-4- Kecewa dan iri, ternyata sama sakitnya

2
3
Deskripsi

Layaknya bunga-bunga kecil yang tumbuh di sepanjang jalan setapak yang Ardinata lewati digelapnya malam. Papa Rendy dan Ditya adalah bunga-bunga kecil itu, setitik cahaya yang Tuhan berikan untuk menemani Ardinata, mempertahankan keinginannya untuk hidup hari demi hari. 

post-image-67e2bc1ee1d04.jpeg

Bab 4

Kecewa dan iri, ternyata sama sakitnya

Ardinata memandangi surat undangan pengambilan rapor yang di share melalui aplikasi pesan di ponselnya itu lama sekali. Sekarang sudah pukul tujuh malam, yang berarti tepat satu jam berlalu sejak ia menerima surat undangan itu. Sudah berbagai posisi ia lakukan mulai dari rebahan di atas tempat tidur, berdiri di balkon hingga sekarang duduk di depan meja belajarnya, hanya untuk mempertimbangkan keputusan yang seharusnya sangat sederhana untuk dilakukan seorang anak. Sekedar menunjukkan undangan pengambilan rapor semester dua nya kepada Mama. 

Bukan apa-apa, hanya saja, selama enam belas tahun Ardinata hidup, belum pernah sekalipun Mama datang ke sekolahnya untuk urusan apapun, termasuk mengambil rapor. Ia alihkan pandang pada sebuah foto yang terpajang rapi di atas meja belajarnya. Itu adalah foto yang di ambil saat pertama kali ia masuk Taman Kanak-kanak. Foto yang mengabadikan Eyang Rahayu menggendong dirinya yang sedang semangat-semangatnya memakai seragam untuk pertama kali. Lalu, kalimat ‘seandainya’ pun tak bisa ia cegah untuk hadir dalam pikiran. Seandainya Eyang masih ada di sini bersamanya, mungkin ia tak akan terlalu kesusahan menjalani hidup sepuluh tahun belakangan. Juga, meskipun Mama belum bisa menyayanginya, paling tidak, ia tak akan kebingungan untuk hal-hal sederhana, seperti pengambilan rapor. 

Kemudian, langit malam yang terlihat dari jendela kamarnya tampak layaknya layar yang menampilkan kembali tragedi kala itu. Ketika tubuh Eyang terpental beberapa meter ke depan setelah di tabrak oleh sebuah mobil, di depan mata Ardinata yang masih enam tahun. Bahkan ketika sepuluh tahun berlalu, rasa sakit itu masih ada. Sesak masih kerap hadir ketika ingatan itu tiba-tiba muncul. Apalagi tragedi itu juga menjadi jurang yang semakin memisahkan dirinya dari Mama. Sebab, sejak kecelakaan yang menimpa Eyang hingga menyebabkan wanita itu meninggal dunia. Mama semakin membentang jarak dengan dirinya.

Jemari pemuda itu bergerak memijat pelipis, memikirkan Mama dan kembalinya ingatan mengerikan itu membuat kepalanya berdenyut sakit. Hingga suara ketukan di pintu kamar yang disusul dengan panggilan namanya membuyarkan semua lamunan menyakitkan itu.

“Nat, gue masuk, ya?” 

Kemudian sosok itu membuka pintu tanpa menunggu jawaban dari si pemilik kamar. Lalu duduk bersila di atas tempat tidur Ardinata. 

“Gimana besok? Udah liat undangan kan?” tanya pemuda itu pada Ardinata. 

“Gue nggak berani bilang Mama. Takut di tolak lagi.” 

Pemuda di depan Ardinata itu kemudian menghembuskan napas kasar. “Biar di ambilin Papa aja lagi, ya,” tawarnya. 

“Kan Papa juga ambil rapor lo, Dit.”

“Yaelah kan satu sekolah juga.” 

Ditya, pemuda itu, mengerti sepenuhnya isi hati Ardinata. Tinggal bersama selama delapan tahun membuat pemuda tujuh belas tahun itu dapat dengan mudah memahami apa yang ada dipikiran dan hati sang adik tiri. 

