
Falen's punishment.
1,151 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Special Chapter of Strawberry and Cigarette
27
0
Bagian 01Falen kini sedang berada di seat samping kemudi, berkendara dengan si adik sepupu setelah sekian lama cekcok mengenai siapa yang akan memegang kemudi.
Ini--- langsung pulang 'kan? Pandu bertanya pada Falen yang sedari tadi hanya diam. Ah ya, semalam Falen menginap di tempat Mami. Gavian ada kepentingan mendadak malamnya, kalang kabut dia sampai suruh supir Mami untuk jemput Falen. Misuh-misuh juga itu si tampan, minta Pandu ikut menginap agar Falen ada teman. Khawatiran sekarang, paling gak bisa tinggalin Falen sendirian semalaman.
Iya, Ndu, Kak Gavi udah pulang kok.
Pandu mengangguk. Lo masih kepikiran soal punya anak? Gak pa-pa, Len, Mami gak ada maksa kalian cepet punya anak juga 'kan? Thania juga gak begitu nikah langsung ngandung, semua ada prosesnya.
Iya sih, tapi ini udah mau tahun keenam gue nikah sama Kak Gavi. Falen menunduk. Tuhan kurang percaya apa ya sama gue?
Sshtt.. Gak boleh berprasangka jelek lu! tegur Pandu. Mumpung masih berdua, lo puas-puasin aja dulu pacaran sama Abang. Nanti kalau udah waktunya, pasti kalian dapet momongan.
Falen tersenyum dan mengangguk pelan. Sial, kebaikan macam apa yang pernah dia lakukan sampai bisa menikah dengan Gavian yang memiliki keluarga sebegini baik dan membuat nyaman? Yaa, walau Pandu juga tak jarang jadi manusia paling menyebalkan.
Nah, udah sampe. Gue langsung pulang, ya? Salamin ke Abang! Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita aja sama gue!
Iya, iya. Makasih, ya? Maaf ngerepotin.
Pandu mengangguk kecil. Tumben lo gak enakan.
Akhirnya. Si kecil yang sudah menjelma jadi pria berusia dua lima itu menuruni mobil, berlari kecil memasuki pekarangan rumah sambil dadah-dadah.
Pandu tertawa pelan. Falen masih selucu itu ternyata.
* * *
Setelah berbenah diri, Falen kini terduduk di samping Gavian yang sedang sibuk dengan beberapa dokumen di lengan. Dia meraih remote dan menyalakan TV di ruang tengah itu.
Gimana semalam? Gavian kecup sekilas pelipis Falen, beralih bereskan semua pekerjaan untuk recoki si kecil yang mulai tenggelam dengan tontonan.
Apanya?
Tidurnya? Nyenyak? tanya Gavian penasaran.
Falen mengangguk-angguk pelan, biarkan Gavian memainkan rambutnya. Oh iya, Pandu langsung pulang tadi, titip salam aja katanya.
Hm, gumam Gavian, udah sarapan?
Falen mengangguk lagi. Tadi ikut sarapan di rumah Mami. Kakak udah?
Udah.
Falen berdeham saja. Lagi serius dia nonton pertandingan badminton di layar TV sana.
Sayang, panggil Gavian.
Hm.
Cium!
Falen mendongak, dengus pelan saat melihat Gavian memajukan bibirnya. Namun, dia tetap bergerak maju, kecup bibir prianya.
Lagi.
Masih dituruti.
Lagi!
Ck, kakak, ganggu aja.
Gavian hanya tertawa karena Falen kembali menciumnya.
Sekali lagi.
Kaaak~ ganggu banget sih, rengek Falen sebal.
Sekali lagi, lho, Gavian balas merengek. Lamaan gitu.
Ya udah, kakak aja!
Jadi, Falen diam saja saat Gavian lumat bibirnya. Sebentar, dilepas beberapa detik kemudian.
Dikiranya, saat tautan terlepas Gavian mau udahan. Eh, gak berapa lama Falen dapat lagi ciuman.
Kak, lagi nonton aku. Falen mendorong tubuh Gavian agar menjauh darinya. Diem, ya?
Okay.
Falen bernapas lega. Sandarkan tubuh ke sofa. Tak lama, pipinya ikut dihujani ciuman juga.
Aish! pekik keras dan melotot pada si tampan.
Apa?
Falen merengut. Basah ini muka aku, keluhnya.
Gavian tertawa. Iya, iya, udah.
Sejurus kemudian, rebahkan tubuh dan jadikan paha suami kecilnya sebagai bantalan kepala. Gavian semenyebalkan itu kadang.
Akh, sayang, sayang, sayang.
Falen mendesis karena Gavian mengusal perutnya. Diem dong!
Gak, sebelum berhenti nonton TV.
Kenapa, lho? Lagi seru ini, ketus Falen.
Lihatin saya, hari ini aja. Cuma saya, bisa?
Falen mengerling. Nggak. Minggir sana!
Ish, jahat.
Falen tertawa geli karena Gavian yang kembali mengusal. Aish, iya, iya. Udah ah, geli!
Jadi manja-manja sama saya? Seharian? Hm?
Berakhir mengangguk pasrah. Kalau Gavian sudah menggemaskan, Falen akan susah menolak.
Bagian 02
Malam hari itu enaknya emang nyantai. Gavian juga belakangan termasuk dari golongan penyuka suasana santai di waktu malam. Dia sedang bergelung dalam selimut, rebahan di sofa sambil nonton pertandingan bola.“Laper.”Yang gumam pelan itu Falen. Daritadi dia sibuk sama ponsel, lihatin makanan di instagram. Udah biasa, akhir-akhirnya minta delivery pasti.“Mau apa?” tanya Gavian. “Perasaan baru tadi makan, tapi saya juga udah laper lho ini.”“Makannya,” sahut Falen.“Delivery mau?”Falen mengangguk antusias. “Pengen seblak aku, yang di angkringan simpang jalan itu lho. Bisa ‘kan di sana delivery?”“Nggak.”“Gak bisa apanya, sih? Orang jelas-jelas ada spanduk di sana. Bisa delivery,” protes Falen.“Iya, emang. Gak bisa beliin aja sayanya. Jatahnya sebulan sekali kamu makan kayak gitu. Minggu kemaren udah satu,” jelas Gavian yang udah sibuk milihin menu di ponselnya.Falen merengut. “Sekali lagi, ya? Oh atau kalau nggak, ramen-nya aja.”“Sama. Gak sehat, sayangku. Saya pesenin yang lain aja, ya?”“Nyebelin banget. Suit lah kita,” seru Falen setengah kesal.Gavian tertawa. Ada-ada saja memang kelakuan suaminya. “Biar apa suit?”“Ya kalau aku menang, bebas aku mau pesen apa.”Gavian mengangguk. “Kalau saya menang, saya yang pesenin buat kamu?”“Hng.”“Okay. Ayo suit!”Suitlah mereka. Tiga kali dan poin 3:2 dengan Gavian sebagai pemenangnya.“Ck, curang!” pekik Falen tak berdasar.Gavian mengernyit. “Saya curang apanya?”“Sekali lagi... Belum siap tadi.”“Ya udah.”Gavian mengalah saja, ikuti mau Falen walau tetap dia yang jadi pemenangnya.“Huwee... Gak suka aku! Kenapa kalah terus!?”Gavian tertawa, usak gemas rambut suaminya. “Udah, ya? Saya pesan sekarang.”“Pengen seblak lho Kak,” rengek Falen dengan binar polosnya.Gavian hela napas panjang. “Bagi dua, deal?”“Ck, katanya kaya, beli seblak aja harus dibagi dua. Apaan?”“Ya biar gak terlalu banyak. Sakit perutnya nanti. Mau nggak? Kalau nggak saya pesen salad buah aja ini,” ucap Gavian dengan nada tengilnya.“Yaudahlah, pokoknya seblak aja udah.”Gavian mengangguk, segera pesan makanan apa saja yang dia mau. Berusaha pilih yang sehat-sehat agak susah memang, tapi dicoba aja.Gak tahunya pas datang itu seblak malah ada dua bungkus. Promo katanya, beli satu gratis satu. Alhasil Gavian tepuk jidat karena bukannya dibagi dua malah Falen makan dua-duanya. Ya, susah sekali memang larang kecilnya.* * *Tak lama selesai dari kegiatan ngemil malam mereka, ternyata Pandu datang, katanya Ila dan Ilo tantrum mau menginap di sana. Dengan senang hati Galen menyambut si kembar dalam peluk hangatnya. Kebetulan sekali besok hari libur, Falen jelas akan memonopoli dua anak menggemaskan itu.
Keempatnya sedang terduduk, berdiskusi tentang destinasi wisata yang ingin mereka kunjungi esok hari. Mumpung weekend.“Kamu mau ke mana liburannya?” Gavian bertanya pada Falen.Falen berpikir sebentar. “Tanya anak-anak aja, aku ngikut.”“Ya udah, Ila sama Ilo mau ke mana?” Gavian bertanya ceria pada dua anak itu.Ilo mendengung panjang. “Beach?”“Panas Ilo, nggak boleh. Ila mau ke kebun binatang aja, Yavi.” Ila menyahut cepat dengan suara lantangnya.“Kebun binatang nggak seru, Ila.”Dan Gavian hanya tertawa pelan menyaksikan si kembar yang bertengkar karena berbeda paham.“Yaudah, kalian sekarang masuk kamar dan tidur, ya? Yavi pikirin saran kalian berdua dan besok kita putusin mau berangkat ke mana.”“Yavi, kebun binatang, ‘kan?” Ila merengut. Makin lama terlihat mirip Falen saja anak itu.Gavian tergelak, usap rambut Ila. “Gimana besok, ya? Udah, Ila masuk kamar sana! Besok kita berangkat pagi sekali.”“Uhm, kenapa?”“Sarapan di luar seru kayaknya. Nanti kita cari tempat makan yang bagus. Okay?”Dan Gavian tak pernah gagal untuk jadi penengah bagi dua anak itu. Si kembar mengangguk semangat sebelum beranjak ke lantai atas.“Ayo tidur juga! Besok perlu tenaga ekstra.” Gavian mencolek dagu Falen yang masih asyik dalam diam.
“Mau ke mana jadinya?” tanya Falen.
“Ke mana aja asal sama kamu pasti bahagia.”Falen mendengus, pukul bahu Gavian yang tertawa lihat responnya. “Cheesy!”“Sayang,” panggil Gavian.“Hm?”“Love you!”“Haish.” Falen menggaruk tengkuk sebelum melangkah cepat mendahului Gavian.Bagian 03Gavian baru kali ini melihat Falen selincah sekarang. Suka sekali saat kecilnya terbahak tanpa peduli sekitar. Memberi banyak makan pada para hewan kemudian merengut saat mendapat respon tak sesuai harapan. Ah, gemas, sialan.
“Tuh lihat kembaran Yavi,” Falen berucap pada si kembar, tunjuk buaya yang sedang diberi makan.
“Ish, jahatnya Ayah dikata kembaran buaya. Setia gini padahal.” Gavian sugar rambut ke belakang, sukses curi perhatian pengunjung sekitar. Iya, terlalu tampan.
Falen dengus pelan, tendang betis Gavian yang langsung meringis, tak paham di mana salahnya.
“Apaan? Kok ditendang?”
“Gak usah caper! Udah ah, aku duduk di sana aja.” Berakhir mengambil langkah mundur untuk menjauh dari tiga orang lainnya.
Gavian menggeleng pelan karena kelakuan Falen. Dia tatap si kembar bergantian.
“Ilo, jagain Ila ya? Ini, jangan jauh-jauh sama Kakak penjaganya, Yavi samperin dulu Papa. Kalian keliling aja. Kami tunggu di sana. Okay?”
“Okay, Yavi.” Keduanya jawab serempak. Bersyukur sekali Ilo menikmati walau awalnya merengek tak mau ikut masuk.
Gavian tersenyum. “Kalau ada apa-apa, minta tolong kakak penjaganya, ya?”
“Okay.”
Setelah yakin keduanya akan baik-baik saja, Gavian segera berlari menghampiri Falen yang duduk di kursi pengunjung sana.
“Sayang, yakin gak mau keliling lagi?” Gavian berjongkok, tatap Falen yang tunjukkan ekspresi aneh menurutnya.
“Ssshh... Kapan pulang?”
“Lho, kok tiba-tiba? Kenapa?”
“Eh?”
Gavian memekik, panik saat Falen jatuhkan kepala di bahunya.
“Pulang! Uhm, pusing banget.” Falen mengeluh, remat bahu Gavian untuk salurkan rasa sakit.
Gavian mengusap-usap kepala Falen. “Ya udah, iya, kita pulang. Saya panggil Ila sama Ilo dulu. Jangan nunduk biar gak pusing!”
Menurut. Falen angkat kepalanya, tatap Gavian sayu. “Ganteng banget sih Kak.”
Gavian terkekeh, sempat-sempatnya. “Gak usah ngelantur! Makin panik saya.”
Setelah berhasil meminta seorang penjaga memanggil Ila dan Ilo, tak lama si kembar datang dengan napas terengah.
“Papalen gak pa-pa?” Ilo bertanya cepat.
Falen tersenyum. “Gak pa-pa, maaf ya? Kita pulang sekarang. Papa pusing banget.”
“Ya udah, ayo Ilo bantu!”
Gavian tersenyum kecil saat Ilo mulai berusaha memapah tubuh Falen dengan jari mungilnya. Dia mengikuti dari belakang dengan Ila yang ada dalam rangkulan juga lengan lain tersampir di pinggang ramping suami kecilnya.
“Yavi, Papa kenapa?”
Gavian menggeleng pelan. “Mungkin kecapean.”
Ila mengangguk saja. Tak paham juga dengan kondisi Papalen -nya
• * *
Gavian pikir keadaannya akan membaik setelah Falen mengkonsumsi sesuatu yang segar. Namun, suaminya itu masih mengeluh sakit dan berakhir tak sadarkan diri di perjalanan. Jadi, dengan rasa khawatir yang menjadi, Gavian memutuskan mampir ke rumah sakit terdekat.
Dia dan si kembar menunggu di luar sedang Falen masih diperiksa di dalam.
“Papalen baik-baik aja, ‘kan?” tanya Ilo. “Sebenarnya sejak beberapa hari lalu Ilo takut juga, Yavi, Papalen kok banyak muntah-muntah.”
“Hm, kenapa Ilo gak bilang ke Yavi?” tanya Gavian makin cemas.
Ilo menggaruk tengkuk. “Kirain Yavi tahu.”
Ceklek
Pintu ruangan terbuka, tampilkan entitas dokter dengan setelan serba putihnya.
“Gimana dokter? Papalen Ila mana? Is he okay?” Ila bertanya cepat.
Dokter tersenyum kecil. “Pala Ila gak pa-pa. Itu cuma gejala biasa karena Adek kecil yang masih manja di perut Papa. Dijagain papanya, jangan kecapean dulu!”
“Adek?” gumam Gavian.
“Iya, suami Bapak sedang mengandung ‘kan? Bagus untuk melatih daya tahan tubuh dengan banyak beraktivitas, tapi sepertinya isteri Bapak kekurangan vitamin. Saya sudah buat resepnya dan bisa di ambil di depan.”
“Ngandung? Maksudnya suami saya hamil, Dok?”
Dokter yang tadi sibuk usak rambut Ila mengernyit. “Lho, Bapak tidak tahu? Kandungannya sudah masuk minggu ketiga.”
“Haish, beneran? Ini--- tapi--- Dok, astaga. Saya--- isteri saya udah siuman?”
Sial. Gavian mengumpat karena kalimatnya yang berantakan. Efek terlalu senang.
Dokter itu tersenyum. Seperti mengingat masa pertamanya mengetahui kehamilan sang isteri saja.
“Mungkin beberapa saat lagi akan bangun. Bapak bisa temui kalau mau. Ila mau lihat Papa dan adek juga?” tanya dokter.
Ila mengangguk semangat. “Mau!”
Dan iya, mereka memasuki ruangan untuk kemudian memeluk Falen yang masih tak sadarkan diri karena kelelahan.
* * *
Hari itu, bahagia seakan menyapa permukaan hatinya. Falen tak henti tersenyum kala menjawab tiap tanya yang terlontar dari Mama.
Mama banyak memberi nasihat, pun Harric yang belakangan cukup banyak berinteraksi dengannya tak henti menanyakan bagaimana perasaan Falen. 'Ntah itu mual, pusing dan semua ditanyakan kakak tirinya.
Falen hanya tersenyum damai, rindu juga pada sosok Harric yang tak henti berceloteh di sebrang sana. Ya, mereka sudah mulai berdamai dengan banyak hal hingga jadi saling peduli seperti sekarang.
Pokoknya jaga kesehatan! Kalau ada waktu dan Mama lagi vit nanti pasti mampir ke sana sama Harric.
Falen mengangguk lewat layar. Mereka melakukan panggilan video memang.
Ya udah, sekarang istirahat! Nanti Mama telpon lagi, ya?
Iya, Ma.
Dan panggilan video terputus. Falen mematikan layar ponsel dengan senyum yang tak kunjung hilang menghiasi wajahnya.
Sayang.
Falen menoleh ke ambang pintu, mengernyit saat dapati Gavian memasuki kamar mereka. Apa?
Makan dulu ayo! Nanti minum vitamin, Gavian tersenyum, simpan nampan berisi makan malam dan vitamin untuk isterinya.
Falen mengangguk kecil. Ilo sama Ila udah makan? Pandu belum bawa mereka ‘kan?
Lagi makan mereka di bawah, tadi saya pamit bentar. Mau disuapin? tawar Gavian.
Gak usah, Kakak temenin mereka aja!
Gavian mengangguk. Makan dulu sesuap, nanti saya turun.
Iya, aku makan.
Gavian menatap Falen yang mulai menyantap makan malamnya. Makan yang banyak, kecilnya saya!
Falen hanya terdiam saat Gavian mengusap-usap rambutnya. Pria itu mendekat, curi kecupan singkat kala dirinya sibuk mengunyah.
Udahan telpon sama Mama? Gimana? Sehat? Harric apa kabar?
Falen mengulas senyum. Udah, mereka sehat.
Syukurlah, Mami sama Pandu juga nanti ke sini. Nanya tadi, pengen dibawain apa katanya?
Eum, gak tahu, gak pengen apa-apa.
Gavian mengangguk saja. Dia tatap Falen yang kembali siapkan makanan.
Kakak udah makan? tanya Falen kemudian.
Nanti, kamu dulu, ya? Biar tenang saya makannya kalau kamu udah kenyang.
Falen merengut. Apaan, sih? Kakak juga harus perhatiin diri sendiri! Aaa...
Gavian terkekeh saat Falen menyodorkan sesendok menu makan malam ke hadapannya. Dengan segera dia menerima suapan tersebut.
Apa, lho? Falen bertanya garang saat Gavian menatap wajah dan perutnya bergantian.
Makasih, makasih Falen, gumam Gavian.
Falen mengelus pelan pipi suaminya. Benar, mood-nya gampang berubah. Ah, sejak dahulu malahan. Makasih untuk kamu, Kak. Makasih udah sabar.
Dan Falen terbahak saat Gavian tiba-tiba mengecupi perutnya yang masih datar.
Gak sabar, gak sabar. Sehat-sehat, Cutie Pie! bisik Gavian di depan perut suaminya.
Falen terkekeh, usap-usap lembut kepala Gavian. Cutie Pie?
Nama untuk janinnya dulu, nanti kalau udah lahir saya cari nama yang lebih bagus, janji Gavian dengan senyum yang mengembang.
Falen balas tersenyum, menunduk untuk bubuhkan kecupan pada dahi si tampan. Ya, semoga selalu sebahagia ini.Bagian 04“Sayang belum mau tidur?” Gavian bertanya, tatap penuh sosok suami kecilnya.
Falen menggeleng pelan. “Belum ngantuk.”
“Mau apa dong?”
Falen merentangkan tangannya, ingin dapat pelukan hangat dari Gavian. “Hug me! Ugh.”
Gavian menggigit bibir bawah gemas. Segera beranjak untuk bawa Falen dalam peluknya.
“Kak,” panggil Falen dalam pelukan nyaman suaminya.
“Kenapa, Falen?”
“Ish, gak sopan!”
Gavian mengernyit. “Apanya? Saya? Gak sopan?”
“No! Gak boleh panggil nama! Panggil sayang atau kecil aja!”
Ah, sialan. Gavian tak bisa tahan gemas karena sifat baru yang didapat Falen sejak masa kehamilannya.
* * *
Falen bangun terlalu pagi karena tidurnya tidak terlalu malam. Dia menggeliat pelan, mengucek kedua mata sambil sesuaikan cahaya remang kamar yang masuk ke retina.
Udara dingin seketika menyergap. Falen memicing, pandang jam dinding yang masih menunjukkan pukul tiga dini hari.
Kemudian, pandangannya beralih pada sosok tampan yang masih terlelap damai di sampingnya. Falen tersenyum, merangsek lebih dekat untuk dapat kehangatan dari suaminya.
Namun, belum sempat kembali terlelap, Falen merasa lapar menyerangnya. Dia menggumam pelan, ingin membangunkan Gavian tapi tidak tega, tapi jika tidak membangunkan Falen sering ketakutan sekarang jika pergi sendirian.
Haish!
Berakhir menggerakkan tubuh dengan gelisah. Dia melirik ke arah pintu, ada rasa takut yang menekannya untuk tetap berada di tempat tidur. Oh, padahal dulu dia tidak sepenakut itu.
Tapi gue laper, hiks---
Falen tidak tahu kenapa bahkan dia tak mengenal dirinya sendiri saat ini. Bagaimana seorang lelaki dewasa sepertinya bisa menangis karena lapar? Bukannya hal yang hendaknya dilakukan adalah makan?
Lho, Sayang, kenapa?
Gavian yang dasarnya akhir-akhir ini lebih peka terhadap suara segera beranjak, usap punggung Falen yang terduduk dengan kaki menyilang di sampingnya.
Hiks--- laper, takut ke dapurnya.
Sumpah, Gavian ingin sekali tertawa, tapi takut memperburuk suasana.
Astaga, kenapa nggak bangunin saya, hm? Kantuknya total hilang, beralih gemas pada sosok terlampau manis di hadapannya.
Takut ganggu.
Gavian mengulum senyum. Berhenti nangis, okay? Ayo ke dapur dan buat sesuatu!
Uhm, maaf.
Hm?
Aku ngerepotin Kakak terus. Falen menggumam, mainkan ujung piyama birunya.
Aish, gemas. Udah, jangan minta maaf untuk hal yang gak perlu, kecil! Ayo! Katanya laper.
Gavian beranjak, ulurkan tangannya yang disambut hangat oleh Falen. Keduanya berjalan beriringan menuruni anak tangga untuk sampai di dapur.
Kamu diam aja, biar saya yang masak. Mau makan apa? tanya Gavian setelah berhasil membuat Falen duduk di sebuah kursi.
Apa aja, cepet tapi! kekeh Falen. 'Ntah ke mana rasa bersalah anak itu hilang.
Gavian tertawa dan berjongkok di hadapan Falen. Cutie Pie lapar sampai bangunin Papa, hm?
A ha ha! Falen tertawa kala Gavian mengusal pada perutnya.
Tunggu, ya? Ayah masak sebentar. Sehat-sehat jagoan Ayah. Berakhir daratkan satu kecupan pada perut kecilnya.
Dan Falen tidak bisa untuk tidak mengulum senyumnya ketika melihat Gavian bergulat dengan alat memasak. Masih saja, sesabar itu untuk meladeni semua kelakuannya.Bagian 05Gavian menatap Falen yang baru dia antar ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Anak itu sudah tampak kacau, berkali-kali menyambangi kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mual.
“Kakak sih!” Falen mendengus sambil tatap tajam suaminya. “Aku bilang jangan maksa makan. Gini ‘kan.”
Berakhir merasa bersalah. Gavian tadinya hanya tak mau perut Falen kosong terlalu lama, tapi ternyata mual itu memang menyiksa suaminya.
“Maaf. Terus aku harus kayak gimana, hm?”
Falen hanya diam saat Gavian berjongkok di hadapannya, memberi usapan pada perut yang tampak membuncit karena sudah menginjak bulan ketiga.
“Cutie pie Ayah ingin apa? Ayo, jangan manja terus sama Papa!” ucap Gavian lembut.
“Mau yupi!”
Ah, iya. Gavian baru sadar mungkin saja sesuatu berperisa manis atau asam bisa mengurangi mual.
“Eh, tapi--- kayaknya stock permen kita habis, sayang. Tunggu sebentar mau? Saya beliin dulu.” Gavian menopang beban tubuhnya dengan lutut hanya agar posisinya tak terlalu jauh. “Ya?”
“Yupi Kakak aja.”
Dan Gavian serius tak sempat berpikir saat Falen meraih wajah dengan dua telapak tangannya. Anak itu membuat dia mendongak sedang dirinya menunduk dengan cepat. Kemudian Gavian tersenyum saja kala sadar Falen mulai mengemut bibirnya.
Saya gak tega lihat kamu mual, Len, tapi saya mikir dua kali karena ini menguntungkan. Lagipula, jarang ‘kan Falen dengan sengaja menciu--- ah, mengemut bibirnya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan