orangtuaku mati, kakakku ditangkap mereka. Mungkin ia besok telah dipaksa menjadi seorang sundal," ucap Yata tidak berdaya.

"Yata masih ada aku disini! Dan kita masih bisa menyelamatkan kakakmu entah bagaimana pun caranya!"

Mendengar bentakan Jaka tersebut Yata pun tersenyum tipis. "Apa yang bisa kita lakukan? Dua pemuda yang tidak pernah ikut perguruan bela diri ingin melawan Kelompok Tengkorak? Apa kau tidak lihat yang disana...?"

Yata menunjuk lurus ke arah salah satu bangunan yang masih lahap terbakar api. Bangunan tersebut adalah tidak lain perguruan silat desa mereka.

"Bahkan mereka yang telah belajar bela diri dari lahir tidak ada tampaknya yang selamat. Bangunan yang dari dulu ingin kau masuki itu terbakar seolah tidak ada gunanya sekarang," lanjut Yata sambil tersenyum tipis.

"Yata!!!" Buak!

Jaka yang geram langsung memukul wajah Yata hingga membuat wajahnya terlempar ke samping.

Jaka semakin geram karena Yata masih belum menghilangkan senyum dari wajahnya.

Plas!! Yata menepis tangan Jaka yang sejak tadi meremas pakaiannya. Kemudian Yata bangkit dan menatap Jaka tidak senang.

"Andai saja aku tidak mengajakmu hari ini memancing, mungkin ayah dan ibuku masih bisa aku selamatkan dan begitupun kakakku," ucap Yata dingin.

Jaka sontak menyeringai. "Kau? Ingin berkelahi dengan Kelompok Tengkorak? Haha jangan bermimpi! Apa yang bisa dilakukan oleh anak sepertimu yang sehari-harinya hanya membaca buku dan kitab?"

Mata Yata pun sontak melotot marah. "Jaka, kau meremehkan aku?"

"Bukan meremehkan, tapi semua orang di desa ini bahkan tahu jika kemampuan berkelahimu lebih buruk dariku."

"Jaka!!!"

Buak! Yata yang sedang tidak bisa mengendalikan dirinya langsung meninju Jaka sekeras ia bisa.

Jaka yang baru saja dipukul terpantik emosinya dan membalas pukulan sahabatnya itu. Buak!

Pada akhirnya kedua sahabat itu pun berkelahi tepat di depan rumah mereka saat api yang membakar desa mereka masih belum padam.

Keduanya yang sebenarnya sedang sama-sama marah dengan Kelompok Tengkorak malah tanpa sadar melampiaskan kemarahan mereka kepada kawan mereka sendiri.

"Mati kau Yata!!!" Buak! Yata terhempas ke tanah setelah Jaka menghantam perutnya dengan lutut.

Jaka langsung naik ke tubuh Yata dan memukulnya tanpa henti. Buag! Buag! Buag!

Seperti yang dikatakan Jaka terakhir kali, kemampuan Yata bertarung tidak lebih baik daripada Jaka. Karena Yata pun tidak masuk perguruan sama seperti Jaka, walau dengan alasan yang berbeda.

Yata sejak awal memang tidak begitu suka dengan hal bela diri atau apapun yang berkaitan dengannya. Yata lebih suka membaca buku-buku tebal dari rak buku ayahnya yang seorang cendekiawan.

Jaka sudah lupa berapa kali ia memukul sahabatnya itu. Hingga tangannya berhenti memukul saat ia lihat Yata tersenyum dengan wajah sudah penuh darah.

"Lakukan Jaka, lakukan. Gunakan pisau disana agar kau lebih cepat membunuhku," ucap Yata yang air matanya sudah mengalir.

Ternyata sejak awal Yata tidak kehilangan dirinya. Ia bersandiwara seolah-olah sangat menyesal karena telah memancing hari ini hanya untuk memancing Jaka.

Jangan kan menghadapi Kelompok Tengkorak, Yata pun sadar ia tidak bisa melawan Jaka. Jadi ia berharap Jaka dapat membunuhnya karena ia sendiri masih begitu takut untuk membunuh dirinya sendiri.

Melihat Yata seperti itu Jaka pun sontak secepatnya bangkit karena ia mulai sadar telah jatuh ke perangkap Yata yang cerdas.

Air mata Jaka pun ikut menetes setelah mencerna situasi betapa sudah putus asanya Yata sekarang.

Yata tidak bisa bangkit lagi bahkan tidak ingin bangkit lagi. Tapi tiba-tiba Jaka yang berdiri tegak ikut berbaring tepat di samping Yata.

"Yata, aku pun sangat ingin mati saat ini. Baiklah mari kita mati. Tapi berjanjilah hanya untuk sesaat. Karena kita tetap harus membalas dendam dan menyelamatkan kakakmu, Lastri."

Yata pun sontak menangis tersedu-sedu lagi dengan keadaan berbaring. Jaka pun demikian tidak dapat membendung air matanya saat mereka tergelak sejajar dengan mayat bergelimpangan disana.

Keduanya terus menangis hingga mata mereka merasa sudah sangat lelah. Hingga akhirnya mereka terlelap di tanah desa mereka yang telah menjadi desa mati.

***

Hari sudah petang Jaka tersentak dari tidurnya. Ia terkaget karena Yata sudah tidak ada di sampingnya. Tapi tiba-tiba ia mencium aroma ikan bakar yang sangat sedap. Ternyata Yata sudah bangun lebih awal dan membakar ikan tangkapan mereka terakhir kali sedikit jauh di tanah yang tidak ada gelimpangan mayat.

Jaka merasa sangat canggung hendak menyapa sahabatnya itu mengingat apa yang terjadi dengan mereka terakhir kali. Jaka pun akhirnya bangkit dan terpikir untuk membuat lubang untuk mayat-mayat warga desa itu sebelum mendatangi Yata yang sedang memanggang ikan.

Yata yang sama canggungnya hanya diam ketika melihat Jaka keluar dari satu rumah dengan membawa sebuah cangkul, lalu Jaka pun tampak mulai menggali sebuah lubang.

"Akan butuh banyak sekali lubang untuk mengubur seluruh mayat disini," gumam Yata pelan. Karena sebelumnya ia sudah sempat berkeliling saat Jaka masih terlelap. Tidak ada satu warga pun yang selamat kecuali para gadis muda yang diculik oleh mereka. Tidak salah lagi, pastilah Kelompok Tengkorak yang memang menyerang mereka. Sama persis dengan berita yang terdengar belakangan ini.

"Jaka! Mari makan dahulu! Dari pagi kau belum makan. Kau tidak akan ada tenaga untuk menggali lubang itu!" celetuk Yata yang akhirnya menurunkan egonya terlebih dahulu.

"Mari makan, setelahnya kita akan melakukannya bersama," lanjut Yata lagi.

Mendengar hal itu Jaka yang memang sudah sangat lapar pun setuju.

Tapi saat Jaka hendak mendekati api unggun yang dibuat oleh Yata, Jaka seperti melihat beberapa bayangan bergerak tepat di belakang salah satu rumah.

"Jaka? Ada apa?" tanya Yata yang heran dengan gelagat Jaka.

"Sepertinya ada sesuatu disana," balas Jaka menunjuk ke rumah yang ia maksud.

Yata pun jadi ikut melirik ke arah yang dimaksud Jaka. Benar saja, seperti ada sesuatu yang bergerak disana dan seolah terus mengawasi mereka.

Jaka dan Yata pun sontak merinding ketika perlahan mulai melihat mata-mata menyala dalam kegelapan disana.

Bersambung..

Pusaka Langit Bab 1 dan 2