Bukannya Ardinata tidak mau, hanya saja, jauh di lubuk hatinya, ia ingin Mama meluangkan waktu sedikit saja untuk dirinya. Karena, selama ini tidak pernah sekalipun Mama menaruh perhatian pada apa yang ia lakukan, apa yang ia dapatkan, apa yang ia alami. 

Mungkin bagi sebagian orang rapor bukanlah hal yang begitu penting. Tapi bagi Ardinata, itu adalah hasil perjuangannya melakukan yang terbaik selama satu semester. Sebuah upaya klasik yang seorang anak lakukan untuk meminta perhatian pada ibunya. 

Sayangnya, Mentari masih buta untuk menyadari upaya sang putra. Tidak peduli prestasi apa yang Ardinata dapatkan, Mama akan selalu menganggapnya sebagai hal yang tidak berharga. Dan mungkin, rapornya kali inipun akan berakhir sama. Seperti semester lalu, setelah Papa mendatangani kolom tanda tangan orang tua dan memberikan selamat atas prestasi juara kelas yang Ardinata dapatkan, rapor itu hanya akan berada di atas meja belajarnya selama dua minggu sebelum dikembalikan ke sekolah setelah liburan usai. 

Sorry, ya Dit.”

“Hmm?”

“Lo jadi harus bagi-bagi kasih sayang Papa sama gue.” 

“Apaan, sih. Aneh. Papa bakal sedih banget kalo tau lo bilang kayak gitu, Nat. Lo tau kan?”

Layaknya bunga-bunga kecil yang tumbuh di sepanjang jalan setapak yang Ardinata lewati digelapnya malam. Papa Rendy dan Ditya adalah bunga-bunga kecil itu, setitik cahaya yang Tuhan berikan untuk menemani Ardinata, mempertahankan keinginannya untuk hidup hari demi hari. 

“Udahlah, besok rapor lo biar di ambil Papa aja, nanti bilang aja, sekalian ambil punya gue. Sekarang makan dulu yuk, Papa udah pulang, tinggal nunggu lo doang ini.” 

“Papa udah pulang? Kok gue nggak denger suara mobilnya?” 

***

“Kalo gitu Ditya besok bilang ke wali kelasnya dulu kalo Papa datangnya akan terlambat, ya. Minta ijin dulu ke wali kelas kamu.” 

Ardinata memandang keempat anggota keluarganya bergantian. Meskipun Papa Rendy dengan senang hati mengulurkan tangan dan Ditya juga mengangguk tanpa berpikir, namun masih tetap ada rasa tidak nyaman di hati Nata. 

Dalam diamnya, Nata masih menyimpan keinginan supaya Mentari lah yang datang ke sekolah. Beberapa saat yang lalu, ketika mereka berlima sudah siap di kursi makan masing-masing. Dengan segenap keberanian yang Nata punya, pemuda itu menyampaikan pada Mentari undangan pengambilan rapor itu, memohon dengan jelas supaya Mentari berkenan untuk hadir.

Sesunggunya Ardinata sudah menyiapkan hati untuk semua kemungkinan jawaban, terutama untuk kemungkinan terburuk, seperti yang sudah-sudah. Namun, setelah semua kalimat ia utarakan dengan jelas. Mentari masih diam tanpa kata apapun, wanita itu memilih tetap menyibukkan diri menyiapkan makanan untuk putri bungsunya, Aleena Shanum Sanjaya. 

Menempatkan bocah enam tahun itu di kursi makannya sendiri, menyiapkan mangkuk nasi dan diisi dengan berbagai sayur dan lauk dengan porsi yang sudah Mentari sesuaikan, menuangkan air minum ke dalam gelas bergambar unicorn milik Aleena. Sehingga permintaan sederhana dari Ardinata hanya berakhir mengudara tanpa jawaban.

Hingga Ditya yang paham situasi berusaha menjadi penengah, dengan menawarkan Rendy untuk mengambilkan rapor milik Ardinata juga, mengingat mereka satu sekolah. “Atau Papa aja yang ambil sekalian, kan satu sekolah juga, kasian Mama kalo harus ambil cuti setengah hari,” ujarnya beberapa saat yang lalu.

“Papa ambil rapor nya Ditya dulu nggak apa-apa kok, Pa.”

Rendy meletakan sendok ke piringnya, kemudian ia bawa tangannya untuk mengusap belakang kepala Ardinata yang duduk di sebelahnya. Wajah teduh Rendy kini menjadi pusat perhatian Ardinata. Usapan lembut di belakang kepalanya juga turut menyalurkan rasa hangat ke dalam hati.

“Nggak apa-apa gantian, yang semester satu kemarin kan udah Ditya duluan, sekarang gantian Nata dulu, lagian nggak enak dong sama wali kelas kamu.” 

Lantas dengan senyum yang mengembang, Nata mengangguk. “Makasih, Pa.”

Sedangkan di seberang sana, Mentari diam-diam susah payah menekan dadanya akibat memendam emosi sejak tadi. Interaksi antara Ardinata dan Rendy selalu menimbulkan sensasi aneh di hati wanita itu. 

“Ma, Aleen mau hati ayamnya lagi.” 

Terlalu larut dengan banyak prasangka di benaknya sendiri, membuat Mentari sedikit terkejut mendengar permintaan putrinya. 

“Iya sayang, Aleen mau hati ayam lagi?”

Mentari mengedarkan pandang pada berbagai menu di atas meja. Kemudian ia diam ketika menyadari posisi piring berisi hati ayam itu tepat berada di depan Ardinata, namun tidak terjangkau oleh tangannya. Untuk sejenak, dua pasang mata itu sempat beradu pandang. Sebelum Mentari memilih menjadi yang pertama memutusnya. 

“Pa, tolong ambilin,” ujarnya kemudian.

“Oh, iya.” Lantas Rendy mengambil satu piring hati ayam itu dan menyerahkannya pada Mentari.

Mentari dengan telaten memotong-motong hati ayam itu menjadi potongan kecil sebelum menaruhnya di mangkuk Aleena. Kemudian ia memeriksa air minum bocah itu, dan ketika ia dapati gelas itu telah kosong, Mentari berdiri dan berjalan ke arah dispenser air dan kembali lagi ke kursi dengan gelas berisi air penuh. 

Mentari tidak sadar bahwa sejak tadi ada sepasang mata yang memerhatikan setiap inci gerakan yang ia lakukan untuk Aleena. Ardinata memerhatikan setiap bentuk perhatian Mentari untuk adik bungsu nya. Lalu, tanpa bisa ia cegah, ingatannya membawa Nata ke masa lalu, dimana ia berada diusia yang sama dengan Aleena.

Ardinata ingat sekali, belum lama dari saat Eyang Rahayu meninggal, ia yang kala itu kelaparan karena belum mengisi perutnya dengan apapun sejak semalam, terpaksa harus memakan makanan sisa milik Mentari yang belum berkurang setengahnya. Mentari tidak menyiapkan apapun untuk dirinya, dan bocah enam tahun itu belum mengerti sama sekali untuk sekedar menyiapkan makanan untuk diri sendiri. 

Namun ternyata Nata salah, makanan yang ia kira sengaja di tinggalkan Mentari karena sudah kenyang itu, bukan begitu adanya. Mentari kembali dari arah kamar sambil membawa ponselnya di tangan. Jelas sekali dalam ingatan Nata bagaimana Mentari marah setelahnya.

“Kamu apakan makanan Saya?” 

“Kamu kira saya beli makanan itu untuk kamu makan?”

“Bukan urusan saya kamu udah makan atau belum, ibu saya yang biasa nyiapin makanan buat kamu udah kamu bunuh, kan?” 

Setiap kalimat dan tindakan Mentari kala itu melekat sangat erat dalam memori Ardinata. Dan malam itu menjadi saksi salah satu luka yang tidak akan pernah bisa ia lupakan bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. 

“Nat…” 

Itu adalah panggilan ketiga dari Ditya yang masih tetap diabaikan Nata. Sebab, ketika Ditya secara tidak sengaja melihat kedua tangan Nata yang mengepal erat di bawah meja, disaat itulah ia menyadari bahwa Nata mungkin sedang berperang dengan pikirannya. Oleh karena itu, Ditya berusaha menghentikan sebelum pergerakan jemari Nata di bawah sana menyakiti dirinya sendiri. 

Tidak tahan terus diabaikan, akhirnya Ditya mengetukkan jemarinya di depan Ardinata, berusaha mendapatkan perhatian pemuda itu. 

“Nata,” panggilnya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas. 

Ardinata sedikit terperanjat karena panggilan Ditya. Lantas ia menoleh dan bertanya ‘ada apa’ lewat ekspresi wajahnya. 

“Mikirin apa sih?” tanya Ditya. 

Namun, pertanyaan itu terjawab dengan hembusan napas kasar dari sang adik. “Enggak, bukan apa-apa.”  

***

Sepuluh tahun yang lalu, dua minggu setelah Eyang Rahayu meninggal

Ardinata melirik jam digital di atas meja belajarnya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah sejak sore anak itu duduk bersila di atas tempat tidurnya. Perutnya lapar sekali. Makanan terakhirnya adalah sate ayam yang di bawa Om Rendy tadi malam. 

Sudah berkali-kali ia berjalan kedapur,  mencari-cari apapun yang bisa untuk mengisi perutnya meski sedikit. Tapi, semua mie instan yang semula ada di rak dapur kini sudah habis. Sudah ia pakai untuk mengganjal perut di hari-hari kemarin meski tanpa di masak. Susu bubuk cokelat yang ia tahu selalu Eyang simpan di rak dapur pun juga sudah habis ia seduh setiap hari. Tadi sore Ardinata melihat ada telur mentah di kulkas dapur, tapi ia tidak tahu cara memasaknya. Dan akhirnya, ia bawa kaki kecilnya kembali ke kamar dengan hanya membawa segelas air. 

Mentari belum pulang sejak pergi untuk bekerja tadi pagi. Wanita itu juga tidak pernah menyiapkan makanan apapun untuk sang putra. Membiarkan keberadaan Ardinata diantara ada dan tiada. Anak itu hanya makan jika Om Rendy datang bersama Ditya dengan membawa makanan untuk mereka berempat. Seperti tadi malam. Selebihnya, Ardinata hanya bisa mengisi perutnya dengan air, sisa makanan ringan yang digunakan untuk selamatan, susu bubuk cokelat yang bisa ia seduh dengan air panas dari dispenser dan juga mie instan mentah karena anak itu bahkan tidak tahu bagaimana cara menyalakan kompor. 

Tapi setelah beberapa hari, semua stok makanan pada akhirnya habis juga. Dan Ardinata terlalu takut untuk meminta pada Mama. 

“Nata kangen Eyang.” 

Anak itu menangis dalam kesendirian, di kamarnya yang sepi. 

Lalu, suara deru mobil di halaman rumah mengambil perhatian Nata. Sudah pasti itu Mama. Maka dengan langkah kecil penuh keraguan, Ardinata memberanikan diri keluar dari kamar. Ia ingin bertanya pada Mama, menanyakan apakah ada makanan yang bisa ia makan. Karena sungguh, ia lapar sekali. Ardinata bisa melihat Mentari memasuki rumah dari ujung tangga. Lalu ia melangkah ke bawah, menuruni anak tangga satu persatu sembari mengumpulkan keberanian sedikit demi sedikit. 

Tetapi, langkahnya terhenti di tengah tangga. Kedua ujung bibir anak itu turun ketika Mentari berjalan melewati tangga menuju ruang makan dengan menenteng kresek berisi makanan. Namun, yang Ardinata lihat, hanya ada satu porsi disana. 

Ardinata diam-diam mengikuti langkah Mentari ke ruang makan. Lalu anak itu berhenti di belakang tembok dan mengamati Mentari dari sana. Aroma wangi makanan itu semerbak ke indra penciuman Nata ketika Mentari mengeluarkan makanan itu dari tempatnya. 

Ia lihat Mentari duduk di kursi makan, meletakkan tas kerja di kursi sebelahnya. Kemudian berjalan menuju watsafel untuk mencuci tangan, mengambil sendok dari tempatnya dan kembali ke kursi.

Ardinata mengamati Mentari dari sana, dari balik tembok yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang makan. 

Disana ia melihat Mama menikmati makan malamnya, dengan masih mengenakan setelan baju kerja dan ponsel di samping makanan. Tanpa dirinya, tanpa Ardinata. Tanpa tahu atau mungkin tanpa memedulikan bahwa sang putra juga sama laparnya. 

Ardinata memijat perut dengan jemari kecilnya. Ketika titik itu terasa seperti dililit tali hingga membuat anak itu meringis. Kemudian ia merasakan kedua matanya menghangat, menimbun air mata yang siap jatuh kapan saja. 

Ardinata sudah akan menyerah dan memutuskan kembali ke kamarnya, jika saja ia tidak melihat Mentari beranjak dari kursi. Berjalan menuju tangga dengan cepat dan melewati sang putra tanpa menoleh sedikitpun.

Lalu, tanpa berpikir panjang, Ardinata berjalan mendekat ke meja makan. Kemudian duduk di kursi yang sama dengan sang Mama. Nasi dan bebek goreng yang sudah bercampur sambal itu tampak begitu menggiurkan. Apalagi perutnya sejak tadi sudah sakit karena saking lamanya menahan lapar. Maka tanpa mempertimbangkan apapun lagi, ia mulai menyantap makanan itu, sesuap demi sesuap, sedikit mengabaikan toleransi pedas yang bisa di terima lidahnya. Mama sudah meninggalkan makanan ini disini, bukankah itu berarti Mama sudah selesai? Begitu pikirnya.

Tetapi ternyata, Ardinata salah. Karena hanya selang beberapa menit sejak ia duduk, Mentari berjalan dengan langkah cepat sekali. Kemudian tanpa aba-aba menarik lengan Ardinata hingga anak itu jatuh terjerembab ke lantai. 

“Kamu apakan makanan saya?” hardik wanita itu. 

“Kamu kira saya beli makanan itu untuk kamu makan?”

“Tapi Nata lapar banget, Ma. Nata belum makan dari tadi pagi. Dan sekarang perut Nata rasanya sakit sekali.” 

Kenyataannya, meskipun bocah kecil itu mengungkapkan rasa laparnya dengan suara bergetar dan sangat memilukan. Itu masih tidak cukup menggetarkan hati Mentari untuk putra kandungnya sendiri. 

“Bukan urusan saya kamu udah makan atau belum, ibu saya yang biasa nyiapin makanan buat kamu udah kamu bunuh, kan?” 

Dari sekian banyak kalimat kasar dari Mentari, ternyata semua tidak sebanding dengan sakitnya mendengar kalimat yang baru saja wanita itu ucapkan. 

“M-maksud Mama apa apa? Nata nggak ngerti, Ma.” 

Ardinata tidak mengerti maksud Mama. Apa maksud dari perkataan Mama, Nata yang membunuh Eyang? Eyang kecelekaan. Ardinata melihat dengan mata kepalanya sendiri. Bahkan bayang-bayang tubuh Eyang yang terlempar hingga genangan darah di sekitar kepala Eyang kala itu masih terekam jelas dalam ingatannya, menyiksanya diam-diam. Hingga terkadang membuatnya kesulitan bernapas.

Mentari berteriak frustasi. 

“Kamu bilang kamu lapar, kan? Sini ikut saya!” 

Lalu yang terjadi selanjutnya adalah Mentari menarik kasar lengan Ardinata. Menyeret tubuh kecil itu hingga membuat langkah Ardinata terseok-seok, menuju kamar mandi yang terletak di sebelah dapur. 

Mentari melempar tubuh kecil Ardinata ke bawah shower, menyebabkan tubuh bocah kecil itu membentur dinding dengan keras. Kemudian ia nyalakan shower itu dan mengarahkannya ke wajah sang putra. 

“Kamu laper kan? Nih, minum sampe kamu kenyang!” 

Ardinata masih berusaha mengerjap dengan benar saat tiba-tiba Mentari mengarahkan air shower ke wajahnya. Ardinata gelagapan. Ia kesulitan bernapas. Hidung dan tenggorokannya terasa seperti terbakar karena air yang masuk kesana. Lalu dengan suara terputus-putus, anak itu mecoba mendapatkan pengampunan dari Mama. 

“Ampun Mama…, Nata minta maaf.”

“Baru sekarang kamu minta maaf. Setelah kamu bikin ibu saya meninggal. Baru sekarang kamu minta maaf! Baru sekarang minta ampun?!” 

Kepala Ardinata rasanya sakit sekali. Dan Mentari masih belum menyerah dengan air shower yang ia arahkan pada sang putra. Ardinata mencoba menghalangi air yang mengenai wajahnya dengan telapak tangan, tapi tidak begitu berhasil. Air shower itu terasa seperti jarum yang mengenai kulit wajah Ardinata dengan brutal. Sakit sekali. Dengan sesekali menghindar, Ardinata mencoba mendongak, mempertemukan tatapan matanya dengan Mama. 

“Nata sesak, Ma.”

“Masa bodo, saya nggak peduli!”

Namun, alih-alih berhenti. Mentari justru menarik lengan Ardinata dan mencekeramnya disana.  Sehingga kini Nata tidak punya apa-apa lagi untuk menghindari air itu. Bahkan ketika Ardinata terbatuk-batuk dengan suara yang begitu menyakitkan, Mentari masih belum berhenti. 

“Saya nggak peduli kamu hidup atau mati, toh saya sebenarnya udah berusaha bunuh kamu sejak kamu belum lahir. Ibu saya yang melarang!” 

Detik itu, Mentari melempar kepala shower dengan keras hingga mengenai pelipis sang putra. Dan disaat itulah, untuk hal yang sebelumnya tidak pernah Ardinata tunjukkan di depan Mama. Malam itu ia tidak bisa menahan untuk tidak menangis dengan keras di hadapan Mama. Ardinata menangis sesenggukan dengan isakan yang begitu memilukan. 

Setelah mengatakan itu, dan mendengar Ardinata menumpahkan air mata disana. Mentari berbalik keluar kamar mandi. Seolah tangisan sang putra hanyalah angin lalu yang harus ia hindari. Bahkan setelah menyakiti Ardinata sebanyak ini, Mentari bisa melenggang pergi seperti tidak pernah ada yang terjadi. 

Ardinata masih disana, dengan tangis yang belum reda, juga dengan tetesan air yang terus jatuh dari ujung-ujung rambutnya. 

Kenyataannya penyebutan ‘saya’ alih-alih ‘mama’ yang digunakan Mentari sejak tadi memberikan luka tersendiri untuknya. Karena, meskipun belum bisa menjelaskan dengan kata-kata, Nata cukup paham perbedaan penggunaan dua kata itu.

Juga pernyataan dari Mama bahwa ia memang tidak pernah di inginkan sejak awal. Berhasil menyiksa batin bocah enam tahun itu hingga hancur berkeping-keping, tak berbentuk, yang ternyata belum bisa utuh kembali bahkan setelah bertahun-tahun ke depan. 

***

post-image-67e2bc9cc5f83.jpeg

Kasih like dan komentar ya.. 

Satu like dan komentar dari kalian tuh berharga banget guys, serius deh… 

25 Maret 2025

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya -3- Kehilangan adalah awal dari luka
1
0
Dalam sayup-sayup ingatan Ardinata, di tengah-tengah kalimat sihir yang Eyang bisikan saat ia menjelang tidur. Di satu waktu, Eyang pernah berkata pada nya untuk tetap menyayangi Mama meski nanti Eyang tidak bisa ia temukan dimana-mana.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan