-2- Di mata Mama, aku selalu salah

2
0
Deskripsi

Sayangnya, dari semua pilihan kalimat penenang yang bisa di ucapkan Mentari, wanita justru memilih kalimat tanya penuh ketidakpercayaan. Nyatanya, bocah enam tahun itu juga sudah bisa merasakan kecewa. Kecewa karena ternyata Mama tidak memercayainya. Kecewa karena ternyata Mama masih meragukannya. 

post-image-67d5535b0acd4.jpeg

Bab 2 

Di mata Mama, aku selalu salah

Kehadiran Eyang Rahayu bagaikan payung di tengah derasnya hujan, layaknya danau di gersangnya hidup Ardinata bersama Mama. Sejak Ardinata berada di dalam kandungan ibu nya, bisa di bilang Rahayu lah yang merawat. Wanita tua itu yang menyiapkan semua keperluan kehamilan putrinya, yang memaksa Mentari merawat kandungannya sedemikian rupa. Karena pada kenyataannya, Ardinata adalah anak yang tidak terlalu di harapkan kehadirannya oleh ibu kandungnya sendiri. 

Di banyak waktu yang Rahayu lewati bersama Ardinata, wanita tua itu selalu menanamkan sisi positif dalam segala hal pada cucunya, termasuk tentang Mamanya. Di setiap kesempatan yang ada, Rahayu selalu membisikkan sisi baik dari Mentari pada putranya. Saat menemani Ardinata bermain, menyuapi makan, atau yang paling sering adalah di sela-sela waktu menjelang tidur Nata, ketika wanita tua itu menepuk-nepuk lengan kecil Nata untuk memberikan sihir tidur. 

“Mama sebenarnya sayang banget sama Nata”

“Mama adalah wanita yang hebat sekali”

“Mama adalah wanita yang kuat dan luar biasa”

“Maafkan kalau Mama sempat berbuat salah sama Nata, ya nak.”

“Nata harus sayang sama Mama, ya Nak.”

Kalimat sihir yang Rahayu harap bisa menembus alam bawah sadar cucu semata wayangnya. Karena Rahayu tidak mau putrinya jauh dari anak nya sendiri, Rahayu tidak ingin Ardinata sampai tidak menyayangi Mentari. Rahayu, wanita tua itu, hanya tidak mau Ardinata membenci ibu kandungnya sendiri.

Pada kenyatannya, Mentari adalah wanita hebat dan luar biasa, bukanlah bualan Rahayu semata. Mentari terbiasa menyelesaikan semua masalahnya sendiri sejak dulu. Mentari wanita yang cerdas dan pekerja keras. Meski sempat terpuruk karena dikecewakan oleh lelaki di masa lalunya dan di sakiti oleh beberapa orang, Mentari bisa bertahan dari itu semua. Wanita itu bisa meninggalkan semua di belakang.

Namun, setelah semua yang ia tinggalkan, nyatanya masih ada beberapa hal yang menetap disana. Dimana salah satunya adalah rasa benci pada sisi lelaki itu yang tertinggal bersamanya, yaitu Ardinata, putra kandungnya sendiri. Hal lainnya adalah rasa tidak terima ketika di remehkan oleh keluarga Andrean, karena Mentari berasal dari keluarga miskin, karena Mentari berasal dari keluarga yang tidak berpendidikan. Rasa benci akan di remehkan itu ternyata begitu nyata adanya, bersemayam hingga menjadi dendam dan ambisi dalam diri Mentari.

Setelah sukses dengan ujian Magisternya minggu lalu, Mentari sudah resmi menyandang gelar M.M di belakang gelar S1 nya dulu. Sesuai rencana, di malam Minggu yang cerah tanpa awan hari ini, Mentari mengadakan tasyakuran untuk kesuksesannya menempuh S2. 

Tidak banyak yang mereka undang. Hanya beberapa rekan kerja dan kuliah Mentari, dan juga mereka. Mereka yang kehadirannya tidak terlalu di harapkan Rahayu. Namun, wanita tua itu hanya bisa pasrah karena Mentari, putri nya selaku yang mempunyai acara bersikukuh ingin mengudang keluarga besar Andrean, lengkap bersama istri baru, kedua anak kembar dan juga Ayah Andrean.

“Aku mau nunjukkin ke mereka kalau juga sukses kayak gini, Bu. Mereka pikir mereka siapa terus-terusan remehin aku.” Ucap Mentari lima hari lalu, ketika berdebat dengan Rahayu.

Karena selama ini, keluarga jahat itu memang tidak pernah benar-benar melepaskan Mentari. Andrean masih berusaha mengambil hak asuh Ardinata karena menganggap hidup Ardinata akan lebih terjamin jika tinggal bersamanya. Tapi tentu saja, hal itu di tentang habis-habisan oleh Hartono, Ayah Andrean. Akibatnya lelaki tua itu masih sering mengumpati Mentari, menyebut Mentari wanita tidak tahu malu yang terus mengganggu mantan suaminya. Dari semua hal itu, Mentari benar-benar muak. Ia ingin menunjukkan bahwa dia adalah wanita yang berdaya, ia adalah wanita hebat yang bisa sukses dengan usahanya sendiri. 

Rahayu sepenuhnya memahami isi hati putrinya. Ia pun sama sakit hati dengan semua perlakuan keluarga Andrean. Tapi, Rahayu hanya tidak mengerti, mengapa Mentari harus mengundang mereka? Mengapa harus kembali mengundang orang yang memberikan luka?

***

Tasyakuran yang diadakan di rumah Mentari itu akhirnya selesai. Rumah Mentari yang ia tinggali bersama Rahayu dan Ardinata itu adalah hasil jerih payahnya bertahun-tahun yang ia beli sekitar empat tahun yang lalu. Rumah dua lantai itu sejatinya tidak begitu besar, namun Mentari menata rumah itu dengan begitu rapi dan cantik. Beberapa tamu sudah berpamitan bergantian. Kini tersisa beberapa sahabat Mentari saja, juga keluarga Andrean. 

“Hebat banget emang nih sahabat gue. Udahlah single parent, jabatan di kantor mentereng. Sekarang lulus S2 di biayain perusahaan juga. Mau ngiri juga gue sadar diri, Tar.”

Mentari hanya tersenyum menanggapi Luna, sahabatnya sejak dia menempuh pendidikan S1 dulu dan kiri bekerja di perusahaan yang sama. Salah satu perusahaan kosmetik besar di Indonesia. Hanya saja mereka beda divisi. Mentari sebagai Brand Manager, Luna bekerja di bagian Finance

“Ya lo juga bisa kalo mau, Lun. Kan kemarin lo nolak kesempatan beasiswa tuh karena mau fokus sama newborn dulu.” Jawab Mentari dan Luna menaikkan alisnya sebagai jawaban. 

By the way, anak lo mana, Tar. Dari tadi gue nggak liat.” 

Iya juga, dalam hati Mentari juga mengiyakan. Terlalu sibuk dengan acara membuatnya tidak sadar dimana Ardinata. Bahkan ia lupa kapan terakhir melihat anak itu hari ini. 

***

Di tempat lain, Ardinata duduk sendirian di teras rumah. Sejak tadi ia bersama Eyang, tapi sekarang Eyang sedang sibuk memberaskan banyak hal di dalam rumah. Anak enam tahun itu sibuk mengamati beberapa tamu yang memasuki kendaraan masing-masing setelah berpamitan. Sesekali fokusnya terganggu dengan suara kendaraan yang lewat atau suara percakapan dari beberapa orang di sana. 

“Assalamu’alaikum, Nata.”

Tenggelam dengan suasana malam itu membuat Ardinata terkejut saat mendengar suara salam di sebelahnya. Anak itu spontan menoleh, dan mendapati dua orang tidak asing disana. 

Kedua mata Ardinata berbinar hingga ia spontan menegakkan kedua punggungnya. Jujur saja, mereka berdua adalah tamu undangan yang sudah Nata tunggu kedatangannya sejak tadi. 

“Waalaikum salam, Om Rendy.” Ardinata menjawab salam dengan ceria sekali. Bersamaan dengan gerakannya berdiri dari kursi menghambur memeluk lelaki dewasa di sebelahnya itu. 

Rendy membalas pelukan Ardinata tanpa ragu. Adegan seperti ini sudah sangat biasa bagi Rendy. Meski begitu masih belum mengurangi rasa hangat yang di timbulkan ketika badan kecil Ardinata menempel pada tubuhnya seperti ini. Sejak ia mengenal Mentari sekitar tiga tahun lalu, kemudian wanita itu mengenalkan dirinya pada Rahayu dan juga Ardinata beberapa bulan setelahnya. Rendy tidak kesulitan mengambil hati Ardinata, kepribadian Ardinata yang ceria membantu usahanya mendekat. 

“Kok Om Rendy baru datang? Nata nungguin dari tadi, loh.”

Ardinata mengurai pelukannya pada Rendy. Kemudian mendongak untuk menatap wajah yang lebih tinggi. 

“Iya maaf ya sayang. Tadi Om Rendy berangkatnya agak telat karena ada keperluan dulu. Terus jalannya macet banget jadinya lama deh.” 

Terdengar dengusan kecewa setelah Rendy mengutarakan alasannya datang terlambat. Bibir mungil itu tampak manyun sedikit. Dan itu justru membuat Rendy tergelitik gemas.

“Haha.. jangan ngambek gitu dong.” Ujarnya, sambil menyentil gemas hidung mungil Ardinata. 

“Terus kak Ditya mana?” 

Tersadarkan akan sesuatu, Rendy celingak-celinguk mencari keberadaan putra semata wayangnya. 

“Iya.. ya. Dimana kak Ditya? Tadi di belakang Om, kok.” 

Ardinata mengikuti Rendy mengedarkan pandangan ke segala arah. Mencari keberadaan Ditya. Hingga suara keras familiar terdengar mendadak dan sukses membuat Ardinata maupun Rendy terkejut setengah mati.

“DOOORR!!!” 

Itu Ditya, yang muncul dari balik pintu ruang tamu sambil tertawa terbahak-bahak. 

Meski sempat terkejut hingga ritme jantungnya seperti naik seratus kali lipat. Nyatanya, setelah itu justru pekikan girang yang terdengar dari Ardinata.

“Kak Dityaaa. Iihh… kaget tau kaaak.” Keluh Ardinata, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum yang muncul disana. Tangan kecilnya memukul pelan dada Ditya yang kini berada di depannya.

“Tau, nih. Kak Ditya jail banget.” 

“Hahaha… wajah kamu lucu banget, Nat. Papa juga.” Dan Ditya, bocah yang terpaut satu tahun di atas Ardinata itu pun belum juga selesai dengan tawa menggelegarnya. 

Sedangkan di sudut rumah yang lain, ada seorang lelaki dewasa yang menahan gejolak cemburu sejak beberapa menit yang lalu. Andrean, lelaki itu tak nyaman melihat keakraban Ardinata dengan seseorang yang ia ketahui sebagai teman dekat Mentari. 

Setelah beberapa saat mempertimbangkan, Andrean memilih melawan gengsinya sendiri. Ia bawa langkahnya mendekat. Kemudian segara memasang senyum ketika Ardinata menyadari sosoknya.

“Nata..” Andrean menyapa. 

“Ayah?” 

“Ayah nyariin kamu lo dari tadi. Kok kamu nggak keliatan sih sepanjang acara?” 

Dibalik senyum nya, Ardinata sebenarnya menyimpan keraguan atas pernyataan Ayah. Apa iya? Ayah mencarinya? Tapi pertanyaan itu hanya bisa ia utarakan dalam hati. 

“Aku di atas, Yah. Semua lagi repot, jadi kata Mama aku nunggu di atas aja sampai acara selesai. Sama Eyang, kok.”

Tanpa Ardinata tahu, kalimat panjangnya barusan berhasil menyentil dada kedua lelaki dewasa di depannya ini. Mentari belum berubah, ia masih mengasingkan anaknya sendiri. 

“Tadi Ayah dateng sama Alan dan Reno, loh. Kamu sudah ketemu mereka belum?” 

“Belum, Yah.” 

Andrean celingak-celinguk mencari keberadaan putra kembarnya. Kemudian segera memanggil mereka saat netranya menangkap mereka sedang bermain bola di halaman rumah. Andrean memberi isyarat untuk mereka mendekat ke teras rumah dan berkenalan dengan Ardinata. Tapi, rupanya panggilan Andrean di tolak oleh si kembar, mereka justru memberi isyarat untuk menyuruh Nata bermain bersama mereka. 

“Haduuh… Nata, saudara kamu tuh emang gitu. Kamu mau ya main sama mereka.” 

Ardinata terlihat ragu. Lalu, menoleh ke Ditya, memberi isyarat untuk menemaninya.

“Iya, ayok.” Dan seperti biasa, tidak susah bagi Ditya untuk memahami. 

“Jangan keluar gerbang, ya. Jam segini masih banyak kendaraan lalu lalang.” 

Rendy memberi petuah tidak hanya sebagai nasehat, tetapi juga sebagai kalimat pemberian ijin. Karena lelaki itu paham, Andrean hanya sedang cemburu padanya. Andrean hanya sedang berusaha menjauhkan Ardinata dari dirinya. 

***

Sesuai instruksi Andrean, keempat anak itu akhirnya bermain bersama di halaman rumah. Bermodalkan satu bola sepak milik Ardinata yang dihadiahkan Rendy beberapa minggu lalu, mereka berempat berdiri membentuk empat sisi untuk bergantian mengoper bola. 

“Nata, ayo tending bola nya ke sini.” Teriak Ditya. 

“Okee..” Ardinata setengah berteriak karena jarak mereka memang tidak dekat. Kaki kanan Ardinata menendang bola itu dan berhasil di hentikan oleh kaki Ditya di seberang.

“Kak Ditya, gantian ke sini.” Teriak Reno. 

Ditya dengan senang hati menendang bola itu ke arah Reno. Setelah bola diterima oleh kaki kecil Reno, anak itu menendang bolanya ke arah saudara kembarnya, Alan. Begitu bergantian. Meskipun tidak terdengar tawa sebagaimana layaknya anak-anak kecil bermain. Semula, semua berjalan sebagaimana mestinya. Mereka bergantian mengoper bola dengan lancar. 

Hingga pada satu kesempatan, bola yang di tendang Alan, yang seharusnya di tangkap oleh kaki Ardinata, meleset jauh karena Alan menendangnya terlalu kencang. Bola itu menggelinding jauh ke jalanan. Gerbang rumah saat itu memang tidak di tutup untuk jalan para tamu yang hendak pulang. 

“Alan, bolanya keluar pagar.” Ujar Ardinata. 

“Kamu gimana sih, Nata. Harusnya kamu tangkap dong bolanya.” Reno menimpali. 

“Alan nendangnya terlalu kencang tadi. Dan melenceng dari posisi ku berdiri.” 

Meski ada rasa tidak terima atas pembelaan Ardinata, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Alan membenarkan. Namun, ternyata gengsi anak itu cukup besar untuk mengakui kesalahan. 

“Kamu ambil, Nat. Kan sekarang giliran kamu. Kamu juga paling dekat sama bolanya.” Dan akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Alan.

Ardinata tampak ragu sebelum menjawab, teringat pesan Om Rendy tadi supaya tidak keluar gerbang. “Tapi kan kita nggak boleh main keluar gerbang.” 

Kening Reno berkerut, nampak tidak terima dengan alasan Ardinata.

“Kan kita nggak main keluar, Nat. Cuman ambil bola aja. Lagian sekarang emang giliran kamu. Dari tadikan kalau bolanya meleset juga di ambil sama yang punya giliran. Kalau sekarang giliran aku ya aku yang ambil.” 

Ditya yang sedari tadi masih mengamati, akhirnya tidak tahan melihat kedua anak yang lebih muda darinya ini adu mulut. Anak lelaki yang hanya lebih tua satu tahun itu akhirnya berusaha menengahi.

“Udah, nggak ada yang boleh ambil ke jalan ya. Aku minta tolong Papa ku dulu aja. Tunggu di sini dulu.” Ujarnya. 

Setelah beberapa detik menunggu jawaban dan mendapat anggukan dari ketiga nya, Ditya segera berlari ke dalam rumah mencari Rendy. Tapi ternyata, meski masih lima menit berlalu, rupanya Reno beranggapan itu sudah terlalu lama. Jadilah anak itu kembali menodong Nata untuk mengambil bola itu.

“Nat, kak Ditya lama banget. Kamu ambil aja deh, jalannya sepi, kok.” 

Memang jalanan itu tidak ramai, bahkan bisa di bilang sepi. Layaknya jalanan perumahan pada umumnya. Ya tapi tetap saja, masih ada satu dua motor atau mobil yang terkadang lewat. Apalagi di waktu malam seperti ini. 

“Reno aku nggak mau. Tunggu Om Rendy aja, ya.” 

“Kelamaan, Nat. Aku mau cepet main lagi, soalnya setelah ini pasti Ayah ngajak pulang.” Dan setelah itu, Reno berjalan mendekati Nata dan menggeret lengan kakak tiri nya itu untuk keluar gerbang guna mengambil bola. Di setiap langkahnya Nata berusaha menolak, tapi entah kenapa tenaga Reno lebih besar daripada dirinya meski perbedaan usia mereka tidak genap satu tahun. 

Sesampainya di pinggir jalan, Reno terus berusaha mendorong Ardinata untuk mengambil bola. “Ayo ambil bolanya, Nat.” 

“Aku nggak berani, Reno. Kita tunggu Kak Ditya sama Om Rendy aja ya.” 

“Aduuuh, ya udah deh. Kita ambil bareng aja, yuk.” Ajak Reno dan seperti biasa, anak itu sepertinya tidak bisa menunggu respon orang lain, ia langsung bertindak dengan menarik Ardinata berjalan di belakangnya. 

Namun belum juga sampai ke tengah jalan dimana bola itu berada. Suara klakson yang kencang mengagetkan keduanya. Kedua anak itu spontan berteriak dan berhenti di tengah jalan. Sepeda motor yang lewat itu sebenarnya tidak kencang. Tapi sepertinya pergerakan mendadak dari Reno dan Nata di luar prediksi si pengendara. 

Motor itu berhenti tepat di sebelah Reno setelah berusaha menghindar. 

“Jangan main di jalan, apalagi malam-malam begini! Gimana sih?!” Hardik pengendara itu. 

Disaat yang sama, ada Rendy yang berlari tergopoh-gopoh dari arah halaman rumah. Diikuti Ditya di belakangnya, tapi anak itu hanya berhenti di sebelah pagar. Tampak di mata Rendy wajah ketakutan Nata dan Reno, kedua anak itu tampak takut dan gemetar. 

“Maaf ya, pak. Bapaknya nggak apa-apa, kan?” Tanya Rendy. 

“Ya nggak apa-apa, sih. Tapi bahaya banget ini, pak.” 

“Iya, sekali lagi saya minta maaf.” 

Untung saja masalah itu bisa di selesaikan sampai disitu. Kemudian Rendy menuntun Reno dan Nata untuk masuk kembali ke halaman. Dimana ternyata Andrean dan Hartono sudah berlari dari dalam rumah karena mendengar keributan dari luar. 

“Ada apa ini?” Hartono bertanya dengan panik, apalagi ketika melihat cucu nya tampak sangat ketakutan. Dan disaat itu juga, Reno berlari menghambur peluk pada sang Kakek. 

“Kamu ngapain sih Reno? Siapa tadi yang teriak?” Tanya Hartono pada sang cucu. 

“Tadi aku sama Nata mau ngambil bola di jalan, kek. Kita nggak liat ada motor lewat.” Namun rupanya, penjelasan Reno yang tidak lengkap membuat Hartono dan Andrean langsung tersulut emosi.

“Kamu ngapain ngajak Reno ke tengah jalan?”

Ardinata yang tadinya masih diam, kini terperanjat. Nyali anak enam tahun itu langsung ciut mendengar suara tegas Hartono. Tanpa sadar kakinya bergerak satu langkah ke belakang. Dengan kedua mata yang tegang dan fokus pada Hartono di depannya. 

Kemudian dapat ia lihat Mama dan Eyang muncul dari dalam rumah. Dan kini ketiga keluarga itu sudah berkumpul di halaman rumah Mentari, seakan turut ingin menyaksikan persidangan Ardinata. Kedatangan Mama dan Eyang sedikit membuat Ardinata lebih tenang. Oleh karena itu, akhinya dengan suara yang hampir tenggelam oleh angin malam, ia menjawab.

“A-aku nggak ngajak Reno, Kek. Aku udah bilang nunggu Om Rendy dateng aja, tapi Reno nggak sabar pengen cepet main lagi.” 

Tapi sepertinya Ardinata kecil belum sadar bahwa sang Kakek bahkan telah membencinya sejak dirinya berada dalam kandungan sang ibu. Sehingga Hartono memaknai kalimat pembelaan penuh fakta itu sebagai profokasi dan tuduhan pada cucu kesayangannya. 

“Jadi maksud kamu ini salah Reno? Kamu nyalahin cucu saya? Begitu?” 

“Maksud anda apa?” dan kini Rahayu yang mulai tersulut. “Saya lihat tadi anda juga baru dari dalam rumah, jadi anda tidak melihat kejadiannya. Jangan nasal nuduh, ya!” 

“Halah memang satu keluarga tidak ada yang benar, dari dulu sampai sekarang masih saja kampungan.”

Sayangnya, para orang tua yang berdebat itu tidak ada yang sadar bahwa Ardinata, si tokoh utama dari perdebatan ini, sudah gemetar ketakutan. Bahkan kedua mata anak itu sudah mulai memerah. 

Hanya Rendy, lelaki yang tidak ada hubungan darah dengan Ardinata itu yang menyadari gelagat ketakutan dari sang bocah. Dengan pelan Rendy menepuk pundak Ardinata supaya melihat ke arahnya, kemudian tanpa banyak bicara, Rendy berjongkok untuk menggendong Ardinata dan berjalan masuk ke dalam rumah. Mengabaikan semua orang yang masih sibuk dengan argumennya sendiri. 

***

Ketika Om Rendy menggendongnya masuk ke dalam rumah, sesungguhnya Ardinata masih bisa mendengar semua keributan di luar. Mulai dari tuduhan Kakek Hartono, perdebatan Oma dengan semua anggota keluarga itu hingga akhirnya Mama mengusir mereka dari rumah supaya segera pulang. Tentu semuanya berbicara dengan nada tinggi dan penuh amarah. 

Om Rendy dan Kak Ditya masih berusaha menghibur Ardinata hingga saat terakhir mereka berpamitan karena sudah terlalu malam. 

Malam ini terasa sangat melelahkan bagi Ardinata. Hati kecilnya yang rapuh dan murni itu terasa sangat penuh, yang sayangnya, bukan dengan hal baik. 

Namun ternyata, setelah semua hal buruk yang terjadi hari ini. Rupanya Tuhan belum mengijinkan raga kecil itu untuk beristirahat. Ardinata sudah merasa aneh ketika tiba-tiba ia terbangun karena kedatangan Mama ke kamarnya. Tanpa aba-aba Mentari menggendong Ardinata menuju ke kamarnya sendiri. Kemudian menurunkan anak itu supaya berdiri di depannya.

“Ada apa, Ma?” Tanya Nata dengan suara serak. Kesadaran anak itu belum sepenuhnya muncul ke permukaan mengingat Mentari membangunkannya secara paksa.

Mentari membungkuk untuk menyamai tinggi putranya. 

“Benar bukan kamu yang ajak Reno ke jalan?” 

Suara Mentari sangat pelan, bahkan terkesan berbisik, tapi ketegasannya mampu menarik kesadaran Ardinata sepenuhnya. Karena jika Ardinata tidak salah tangkap, ada nada amarah juga disana. Kedua mata kecil sayu itupun kini terpaksa terbuka sempurna. 

Sayangnya, dari semua pilihan kalimat penenang yang bisa di ucapkan Mentari, wanita justru memilih kalimat tanya penuh ketidakpercayaan. Nyatanya, bocah enam tahun itu juga sudah bisa merasakan kecewa. Kecewa karena ternyata Mama tidak memercayainya. Kecewa karena ternyata Mama masih meragukannya. 

“Jawab Mama! Kamu ngajak Reno main ke jalan?” 

“Enggak, Ma. Tadi bola nya pergi jauh ke jalan pas di tendang Alan. Reno ngajak ambil tapi Ardinata nggak mau. Tunggu Om Rendy aja. Tapi… 

…tangan Ardinata di tarik sama Reno.”  

Gugup dan takut membuat Ardinata tidak mampu menyelesaikan kalimat pembelaanya dalam satu kali napas. Bahkan, jika saja Mentari peka, napas anak itu sudah tersendat-sendat karena menahan tangis.

Mentari berdecak. Entah apa maknanya, Ardinata tidak tahu. 

“Ya harusnya kamu tolak terus dong. Masa gitu aja kamu kalah sama Reno.” 

Mata Ardinata semakin merah, dan kini air matanya sudah tak lagi bisa di bendung. Dagu anak itu berkerut dalam. 

“Jangan nangis!!!”

“Reno yang salah, kenapa Nata yang disalahin, sih, Ma?” 

“Lagian ngapain sih kamu pake main bareng Reno Alan segala. Harusnya jangan main sama mereka. Caper banget.” 

“Mama tuh ngundang keluarga Ayah mu biar mereka bisa liat kalau Mama juga bisa sukses. Kenapa kamu rusak rencana Mama sih, pasti tadi mereka pulang sambil mengejek keluarga kita.” 

Kata demi kata yang dilayangkan sang Mama berhasil mencabik hati Ardinata sedemikian rupa. Tapi, yang membuatnya lebih menyakitkan adalah, Mentari menyelipkan satu cubitan di setiap kata yang terucap dari mulutnya. Sejak awal, sejak kalimat tanya pertama yang wanita itu lontarkan. Hingga kini tak terhitung lagi sudah berapa kali jemari sang Mama menyakiti putranya sendiri hingga membiru di sana sini. 

Anak itu, Ardinata, hanya bisa menangis tertahan seperti biasa. Karena nyatanya, hal seperti ini sudah sering terjadi. Tanpa sepengetahuan Rahayu. 

“Lain kali jangan main sama mereka. Jangan bikin Mama malu lagi kayak gini. Paham kamu?!” 

“Jalan pelan-pelan ke kamar kamu, jangan sampe Eyang liat. Awas aja kalau kamu sampai nangis atau ngadu ke Eyang.” 

*** 

post-image-67d553ad3d79a.jpeg

Kasih Love dan Komentar ya…

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya -3- Kehilangan adalah awal dari luka
1
0
Dalam sayup-sayup ingatan Ardinata, di tengah-tengah kalimat sihir yang Eyang bisikan saat ia menjelang tidur. Di satu waktu, Eyang pernah berkata pada nya untuk tetap menyayangi Mama meski nanti Eyang tidak bisa ia temukan dimana-mana.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan